Share

Persiapan pernikahan

Author: Simplyree
last update Last Updated: 2025-05-08 10:28:55

Setelah menempuh perjalanan sekitar setengah jam, mobil Evan pun berhenti di depan sebuah bangunan berdesain elegan nan menawan. Di atas pintu kaca berbingkai hitam, terpampang tulisan ‘Harmony Boutique’ dengan huruf kaligrafi keemasan, sementara lampu gantung kristal di terasnya memantulkan cahaya hangat yang menyambut setiap pengunjung.

Evan segera melangkah keluar dari mobil dan memasuki butik tanpa menunggu Ivy. Sementara itu, Ivy tersenyum masam sambil menggenggam tas kecilnya dan berusaha menjaga keseimbangan di atas sepatu hak tinggi, sesuatu yang sama sekali tak biasa baginya.

“Apa susahnya sih jalan bareng? Aish!” protes Ivy pelan.

Ivy melangkah masuk ke dalam butik yang seketika memikat pandangannya. Lantai marmer putih berkilau terhampar luas, dipadu lantunan musik klasik lembut yang mengalun bak alunan mimpi membuat ia semakin terkagum-kagum.

Lampu kristal menggantung di langit-langit tinggi, memantulkan cahaya hangat ke setiap sudut ruangan sehingga gaun-gaun pernikahan berwarna ivory dan blush pink berkilau bak permata di antara tirai beludru lembut.

“Hem,”

Namun deheman seseorang menghentikan imajinasinya. Orang tersebut adalah Evan, ia memberi kode agar Ivy mendekat ke arahnya.

“Kenalin, ini calon istri gue, Ivy,” Evan memperkenalkan Ivy ke seorang lelaki yang memakai setelan jas rapi didepannya, “Ivy, ini Galih, teman saya waktu kuliah, sekaligus manajer di butik ini.”

“Galih,” ucap lelaki di depan Ivy tersenyum ramah.

Ia mengulurkan tangannya untuk mengajak Ivy berjabat tangan namun Ivy hanya diam sembari menatapnya. Ia seperti merasakan sesuatu yang tak biasa hingga Evan harus menyenggol tangannya agar ia sadar.

“Eh iya, maaf, Ivy”

Ivy diam sesaat lalu mengerutkan kening, “Maaf, tapi apa kita pernah bertemu?” tanyanya dengan lembut namun penuh rasa ingin tahu. Pasalnya ia merasa tidak asing dengan Galih, seperti pernah bertemu namun entah dimana.

Galih mengangkat alis lalu balik bertanya, “Oh iya? Ketemu dimana?”

“Ga tau,” jawab Ivy dengan polosnya.

Jawaban itu jelas mengundang tawa Galih, namun membuat Evan menunjukkan muka masamnya.

“Haha, banyak yang bilang muka saya emang pasaran si,” ucap Galih bercanda.

Namun tidak bagi Ivy. Ia tetap merasa pernah bertemu dengan Galih, bahkan pernah begitu dekat. Namun seperti sebelumnya, semakin ia berusaha mengingat, kepalanya malah makin terasa sakit.

“Mending sekarang kita pilih-pilih bajunya, masih ada tempat yang harus kita datangi setelah ini,” ucap Evan kepada Ivy yang tampak diam. Ivy mengangguk, ia berusaha bersikap normal. Mungkin ia yang salah mengira pernah bertemu dengan Galih.

“Oh iya, silahkan dilihat-lihat, ini beberapa gaun yang ready.”

Galih berkata sambil berjalan pelan di antara deretan manekin, masing-masing mengenakan gaun beraneka model.

Evan meraih lengan Ivy, menariknya sedikit ke samping agar mereka tampak mesra di hadapan pengunjung lain.

“Ivy, mau pakai gaun yang model apa?” tanya Galih kepada Ivy yang masih terkagum-kagum dengan gaun-gaun yang ada disini.

Menurutnya semuanya cantik dan bagus, untuk dirinya yang jarang datang ke tempat seperti ini.

“Semuanya, semuanya bagus.” Jawab Ivy sambil masih menatap gaun yang ada di depannya.

“Tentu aja, hampir semua gaun di sini dirancang oleh designer ternama yaitu Bu Ela, Ibunya Evan,” jelas Galih.

