"Apa kencan butamu lebih penting daripada aku? Bukankah tujuanmu hanya satu yaitu menikah demi menyenangkan nenekmu? Lalu, untuk apa kau melakukan kencan buta?" tanya Wolf sambil melangkah ke depan.
Sontak, Yuriko melangkah mundur hingga tubuhnya mengenai daun pintu. Pikirannya benar-benar kacau saat ini. Apa yang Wolf katakan memang benar, tetapi ia paling tidak menyukai pria tampan. Jika ia menyukai pria tampan, maka ia sudah menikah tidak lama setelah neneknya memintanya untuk menikah."Maaf, Pak. Pekerjaan saya hari ini sangat banyak. Jadi, saya izin undur diri." Yuriko memutar kenop pintu dan bergegas keluar.Wanita itu menutup pintu dengan tergesa. Kemudian, ia berlarian menuju lift takut Wolf akan mengejarnya. Bahkan setelah berada di dalam lift, ia terus menekan tombol agar pintu segera tertutup."Selamat-selamat," lirih Yuriko sambil menyandarkan tubuhnya ke belakang. Kemudian dalam sekejap, pintu lift terbuka. Ia bergegas keluar dan pergi ke ruangannya.Baru sampai di ruang kerjanya dan belum sempat duduk, semua rekan kerja sudah menatapnya sinis. Hal itu membuat Yuriko mengerutkan keningnya."Semua orang pada kenapa, sih?" Yuriko bertanya-tanya dalam hati sambil melangkah menuju meja kerjanya, "Semua orang kenapa, sih, Na? Kok, lihatin aku sampai begitu," tanya wanita itu pada rekan kerjanya yang cukup dekat."Ada yang melihatmu ke ruangan Pak Wolf," sahut Nana."Lalu?" tanya Yuriko masih tidak mengerti. Memangnya apa yang salah dengan hal itu?"Coba cek komunitas perusahaan saja deh. Aku bingung jelasinnya," balas Nana malas menjelaskan secara singkatnya.Yuriko langsung meraih ponselnya di meja dan mulai membuka komunitas perusahaan. Di sana, terdapat postingan sebuah foto di mana dirinya masuk ke dalam ruang CEO. Tidak hanya foto, tetapi terdapat sebuah keterangan. Postingan itu hampir mendapat seribu suka dan komentar lebih dari seribu.[Tidak ada satu wanita pun yang bisa masuk ke ruangan Pak Wolf kecuali asisten pribadi Pak Wolf sendiri. Hari ini, wanita berwajah pas-pasan dengan begitu mudahnya masuk ke ruangan Pak Wolf. Menurut kalian, kira-kira alasan apa yang mampu membuat wanita itu masuk ke ruang Pak Wolf dengan sangat mudah?][Paling-paling dia pakai pelet. Tidak mungkin dia bisa masuk dengan wajah pas-pasan.]Salah satu akun memberi komentar dan disusul dengan komentar-komentar buruk lainnya.[Mungkin dia menyerahkan tubuhnya pada Pak Wolf.][Iya, benar. Selain tubuhnya, tidak ada yang bisa dijadikan alasan.][Aku rasa bukan pelet maupun tubuh wanita itu. Mungkin memang ada hal penting mengapa dia bisa masuk ke ruangan Pak Wolf.]Yuriko membaca komentar-komentar yang menyakitkan mata juga hatinya. Bagaimana bisa orang berpendidikan seperti mereka berpikir yang tidak-tidak seperti itu? Meskipun ada beberapa komentar yang membelanya, tetapi itu hanya satu banding seribu."Makasih sudah percaya sama aku, Na," kata Yuriko."Sama-sama, tapi Yuri. Kenapa Pak Wolf memanggilmu ke ruangannya?" tanya Nana penasaran.Sebelum menjawab, Yuriko menghela nafas berat. Merebahkan kepalanya di meja sambil mengerucutkan bibirnya."Hey! Aku tanya kenapa? Apa jangan-jangan apa yang mereka katakan benar kalau kau memelet atau--""Jangan sembarangan kalau bicara," sentak Yuriko terkejut.Wanita itu benar-benar tidak menyangka mendengar tuduhan itu dari Nana. Ia bahkan