Share

Jatuhnya Sang Dokter Andrologi
Jatuhnya Sang Dokter Andrologi
Author: Wanabuana

Bab 1

Author: Wanabuana
Namaku Olivia Jayanegara, seorang dokter andrologi.

Namun, yang tak seorang pun tahu adalah, aku sebenarnya memiliki gairah yang tak terkendali saat berhubungan dengan lawan jenis.

Aku memilih profesi ini untuk menghilangkan kesensitifanku.

Sebagai seorang dokter yang setiap hari bersentuhan langsung dengan area sensitif pria, banyak teman wanitaku yang iri padaku.

Tetapi mereka tidak tahu bahwa setelah melihat begitu banyak area sensitif pria di sini, aku sudah lama kehilangan harapan pada mereka. Bahkan sensasi bergairah saat menyentuhnya pun tak lagi muncul.

Mungkin pekerjaan ini membuat libidoku turun.

Hanya ada satu pasien hari ini. Aku melihat jam tanganku sambil mengelus cincin di tanganku. Sepulang kerja hari ini, aku akan melihat-lihat apartemen untuk pernikahan bersama pacarku.

Pintu berderit terbuka.

Tanpa mendongak, aku mengeluarkan sarung tangan karet sekali pakai dari laci, menunjuk ke ranjang besi di belakangku, dan berkata dengan dingin, “Silakan lepaskan celana, lalu berbaring.”

Pria itu tak bergerak, hanya menatapku yang duduk di belakang meja pemeriksaan dengan tatapan agak agresif, mengamatiku dari atas ke bawah dengan tatapan nakal di matanya.

Aku menundukkan kepala dan melirik bajuku, lalu menyadari bahwa entah bagaimana, aku telah merobek kerahku yang semula rapi dengan sembarangan, membuat beberapa kancing terlepas, memperlihatkan daging putih lembut yang tersembunyi di balik kemejaku. Dagingku yang lembut dan seputih salju terbalut bra renda dan memperlihatkan lekukan yang dalam di bagian leher.

Ditambah lagi, hari itu panas. Bajuku basah karena keringat, membuatnya sedikit transparan, hingga ujung-ujung bra-ku nyaris terlihat.

Tatapannya terasa nyata, seolah-olah dia hendak meraih kerah bajuku, membelai payudaraku hingga ke bawah, lalu menelanjangiku sepenuhnya.

Wajahku memerah, aku segera menarik jas putihku untuk menutupi dadaku. Tetapi aku justru mendapati hal yang membuatku makin runtuh karena tindakan buru-buruku justru menonjolkan lekuk tubuhku, membuat tatapan pria itu semakin tajam penuh ketertarikan.

"Ada keluhan apa, Pak?”

Aku harus mengalihkan perhatiannya.

Dia terkekeh, mengalihkan pandangan, lalu duduk di ranjang pemeriksaan.

"Aku tidak bisa ejakulasi, Dok. Tolong bantu aku."

Suara pria itu yang dalam dan parau, dibumbui dengan nada yang tak berdaya, tiba-tiba menusuk telingaku.

Aku melirik ke bawah untuk mencari sarung tangan karetku, tetapi sebelum sempat memakainya, dari sudut mataku, sekilas aku melihat kejantanan pria itu terekspos setelah dia melepas celananya.

Sarung tangan karetku jatuh ke lantai.

Mataku langsung terbelalak, aku tak bisa menahan diri untuk menelan ludah. Tanpa mengenakan sarung tangan karet, aku langsung berjalan ke arah pria itu.

Apa ini benar-benar ukuran milik manusia?

Benda itu berdiri tegak, membuatku tak kuasa menahan diri mengingat masa-masa ketika aku menggunakan mainan untuk melampiaskan hasratku. Saat itu, bahkan mainanku yang paling luar biasa pun, tak semenakutkan yang kulihat sekarang.

Dan pada saat itu, aku juga menyadari.

Tubuhku yang sudah lama tak gemetar karena gairah, mulai memanas tak terkendali. Lututku lemas, wajahku memerah. Rasanya seperti, jika aku mendekati benda itu lebih dekat lagi, aku akan mencapai klimaks di hadapan orang ini.

Aku berjongkok tak terkendali, tanganku gemetar saat meraih alat itu, tergagap saat melanjutkan rutinitasku.

“Kalau begitu... saya a-akan… mulai pemeriksaannya."

