Rey adalah supir pribadiku sejak aku sembunyi dari Mas Kun, tepatnya seminggu yang lalu. Mama Mira yang merekomendasikan Rey. Lelaki yang juga pandai berkelahi itu ditugasi untuk mengawasi mata-mata yang dikirim Mas Kun sejak dua hari terakhir ini.
“Apa menurutmu aku harus menyewa bodyguard?” tanyaku.
“Tak perlu. Saya bisa menghabisi mereka sendirian,” jawab Rey sambil membungkuk.
“Dimana kau terakhir melihat mereka?”
“Apartemen Galaxy.”
Fix. Komplotan pria kekar yang mengejarku semalam adalah mereka—mata-mata yang dikirim Mas Kun untuk menangkapku.
“Pergilah!” Aku menyuruh Rey keluar dari ruang kerjaku, sudah tak ada lagi yang ingin kutanyakan padanya.
Mejaku menghadap jendela. Menikmati panorama indah sambil menyusun rencana kerja, dapat meningkatkan kualitas pikiranku. Suasana yang bagus untuk menata kembali bisnisku di bidang fashion.
Jakarta 2030. Kutulis titi mangsa di atas kertas sketsa (denah) ruangan kantor baruku. Gedung berlantai lima ini sudah kurenovasi kembali setelah ‘mati suri’ selama lima tahun. Bisnis yang kubangun dari sisa jatah bulananku sebagai istri Mas Kun ini memang sudah lama kutelantarkan, karena waktu itu aku merasa tak perlu kerja keras. Toh, uang selalu mengalir deras masuk dompetku. Namun, sekarang aku harus aktif lagi sebagai pebisnis. Tak terlalu sulit bagiku, karena sebelum menikah, aku memang sudah terjun di dunia bisnis meski hanya sebagai Sales Promotion Girl. Semasa kuliah, aku juga pernah menyambi kerja sebagai marketing dan admin di sebuah perusahaan. Pengalamanku lumayan banyak.
Hari ini aku mengatur lantai satu untuk divisi marketing, lantai dua untuk divisi SDM, lantai tiga untuk divisi produksi, lantai empat divisi keuangan, dan lantai lima adalah ruang kerjaku —tempat di mana aku berada sekarang.
Jika lima tahun yang lalu aku selalu memasok barang dari perusahaan Mas Kun, maka kali ini aku harus memproduksi barangku sendiri.
Malam tadi aku terpikir untuk merekrut seorang desainer, dan hatiku langsung terpaut pada Lexa—teman kuliahku. Ia kompeten di bidang desain fashion maupun desain interior. Kecintaannya pada seni membuatnya memiliki banyak bakat. Ia tinggal di Apartemen Galaxy dan aku menemuinya tadi malam. Sebuah perjuangan untuk bisa membuatnya bergabung dengan perusahaanku. Terlebih, aku hampir kena tembakan saat pulang dari sana.
“Rey, kaukah itu?” tanyaku saat hendak masuk ke dalam mobilku di area parkir apartemen Galaxy malam tadi. Aku mencari Rey, saat terdengar suara tembakan dari arah belakang. Sedetik kemudian, Rey dengan sigap menarik tanganku untuk melarikan diri dari komplotan pria kekar yang mengejar kami. Kuhitung mereka berjumlah sepuluh orang!
Beruntung, Rey berhasil membawaku masuk ke celah dinding antara dinding apartemen dan pos penjagaan satpam di area parkir. Kami bersembunyi di celah-celah itu. Rey mengempiskan perutnya agar bisa muat di celah-celah, ia menahan nafas dalam waktu yang cukup lama.
“Dari mana saja kamu?” tanyaku, ketika komplotan itu sudah pergi.
“Maaf, Non. Saya pergi untuk memeriksa tanda bahaya. Sepertinya ada yang sedang menguntit Nona Nita,” jawabnya.
“Maksudmu, mereka yang mengejar kita barusan?”