langsung duduk tegap karena terlalu terkejut."Iya, terus apa?" tanya Nana penasaran."Aku pusing, Na. Aku tidak tahu apa yang membuat Pak Wolf memintaku menandatangani kontrak pernikahan," jelas Yuriko murung sambil kembali merebahkan kepalanya di meja."Apa?!" terkejut Nana sambil beranjak berdiri.Mendengar teriakan Nana, semua orang di ruangan itu langsung menatap wanita itu. Mereka begitu penasaran dengan apa yang sedang Yuriko dan Nana bicarakan."Ya ampun, Nana! Cepat duduk dan jangan membuat keributan," ujar Yuriko frustasi."Iya-iya. Ya sudah, sekarang ceritakan semuanya padaku dan jangan membuatku penasaran," pinta Nana kembali duduk.Mau tidak mau, Yuriko menjelaskan semuanya pada Nana. Meskipun demikian, perasaannya tetap tidak nyaman. Padahal biasanya, perasaannya akan jauh lebih baik setelah membagi bebannya.***Malam hari setelah pulang bekerja, Yuriko bersiap-siap dan pergi untuk melakukan pekerjaan paruh waktunya di klub malam. Gaji di PT. Griant Phoenix belum cukup untuk membiayai biaya rumah sakit neneknya. Jadi, baru-baru ini ia melamar pekerjaan sebagai pelayan di sebuah klub malam dan diterima."Sial! Kenapa aku tidak mendapatkan pekerjaan lain saja?" keluh Yuriko sambil menarik-narik pakaian kurang bahannya."Kenapa kau masih di sini anak baru?" tanya seorang senior."I-iya, Senior," sahut Yuriko sambil mengangguk tersenyum canggung.Wanita itu langsung bergerak melakukan tugasnya. Mengantar minuman ke sana kemari pada pelanggan yang datang. Semuanya pun terlihat baik-baik saja sebelum akhirnya tengah malam tiba."Maaf, Tuan. Bisa tolong lepaskan tangan saya?" Yuriko terkejut dan merasa tidak nyaman karena seorang laki-laki menarik tangannya."Kemarilah! Ayo, kita bersenang-senang!" Alih-alih melepaskan tangan Yuriko, laki-laki itu justru menarik tangannya kuat-kuat hingga Yuriko jatuh di atas tubuhnya."Maaf, Tuan, saya di sini untuk bekerja dan bukan untuk bersenang-senang," sanggah Yuriko sambil berusaha melepaskan diri.Hari pertama bekerja, Yuriko sudah mendapatkan perlakuan seperti itu. Padahal, ia tidak menunjukkan wajah aslinya dan masih menggunakan penampilannya yang pas-pasan. Apalagi kalau sampai ia menunjukkan wajah aslinya. Bisa-bisa banyak laki-laki di sana yang akan menggoda atau memperebutkannya."Tentu saja, aku tahu kalau kau sedang bekerja. Tapi, aku akan membayarmu dengan sangat mahal. Ya, meskipun wajahmu pas-pasan, tetapi aku tidak akan mempermasalahkannya," ujar laki-laki itu."Maaf, Tuan, saya tidak tertarik," tolak Yuriko setelah berhasil menjauhkan tubuhnya."Kau berani menolakku?" geram laki-laki itu."Maaf, Tuan, saya harus kembali bekerja." Yuriko menundukkan kepalanya beberapa saat dan melangkah pergi.Melihat sikap Yuriko membuat laki-laki itu marah. Ia sudah berbaik hati menawarnya dengan harga mahal dan dengan beraninya Yuriko menolak. Akhirnya, laki-laki itu beranjak berdiri dan mengejar Yuriko. Meraih tangannya dan menariknya dengan kasar."Aww! Lepas, lepaskan saya!" pekik Yuriko sambil berusaha melepaskan tangannya."Diam! Aku akan melepaskanmu setelah aku menidurimu," sentak laki-laki itu."Tidak, Tuan, jangan saya mohon!" mohon Yuriko sambil meronta.Wanita itu semakin ketakutan melihat dirinya diseret melewati lorong-lorong. Apalagi ia tahu betul bahwa lorong-lorong itu menuju sebuah kamar."Tolong! Tolong, tolong