“Lebih, baik kamu tidak pernah tahu siapa pria itu.”Lizbeth hanya bisa menelan rasa pahit di hatinya, ia tahu sekeras apapun dia meminta. Mateo tidak akan mendengarnya, Lizbeth membalikkan badan, melangkah perlahan meninggalkan ruangan itu. Air mata masih menetes, namun langkahnya tidak lagi ragu.Di belakangnya, Mateo hanya bisa berdiri dalam diam. Menatap pintu yang tertutup kembali, menyadari betapa banyak waktu yang telah hilang—dan mungkin tak akan pernah bisa ia perbaiki. Mateo pun memejamkan matanya.Dengan langkah lemas, dan patah hati. Lizbeth meninggalkan gedung perkantoran sang ayah, ia menyeka air matanya dan masuk ke dalam taxi. Perlahan tangannya meraba dadanya yang terasa sesak, fakta bahwa dirinya bukanlah putri dari Mateo. Lizbeth tidak pernah membayangkan itu semua.“Tidak ada lagi yang tersisa,” gumamnya.Mobil yang ditumpanginya menepi di sebuah area pemakaman. Lizbeth keluar dari mobil, ia mengayunkan langkah kakinya pelan, namun pasti. Hingga langkahnya terhen
Lucien memeluk Lizbeth, membalas ciuman hangat itu. Menyesapnya semakin dalam lagi, Samantha yang melihat itu semua terdiam di tempat yang hampir tidak terlihat. Adapun, Lucas melihatnya di balik dinding.Ciuman itu terlepas, Lucien dan Lizbeth sama-sama melepaskan ciuman hangat itu.“Aku akan siap-siap ke kantor,” kata Lizbeth pergi.Lucien menghela napas, dia masih mengingat jelas ucapan Lizbeth. Sebuah kata cinta yang selama ini tidak pernah keluar dari mulutnya. Bagi Lucien, Lizbeth mencintainya saja sudah cukup.Lizbeth masuk ke dalam kamar, dia menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Menguncinya, masih bersandar pada pintu Lizbeth meneteskan air mata. Tatkala teringat ucapan Samantha yang mengatakan kalau dirinya bukan putri Mateo.Samantha bisa tahu dia bukan putri Mateo, artinya ucapan Martha waktu itu bukan hanya sekadar omong kosong belaka. Lizbeth meraba dadanya yang terasa sakit dan perih.“Lalu, aku anak siapa?” gumamnya pelan.Lizbeth menghela napas berat. Meskipun saat ini
Setelah saling menatap beberapa saat, Lucien memalingkan tubuhnya dan tidak terlihat lagi. Lizbeth menghela napas, lalu masuk ke dalam mansion. Freya membungkuk kepada Lizbeth, saat berpapasan dengannya.“Sarapan paginya apa sudah siap?” tanya Lizbeth.“Sudah Nona, saya sudah memanggil orang-orang.”“Pagi ini aku tidak sarapan bersama,” jawab Lizbeth pelan.Lizbeth melanjutkan langkahnya, dan saat itu dia berpapasan dengan Samantha yang baru saja keluar dari lift. Lizbeth menatapnya sesaat, lalu menunduk sopan kepada Samantha.Samantha melangkah keluar dari lift. “Lilibeth, mari kita bicara.”Lizbeth mengangkat kepalanya, saat Samantha telah berdiri di sampingnya. Lizbeth menghela napas dan meremas celananya. “Baik,” jawabnya hampir tidak terdengar.Samantha dan Lizbeth berjalan ke arah taman belakang. Keduanya duduk di bangku taman, pagi itu matahari sudah naik. Awan biru dan putih menghiasi cakrawala. Sesaat hening, sebelum akhirnya Samantha membuka pembicaraan.“Kamu pasti terkejut
Udara pagi terasa segar menyapu kulit Lizbeth, matahari belum terlalu tinggi ketika Lizbeth mulai melangkah keluar mansion. Ia butuh udara segar untuk menjernihkan pikirannya. Lizbeth mendengarkan musik dari earphone-nya, alunan lagu mengalun pelan, sembari mencoba menghapus kata-kata Samantha semalam yang terus berputar-putar di benaknya.Langkah kakinya ringan menyusuri jalan kompleks perumahan mewah yang tenang. Sepi. Hanya deru angin dan sesekali suara burung yang lewat. Sepatu larinya menyentuh aspal dalam ritme teratur, berusaha sekuat mungkin mengalihkan pikirannya dari kenyataan yang masih menyesakkan.Ia berlari cukup jauh, hingga tiba di satu persimpangan kecil, napasnya mulai memburu. Ia berhenti, membungkukkan tubuhnya sedikit sambil bertumpu pada lutut. Dadanya naik-turun, peluh menetes di pelipis, dan lagu mellow yang masih mengalun dari earphone justru membuat matanya sedikit hangat.“Pagi yang berat, ya?”Suara itu datang dari belakang. Lizbeth langsung menoleh, dan di
Lizbeth membungkam mulutnya. Ia terkejut, hatinya pedih. Matanya berkaca-kaca, Lizbeth tidak sanggup untuk mendengar lebih jauh pembicaraan mereka. Saat dirinya hendak memutar balik, sebuah suara mengejutkannya.“Kau menguping?” Lucas bertanya dengan senyuman tipis di wajahnya.Lizbeth menggeleng pelan.”Bu—-bukan, aku tadi ingin mengantarkan kudapan untuk mereka.”Lizbeth buru-buru pergi. Lucas diam melihat Lizbeth yang buru-buru mendorong troli berisikan kudapan dan teh yang dibawanya. Setelah itu Lizbeth pergi ke bar yang berada di lantai dasar. Mansion mewah Lucien memang memiliki bar pribadi, terdapat ruangan bowling pribadi, dan ruangan private lainnya. Lizbeth menghela napas berat.“Nona Lizbeth, Anda datang sendirian,” sapa Alex bartender.Lizbeth tersenyum tipis, lalu menundukkan wajahnya dengan tatapan sendu, belum lama ini hatinya tenang. Kini ucapan Martha dan Samantha menguasai pikirannya.‘Bodoh. Sejak awal kau tahu, cinta dan kasih sayang adalah yang paling sulit kau