“Entahlah. Saya dengar, di dalam apartemen juga sedang ada penggerebekan pasangan selingkuh. Jadi saya tak bisa pastikan, komplotan yang berlarian tadi itu mengejar kita atau bukan,” jawab Rey. “Tapi saya sudah lihat mobil mereka. Jika besok saya lihat lagi mobil itu di sekitar Nona, berarti mereka memang mengejar Nona Nita.”
Tok! Tok! Tok!
“Come in, please!” jawabku. Suara ketukan pintu itu menyadarkanku dari flashback kejadian tadi malam.
“Moccachino pesananmu sudah datang,” ucap Lexa. Dia membawa secangkir moccachino di tangannya dan meletakan di mejaku.
Sejak memergoki Mas Kun selingkuh, aku jadi penyuka moccachino.
“Lo lihat tiga mobil hitam parkir tersembunyi di pinggir gedung ini?” tanyaku pada Lexa saat dia duduk berhadapan denganku.
“Sebelah mana? Gue gak lihat ada mobil,” jawabnya. “Kenapa emang?”
“Kayaknya Mas Kun ngirim mata-mata. Semalam gue hampir ditembak sama mereka, dan sempat kejar-kejaran juga. Rey bilang, mobil mereka sama dengan tiga mobil yang terparkir di samping gedung ini.”
“Gue udah sering ingetin. Jangan coba macam-macam dengan Kun Hartadi!” Lexa terlihat jengkel saat mendengar kejadian semalam, dia memang selalu mengkhawatirkan keselamatanku. Lexa sudah hafal, siapa Mas Kun sebenarnya.
“Gue berani sejauh ini karena dukungan dari mertua gue,” jawabku membela diri.
“Hati-hati Nita. Mungkin di dunia ini hanya gue satu-satunya orang yang bisa lo percaya,” katanya. “Gue mau lanjut beresin ruangan dan ngasih arahan ke tim produksi ya.” Lexa langsung pamit, sepertinya dia tak mau terlibat lebih jauh lagi dalam pembicaraan tentang keluargaku.
Kun Hartadi, ia tipe orang yang tak akan mudah melepaskan sesuatu yang didapat dengan uangnya. Dia tak akan melepaskanku begitu saja. Pernikahan mewah, mahar, dan semua uang yang telah dia keluarkan untukku selama ini … dia pasti akan mengejarku sampai dapat. Karena baginya, aku adalah ‘barang’ yang dibeli dengan uangnya. Itulah mengapa dia mengirim mata-mata untuk menangkapku, dia ingin aku kembali ke tangannya tak peduli dalam keadaan hidup atau mati.
Suara ribut terdengar dari luar. Rey seperti sedang menahan seorang wanita yang memaksa masuk ke dalam ruanganku. Wanita itu menangis dan terus memanggil namaku. Membuatku mau-tak mau harus menghampiri keributan mereka di depan pintu.
“Renata?!” Aku tercengang tatkala melihatnya berdiri di depanku.
“Kak Nita, tolong … aku ingin lepas dari suamimu!”
