Share

Makan malam berdua

Penulis: Simplyree
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-09 15:48:30

Untuk kedua kalinya, Ivy dibuat terkagum-kagum oleh Evan yang kembali mengajaknya pergi ke suatu tempat istimewa.

Kini Ivy berdiri di depan sebuah rumah khas Jawa, rumah djoglo yang tampak begitu autentik dan menawan.

Sesuai dengan namanya, ‘Djoglo Terapung HMY’, bangunan tersebut tampak seperti mengapung di atas air karena tepat di bawah tangga rumah djoglo itu terbentang sebuah kolam ikan yang luas, memantulkan bayangan bangunan di permukaannya yang tenang.

Konsep djoglo ini dibuat semi-outdoor, dengan jendela dan pintu kayu yang dibiarkan setengah terbuka. Udara segar pun bebas masuk, membuat siapa pun yang berkunjung bisa merasakan kesejukan alami sambil menikmati keindahan arsitektur tradisional. Untuk masuk ke dalam djoglo, harus menaiki tangga yang juga terbuat dari kayu.

"Selamat datang di Djoglo Terapung, silahkan mau duduk di sebelah mana kak?" sapa salah satu karyawan yang berdiri tepat di sebelah pintu masuk.

"Di sebelah sana aja," jawab Evan sambil menunjuk salah satu meja yang berada di pojok.

Evan menggandeng tangan Ivy sambil berjalan menuju meja yang dimaksud. Meja tersebut berbentuk bulat yang terbuat dari kayu jati asli memberikan kesan elegan dan mewah.

Baru saja mereka duduk, Ivy dikejutkan oleh seorang pria berseragam putih yang datang mantap menuju mejanya.

“Permisi, saya Chef Agustin, Executive Chef di restoran ini. Silahkan mau pesan apa untuk santapan malam ini? Menu andalan kami ada rawon dan garang asem, dan untuk minumannya kami ada teh bunga telang dan soda gembira, ” ujarnya ramah.

Evan mengangguk mantap, "Saya pesan satu porsi rawon dan teh bunga telang. Kamu mau pesan apa?" tanyanya sambil menatap Ivy.

Ivy tersenyum kaku sambil berkata, "Disamakan aja."

“Baik, langsung saya siapkan,” jawab Chef Agustin lalu tersenyum ramah sebelum kembali ke dapur.

Ivy menatap Evan, alisnya terangkat. “Baru kali ini lihat chef langsung memperkenalkan diri ke pelanggan.”

"Saya sih udah biasa," balas Evan cuek.

"Hah? Masa si?" tanya Ivy terkejut.

Mungkin karena ia jarang pergi ke restoran mewah jadi ia tidak terbiasa dengan hal tersebut.

Tak lama setelah mereka memesan, pelayan datang membawa pesanan mereka.

Evan segera menyantap hidangan yang datang tanpa memedulikan pertanyaan Ivy. Menyadari bahwa tak ada jawaban yang akan datang, Ivy pun memilih untuk menyantap seporsi rawon hangat yang kuahnya masih mengepul.

Di tengah-tengah menyantap makanannya, Ivy mencuri-curi pandangnya kepada Evan. Ia ingin menanyakan sesuatu namun takut Evan tersinggung.

Suara denting sendok di piring bergema pelan, mempertegas kecanggungan yang terjadi di antara mereka.

"Kenapa?" tanya Evan yang menyadari Ivy terus menatap dirinya.

"Apanya yang kenapa?" balas Ivy.

"Kenapa dari tadi liatin terus?" ulang Evan.

"Siapa yang liatin? Dari tadi saya lagi makan ini," jawab Ivy sambil mengangkat sendok berisi rawon.

Sedetik kemudian, Ivy dibuat melotot saat Evan menggenggam tangan kirinya.

"Eh, lagi ngapain?!" tanya Ivy, suaranya tercekat antara kaget dan kesal.

"Ngukur," jawab Evan santai.

"Hah?!" Ivy mempertahankan pandangannya pada tangan sebelah kirinya dengan mata membulat. Ia berusaha untuk melepaskan tangannya dari genggaman Evan namun tangan Evan terlalu kuat.

Tanpa menjawab lagi, Evan mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan beberapa foto. "Mau pilih yang mana?" tanyanya datar, seolah tidak memedulikan kesulitan Ivy yang ingin melepaskan genggaman tangan mereka.

"Ini apa?" tanya Ivy begitu melihat foto yang Evan tunjukan. Suara dan gerak tangan Ivy yang berusaha untuk melepaskan genggaman tangan Evan seketika terhenti, saat ia menunduk untuk melihat foto-foto di ponsel Evan.