aku!" teriak Yuriko berusaha meminta tolong."Teriaklah sekeras yang kau mau karena tidak akan ada satu pun orang yang menolongmu."Sekeras apa pun wanita itu berteriak, tidak sebanding dengan suara musik di ruangan itu yang jauh dan jauh lebih keras sehingga tidak ada satu orang pun yang mendengarnya. Kalaupun ada, mungkin tidak akan ada satu orang pun yang membantunya."Lepaskan saya, Tuan! Saya minta maaf kalau saya menyinggung Anda," ujar Yuriko berusaha membujuk."Terlambat. Seharusnya kau menerima tawaranku dengan bayaran mahal. Kalau sekarang, aku akan menikmati tubuhmu tanpa mengeluarkan uang sepeser pun," sanggah laki-laki itu menggebu."Anak kita laki-laki, Mas," kata Yuriko mengingat sang suami belum tahu."Jangan bercanda, Yuri! Hal seperti ini tidak bisa kau jadikan sebagai candaan," protes Wolf tidak suka."Aku serius, Mas. Kalau tidak percaya, kau bisa lihat di papan nama. Bahkan nama putra kita belum ditulis," ujar Yuriko menjelaskan.Sontak, Wolf langsung berjongkok dan memeriksa papan nama. Di sana terlihat jelas di bagian nama kosong dan di bagian jenis kelamin menunjukkan tulisan laki-laki."Astaga!" Wolf terlihat seperti orang yang sedang melihat hantu. Manik mata dan mulutnya terbuka lebar. Ia sampai jatuh terjengkang ke belakang karena terlalu terkejut melihat bayinya berjenis kelamin laki-laki."Bagaimana bisa?" Wolf menyentuh kepalanya dan sedikit mencengkeram rambutnya.Beruntung waktu itu tidak hanya membeli pakaian berwarna pink saja, tetapi ada warna ungu juga. Jadi saat ini, bayi laki-laki itu memakai pakaian berwarna ungu. Tidak masalah jika anak laki-laki memakai pakaian warna itu."Maaf, Mas.
"A-apa? Ha-hamil?" Manik mata Wolf terbelalak dengan senyum yang mengembang, "Apa kau sungguh hamil, Sayang?" imbuhnya bertanya pada sang istri."Aku tidak tahu, Mas," sahut Yuriko menggeleng bingung.Selama ini, ia hanya menikmati kehidupan rumah tangganya dengan Wolf. Ia bahkan tidak sadar akhir-akhir ini sering sekali makan. Porsinya masih normal, tetapi ia sering menikmati camilan. Baik ketika di rumah maupun di perusahaan."Coba kau beli test pack di apotik. Kalau tidak, panggil dokter keluarga kita ke rumah," kata Grizeljoy menyarankan."Nah iya, Benar. Kalau bisa, panggil dokter kandungan saja ke rumah biar lebih pasti," timpal Antariksa ikut menyarankan.Rupanya selain Wolf, dan Grizeljoy yang terlihat bersemangat, Antariksa pun jauh lebih bersemangat daripada mereka berdua. Namun alih-alih meminta putra San menantunya pergi ke rumah sakit, ia justru berkata untuk membawa dokter spesialis kandungan ke rumah."Bagaimana kalau test pack saja? Nanti kalau positif, Yuri sama Mas W
"Kita sudah menikah, tapi hanya sedikit orang yang tahu. Menurutmu, apa kita perlu membuat perayaan untuk mengumumkan pernikahan kita?" Satu bulan berlalu setelah drama merajuk yang Wolf buat. Kini, pria itu sedang bermanja-manja dengan Yuriko di dalam selimut. Mereka baru saja menyelesaikan ritual percobaan pembuatan anak yang entah sudah berapa puluh atau mungkin berapa ratus kali."Siapa bilang sedikit? Semua karyawan di perusahaan tahu tentang status kita. Jadi aku pikir, kita tidak perlu merayakannya. Itu hanya akan buang-buang waktu dan uang saja," tolak Yuriko.Tidak peduli mau seberapa banyak orang yang tahu tentang pernikahannya. Yang paling penting sekarang hidupnya sudah bahagia. Tanpa ada yang ditutup-tutupi dan saling terbuka satu sama lain meski hanya hal kecil sekalipun."Tidak, Sayang. Untuk hal seperti ini tidak bisa dibilang sebagai buang-buang uang." Wolf menggelengkan kepalanya tidak setuju dengan pemikiran sang istri.Selain karyawan di perusahaan, Wolf ingin men