“Oh ya?” Ivy menganga tidak percaya.

Ia tidak tahu kalau Bu Ela adalah seorang designer. Begitupun ia tidak tahu pekerjaan Evan. Ia belum pernah bertanya mengenai pekerjaan.

“Hem.” Dehem Evan.

“Berarti butik ini punya Tante Ela juga?” tanya Ivy penasaran.

“Bukan. Udah cepat dipilih mau yang mana, kita harus pergi ke tempat lain,” lanjut Evan sambil berjalan menjauh, membiarkan jarak terbentuk di antara dirinya dan Ivy.

Sementara itu, Galih tetap mengajak Ivy untuk melihat-lihat gaun yang lain.

“Apa ada gaun yang cocok dipadukan sama hijab?” tanya Ivy pada Galih.

“Tentu, sini ikut saya!”

Galih membuka lembar katalog khusus “Hijab Bridal Collection” yang menampilkan gaun-gaun dengan kerah tinggi dan detail bordir halus di dada.

“Kalau model ini, hijab bisa nyatu sama leher tertutup yang dilapisi tulle lembut,” terang Galih sambil memperlihatkan sketsa gaun bermotif kupu-kupu di kerah. Melihat gaun tersebut, Ivy jadi membayangkan hijab satin ivory yang dililit rapi berpadu dengan gaun tersebut, menampilkan keserasian sempurna antara hijab dan gaun.

“Saya suka yang potongannya sederhana tapi ada aksen di lengan,” ujarnya, “Supaya hijab dan gaun menyatu, tanpa harus pakai aksesori berat.”

Galih mencatat sambil tersenyum, membuka katalog dan menunjuk beberapa gaun pilihan yang tercantum di dalamnya lalu mengarahkan Ivy ke ruang fitting dengan karpet putih bulu dan tirai linen pastel. Ia kemudian menyerahkan gaun pilihan Ivy kepada perempuan itu.

Saat Ivy mencoba gaun pilihannya tadi, ia merasakan kain gaun jatuh sempurna menyelimuti tubuhnya dengan kesederhanaan yang elegan. Di cermin besar, ia pun mencoba memadukannya dengan hijab satin ivory.

Dengan satu tarikan napas dalam, Ivy tersenyum penuh keyakinan. Ia akan memilih gaun ini.

Setelah yakin memilih gaun, Galih mengantarkan Ivy ke meja kasir. Di sana sudah ada Evan yang sedang berbincang dengan seorang laki-laki yang tidak Ivy kenal, sepertinya ia karyawan di butik ini.

Saat Ivy mendekat, Evan langsung menghentikan obrolannya dan meminta laki-laki itu untuk pergi.

“Udah milih gaunnya?” tanya Evan kepada Ivy.

“Udah,” jawab Ivy sambil memberikan gaun itu kepada kasir.

“Totalnya-“ Belum sempat karyawan kasir menyelesaikan kalimatnya, Evan sudah lebih dulu memberikan kartunya.

“Ini.”

Karyawan yang langsung paham pun segera memproses pembayaran.

Ivy sebenarnya ingin tahu berapa harga gaun yang ia beli namun sepertinya Evan tidak mau membahasnya.

Kayaknya mahal deh, ucap Ivy dalam hati.

“Ayo pulang,” ajak Evan kepada Ivy. Pria itu kemudian menatap Galih, “Pulang dulu ya,” pamit Evan kepada Galih.

“Iya, hati-hati di jalan, Happy Wedding. Ga nyangka akhirnya lo nikah juga,” balas Galih sembari berbisik meledek Evan.

Evan hanya membalas dengan senyum singkat lalu menggandeng tangan Ivy hingga mobil, ia juga membukakan pintu mobil untuk Ivy. Ivy yang mendapatkan perlakuan manis itu tahu kalau Evan sedang bersandiwara dengan menjadi calon suami yang romantis sehingga tidak terlalu memedulikannya.

“Berapa harga gaunnya?” tanya Ivy begitu Evan duduk di kursi pengemudi.

“Kenapa kamu pengin tahu?” Evan balik bertanya.

“Pengin tahu aja, pasti mahal ya?”

“Ga juga,” jawab Evan singkat.

