Setelah menempuh perjalanan sekitar setengah jam, mobil Evan pun berhenti di depan sebuah bangunan berdesain elegan nan menawan. Di atas pintu kaca berbingkai hitam, terpampang tulisan ‘Harmony Boutique’ dengan huruf kaligrafi keemasan, sementara lampu gantung kristal di terasnya memantulkan cahaya hangat yang menyambut setiap pengunjung.
Evan segera melangkah keluar dari mobil dan memasuki butik tanpa menunggu Ivy. Sementara itu, Ivy tersenyum masam sambil menggenggam tas kecilnya dan berusaha menjaga keseimbangan di atas sepatu hak tinggi, sesuatu yang sama sekali tak biasa baginya. “Apa susahnya sih jalan bareng? Aish!” protes Ivy pelan. Ivy melangkah masuk ke dalam butik yang seketika memikat pandangannya. Lantai marmer putih berkilau terhampar luas, dipadu lantunan musik klasik lembut yang mengalun bak alunan mimpi membuat ia semakin terkagum-kagum. Lampu kristal menggantung di langit-langit tinggi, memantulkan cahaya hangat ke setiap sudut ruangan sehingga gaun-gaun pernikahan berwarna ivory dan blush pink berkilau bak permata di antara tirai beludru lembut. “Hem,” Namun deheman seseorang menghentikan imajinasinya. Orang tersebut adalah Evan, ia memberi kode agar Ivy mendekat ke arahnya. “Kenalin, ini calon istri gue, Ivy,” Evan memperkenalkan Ivy ke seorang lelaki yang memakai setelan jas rapi didepannya, “Ivy, ini Galih, teman saya waktu kuliah, sekaligus manajer di butik ini.” “Galih,” ucap lelaki di depan Ivy tersenyum ramah. Ia mengulurkan tangannya untuk mengajak Ivy berjabat tangan namun Ivy hanya diam sembari menatapnya. Ia seperti merasakan sesuatu yang tak biasa hingga Evan harus menyenggol tangannya agar ia sadar. “Eh iya, maaf, Ivy” Ivy diam sesaat lalu mengerutkan kening, “Maaf, tapi apa kita pernah bertemu?” tanyanya dengan lembut namun penuh rasa ingin tahu. Pasalnya ia merasa tidak asing dengan Galih, seperti pernah bertemu namun entah dimana. Galih mengangkat alis lalu balik bertanya, “Oh iya? Ketemu dimana?” “Ga tau,” jawab Ivy dengan polosnya. Jawaban itu jelas mengundang tawa Galih, namun membuat Evan menunjukkan muka masamnya. “Haha, banyak yang bilang muka saya emang pasaran si,” ucap Galih bercanda. Namun tidak bagi Ivy. Ia tetap merasa pernah bertemu dengan Galih, bahkan pernah begitu dekat. Namun seperti sebelumnya, semakin ia berusaha mengingat, kepalanya malah makin terasa sakit. “Mending sekarang kita pilih-pilih bajunya, masih ada tempat yang harus kita datangi setelah ini,” ucap Evan kepada Ivy yang tampak diam. Ivy mengangguk, ia berusaha bersikap normal. Mungkin ia yang salah mengira pernah bertemu dengan Galih. “Oh iya, silahkan dilihat-lihat, ini beberapa gaun yang ready.” Galih berkata sambil berjalan pelan di antara deretan manekin, masing-masing mengenakan gaun beraneka model. Evan meraih lengan Ivy, menariknya sedikit ke samping agar mereka tampak mesra di hadapan pengunjung lain. “Ivy, mau pakai gaun yang model apa?” tanya Galih kepada Ivy yang masih terkagum-kagum dengan gaun-gaun yang ada disini. Menurutnya semuanya cantik dan bagus, untuk dirinya yang jarang datang ke tempat seperti ini. “Semuanya, semuanya bagus.” Jawab Ivy sambil masih menatap gaun yang ada di depannya. “Tentu aja, hampir semua gaun di sini dirancang oleh designer ternama yaitu Bu Ela, Ibunya Evan,” jelas Galih. “Oh ya?” Ivy menganga tidak percaya. Ia tidak tahu kalau Bu Ela adalah