Share

Bab 2

Author: Wanabuana
Sensasi basah menjalar ke seluruh area sensitifku.

Tidak, aku tak boleh klimaks di hadapannya.

Aku gemetar, berusaha mendorongnya menjauh. Aku tak ingin dia menyadari keresahanku. "Pak, tolong jaga sikap Anda, ini rumah sakit!"

Pria itu terkekeh pelan dan menjauhkan diri.

"Maaf, aku akan menjadi pasien yang baik."

Meskipun kata-katanya tulus, matanya masih menyapu celah di antara kedua kakiku, yang sedikit terbuka di balik rokku. Mungkin dia sudah menyadari keanehan pada area sensitifku.

Aku tersiksa oleh rasa malu dan kenikmatan secara bersamaan, tetapi kemudian aku melirik cincin di jariku.

Aku terus mengingatkan diriku sendiri bahwa aku akan segera menikah.

Melihatku tidak bergerak, dia mengingatkanku lagi, "Nggak melanjutkan pemeriksaan, Dok?"

Aku menarik napas dalam-dalam dan perlahan mendekatinya.

Namun yang mengejutkanku, detik berikutnya pria itu menarikku ke ranjang bersamanya.

Aku menempelkan tubuhku ke dadanya. Bahkan melalui kain itu, aku dapat merasakan jantungku berdebar kencang karena terangsang.

Dub, dub. Suara detak jantung.

Napasku memburu, aku merasa pusing.

Aroma khas hormon pria memenuhi hidungku, membuatku merasa lemah dan tak berdaya. Bagianku yang lembut dan berkeringat menekan tubuh pria itu yang semakin panas, setiap inci dadanya mengirimkan sengatan listrik kenikmatan ke seluruh tubuhku.

Wajahku memerah. Aku berusaha berdiri, tetapi pria itu memelukku lebih erat lagi.

Saat itu, tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang hangat menyebar di area sensitifku yang lembap.

Dia menekan pahaku, aku bahkan bisa merasakan urat-uratnya bergerak berirama dan bergesekan dengan kulitku.

Aku menepuk bahu pria itu, wajahku tampak tegas. Tetapi jantungku berdebar kencang, seolah-olah akan melompat keluar dari tenggorokanku kapan saja.

Tangan pria itu seolah sengaja meraba pahaku. Tampak sangat menikmatinya saat merasakan tubuhku yang gemetar.

"Dokter, kurasa perawatan ini sangat efektif, aku hampir ejakulasi. Terima kasih, Dok."

Aku merasa di antara kedua kakiku semakin basah, sulit ditahan.

Rasanya aku menginginkan lebih…

Pada saat penting ini, terdengar ketukan di pintu ruang pemeriksaan.

Melihat pintu yang sedikit terbuka, jantungku berdebar kencang.

“Dokter Oliv, sudah waktunya istirahat makan siang.”

Pria itu melepaskan tangannya.

Aku segera keluar untuk makan.

Saat duduk di meja makan, aku menatap sup di mangkukku, minyak berceceran di atasnya, dan adegan di ruang pemeriksaan sebelumnya terus terputar dalam pikiranku.

Tubuhnya yang mempesona menempel di tubuhku, aku bahkan bisa merasakan kehangatan dan napasnya.

Pria itu bernama Tyo. Telapak tangan kasarnya membelai tubuhku, membangkitkan gelombang hasrat yang membuatku bergidik.

Kehangatan Tyo masih terasa di tubuhku.

Sensasi unik disentuh terus menggerogoti indraku.

Seandainya perawat itu tidak menghentikan kami...

Apa yang akan terjadi?

Memikirkan hal ini, aku mengerucutkan bibir, pipiku terasa panas. Tanpa sadar, aku diam-diam merapatkan kedua kakiku di bawah meja, menggesek-gesekkannya karena rasa gatal yang tak tertahankan. Tetapi tetap saja, rasa nyeri dan gatal di sekujur tubuhku tak kunjung reda.

Aku menginginkan sesuatu yang bisa mengisiku dengan penuh.

Setelah makan siang sebentar, aku buru-buru kembali ke klinik. Aku melepas rokku, berbaring di ranjang, mengambil mainan seksku yang sudah lama tak terpakai, dan perlahan memasukkannya ke dalam tubuhku.

Namun, tanpa foreplay yang tepat, tubuhku terasa agak kering.

Aku menggigit bibir, mengeluarkan mainan seksku dan mulai memainkan jari-jariku.