“Bohong,” balas Ivy. Bagi Ivy yang pernah merasakan hidup kekurangan uang, ia selalu memperhitungkan pengeluarannya walaupun sekarang hidupnya berkecukupan.

Evan yang menyadari apa yang sedang Ivy pikirkan pun kembali berkata, “Ga usah dipikirin, lagian udah tanggung jawab saya sebagai calon suami kamu. Setelah menikah pun kebutuhan kamu saya yang tanggung.”

Jujur Ivy merasa terharu mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh Evan. Baru kali ini ia merasa dipedulikan, bahkan orang tuanya pun tidak pernah menunjukkan kepedulian seperti ini selama ia hidup.

Namun ia harus bersikap biasa saja di depan Evan, ia tidak boleh terlihat luluh oleh kalimat yang baru ia dengar tadi.

“Kita habis ini mau kemana?” tanya Ivy penasaran.

“Nanti kamu juga tahu,” jawab Evan singkat.

Satu hal yang tidak Ivy mengerti tentang Evan, kadang pria itu bisa bersikap begitu manis padanya, namun sedetik kemudian bisa kembali bersikap dingin. Sungguh kepribadian yang membuat Ivy bingung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Menunggu

    Menunggu perempuan berbelanja menjadi salah satu kegiatan yang paling Evan benci. Dulu ketika belum menikah ia selalu dipaksa untuk menemani ibunya berbelanja dan sekarang setelah menikah pun ia masih tetap di suruh menunggu istrinya. Sebenarnya ia bisa saja pergi dan menyuruh anak buahnya untuk menemani Ivy, namun setelah kejadian tadi ia ingin selalu berada di dekat istrinya. Evan melirik anak buahnya yang berdiri di sampingnya, mereka tampak lelah karena berdiri hampir dua jam untuk menunggu Ivy selesai berbelanja. Selama dua jam itu pula Ivy berkeliling tanpa lelah."Kalian tunggu di mobil aja, biar saya aja yang nemenin," ucap Evan. "Baik tuan," jawab salah satu diantara mereka. Akhirnya keempat anak buah Evan pun pergi. Mereka tampak bersyukur karena bisa beristirahat dan menunggu di dalam mobil. "Sebenarnya dia mau beli apaan sih?" gumam Evan penasaran. Ia lalu berjalan mendekati Ivy yang masih tampak serius memilih produk makeup. "Masih belum selesai?" tanya Evan.Ivy meng

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Permintaan maaf

    Selang beberapa menit, karyawan yang tadi mengambil gaun kembali dengan seorang pria berjas hitam. Keduanya berjalan mendekati Evan dan Ivy. “Selamat siang Pak Evan, saya mohon maaf atas kekacauan yang terjadi. Karyawan ini masih baru jadi masih ada beberapa hal yang belum dipahami. Saya janji hal seperti ini tidak akan terjadi lagi,” ucap pria yang baru datang tersebut secara tiba-tiba. Sepertinya Evan pun mengenali pria yang baru saja datang. Evan menatap pria itu dengan malas. “Masih karyawan baru tapi udah berani ngerendahin pelanggan kayak gitu? Apa anda sebagai manajer tidak mengajari mereka tentang tata krama sebelum mereka terjun ke lapangan? Apa susahnya mereka menuruti permintaan istri saya untuk mencarikan gaun sesuai ukuran yang diminta? Lagian istri saya juga mintanya pakai bahasa yang baik dan sopan!” Untuk pertama kalinya Ivy mendengar Evan berbicara menggunakan kalimat yang begitu panjang. Dan itu karena untuk membelanya? Ivy benar-benar tersentuh. “Sekali lagi

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Insiden memalukan

    Tempat yang Ivy datangi selanjutnya adalah mall besar yang berada di pusat kota.Setelah memarkirkan mobilnya di parkiran basement, Ivy tidak langsung keluar dari mobil. Di dalam mobil ia mengamati sekeliling lebih dulu. Karena setelah memasuki area mall, Ivy baru ingat kalau mall yang ia datangi saat ini adalah mall yang dinaungi oleh perusahaan Evan. “Duh jadi belanja di sini atau ngga ya? Atau aku belanja ke mall lain aja?” gumam Ivy menimbang-nimbang pilihan yang tepat. Setelah beberapa menit berpikir, Ivy memutuskan untuk tetap belanja di sini. Karena jika ia pergi ke mall lain, kemungkinan ia akan menghabiskan banyak waktu di jalan. Akhirnya Ivy pun segera turun dari mobil. Tak lupa sebelum turun ia memakai masker, selain agar wajahnya yang baru saja perawatan tidak terkena kotoran, ia juga tidak ingin ada karyawan yang menyadari kalau ia adalah istri Evan. Begitu masuk ke dalam mall, Ivy langsung naik ke lantai dua menuju tempat pakaian wanita berada. Ingin membeli gaun