Pria itu menyipitkan mata saat aku menyentuh kajantanannya, lalu tiba-tiba tertawa.

“Apa Dokter sudah mau menikah? Kelihatannya benar-benar belum berpengalaman.”

Aku tersadar dari lamunanku dan menatap tangan yang menggenggam kejantanan milik pria itu, dengan cincin di jari tengahku.

Rasa bersalah langsung menyergapku, menguras seluruh tenagaku. Panik dan rasa bersalah membuatku bersandar lemah di ranjang rumah sakit, meraih sarung tangan karetku.

Pria itu tersenyum acuh tak acuh.

“Kurasa begini cukup bagus, Dok.”

Dia tiba-tiba mencondongkan tubuhnya, napasnya yang hangat menerpa telingaku. Tangannya yang besar meluncur turun dari sarung tangan karetku, menyentuh cincinku dengan lembut.

"Tak ada pria mana pun yang bisa menolak ini."

Tangannya merayap naik ke lenganku, akhirnya mendarat di leherku yang terbuka, dengan nakal menarik-narik ujung bra-ku yang terekspos.

"Mungkin masalah ejakulasiku karena aku tidak bergairah? Dokter, tolong bantu aku."
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jatuhnya Sang Dokter Andrologi   Bab 9

    Suara tamparan yang keras itu membuat pikiranku kosong, yang bisa kulakukan hanyalah menutupi pipiku yang panas.Entah kapan, Tyo telah pindah ke sisi lain dan duduk di ranjang sambil merokok dengan tenang.Asap putih mengepul perlahan, membuat tenggorokanku gatal.Aku segera duduk dan meraih tangan Yoga. “Dengarkan penjelasanku, aku…”“Aku tak tahu apa yang salah denganku, aku tak bisa menahan diri, tapi aku mencintaimu."“Aku sungguh mencintaimu, kamu bisa merasakan cintaku padamu.”Mata Yoga memerah, dipenuhi guratan-guratan merah yang mengerikan.Dia mencengkaram bahuku, tak lagi selembut sebelumnya, mengerahkan begitu banyak kekuatan hingga hampir meremukkan bahuku.Aku menjerit kesakitan, tetapi sia-sia.Matanya melotot seolah akan jatuh ke wajahku sedetik kemudian. Dia berteriak dengan serak, "Kalau aku tidak melihat pesan di ponselmu, berapa lama kamu akan merahasiakannya dariku?!"“Aku sangat mencintaimu dan memperlakukanmu dengan sangat baik, mengapa kamu masih perlu mencari

  • Jatuhnya Sang Dokter Andrologi   Bab 8

    Di tengah hembusan angin dingin, aku menatap alamat yang dikirim pria itu di ponselku dan naik taksi.Jendela mobil terbuka, membuat hembusan angin dingin menerpa pipiku yang panas, menyebabkan rasa sakit yang menusuk.Namun, jantungku berdebar kencang saat aku semakin dekat.Membayangkan apa yang mungkin terjadi selanjutnya saja sudah membuat bulu kudukku berdiri.Tak lama kemudian, taksi itu berhenti di pinggir jalan.Menatap hotel mewah yang terang benderang di hadapanku, membuat jantungku berdebar kencang. Aku bergegas ke meja resepsionis, check-in, dan naik ke atas.Aku berdiri di ambang pintu, tanganku melayang di udara, siap mengetuk.Seketika, sosok Yoga yang sibuk di dapur terlintas di benakku, menghampiriku sambil membawa makanan di tangannya dan meminta pujian.Namun, adegan ini tak berlangsung lama sebelum terhenti sepenuhnya oleh pintu yang tiba-tiba terbuka.Aku bersumpah ini terakhir kalinya.“Olivia, akhirnya kamu datang. Aku sudah lama menunggumu.”Suara yang familiar

  • Jatuhnya Sang Dokter Andrologi   Bab 7

    Seorang pria muncul di layar ponsel.Sosok pria itu familier, kulitnya yang seperti gandum berkilau bak Dewa Sungai Nil di bawah cahaya redup, memancarkan kilauan.Otot-otot dengan garis-garis yang sangat kencang itu membuat air liurku menetes, terutama ketika ponsel bergerak turun dan menyinari bagian bawahnya yang menghantuiku. Aku merasakan perasaan aneh dan tak biasa itu muncul lagi dalam diriku.Di area sensitifku terasa seolah-olah ada hasrat api yang berkobar membakar tubuhku tanpa henti, dan menggerogoti syarafku.Membuatku tak kuasa menahan diri untuk mengulurkan tangan dan menyentuh tubuhku sendiri.Jari-jari tebal pria itu membelai tubuhnya sendiri, membuat telingaku berdengung, hingga napas teratur Yoga saat dia tidur tidak terdengar lagi.Saat itu, tangan pria itu terasa seperti mendarat di tubuhku, membuat sekujur tubuhku bergidik dan mati rasa.Aku menyipitkan mata dan menyaksikan video menggoda yang dikirim pria itu, hingga terbuai.Sensasi yang dia berikan kepadaku ada

