Share

Menolak Laki-Laki Kaya

"Uang itu hak kami! Kau seharusnya bersimpati pada dua nyawa yang telah kau renggut dan dua anak yang mendadak jadi yatim piatu!” Sheryl berteriak frustrasi di hadapan seorang Haikal Abraham.

Sedangkan Haikal hanya tertawa kecil dan menatap gadis si hadapannya dengan remeh. “Jika kasus ini diusut, maka akan terlihat jelas bahwa orang tuamu yang bersalah. Apa perlu aku memperlihatkan rekaman kameranya padamu?”

“Apa maksudmu?” tanya Sheryl dengan mata menyorot tidak mengerti. Ditekannya seluruh amarah di dalam dadanya.

Haikal menekan remot untuk menyalakan monitor di hadapan mereka. Lalu disana terlihat jelas rekaman kecelakaan dimana Ayah Sheryl terlihat kehilangan fokus lalu mengemudi di jalur yang salah sehingga terjadilah tabrakan maut itu.

" Mobil orang tuamu juga melaju dengan kencang!" sergah Sheryl.

"Tapi mereka ada di jalur yang benar," sanggah Haikal dengan wajah tenang dan angkuh.

“Inilah alasan kenapa aku tidak menghubungimu,” ujar Haikal kemudian. “Karena kecelakaan itu terjadi bukan karena kesalahan kami. Seharusnya kami juga berhak menuntut keluargamu karena mobil mahal milik ayahku juga rusak parah. Apalagi ibuku juga sempat shock saat kecelakaan itu terjadi meski sekarang dia baik-baik saja.”

Sheryl menunduk dengan perasaan teramat pedih. Entah apa dosanya sehingga nasib baik enggan berpihak padanya. Dia pikir, kecelakaan itu murni karena salah orang lain sehingga dia merasa panras untuk menuntut ganti rugi.

“Seharusnya kau bersyukur kami masih mau memberimu uang santunan,” ujar Haikal.

“Berhentilah membicarakan omong kosong!” sergah Sheryl dengan penuh kekecewaan. “Kau hanya ingin mencari keuntungan dari musibah yang sedang kualami!”

Sheryl menghapus air mata yang tiba-tiba meleleh di kedua pipinya. Dia benci untuk terlihat lemah di hadapan laki-laki ini tapi air matanya membuktikan bahwa dirinya benar-benar sedang rapuh.

“Aku serius! Jadilah istriku dan kau akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik seperti semula!” ujar laki-laki itu kemudian.

“Tidak!” ujar Sheryl tegas. Dia tidak akan menggadaikan harga dirinya hanya demi uang. “Aku permisi!”

Kemudian dia berdiri sambil tetap menunduk demi menyembunyikan air mata yang terus meluncur turun. Sedangkan Haikal menatap gadis itu dengan sorot mata tajam dan tidak melewatkan sedikit pun raut kesedihan yang tampil di sana.

“Kenapa kau bersikeras menolak tawaranku, huh?” tanya Haikal sebelum Sheryl benar-benar pergi.

Gadis itu menahan langkahnya sejenak, lalu berbalik dan menatap Haikal.

“Rugi dua kali jika aku harus menyerahkan diri padamu hanya demi uang. Sedangkan nyawa kedua orang tuaku tidak akan sebanding dengan jumlah uang yang kau tawarkan!” ujar Sheryl.

Haikal tertawa kecil, kemudian dia bertopang dagu sambil menatap gadis yang teguh pendirian itu. Gadis ini unik, pikirnya. Lalu ada sebuah keinginan yang timbul di dalam hatinya untuk menaklukkan gadis ini.

“Padahal aku hanya mengajakmu menikah, tapi penolakanmu sungguh luar biasa!” gumam Haikal.

“Kau adalah laki-laki licik yang tidak akan kujadikan suami!” ketus Sheryl kemudian.

“Kau benar-benar susah dibujuk, Sheryl. Tapi aku yakin kau akan datang lagi ke sini,” ujar Haikal dengan begitu yakin.

Sheryl mendengkus tipis, kemudian berlalu dengan cepat meninggalkan laki-laki angkuh dan aneh itu. Sepanjang perjalanan pulang, gadis itu tak henti-hentinya menghela napas panjang sambil menenangkan diri. Dia kecewa pada dirinya sendiri dan juga pada semua orang.

Rasanya ingin menangis meraung tapi dia malu dilihat orang banyak. Hanya air matanya saja yang meleleh seiring langkah yang terasa semakin berat.

“Kenapa nasibku malang sekali?” tanya Sheryl begitu lirih.

Di kepalanya telah berkecamuk pemikiran tentang uang kuliah Anindya, sewa tempat tinggal baru dan juga biaya bertahan hidup. Sedangkan dia belum mendapatkan pekerjaan yang bisa menghasilkan uang.