"Cincin nikah, cepet pilih yang mana?"

Untuk kedua kalinya Ivy dibuat bingung dengan pilihan yang dibuat Evan.

Begitu banyak pilihan cincin yang Evan tunjukkan, namun perhatian Ivy tertuju pada sebuah model minimalis dengan satu berlian kecil di tengah, tercantum keterangan di bawahnya: SIMPLE ROSE GOLD.

"Saya pilih yang ini," ucap Ivy sambil menunjuk gambar yang dimaksud.

"Oke," kata Evan sambil mengambil kembali ponselnya dan melepas tangan Ivy dari genggamannya.

Ivy menarik napas panjang lalu menunduk kembali untuk menyelesaikan suapan rawonnya, rasa hangat kuahnya seolah menenangkan kegugupan yang baru saja ia rasakan.

Setelah menyantap hidangan, Ivy memberanikan diri untuk bertanya pertanyaan yang begitu mengganggu pikirannya.

"Saya mau nanya boleh?" tanya Ivy dengan suara pelan.

Evan menoleh lalu mengangkat alis, "Mau nanya apa?"

Ivy yang ditatap seperti itu merasa salah tingkah dan menjadi sedikit gugup, "Eee, tapi jangan tersinggung ya, saya cuma penasaran."

"Iya, mau nanya apa?" tanya Evan sedikit tidak sabar.

"Emm, kamu kerjanya apa? Kita kan mau menikah sebentar lagi, tapi saya belum tahu pekerjaan kamu," ucap Ivy berhati-hati agar Evan tidak tersinggung.

Ia tahu Evan berasal dari keluarga berada, namun ia perlu tahu pekerjaannya secara spesifik.

"Nanti setelah menikah kamu juga tahu," jawab Evan santai.

"Kenapa ga sekarang aja? Saya perlu tahu sekarang," ujar Ivy lebih tegas, menatap Evan dengan rasa keingintahuan.

"Buat apa? yang jelas saya berpenghasilan, bukan pengangguran. Dan setelah kita menikah, kamu ga akan pernah merasa kekurangan," ucap Evan sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.

Ivy yang mendengarnya ternganga, bukan karena terkesima namun tidak habis pikir dengan Evan yang bersikap terlalu misterius.

"Ga perlu terlalu dipikir, udah selesai kan makannya? Kita harus pergi sekarang," ucap Evan sambil beranjak dari kursi. Meninggalkan Ivy yang masih terdiam di tempat duduknya.

Ivy mengikuti langkah Evan yang sudah lebih dulu berdiri di depan meja kasir. Ia berdiri di belakang sang pria, menatap rambut Evan yang tertimpa angin sepoi-sepoi.

"Ini kartunya," kata Evan sambil memberikan kartu kreditnya kepada kasir.

"Ini untuk notanya ya kak, Terima kasih." ucap karyawan kasir ramah sambil mengembalikan kartu Evan beserta struk pembayaran.

Evan tersenyum singkat lalu menoleh ke Ivy. “Ayo,” ajaknya lembut sambil meraih tangan Ivy, menggandengnya lalu menuruni tangga kayu rumah joglo menuju halaman parkir yang diterangi lampu taman.

Evan kemudian membukakan pintu mobil untuk Ivy. Setelah keduanya masuk ke dalam mobil dan pintu tertutup rapat, Evan menyalakan mesin dan mobil pun perlahan menjauh meninggalkan restoran.

Di dalam mobil tidak ada yang berani memulai percakapan lebih dulu, hanya lantunan lagu dari Billie Eilish yang terdengar.

Ivy menurunkan kaca jendela, membiarkan hembusan angin malam menyejukkan pipinya. Ia menutup mata sejenak, menerima kenyataan bahwa pernikahan mereka akan tiba dalam beberapa hari.

Tak lama, mereka sampai di depan rumah Ivy. "Ayo turun," seru Evan begitu mobil berhenti di depan rumah Ivy.

"Ooh iya." Ivy lalu melepas sabuk pengaman dan membuka pintu mobil. Evan juga turun dari mobil dan mengeluarkan gaun yang tadi Ivy beli. "Ini," ucapnya sambil memberikan tote bag berisi gaun.

Ivy menerimanya sambil mengangguk dan berkata, "Makasih." Lalu ia berjalan memasuki rumahnya meninggalkan Evan sendiri.

"Tunggu," seru Evan yang membuat Ivy menoleh ke arahnya.

"Kenapa?" tanya Ivy penasaran, alisnya sedikit terangkat.