“Aku percaya padamu.”Saat itu juga Kilian dan menyiapkan kepulangan Lucien dan Lizbeth menggunakan helikopter. Mereka naik ke atas atap gedung, dimana terdapat landasan helikopter. Mereka pun kembali ke mansion menggunakan helikopter bersama dengan Kilian.Kurang dari 10 menit, mereka tiba di landasan mansion. Lalu, masuk ke dalam mobil yang mengantarkan mereka ke mansion di seberang sana. Saat itu, Lizbeth melihat para pelayan sedang sibuk kesana kemari. Kali ini Kilian sudah mengatur segalanya.“Freya,” panggil Lucien.“Ya, Tuan muda.”“Pilihkan pakaian untuk Nona pakai malam ini.”“Baik.”Lucien melirik ke Lizbeth. “Pergilah.”Langit sudah sore, dan makan malam akan dimajukan lebih awal. Lizbeth pun naik ke atas untuk berganti pakaian yang lebih formal.Satu jam telah berlalu, pintu gerbang mansion terbuka. Mengantar masuk dua tamu istimewa yang tidak pernah Lizbeth sangka akan datang bersamaan. Samantha dan Lucas keluar dari mobil, lalu berjalan anggun dengan sepatu hak tinggi be
Pagi itu, cahaya matahari menyusup lembut dari sela tirai yang terbuka sebagian. Lizbeth membuka matanya perlahan. Hembusan angin yang masuk dari jendela terasa sejuk, menyentuh kulitnya yang masih hangat oleh selimut. Ia menoleh ke sisi tempat tidur. Lucien tidak lagi terlihat di sisinya, tadi malam Lucien tidur di kamar Lizbeth.Ia duduk menatap ke luar jendela, membiarkan pikirannya melayang. Tentang ucapan Lucien semalam, tentang pelukan yang begitu tenang, dan tentang dirinya yang mulai takut berharap terlalu jauh. Ketukan pelan di pintu menyadarkannya.“Masuk,” ucapnya lembut.Freya masuk dengan membawakan nampan berisi susu hangat dan beberapa dokumen yang dititipkan Lucien.“Pak Lucien sudah di kantor sejak tadi pagi, Bu. Beliau menitipkan ini,” ujar Angela sambil meletakkan dokumen di meja kecil dekat tempat tidur.Lizbeth menatap tumpukan dokumen itu. Di atasnya, ada secarik memo dengan tulisan tangan Lucien yang rapi.“Baca ini sebelum kita bertemu siang nanti. Aku tahu k
Lizbeth mengerjapkan matanya, merasa semua pertahanannya mulai runtuh. Ia juga tidak ingin masalah semakin kemana-mana. Di satu sisi Lizbeth merasa ragu, apakah dia harus mengatakannya kepada Lucien, atau tidak.Lucien menatap Lizbeth lekat-lekat, dia tahu sore ini Lucien tidak akan melepaskannya dengan begitu mudah. Lizbeth menelan salivanya, matanya perlahan terasa berbinar.“Dia mengancamku. Bukan secara langsung… tapi dia berkata, kalau rumah tangga Valeria hancur, dia akan menghancurkanku.” Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan pilu. “ … dan dia berkata, kamu—- tidak akan pernah menikahiku!”Wajah Lucien mengeras. Rahangnya mengatup tegas. Tapi ia tidak berbicara, hanya menatap Lizbeth dengan intens. Lizbeth menunduk sesaat, sebelum akhirnya menatap kembali Lucien lekat-lekat.“Aku tahu … keluargamu tidak menyukaiku. Aku tahu, aku bukan perempuan yang layak menjadi bagian dari keluarga besar Kingsley. Aku tidak mengharapkan apa-apa, Lucien. Aku hanya ingin tetap berada di sisimu
Lizbeth menggeleng pelan, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang mulai menguasai dadanya. Ia tahu Lucien sudah mengetahui sesuatu, sorot mata itu terlalu tajam untuk diabaikan. Tapi Lizbeth juga tidak ingin memancing konfrontasi lebih awal, belum sekarang. Bukan ketika emosinya masih belum stabil sepenuhnya setelah pertemuannya dengan Martha.Lucien bangkit dari kursinya, menghampiri Lizbeth yang masih berdiri di depan meja. Tinggi tubuhnya yang menjulang membuat atmosfer di dalam ruangan mendadak terasa menekan. Tatapan mata Lucien menelisik, membuat Lizbeth harus mengatakannya. Sebelum Lucien yang memulai.“Lilibeth,” ucapnya dengan suara rendah namun mengandung nada peringatan. “Aku tahu Martha datang ke sini.”Lizbeth menggigit bibir bawahnya. Ia mengalihkan pandangan, tak sanggup menatap mata pria itu. “Aku tidak ingin membuat masalah menjadi lebih besar.”Lucien mengangkat dagunya, nadanya terdengar dingin. “Masalah menjadi lebih besar ketika kamu tidak memberitahuku.”Lizbeth