Dia memakai dress warna orange model sabrina dan make up tebal, dengan perban di keningnya. Itu pasti luka bekas membentur meja saat kudorong dia di coffeeshop, seminggu yang lalu. Tubuh tingginya semakin terlihat semampai dengan bantuan sepatu high heels. Walau berdandan seperti tante-tante, aku yakin usianya jauh di bawahku.Aku tertawa bahagia, pelakor yang mengancam posisiku sebagai ‘The Next Nyonya Hartadi’ kini berlutut di kakiku.“Bagaimana caranya agar Mas Kun bisa melepaskanku?” rintihnya dengan deraian air mata.Kutendang pelan badannya. Kebetulan sekali semua karyawanku berkumpul menyaksikan kegaduhan ini. Aku ingin mempermalukan Renata sebentar saja, sampai hatiku merasa puas. Namun dia bergeming, tangannya semakin erat memeluk kakiku.“Oh my god! What’re you doing here! Lepasin, Renata! Kamu terlalu hina untuk menyentuh kakiku!” hardikku.Lexa datang membisikan kata-kata mutiara di teling
“Rey, apa ketiga mobil itu masih parkir di samping gedung ini?” tanyaku saat ia kembali.“Tidak ada, Nona,” jawab Rey.Tanganku gemetar. Ke mana perginya komplotan mata-mata itu? Apakah mereka langsung mengejar Renata?“Renata … apa dia sudah pergi?” tanyaku lagi.Rey masih dengan posisi tegapnya menjawab, “terakhir saya meninggalkannya di pinggir jalan. Setelah itu, saya tak tahu lagi.”Sebenarnya, siapa sasaran komplotan itu, aku atau Renata? Mas Kun, jika kau menginginkan nyawaku, kau benar-benar keterlaluan!*“Nit, apa lo yakin baik-baik aja? Perlu gue temenin gak?” ucap Lexa lewat sambungan telepon.Aku tengah berada di ‘rumah pengasinganku’ saat ini. “Gak usah, Lex. I’m fine,” jawabku dan langsung menutup telepon.Aku tak mau Lexa mengetahui alamat rumah ini. Jika telepon terus tersambung, alamat keberadaanku sekarang bisa terdeteksi lewat jejak sinyal di ponselnya.Tak kuberitahu siapa pun termasuk Mama
Derap langkah kaki yang kudengar kini semakin menjauh. Rey berlari dengan sangat cepat, hingga berhasil lolos dari komplotan yang mengejarku. Samar-samar mereka terlihat sama dengan yang mengejarku malam lalu di area parkir Apartemen Galaxy.Aku berada dalam pangkuan Rey selama beberapa menit, hingga akhirnya kami bersembunyi di semak-semak yang gelap. Rey menurunkanku dengan begitu pelan.“Mereka sudah pergi?” tanyaku.“Ya, mereka kehilangan jejak kita. Kau tak apa, Nona?”Aku mengangguk memberi tanda bahwa aku baik-baik saja.Sial! Mata-mata yang dikirim Mas Kun sudah mengetahui tempat persembunyianku di rumah itu.Rey bersandar ke sebuah pohon besar. Napasnya yang kelelahan sangat terdengar jelas olehku.“Menurutmu, apa aku harus menceritakan tentang komplotan ini pada Mama Mira?” tanyaku.“Jangan, Nona. Semakin banyak yang tahu, akan semakin sulit bagimu, dan juga bagiku. Komplotan seperti mereka, biasanya adalah
Rey membaca baik-baik email dari Mas Kun. Aku menunggu responnya, tapi lama sekali. Dia tipe orang yang teliti dan tak gegabah. Dalam menyelidiki sesuatu, dia selalu memperhatikan detail dan menimbang dari segala sisi. Pembawaannya yang tenang dan kharismatik, menampilkan sisi kecerdasannya yang cemerlang. Pembawaan Rey sangat bertolak belakang dengan profesinya sebagai bodyguard berdarah dingin. Dia lebih cocok menjadi aktor top, atau pengacara kondang.“Gimana, Rey? Kau tahu keganjilannya, kan?” tanyaku.Dia menyerahkan ponselku. Email itu sudah selesai dibacanya. “Nona terganggu dengan kata-kata ‘menarik kembali komplotanku’?” tanyanya.“Ya, bukankah itu berarti mereka masih hidup?” Aku balik bertanya.Rey tersenyum, kemudian menggeleng. “Itu artinya, Tuan Kun mengetahui kalau komplotannya sudah terbunuh. Dia menggunakan kata halus untuk mendeskripsikannya,” jawab Rey.“Kau yakin, Rey?”“Ya, Nona.”Sebenarnya, aku merasakan dua hal