Mengingat kembali kejadian tadi pagi, aku membayangkan tangan Tyo yang hangat dan besar meraba bagian dalam pahaku, menggosok dan merangsang setiap inci kulitku, sebelum memasukkannya ke dalam area sensitifku.

Setelah bermain-main sebentar, aku merasa kurang puas dengan posisi berbaring. Hal ini membuatku sulit mencapai klimaks saat masturbasi.

Aku membalikkan badan dan berbaring tengkurap di ranjang, mengangkat pantatku, lalu meletakkan tangan kananku di antara kedua kakiku. Aku mengusap bagian tengah area sensitifku, menekan dan memijat semakin cepat. Tak lama kemudian, pahaku yang bulat mulai bergetar, cairan basah menyebar di antara kedua kakiku, dan erangan lembut keluar dari bibirku.

Aku membayangkan diriku ditembus paksa oleh bagian tubuh yang besar tadi pagi, dadaku diusap dan diremas dengan kuat. Tak lama, aku mencapai klimaks dengan cepat.

Tepat saat aku tengah menikmati efek menyenangkan itu, pintu ruang pemeriksaan tiba-tiba terbuka.

Aku menoleh dan tercengang.

Itu Tyo, pria yang datang untuk pemeriksaan pagi ini!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jatuhnya Sang Dokter Andrologi   Bab 9

    Suara tamparan yang keras itu membuat pikiranku kosong, yang bisa kulakukan hanyalah menutupi pipiku yang panas.Entah kapan, Tyo telah pindah ke sisi lain dan duduk di ranjang sambil merokok dengan tenang.Asap putih mengepul perlahan, membuat tenggorokanku gatal.Aku segera duduk dan meraih tangan Yoga. “Dengarkan penjelasanku, aku…”“Aku tak tahu apa yang salah denganku, aku tak bisa menahan diri, tapi aku mencintaimu."“Aku sungguh mencintaimu, kamu bisa merasakan cintaku padamu.”Mata Yoga memerah, dipenuhi guratan-guratan merah yang mengerikan.Dia mencengkaram bahuku, tak lagi selembut sebelumnya, mengerahkan begitu banyak kekuatan hingga hampir meremukkan bahuku.Aku menjerit kesakitan, tetapi sia-sia.Matanya melotot seolah akan jatuh ke wajahku sedetik kemudian. Dia berteriak dengan serak, "Kalau aku tidak melihat pesan di ponselmu, berapa lama kamu akan merahasiakannya dariku?!"“Aku sangat mencintaimu dan memperlakukanmu dengan sangat baik, mengapa kamu masih perlu mencari

  • Jatuhnya Sang Dokter Andrologi   Bab 8

    Di tengah hembusan angin dingin, aku menatap alamat yang dikirim pria itu di ponselku dan naik taksi.Jendela mobil terbuka, membuat hembusan angin dingin menerpa pipiku yang panas, menyebabkan rasa sakit yang menusuk.Namun, jantungku berdebar kencang saat aku semakin dekat.Membayangkan apa yang mungkin terjadi selanjutnya saja sudah membuat bulu kudukku berdiri.Tak lama kemudian, taksi itu berhenti di pinggir jalan.Menatap hotel mewah yang terang benderang di hadapanku, membuat jantungku berdebar kencang. Aku bergegas ke meja resepsionis, check-in, dan naik ke atas.Aku berdiri di ambang pintu, tanganku melayang di udara, siap mengetuk.Seketika, sosok Yoga yang sibuk di dapur terlintas di benakku, menghampiriku sambil membawa makanan di tangannya dan meminta pujian.Namun, adegan ini tak berlangsung lama sebelum terhenti sepenuhnya oleh pintu yang tiba-tiba terbuka.Aku bersumpah ini terakhir kalinya.“Olivia, akhirnya kamu datang. Aku sudah lama menunggumu.”Suara yang familiar