Sementara itu di tempat lain, Pak Slamet dan Bu Minah sedang bersenang-senang dengan keluarga masing-masing. Uang hasil penjualan rumah baru saja cair dan mereka langsung membagi sama rata.

Mereka benar-benar tidak peduli dengan nasib dua anak yatim piatu yang tertatih-tatih menjalani hari suram dan dipenuhi kecemasan.

Keesokan harinya, Sheryl dan Anindya benar-benar harus keluar dari rumah peninggalan orang tua mereka. Rumah itu sudah memiliki pemilik baru dan tidak mengizinkan kedua anak yatim itu tinggal lebih lama di sana.

“Makanlah hak anak yatim ini, kami ikhlas!” seru Anindya sambil berurai air mata. Keduanya berjalan beriringan sambil menenteng tas besar dan menangis pilu.

Melalui info salah seorang temannya, Sheryl mendatangi sebuah kost yang cukup murah meski berada di kawasan padat dan kumuh. Jarak antara kost itu dan kampus Anindya cukup jauh sehingga perlu ongkos setiap harinya. Tapi hanya itu satu-satunya pilihan yang bisa mereka ambil karena keadaan yang sedang mendesak.

Berkali-kali Sheryl meminta agar Anindya bersabar dan tabah dalam menjalani hidup ini. Padahal dirinya sendiri nyaris ingin menyerah tapi tidak akan dibiarkannya adiknya ikut bersikap lemah seperti dirinya.

Sebagai seorang sarjana akuntansi, Sheryl mengalkulasikan semua biaya dan kebutuhan mereka dengan cermat. Tabungan yang ada harus digunakan sebaik-baik mungkin. Setidaknya sampai dia dapat pekerjaan yang bisa menghasilkan uang.

“Kita makan seadanya saja, ya,” ujar Sheryl sambil meletakkan nasi, kecap, dan kerupuk.

“Nggak apa-apa, yang penting kenyang,” ujar Anindya.

“Kamu nanti pulang kuliah jam berapa?” tanya Sheryl sambil duduk lesehan di lantai kamar.

“Mungkin sore seperti biasa,” jawab Anindya.

Sheryl meraih kotak bekal dan mengisi dengan nasi putih tanpa lauk. “Nanti beli gorengan atau apalah untuk lauk makanmu.”

“Tenang saja, Kak. Aku akan membiasakan diri makan nasi putih pakai garam,” jawab Anindya.

“Membiasakan apanya, makan pakai ikan saja kamu sering mengeluh, apalagi mencoba makan nasi pakai garam,” gerutu Sheryl tanpa sadar.

Sheryl menatap adiknya dengan sorot mata penuh sesal, sedangkan Anindya menyimpan getir di dalam lubuk hatinya. Mendadak keduanya terjebak dalam kenangan pahit yang membawa pada kenangan manis di masa lalu.

Sewaktu orang tua mereka masih ada dan hidup mereka baik-baik saja, Anindya sangat pemilih dalam urusan makan. Tidak jarang Ibu mengomel melihat kelakuan Anindya yang selalu menyisihkan makanan.

Sekarang Anindya yang manja dan pemilih mencoba bersikap dewasa dalam waktu singkat. Dia sadar bahwa hidupnya telah berubah drastis. Sheryl mendecak pelan, kemudian menggigit bibirnya demi menahan sebak di dalam dada.

“Tidak apa-apa makan seadanya yang penting kamu tetap kuliah,” ujar Sheryl menghibur dirinya sendiri.

Anindya mengusap boneka beruang yang didandani dengan baju dokter dan topi ala-ala paramedis. “Kalau aku sudah jadi dokter nanti, keadaan kita pasti akan kembali membaik.”

Saat ini prioritas utama Sheryl adalah bagaimana agar adiknya terus kuliah. Karena beberapa kali Anindya mengungkapkan keinginannya untuk berhenti kuliah dan bekerja saja.

“Kalau kamu berhenti kuliah maka arwah Ayah dan Ibu tidak akan tenang, Nin. Beliau berdua akan merasa sedih melihat anaknya melepaskan mimpi menjadi seorang dokter hebat,” ujar Sheryl adiknya. Ditatapnya mata adiknya yang kini mulai merah dan berkaca-kaca.

“Sebagai kakakmu dan satu-satunya saudaramu, kakak tidak akan membiarkanmu melepas cita-cita itu. Kakak akan berusaha sekuat tenaga agar kamu tetap kuliah.”

Pikiran Sheryl berkecamuk di dalam kepalanya. Dia ragu dan cemas. Tapi dia tidak akan membiarkan mimpi adiknya runtuh begitu saja. Dia akan berdiri dan menopang sekuat tenaga agar mimpi Anindya tercapai. Sekarang satu-satunya harapan Sheryl hanyalah melihat Anindya kembali ceria dan memeluk mimpi-mimpinya seperti sediakala.

“Percaya sama Kakak ya, Nin… Please…”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status