“Gak masuk akal!” kataku.“Gue gak lagi ngomong kosong, Nit! Kun bawa pisau sambil ngejar Renata!” Lexa tetap dengan penuturannya.“Mas Kun gak mungkin bertingkah sembarangan. Sebagai elite di negeri ini, dia akan menjaga sikap. Gak mungkin dia mengejar seorang wanita di depan umum, apalagi sambil bawa pisau. Walaupun kenyataannya dia berselingkuh, tapi gak mungkin dia berbuat se-mencolok itu, kan? Mungkin lo salah lihat,” sanggahku.“Gue yakin dengan yang gue lihat, pria yang mengejar Renata itu adalah suami lo!”*Menjelang sore, aku masih duduk di tempat kerja, sementara para karyawanku tengah bersiap pulang. Mereka bekerja dengan baik di hari pertama produksi.Selain menjual produkku sendiri di Official Store milik perusahaan ini, aku juga akan menjual produkku dengan sistem konsinyasi. Untuk itu, sore ini aku akan pulang terlambat karena harus mencari kontak pemilik butik dan toko baju yang ada di kota ini. Aku akan menghubungi mereka untuk m
Aku dan Lexa beradu pandang. Keheningan terjadi di antara kami, hanya suara TV yang terdengar. Tanganku gemetaran karena rasa takut, sementara Lexa meremas jari tangannya seperti biasa saat sedang gelisah.“T—tadi lo bilang, Renata masuk kamar 305?” tanyaku gemetar.Lexa mengangguk, dia masih shock. Kami punya pikiran yang sama. Wanita yang tewas ditusuk itu, pasti adalah Renata!“Lexa ….” Aku mencoba memanggilnya, namun dia bergeming. Matanya fokus menatap kosong pada layar televisi.Dengan tangan gemetar, segera kupencet tombol ‘off’ pada remote TV, agar Lexa tak melihat berita itu lagi dan dapat kembali sadar, sehingga bisa kuajak bicara. Ini bukan perkara main-main, Lexa mengatakan bahwa dia telah melihat suamiku mengejar Renata sambil membawa pisau, dan sekarang wanita itu tewas akibat luka tusukan.“Lexa!” teriakku histeris sambil mengguncang pundaknya. Aku juga berada dalam kondisi
*Aku tak tidur semalaman, hanya berguling di atas kasur dan terus memikirkan Renata. Melihat jasadnya di berita online membuatku bergidik ngeri. Kedua bola matanya hampir keluar, leher dan anggota tubuh lainnya bolong kena tusukan, darah membanjiri lantai.Mungkinkah Mas Kun pelakunya? Dia tak pernah kasar, dan tak suka melakukan kekerasan. Selama rumah tangga dengannya, tak pernah sekalipun dia melakukan KDRT. Andai dia harus menyingkirkan seseorang, dia tak akan melakukan dengan tangannya sendiri. Pasti membayar profesional untuk melakukannya.Kilasan wajah Renata terus tergambar di pikiranku. Ekspresi ‘gila’ nya ketika dia bilang telah melakukan aborsi berkali-kali, ekspresi wajahnya ketika menjerit ketakutan, dan teriakan minta tolong padaku waktu di kantor tempo hari. Semua itu masih terngiang di telingaku.“Kak, tolong aku, Kak! Tolooong!” Dia berteriak padaku ketika Rey membawanya keluar gedung“Bantu aku
Kuambil biskuit, dan menggigitnya sedikit. Dengan anggun, kusilangkan kakiku dan mulai menjawab pertanyaan Madame.“Orang bijak akan sibuk mengurusi dirinya sendiri ketimbang mengurusi hidup orang lain,” jawabku, menyindirnya.Dia menyelipkan rambut ke belakang telinga, menyadari aku tengah bicara tentang attitude-nya. Sontak, dia pun tertawa untuk membayar rasa malu.“Apa yang kau tawarkan pada butikku?” tanyanya.Aku berhasil membuatnya fokus bicara tentang pekerjaan. Memang, tak akan ada yang tahan dengan sikap satire-ku.“Aku memproduksi baju remaja, dewasa pria dan wanita. Lihat,” ucapku sambil menunjukan desain yang digambar Lexa, serta sample baju yang kumaksud.Madame memeriksa helai demi helai benang pada setiap model baju yang kutunjukan. Ia juga mengamati desainnya, dan memperkirakan kelayakan baju itu jika dijual di butiknya.“Good quality. Tapi produkmu tetap harus iku