seorang designer. Begitupun ia tidak tahu pekerjaan Evan. Ia belum pernah bertanya mengenai pekerjaan. “Hem.” Dehem Evan. “Berarti butik ini punya Tante Ela juga?” tanya Ivy penasaran. “Bukan. Udah cepat dipilih mau yang mana, kita harus pergi ke tempat lain,” lanjut Evan sambil berjalan menjauh, membiarkan jarak terbentuk di antara dirinya dan Ivy. Sementara itu, Galih tetap mengajak Ivy untuk melihat-lihat gaun yang lain. “Apa ada gaun yang cocok dipadukan sama hijab?” tanya Ivy pada Galih. “Tentu, sini ikut saya!” Galih membuka lembar katalog khusus “Hijab Bridal Collection” yang menampilkan gaun-gaun dengan kerah tinggi dan detail bordir halus di dada. “Kalau model ini, hijab bisa nyatu sama leher tertutup yang dilapisi tulle lembut,” terang Galih sambil memperlihatkan sketsa gaun bermotif kupu-kupu di kerah. Melihat gaun tersebut, Ivy jadi membayangkan hijab satin ivory yang dililit rapi berpadu dengan gaun tersebut, menampilkan keserasian sempurna antara hijab dan gaun. “Saya suka yang potongannya sederhana tapi ada aksen di lengan,” ujarnya, “Supaya hijab dan gaun menyatu, tanpa harus pakai aksesori berat.” Galih mencatat sambil tersenyum, membuka katalog dan menunjuk beberapa gaun pilihan yang tercantum di dalamnya lalu mengarahkan Ivy ke ruang fitting dengan karpet putih bulu dan tirai linen pastel. Ia kemudian menyerahkan gaun pilihan Ivy kepada perempuan itu. Saat Ivy mencoba gaun pilihannya tadi, ia merasakan kain gaun jatuh sempurna menyelimuti tubuhnya dengan kesederhanaan yang elegan. Di cermin besar, ia pun mencoba memadukannya dengan hijab satin ivory. Dengan satu tarikan napas dalam, Ivy tersenyum penuh keyakinan. Ia akan memilih gaun ini. Setelah yakin memilih gaun, Galih mengantarkan Ivy ke meja kasir. Di sana sudah ada Evan yang sedang berbincang dengan seorang laki-laki yang tidak Ivy kenal, sepertinya ia karyawan di butik ini. Saat Ivy mendekat, Evan langsung menghentikan obrolannya dan meminta laki-laki itu untuk pergi. “Udah milih gaunnya?” tanya Evan kepada Ivy. “Udah,” jawab Ivy sambil memberikan gaun itu kepada kasir. “Totalnya-“ Belum sempat karyawan kasir menyelesaikan kalimatnya, Evan sudah lebih dulu memberikan kartunya. “Ini.” Karyawan yang langsung paham pun segera memproses pembayaran. Ivy sebenarnya ingin tahu berapa harga gaun yang ia beli namun sepertinya Evan tidak mau membahasnya. Kayaknya mahal deh, ucap Ivy dalam hati. “Ayo pulang,” ajak Evan kepada Ivy. Pria itu kemudian menatap Galih, “Pulang dulu ya,” pamit Evan kepada Galih. “Iya, hati-hati di jalan, Happy Wedding. Ga nyangka akhirnya lo nikah juga,” balas Galih sembari berbisik meledek Evan. Evan hanya membalas dengan senyum singkat lalu menggandeng tangan Ivy hingga mobil, ia juga membukakan pintu mobil untuk Ivy. Ivy yang mendapatkan perlakuan manis itu tahu kalau Evan sedang bersandiwara dengan menjadi calon suami yang romantis sehingga tidak terlalu memedulikannya. “Berapa harga gaunnya?” tanya Ivy begitu Evan duduk di kursi pengemudi. “Kenapa kamu pengin tahu?” Evan balik bertanya. “Pengin tahu aja, pasti mahal ya?” “Ga juga,” jawab Evan singkat. “Bohong,” balas Ivy. Bagi Ivy yang pernah merasakan hidup kekurangan uang, ia selalu memperhitungkan pengeluarannya walaupun sekarang hidupnya berkecukupan. Evan yang menyadari apa yang sedang Ivy pikirkan pun kembali berkata, “Ga usah dipikirin, lagian