Saudara Tak Diharapkan

“Ini peringatan terakhirku,” kata Kaivan dengan nada rendah namun penuh ketegasan. “Jangan datang lagi menemui Ibuku. Urusan kita hanya antara kau dan aku, jangan melibatkan dia.”

Setelah kejadian di kamar rumah sakit ibunya, Kaivan beranjak ke halaman rumah sakit, di mana Damian, pria yang sejak lama mengusik ketenangannya telah menunggu dengan sikap santai dan senyum angkuh. Kaivan berdiri tegap di depannya, ekspresinya datar namun penuh kewaspadaan.

Damian hanya mengangkat alis, ekspresinya penuh ejekan. “Ah, Kaivan, selalu melindungi, ya? Tapi ingat,” katanya sambil menepuk pundak Kaivan dengan gerakan yang terlalu akrab untuk seseorang yang penuh niat licik, “berhati-hatilah dengan orang di sekitarmu. Kau tak pernah tahu siapa yang benar-benar berada di pihakmu.” Tatapan matanya penuh makna, seolah ada ancaman tersembunyi di balik setiap katanya.

Dia tahu Damian bukan orang yang bisa dipercaya, dan kehadirannya di sini tentu bukan tanpa maksud. Selalu ada sesuatu yang terselubung, dan Kaivan paham benar betapa pria ini hanya membawa masalah.

Namun, tanpa memberi Kaivan kesempatan untuk berbicara, Damian melangkah pergi, meninggalkan Kaivan dengan tatapan tajam yang tak mampu ia alihkan. 

**

Di ruang pemeriksaan, Eve duduk dengan wajah letih, sementara dokter di depannya memeriksa hasil pemeriksaannya.

“Sepertinya Anda mengalami demam yang cukup tinggi,” kata dokter sambil mengangguk kecil, melihat lembaran hasil pemeriksaan. “Sudah berapa lama Anda merasa seperti ini?”

Demam yang tak kunjung reda membuat tubuh Eve semakin melemah. Sejak sesampainya di asrama beberapa jam lalu, kepalanya semakin berdenyut, padahal Eve sudah sempat tertidur sebentar, karena itu membuatnya tak punya pilihan selain pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan diri. 

Eve menghela napas pelan. “Sejak pagi ini, Dok.”

Dokter menatapnya penuh perhatian, lalu menuliskan resep di kertas kecil. “Tubuh Anda butuh istirahat. Saya sarankan Anda banyak beristirahat di rumah dan jangan terlalu memaksakan diri untuk beraktivitas.”

Eve mengangguk lemah. "Baik, Dok. Apakah saya perlu melakukan pemeriksaan lain?"

“Untuk saat ini, cukup dengan istirahat yang cukup dan minum obat ini secara teratur. Jika dalam dua hari tidak ada perubahan atau demam semakin tinggi, segera kembali ke sini.”

Eve menerima resep tersebut dengan perasaan lega sekaligus lelah. "Terima kasih, Dokter. Saya akan lakukan.”

Eve meninggalkan ruangan dokter untuk menuju apotek rumah sakit.

Ketika Eve menunggu obat di depan apotek rumah sakit, perhatiannya tertuju pada seorang ibu yang tampak kesulitan menopang tiang infusnya sambil berjalan tertatih. Rasa iba menggugah hati Eve, dan tanpa ragu, ia mendekati ibu itu. “Bu, boleh saya bantu?” tanyanya lembut. Ibu tersebut menoleh dengan wajah lelah namun tersenyum penuh terima kasih.

Eve pun memapahnya pelan, berjalan seirama sambil memegangi tiang infus tersebut. Setibanya mereka di kamar ibu itu, Eve tertegun. Ruangan itu sangat berbeda dari kebanyakan kamar pasien biasa, sangat luas, dan dipenuhi perabotan elegan. Sejenak, Eve merasa kagum dan menyadari bahwa wanita ini jelas bukan orang sembarangan.

“Terima kasih, Nak,” ucap ibu itu dengan senyum hangat. “Anak saya sedang bertemu dengan seseorang di luar. Jadi, saya menunggu sendiri sebentar.”

Eve mengangguk, berusaha tersenyum meski kepalanya masih terasa berat. “Sama-sama, Bu. Saya permisi dulu, ya, karena masih harus mengambil obat.”

Namun, saat ia hendak berbalik, suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatiannya. Eve menoleh dan tertegun melihat sosok pria yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Wajahnya langsung memucat, jantungnya berdebar kencang saat matanya bertemu dengan tatapan tajam pria itu.

“P-pak Kaivan … ?” gumamnya, suara terbata karena terkejut.