Untuk kedua kalinya, Ivy dibuat terkagum-kagum oleh Evan yang kembali mengajaknya pergi ke suatu tempat istimewa.
Kini Ivy berdiri di depan sebuah rumah khas Jawa, rumah djoglo yang tampak begitu autentik dan menawan. Sesuai dengan namanya, ‘Djoglo Terapung HMY’, bangunan tersebut tampak seperti mengapung di atas air karena tepat di bawah tangga rumah djoglo itu terbentang sebuah kolam ikan yang luas, memantulkan bayangan bangunan di permukaannya yang tenang. Konsep djoglo ini dibuat semi-outdoor, dengan jendela dan pintu kayu yang dibiarkan setengah terbuka. Udara segar pun bebas masuk, membuat siapa pun yang berkunjung bisa merasakan kesejukan alami sambil menikmati keindahan arsitektur tradisional. Untuk masuk ke dalam djoglo, harus menaiki tangga yang juga terbuat dari kayu. "Selamat datang di Djoglo Terapung, silahkan mau duduk di sebelah mana kak?" sapa salah satu karyawan yang berdiri tepat di sebelah pintu masuk. "Di sebelah sana aja," jawab Evan sambil menunjuk salah satu meja yang berada di pojok. Evan menggandeng tangan Ivy sambil berjalan menuju meja yang dimaksud. Meja tersebut berbentuk bulat yang terbuat dari kayu jati asli memberikan kesan elegan dan mewah. Baru saja mereka duduk, Ivy dikejutkan oleh seorang pria berseragam putih yang datang mantap menuju mejanya. “Permisi, saya Chef Agustin, Executive Chef di restoran ini. Silahkan mau pesan apa untuk santapan malam ini? Menu andalan kami ada rawon dan garang asem, dan untuk minumannya kami ada teh bunga telang dan soda gembira, ” ujarnya ramah. Evan mengangguk mantap, "Saya pesan satu porsi rawon dan teh bunga telang. Kamu mau pesan apa?" tanyanya sambil menatap Ivy. Ivy tersenyum kaku sambil berkata, "Disamakan aja." “Baik, langsung saya siapkan,” jawab Chef Agustin lalu tersenyum ramah sebelum kembali ke dapur. Ivy menatap Evan, alisnya terangkat. “Baru kali ini lihat chef langsung memperkenalkan diri ke pelanggan.” "Saya sih udah biasa," balas Evan cuek. "Hah? Masa si?" tanya Ivy terkejut. Mungkin karena ia jarang pergi ke restoran mewah jadi ia tidak terbiasa dengan hal tersebut. Tak lama setelah mereka memesan, pelayan datang membawa pesanan mereka. Evan segera menyantap hidangan yang datang tanpa memedulikan pertanyaan Ivy. Menyadari bahwa tak ada jawaban yang akan datang, Ivy pun memilih untuk menyantap seporsi rawon hangat yang kuahnya masih mengepul. Di tengah-tengah menyantap makanannya, Ivy mencuri-curi pandangnya kepada Evan. Ia ingin menanyakan sesuatu namun takut Evan tersinggung. Suara denting sendok di piring bergema pelan, mempertegas kecanggungan yang terjadi di antara mereka. "Kenapa?" tanya Evan yang menyadari Ivy terus menatap dirinya. "Apanya yang kenapa?" balas Ivy. "Kenapa dari tadi liatin terus?" ulang Evan. "Siapa yang liatin? Dari tadi saya lagi makan ini," jawab Ivy sambil mengangkat sendok berisi rawon. Sedetik kemudian, Ivy dibuat melotot saat Evan menggenggam tangan kirinya. "Eh, lagi ngapain?!" tanya Ivy, suaranya tercekat antara kaget dan kesal. "Ngukur," jawab Evan santai. "Hah?!" Ivy mempertahankan pandangannya pada tangan sebelah kirinya dengan mata membulat. Ia berusaha untuk melepaskan tangannya dari genggaman Evan namun tangan Evan terlalu kuat. Tanpa menjawab lagi, Evan mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan beberapa foto. "Mau pilih yang mana?" tanyanya datar, seolah tidak memedulikan kesulitan Ivy yang ingin melepaskan genggaman tangan mereka. "Ini apa?" tanya Ivy begitu melihat foto yang Evan tunjukan. Suara dan gerak tangan Ivy yang berusaha untuk melepaskan genggaman tangan Evan seketika terhenti, saat ia menunduk untuk melihat foto-foto di ponsel Evan. "Cincin nikah, cepet pilih yang mana?" Untuk kedua kalinya Ivy dibuat bingung dengan pilihan yang dibuat Evan. Begitu banyak pilihan cincin yang Evan tunjukkan, namun perhatian Ivy tertuju pada sebuah model minimalis dengan satu berlian kecil di tengah, tercantum keterangan di bawahnya: SIMPLE ROSE GOLD. "Saya pilih yang ini," ucap Ivy sambil menunjuk gambar yang dimaksud. "Oke," kata Evan sambil mengambil kembali ponselnya dan melepas