Evan berjalan mendekati Ivy dengan langkah tegap. Ivy menatap Evan dengan campuran bingung dan gugup. Dirinya semakin gugup ketika mengetahui jarak mereka kini tinggal sejengkal. Tanpa diduga, Evan mengangkat tangannya dan mendekatkannya ke wajah Ivy.

Jantung Ivy langsung berdegup kencang. Ia berpikir Evan akan menciumnya. Wajahnya memerah, tubuhnya menegang, dan pandangannya menjadi tak fokus.

Namun, alih-alih mencium, Evan hanya menepuk lembut kerudung Ivy dan berkata, "Ada debu."

Ivy langsung salah tingkah. Wajahnya makin merah padam, dan ia buru-buru menunduk, merasa malu sendiri karena sudah salah sangka.

Evan mengerutkan keningnya, keheranan dengan sikap Ivy. Ia kemudian berkata, "Untuk beberapa hari ke depan kita ga akan ketemu lagi, jadi tolong jaga diri baik-baik untuk pernikahan kita."

Setelah mengatakan kalimat tersebut, tanpa menunggu balasan dari Ivy, Evan langsung membalikkan badannya dan masuk ke dalam mobilnya. Mesin mobil menyala lalu mobilnya melaju pergi, meninggalkan Ivy sendiri di ambang gerbang.

Ivy hanya diam sambil melihat mobil Evan yang kian menjauh.

Begitu mobil itu benar-benar menghilang dari pandangan, Ivy buru-buru menutup wajah dengan kedua tangan, seolah ingin menghapus ingatan yang baru saja terjadi. Pipinya terasa panas, jantungnya masih berdebar tak karuan.

Ia benar-benar tak percaya dirinya bisa berpikir sejauh itu dan menyangka bahwa Evan akan menciumnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Permintaan maaf

    Selang beberapa menit, karyawan yang tadi mengambil gaun kembali dengan seorang pria berjas hitam. Keduanya berjalan mendekati Evan dan Ivy. “Selamat siang Pak Evan, saya mohon maaf atas kekacauan yang terjadi. Karyawan ini masih baru jadi masih ada beberapa hal yang belum dipahami. Saya janji hal seperti ini tidak akan terjadi lagi,” ucap pria yang baru datang tersebut secara tiba-tiba. Sepertinya Evan pun mengenali pria yang baru saja datang. Evan menatap pria itu dengan malas. “Masih karyawan baru tapi udah berani ngerendahin pelanggan kayak gitu? Apa anda sebagai manajer tidak mengajari mereka tentang tata krama sebelum mereka terjun ke lapangan? Apa susahnya mereka menuruti permintaan istri saya untuk mencarikan gaun sesuai ukuran yang diminta? Lagian istri saya juga mintanya pakai bahasa yang baik dan sopan!” Untuk pertama kalinya Ivy mendengar Evan berbicara menggunakan kalimat yang begitu panjang. Dan itu karena untuk membelanya? Ivy benar-benar tersentuh. “Sekali lagi

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Insiden memalukan

    Tempat yang Ivy datangi selanjutnya adalah mall besar yang berada di pusat kota.Setelah memarkirkan mobilnya di parkiran basement, Ivy tidak langsung keluar dari mobil. Di dalam mobil ia mengamati sekeliling lebih dulu. Karena setelah memasuki area mall, Ivy baru ingat kalau mall yang ia datangi saat ini adalah mall yang dinaungi oleh perusahaan Evan. “Duh jadi belanja di sini atau ngga ya? Atau aku belanja ke mall lain aja?” gumam Ivy menimbang-nimbang pilihan yang tepat. Setelah beberapa menit berpikir, Ivy memutuskan untuk tetap belanja di sini. Karena jika ia pergi ke mall lain, kemungkinan ia akan menghabiskan banyak waktu di jalan. Akhirnya Ivy pun segera turun dari mobil. Tak lupa sebelum turun ia memakai masker, selain agar wajahnya yang baru saja perawatan tidak terkena kotoran, ia juga tidak ingin ada karyawan yang menyadari kalau ia adalah istri Evan. Begitu masuk ke dalam mall, Ivy langsung naik ke lantai dua menuju tempat pakaian wanita berada. Ingin membeli gaun