Yuriko menatap manik mata Wolf yang terlihat berkaca-kaca. Terlihat sekali bahwa pria itu sudah terlalu putus asa. Tidak tahu harus melakukan apa dan dengan cara apa agar Yuriko mau memiliki anak dengannya."Kenapa? Apa masih belum cukup?" tanya Wolf nyalang. Rasa-rasanya, kesabarannya sudah habis tak bersisa."Tidak. Aku setuju untuk memiliki anak," sahut Yuriko sedikit menyusutkan tubuhnya. Sebelumnya memang Wolf pernah marah, tetapi kali ini berbeda. Tatapan matanya menunjukkan kemarahan, kekesalan, kekecewaan, dan perasaan lainnya yang tercampur menjadi satu membuat Yuriko kesulitan sekedar untuk bernafas."Hah? Apa? Aku tidak salah dengar, 'kan?" tanya Wolf terkejut.Baru saja ia pasrah atas penolakan yang akan Yuriko lontarkan. Namun ternyata, ia mendengar jawaban yang sangat ingin ia dengar. Bahkan ia sampai tidak bisa mempercayai pendengarannya."Sama sekali tidak. Jadi, kau menginginkan berapa anak? Satu, dua, atau tiga?" sahut Yuriko mantap."A-apa?" Wolf kembali dikejutkan
"M-mas?" Yuriko langsung menjauhkan tubuhnya dengan raut bingung."Kenapa? Tidak bisa? Mau kembali sama Devon? Ya sudah, sana." Wolf melebarkan matanya dan berkata dengan nada malas. Lalu, ia melangkah ke arah meja kerjanya berusaha mengabaikan Yuriko.Terlihat, Yuriko sedang mengigiti kuku jari tangannya. Menatap Wolf dengan raut keragu-raguan. Haruskah ia mengatakan alasannya?"Bu-bukannya aku tidak mau. Aku hanya ..." Yuriko sengaja menggantung kalimatnya membuat Wolf penasaran."Hanya apa? Hanya karena kau belum mempercayaiku?" tanya Wolf berbalik dan menatap wanita itu sinis."Tidak, bukan karena itu. Aku hanya ... Takut, Mas," sahut Yuriko sambil menundukkan kepalanya.Mendengar kata takut terlontar, sontak membuat Wolf mengurungkan niatnya untuk duduk. Ia kembali mendekat ke arah Yuriko dan menyentuh bahunya."Tatap aku, Yuri!" pinta Wolf.Melihat bagaimana kondisi sang istri saat ini membuat Wolf tidak tega. Sebenarnya, ia tidak bisa jauh meski hanya sebentar. Namun, ia terpak
"Itu tidak benar, Mas. Hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan dia." Yuriko menyentuh lengan Wolf dan tangisnya semakin pecah."Turun!" seru Wolf."Tidak, Mas. Aku tidak akan turun sebelum kau mempercayai kata-kataku," tolak Yuriko sambil menggeleng cepat.Wolf menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kasar. Ia pikir, Yuriko tidak akan pernah mau mendengarkan ucapannya. Jadi, ia memutuskan untuk keluar dan menurunkan semua barang belanjaan di depan lobby apartemen. Setelah itu, ia menarik tangan Yuriko agar turun dari mobil."Mas, aku mohon! Kali ini saja percaya padaku. Semua yang aku katakan benar. Aku tidak sengaja bertemu dengannya dan aku tidak ingin memiliki anak bukan karena dia." Yuriko berjalan mengikuti Wolf yang hendak masuk ke dalam mobil."Minggir!" seru Wolf ketika Yuriko menghalangi jalannya."Mas, aku mohon!" lirih Yuriko. Namun sayangnya, sang suami sama sekali tidak peduli dengan permohonannya.Wolf menyentuh bahu Yuriko dan mendorongnya ke samping. La