  • Jatuhnya Sang Dokter Andrologi   Bab 7

    Seorang pria muncul di layar ponsel.Sosok pria itu familier, kulitnya yang seperti gandum berkilau bak Dewa Sungai Nil di bawah cahaya redup, memancarkan kilauan.Otot-otot dengan garis-garis yang sangat kencang itu membuat air liurku menetes, terutama ketika ponsel bergerak turun dan menyinari bagian bawahnya yang menghantuiku. Aku merasakan perasaan aneh dan tak biasa itu muncul lagi dalam diriku.Di area sensitifku terasa seolah-olah ada hasrat api yang berkobar membakar tubuhku tanpa henti, dan menggerogoti syarafku.Membuatku tak kuasa menahan diri untuk mengulurkan tangan dan menyentuh tubuhku sendiri.Jari-jari tebal pria itu membelai tubuhnya sendiri, membuat telingaku berdengung, hingga napas teratur Yoga saat dia tidur tidak terdengar lagi.Saat itu, tangan pria itu terasa seperti mendarat di tubuhku, membuat sekujur tubuhku bergidik dan mati rasa.Aku menyipitkan mata dan menyaksikan video menggoda yang dikirim pria itu, hingga terbuai.Sensasi yang dia berikan kepadaku ada

  • Jatuhnya Sang Dokter Andrologi   Bab 6

    Aku mengerucutkan bibirku erat-erat, hidungku perih dan air mata menggenang di pelupuk mataku.Aku membuka mulut dan dengan hati-hati memanggil pacarku, "Sayang...""Ada apa? Jangan diam saja, kamu benar-benar membuatku khawatir setengah mati." Yoga mengguncang bahuku dengan cemas.Air mata menggenang di mataku dan mengalir di pipi hingga daguku.Aku terisak dan memeluk leher pacarku erat-erat, seolah mencoba melampiaskan semua emosi yang rumit ini.“Jangan menangis, beri tahu aku apa yang terjadi.”Air mataku membasahi bahu Yoga. Aku terisak tak terkendali, air mata dan ingus mengalir di wajahku.Aku bersalah padanya.Begitu aku memikirkan betapa baiknya dia padaku, tetapi aku justru secara impulsif melakukan hal itu, rasanya seperti pisau tumpul menusuk hatiku berulang kali, menyebabkan rasa sakit yang luar biasa.Aku tidak berani memberi tahu pacarku tentang hal ini.Aku bahkan lebih tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi padaku jika dia tahu.Aku tak bisa meninggalkannya.

  • Jatuhnya Sang Dokter Andrologi   Bab 5

    Setelah gairah mereda, aku berbaring di ranjang rumah sakit, bajuku acak-acakan, bahkan celana dalamku menggantung di pergelangan kakiku.Tyo berdiri, tampak cukup puas. Dia menyingsingkan celananya dan dengan santai membetulkan ikat pinggangnya, dengan sebatang rokok masih menggantung di mulutnya.Dadaku berdegup kencang, aku merasakan kenikmatan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Bahkan dengan pacarku, tak pernah sebahagia dan secandu ini.Ini terlalu gila.Di bangsal rumah sakit, bahkan sebagai seorang dokter dan pasiennya sendiri... Tak berani percaya...Aku benar-benar melakukan hal seperti itu.Tyo menyeka keringat di dahinya, lalu dengan santai melemparkan kotak tisu ke arahku, mengenai perut bagian bawahku.Aku mendengus, melihatnya mengangkat bajunya dan berkata, "Bersihkan dirimu sendiri, aku harus pergi."Entah kenapa, menghadapi sikap acuh tak acuh dan dingin Tyo, aku tidak merasa kecewa atau marah, melainkan sedikit senang diperlakukan seperti ini."Tunggu sebentar..

  • Jatuhnya Sang Dokter Andrologi   Bab 4

    “Dokter Oliv!”Sebelum kami sempat melanjutkan, suara seorang perawat menggema di koridor, diiringi langkah kaki yang tergesa-gesa.Jantungku berdebar kencang, darahku membeku, bahkan hasratku pun sirna seketika.Aku mencoba berdiri, tetapi Tyo menahanku dengan kuat di atas tubuhnya.Aku panik, memukul tangannya. "Kamu gila? Ada yang datang!"Aku merendahkan suaraku, tetapi aku tak dapat menyembunyikan getaran dalam nada suaraku."Dokter Oliv, apa kepala perawat sudah memeriksa ruangan? Tidak sadar aku pergi ke toilet… Eh, kenapa pintunya terkunci?"Aku mendengar suara seseorang mencoba membuka pintu, rasa takut membuat tubuhku semakin sensitif.Tyo mengerutkan kening, melirik ke arah pintu, lalu menjawab dengan lambat dan santai sambil menggoda, "Dokter sedang memeriksa saya sekarang. Saya tidak terlalu suka ada orang lain yang lihat, jadi pintunya dikunci." Perawat itu tampak agak bingung."Oh, begitukah?"Tyo tersenyum dan tatapannya jatuh pada tubuhku, lalu dia mencubit bagian ten

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status