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Menikmati uang suami

    “Selamat datang kak, saya terapis untuk perawatan kakak. Silahkan berganti pakaian ya kak, bajunya bisa disimpan di keranjang ini,” ucapnya ramah sambil menunjuk ke arah gantungan yang di mana selembar kain besar berwarna putih tergantung rapi.Tubuh Ivy menegang seketika mendengar perintah tersebut. “Bajunya dilepas kak?” “Iya kak, tenang aja. Selagi kakak ganti baju, nanti saya tunggu di luar dan tentunya privasi kakak terjamin aman,” jelas sang terapis kemudian berjalan keluar.Ivy pun mengangguk walaupun ia merasa malu jika harus berganti pakaian di sini. Namun karena tidak ada pilihan lain, dengan terpaksa Ivy menuruti perintah tersebut. Ia pun melepaskan pakaiannya, lalu membalut tubuhnya dengan kain spa yang sudah disediakan.“Silahkan berbaring terngkurap ya kak, nanti saya mulai dari punggung,” ucap sang terapis dengan lembut.Ivy pun mengangguk dan menuruti perintah tersebut. Ia berbaring di atas ranjang putih yang terasa begitu lembut dan hangat. Sangat nyaman sekali hing

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Sang pemberi trauma

    “Ivy? Kamu ngapain disini?” tanya Naufal terlihat kaget begitu melihat pelanggan yang berada di depannya adalah sosok perempuan yang sudah lama tidak ia temui.Ivy hanya menatap wajah Naufal, tubuhnya terasa kaku. Ingatan tentang perlakuan buruk Naufal kepadanya tiba-tiba berputar di kepalanya.“Kak?” “Kak?” panggil karyawan melihat Ivy hanya terdiam. “Eh iya?” jawab Ivy dengan gugup. Ia berusaha menormalkan mimik wajahnya agar terlihat biasa saja di depan Naufal.“Jadi… jadi kamu manager di toko ini?” tanya Ivy.“Iya,” jawab Naufal singkat. Pria itu menatap Ivy dengan tatapan datar. Entah apa yang sedang ia pikirkan, Ivy pun tak tahu. Namun yang pasti Ivy ingin segera pergi dari sini. Ia begitu takut berhadapan dengan pria yang menurutnya sangat menyeramkan. “Kalau… kalau pesanan aku jadi malam ini bisa?” tanya Ivy.Sebelum Naufal menjawab pertanyaan Ivy, pria itu memberi isyarat kepada karyawan di sebelahnya untuk meninggalkan mereka berdua.“Kenapa? Semua pesanan di proses sesua

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Penawaran yang menarik

    Setelah perjalanan kurang lebih selama lima belas menit, mobil Ivy akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan kecil yang berada di sudut jalan. Bagian depan bangunan itu ditutupi oleh kaca, sehingga setiap orang yang lewat bisa mengetahui aktivitas di dalamnya. Dari situ juga Ivy tahu, walaupun bangunan tersebut tampak kecil, namun banyak pengunjung yang datang. Di bagian atas pintu, terdapat tulisan yang terbuat dari ukiran kayu: Kilas Kenangan. Ivy membuka pintu itu secara perlahan. Bunyi lonceng langsung menyambutnya. Beberapa orang yang berada di dalam toko langsung menatap ke arahnya sebentar, kemudian kembali fokus kepada benda di depan mereka. Ivy berkeliling untuk mengamati satu per satu cangkir-cangkir putih yang berada di etalase kaca. Sebagai orang yang menyukai seni, ia tersenyum senang melihat desain cangkir yang begitu unik dan cantik. Ivy mengedarkan pandangannya ke sekeliling toko, lalu pandangannya berhenti ke arah seorang perempuan muda yang memakai seragam berwa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status