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Menikmati uang suami

    “Selamat datang kak, saya terapis untuk perawatan kakak. Silahkan berganti pakaian ya kak, bajunya bisa disimpan di keranjang ini,” ucapnya ramah sambil menunjuk ke arah gantungan yang di mana selembar kain besar berwarna putih tergantung rapi.Tubuh Ivy menegang seketika mendengar perintah tersebut. “Bajunya dilepas kak?” “Iya kak, tenang aja. Selagi kakak ganti baju, nanti saya tunggu di luar dan tentunya privasi kakak terjamin aman,” jelas sang terapis kemudian berjalan keluar.Ivy pun mengangguk walaupun ia merasa malu jika harus berganti pakaian di sini. Namun karena tidak ada pilihan lain, dengan terpaksa Ivy menuruti perintah tersebut. Ia pun melepaskan pakaiannya, lalu membalut tubuhnya dengan kain spa yang sudah disediakan.“Silahkan berbaring terngkurap ya kak, nanti saya mulai dari punggung,” ucap sang terapis dengan lembut.Ivy pun mengangguk dan menuruti perintah tersebut. Ia berbaring di atas ranjang putih yang terasa begitu lembut dan hangat. Sangat nyaman sekali hing

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Sang pemberi trauma

    “Ivy? Kamu ngapain disini?” tanya Naufal terlihat kaget begitu melihat pelanggan yang berada di depannya adalah sosok perempuan yang sudah lama tidak ia temui.Ivy hanya menatap wajah Naufal, tubuhnya terasa kaku. Ingatan tentang perlakuan buruk Naufal kepadanya tiba-tiba berputar di kepalanya.“Kak?” “Kak?” panggil karyawan melihat Ivy hanya terdiam. “Eh iya?” jawab Ivy dengan gugup. Ia berusaha menormalkan mimik wajahnya agar terlihat biasa saja di depan Naufal.“Jadi… jadi kamu manager di toko ini?” tanya Ivy.“Iya,” jawab Naufal singkat. Pria itu menatap Ivy dengan tatapan datar. Entah apa yang sedang ia pikirkan, Ivy pun tak tahu. Namun yang pasti Ivy ingin segera pergi dari sini. Ia begitu takut berhadapan dengan pria yang menurutnya sangat menyeramkan. “Kalau… kalau pesanan aku jadi malam ini bisa?” tanya Ivy.Sebelum Naufal menjawab pertanyaan Ivy, pria itu memberi isyarat kepada karyawan di sebelahnya untuk meninggalkan mereka berdua.“Kenapa? Semua pesanan di proses sesua

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Penawaran yang menarik

    Setelah perjalanan kurang lebih selama lima belas menit, mobil Ivy akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan kecil yang berada di sudut jalan. Bagian depan bangunan itu ditutupi oleh kaca, sehingga setiap orang yang lewat bisa mengetahui aktivitas di dalamnya. Dari situ juga Ivy tahu, walaupun bangunan tersebut tampak kecil, namun banyak pengunjung yang datang. Di bagian atas pintu, terdapat tulisan yang terbuat dari ukiran kayu: Kilas Kenangan. Ivy membuka pintu itu secara perlahan. Bunyi lonceng langsung menyambutnya. Beberapa orang yang berada di dalam toko langsung menatap ke arahnya sebentar, kemudian kembali fokus kepada benda di depan mereka. Ivy berkeliling untuk mengamati satu per satu cangkir-cangkir putih yang berada di etalase kaca. Sebagai orang yang menyukai seni, ia tersenyum senang melihat desain cangkir yang begitu unik dan cantik. Ivy mengedarkan pandangannya ke sekeliling toko, lalu pandangannya berhenti ke arah seorang perempuan muda yang memakai seragam berwa

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Sebuah kebanggan

    Ivy keluar dari kamar menggunakan kardigan berwarna biru muda dan celana kulot dengan warna senada. Tak lupa ia membawa tas kecil favoritnya. Di ruang tamu ia melihat Evan yang sedang mengetik sesuatu di laptop. Ivy tidak berniat untuk meminta izin sebelum pergi, oleh karena itu ia melewati pria itu begitu saja. "Mau kemana?" Suara berat itu menghentikan langkah Ivy. Ia menoleh ke arah Evan, pria itu ternyata tetap memandang laptopnya. "Pergi," jawab Ivy singkat. "Kemana?" tanya Evan. Ivy diam sejenak, ia bingung apakah harus jujur atau tidak. Hingga akhirnya yang keluar dari mulutnya malah hal lain. "Kamu ngga perlu tahu!" jawab Ivy. Entah kenapa ia merasa malu kalau Evan tahu dirinya akan pergi perawatan wajah. "Saya ini masih suami kamu, saya berhak tahu kemana kamu pergi!" seru Evan dengan nada yang naik satu oktaf. "Kamu bisa ngga sih biasa aja bilangnya ngga usah bentak-bentak?" tanya Ivy dengan nada tak suka. Ia menatap Evan dengan sengit. "Perasaan saya ngga bentak-be

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status