udah tanggung jawab saya sebagai calon suami kamu. Setelah menikah pun kebutuhan kamu saya yang tanggung.” Jujur Ivy merasa terharu mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh Evan. Baru kali ini ia merasa dipedulikan, bahkan orang tuanya pun tidak pernah menunjukkan kepedulian seperti ini selama ia hidup. Namun ia harus bersikap biasa saja di depan Evan, ia tidak boleh terlihat luluh oleh kalimat yang baru ia dengar tadi. “Kita habis ini mau kemana?” tanya Ivy penasaran. “Nanti kamu juga tahu,” jawab Evan singkat. Satu hal yang tidak Ivy mengerti tentang Evan, kadang pria itu bisa bersikap begitu manis padanya, namun sedetik kemudian bisa kembali bersikap dingin. Sungguh kepribadian yang membuat Ivy bingung.Setelah sambutan yang menurut Ivy penuh kegugupan, bahkan sempat membuat pipinya memanas karena malu, kini ia disibukkan dengan sesi bertemu para tamu. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Bagi Ivy, setiap orang yang hadir adalah istimewa, dan mereka pantas mendapatkan senyum tulus darinya.“Makasih ya udah datang, ” ucap Ivy ramah sambil menyerahkan novel yang baru saja ia tanda tangani.Tangannya mulai terasa pegal, jemarinya kaku karena terlalu lama memegang pena.Satu per satu tamu berlalu, hingga tersisa seorang terakhir. Ivy menghela napas lega karena sebentar lagi ia bisa beristirahat.“Makasih ya sudah hadir,” ucapnya sambil menyerahkan buku yang sudah bertanda tangan. Ia lalu mendongak untuk menatap wajah sang tamu. Namun detik berikutnya, matanya terbelalak. Nafasnya tercekat.“Va… Vania?!” seru Ivy.Seketika ia berdiri dari kursinya, menatap lekat wajah di hadapannya, takut kalau itu hanya berhalusinasi.“Halo,” sapa Vania sambil tersenyum hangat. Ia terkekeh kecil meliha
“Berarti tadi itu istri kamu?” tanya Ivy dengan nada ragu. Mereka saat ini sedang berbincang di sebuah kafe yang terletak di sebelah rumah sakit. Sebenarnya, awalnya Ivy menolak ajakan ini, namun Naufal terus memaksanya. Sementara itu, wanita hamil yang bersama pria itu sudah pulang lebih dulu.Naufal mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat.Ivy mencoba untuk tersenyum tipis. "Selamat atas pernikahan, dan kehamilan istri kamu," ucapnya lembut. Nada suaranya masih menyimpan keterkejutan."Kamu juga. Selamat atas kehamilannya," balas Naufal sekenanya. "Jadi kamu ngajak aku ke sini mau bilang apa? Aku ngga bisa lama-lama," ucap Ivy sambil melirik ke arah Andre yang berada di luar café. Ia takut pria itu akan melapor ke Evan jika ia terlalu lama.Naufal tampak menghela napas panjang. "Aku cuma mau minta maaf untuk ulahku di masa lalu. Aku tahu aku salah banget. Tapi... aku benar-benar menyesal. Aku harap kamu mau maafin aku," ucapnya terdengar tulus.Ivy menatap pria itu lekat-lekat. M
"Kamu beneran ngga papa pergi ke dokter sendiri?" tanya Evan dengan nada cemas. Pagi ini seharusnya ia mendampingi Ivy melakukan pemeriksaan kandungan, tapi rapat mendadak di kantornya memaksanya berangkat lebih awal."Aku ngga papa kok. Lagian aku kan di temenin Andre, jadi ngga sendirian," jawab Ivy sambil berusaha menenangkan suaminya.Alis Evan berkerut. “Tapi kalau nanti orang-orang ngira Andre itu suami kamu gimana?” Nada suaranya terdengar tak rela.Ivy tak kuasa menahan tawa mendengar kekhawatiran yang menurutnya konyol. “Ya ampun, nggak mungkin lah. Udah, sana berangkat! Ntar kamu malah telat,” usirnya sambil melambaikan tangan ke arah mobil.Dengan berat hati Evan akhirnya menurut. Ia masuk ke dalam mobil, namun sempat menoleh sekali lagi ke arah Ivy. Sebelum menyalakan mesin, ia melambaikan tangan, seolah enggan meninggalkan istrinya sendirian.Ivy membalas lambaian itu dengan senyum lebar yang hangat, membuat rasa waswas Evan sedikit mereda.Ivy masih berdiri di depan ruma