  • Jatuhnya Sang Dokter Andrologi   Bab 6

    Aku mengerucutkan bibirku erat-erat, hidungku perih dan air mata menggenang di pelupuk mataku.Aku membuka mulut dan dengan hati-hati memanggil pacarku, "Sayang...""Ada apa? Jangan diam saja, kamu benar-benar membuatku khawatir setengah mati." Yoga mengguncang bahuku dengan cemas.Air mata menggenang di mataku dan mengalir di pipi hingga daguku.Aku terisak dan memeluk leher pacarku erat-erat, seolah mencoba melampiaskan semua emosi yang rumit ini.“Jangan menangis, beri tahu aku apa yang terjadi.”Air mataku membasahi bahu Yoga. Aku terisak tak terkendali, air mata dan ingus mengalir di wajahku.Aku bersalah padanya.Begitu aku memikirkan betapa baiknya dia padaku, tetapi aku justru secara impulsif melakukan hal itu, rasanya seperti pisau tumpul menusuk hatiku berulang kali, menyebabkan rasa sakit yang luar biasa.Aku tidak berani memberi tahu pacarku tentang hal ini.Aku bahkan lebih tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi padaku jika dia tahu.Aku tak bisa meninggalkannya.

  • Jatuhnya Sang Dokter Andrologi   Bab 5

    Setelah gairah mereda, aku berbaring di ranjang rumah sakit, bajuku acak-acakan, bahkan celana dalamku menggantung di pergelangan kakiku.Tyo berdiri, tampak cukup puas. Dia menyingsingkan celananya dan dengan santai membetulkan ikat pinggangnya, dengan sebatang rokok masih menggantung di mulutnya.Dadaku berdegup kencang, aku merasakan kenikmatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Bahkan dengan pacarku, tak pernah sebahagia dan secandu ini.Ini terlalu gila.Di bangsal rumah sakit, bahkan sebagai seorang dokter dan pasiennya sendiri... Tak berani percaya...Aku benar-benar melakukan hal seperti itu.Tyo menyeka keringat di dahinya, lalu dengan santai melemparkan kotak tisu ke arahku, mengenai perut bagian bawahku.Aku mendengus, melihatnya mengangkat bajunya dan berkata, "Bersihkan dirimu sendiri, aku harus pergi."Entah kenapa, menghadapi sikap acuh tak acuh dan dingin Tyo, aku tidak merasa kecewa atau marah, melainkan sedikit senang diperlakukan seperti ini."Tunggu sebentar..

  • Jatuhnya Sang Dokter Andrologi   Bab 4

    “Dokter Oliv!”Sebelum kami sempat melanjutkan, suara seorang perawat menggema di koridor, diiringi langkah kaki yang tergesa-gesa.Jantungku berdebar kencang, darahku membeku, bahkan hasratku pun sirna seketika.Aku mencoba berdiri, tetapi Tyo menahanku dengan kuat di atas tubuhnya.Aku panik, memukul tangannya. "Kamu gila? Ada yang datang!"Aku merendahkan suaraku, tetapi aku tak dapat menyembunyikan getaran dalam nada suaraku."Dokter Oliv, apa kepala perawat sudah memeriksa ruangan? Tidak sadar aku pergi ke toilet… Eh, kenapa pintunya terkunci?"Aku mendengar suara seseorang mencoba membuka pintu, rasa takut membuat tubuhku semakin sensitif.Tyo mengerutkan kening, melirik ke arah pintu, lalu menjawab dengan lambat dan santai sambil menggoda, "Dokter sedang memeriksa saya sekarang. Saya tidak terlalu suka ada orang lain yang lihat, jadi pintunya dikunci." Perawat itu tampak agak bingung."Oh, begitukah?"Tyo tersenyum dan tatapannya jatuh pada tubuhku, lalu dia mencubit bagian ten

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status