Tiga bulan semenjak jatuh pingsan, perut Ivy sudah tampak membesar. Kini usia kandunganny sudah berjalan empat bulan. Ia mengelus perut itu perlahan. Ia tidak menyangka bisa berada di tahap mengandung lagi setelah sebelumnya sempat kehilangan calon anaknya. Dokter meminta Ivy untuk jangan melakukan aktivitas berat yang membuatnya lelah. Evan yang mendapat pesan seperti itu dari dokter, langsung melakukan segala cara agar kandungan Ivy bisa tetap aman.Ia kini bersikap lebih protektif kepada istrinya. Ia mengatur makanan istrinya dengan sayur dan buah setiap hari. Ia bahkan memindahkan kamar mereka ke lantai satu agar Ivy tidak perlu naik turun tangga. Ivy hanya bisa menggelengkan kepala setiap kali Evan bersikap berlebihan. Pria yang dulunya dingin dan cuek, kini berubah cerewet setelah ia hamil.Evan tak akan tinggal diam saat Ivy membeli makanan lewat online tanpa izin. Seperti yang terjadi hari ini. Tanpa sepengetahuan pria itu, Ivy membeli seblak lewat online. Ia sudah memberita
Ivy kembali ke rumah hampir pukul dua belas malam. Langkahnya terasa berat saat memasuki kamar. Tubuh dan hatinya sama-sama letih setelah beberapa hari terakhir diwarnai situasi yang melelahkan.Sekilas, pandangannya tertuju pada Evan yang sudah lebih dulu merebahkan diri di kasur. Pria itu bahkan tidak sempat berganti pakaian, dan hanya menjatuhkan tubuhnya begitu saja.“Kamu nggak ganti baju dulu?” tanya Ivy dengan suara pelan, seolah takut mengganggu.Evan hanya menggeleng tanpa membuka mata. Napasnya berat, dan dari raut wajahnya jelas terlihat betapa lelahnya pria itu.Ivy menatapnya lebih lama. Sejak mereka pulang dari hotel, suaminya memang jarang berbicara. Hatinya ingin bertanya lebih jauh, tapi akalnya menahan. Ia tahu Evan sedang tidak ingin diganggu.Dengan langkah pelan, Ivy masuk ke kamar mandi. Ia membasuh wajahnya, berharap air dingin bisa menghapus sedikit rasa penat. Setelah selesai, ia mematikan lampu kamar lalu naik ke atas ranjang. Ia juga hingga menutupi tubuhnya
"Apa yang sedang kalian lakukan sebenarnya?! Apakah kalian sudah bersekongkol untuk mengelabui saya?!" tanya Adelia sambil berteriak. Ia kini tak peduli lagi dengan tatapan para tamu yang sedang memperhatikan mereka."Kami di sini cuma mengungkap siapa ayah kandung Eliza sebenarnya," ucap Ivy tenang. Ia tidak gentar sedikit pun karena sudah muak dengan Adelia yang memanfaatkan anaknya demi keuntungannya sendiri."Ayah kandungnya adalah Evan! Kamu yang bilang sendiri kalau kamu percaya itu!" bentak Adelia. Ivy tersenyum miring. "Tapi di kertas ini tertulis jelas siapa ayah kandungnya kan? Laporan Tes DNA yang kamu berikan itu palsu!" balasnya."Dan ditambah lagi, selama kamu pacaran sama Mas Evan, kalian tidak pernah berhubungan intim kan?!" Adelia ternganga dengan perkataan Ivy. Ia tidak menyangka diam-diam Ivy melawannya semulus itu."Kamu itu masih polos. Dia itu bohongin kamu! Yang benar itu saya!" balas Adelia. Ia bahkan merobek kertas yang tadi ia pegang."Kayaknya kamu butuh p