tangan Ivy dari genggamannya. Ivy menarik napas panjang lalu menunduk kembali untuk menyelesaikan suapan rawonnya, rasa hangat kuahnya seolah menenangkan kegugupan yang baru saja ia rasakan. Setelah menyantap hidangan, Ivy memberanikan diri untuk bertanya pertanyaan yang begitu mengganggu pikirannya. "Saya mau nanya boleh?" tanya Ivy dengan suara pelan. Evan menoleh lalu mengangkat alis, "Mau nanya apa?" Ivy yang ditatap seperti itu merasa salah tingkah dan menjadi sedikit gugup, "Eee, tapi jangan tersinggung ya, saya cuma penasaran." "Iya, mau nanya apa?" tanya Evan sedikit tidak sabar. "Emm, kamu kerjanya apa? Kita kan mau menikah sebentar lagi, tapi saya belum tahu pekerjaan kamu," ucap Ivy berhati-hati agar Evan tidak tersinggung. Ia tahu Evan berasal dari keluarga berada, namun ia perlu tahu pekerjaannya secara spesifik. "Nanti setelah menikah kamu juga tahu," jawab Evan santai. "Kenapa ga sekarang aja? Saya perlu tahu sekarang," ujar Ivy lebih tegas, menatap Evan dengan rasa keingintahuan. "Buat apa? yang jelas saya berpenghasilan, bukan pengangguran. Dan setelah kita menikah, kamu ga akan pernah merasa kekurangan," ucap Evan sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Ivy yang mendengarnya ternganga, bukan karena terkesima namun tidak habis pikir dengan Evan yang bersikap terlalu misterius. "Ga perlu terlalu dipikir, udah selesai kan makannya? Kita harus pergi sekarang," ucap Evan sambil beranjak dari kursi. Meninggalkan Ivy yang masih terdiam di tempat duduknya. Ivy mengikuti langkah Evan yang sudah lebih dulu berdiri di depan meja kasir. Ia berdiri di belakang sang pria, menatap rambut Evan yang tertimpa angin sepoi-sepoi. "Ini kartunya," kata Evan sambil memberikan kartu kreditnya kepada kasir. "Ini untuk notanya ya kak, Terima kasih." ucap karyawan kasir ramah sambil mengembalikan kartu Evan beserta struk pembayaran. Evan tersenyum singkat lalu menoleh ke Ivy. “Ayo,” ajaknya lembut sambil meraih tangan Ivy, menggandengnya lalu menuruni tangga kayu rumah joglo menuju halaman parkir yang diterangi lampu taman. Evan kemudian membukakan pintu mobil untuk Ivy. Setelah keduanya masuk ke dalam mobil dan pintu tertutup rapat, Evan menyalakan mesin dan mobil pun perlahan menjauh meninggalkan restoran. Di dalam mobil tidak ada yang berani memulai percakapan lebih dulu, hanya lantunan lagu dari Billie Eilish yang terdengar. Ivy menurunkan kaca jendela, membiarkan hembusan angin malam menyejukkan pipinya. Ia menutup mata sejenak, menerima kenyataan bahwa pernikahan mereka akan tiba dalam beberapa hari. Tak lama, mereka sampai di depan rumah Ivy. "Ayo turun," seru Evan begitu mobil berhenti di depan rumah Ivy. "Ooh iya." Ivy lalu melepas sabuk pengaman dan membuka pintu mobil. Evan juga turun dari mobil dan mengeluarkan gaun yang tadi Ivy beli. "Ini," ucapnya sambil memberikan tote bag berisi gaun. Ivy menerimanya sambil mengangguk dan berkata, "Makasih." Lalu ia berjalan memasuki rumahnya meninggalkan Evan sendiri. "Tunggu," seru Evan yang membuat Ivy menoleh ke arahnya. "Kenapa?" tanya Ivy penasaran, alisnya sedikit terangkat. Evan berjalan mendekati Ivy dengan langkah tegap. Ivy menatap Evan dengan campuran bingung dan gugup. Dirinya semakin gugup ketika mengetahui jarak mereka kini tinggal sejengkal. Tanpa diduga, Evan mengangkat tangannya dan mendekatkannya ke wajah Ivy. Jantung Ivy langsung berdegup kencang. Ia berpikir Evan akan menciumnya. Wajahnya memerah, tubuhnya menegang, dan pandangannya menjadi tak fokus. Namun, alih-alih mencium, Evan hanya menepuk lembut kerudung Ivy dan berkata, "Ada debu." Ivy langsung salah tingkah. Wajahnya makin merah padam, dan ia buru-buru menunduk, merasa malu sendiri karena sudah salah sangka. Evan mengerutkan keningnya, keheranan dengan sikap Ivy. Ia kemudian berkata, "Untuk beberapa hari ke depan kita ga akan ketemu lagi, jadi tolong jaga diri baik-baik untuk pernikahan kita." Setelah mengatakan kalimat tersebut, tanpa menunggu balasan dari Ivy, Evan langsung membalikkan badannya dan masuk ke dalam mobilnya. Mesin mobil menyala lalu mobilnya melaju pergi, meninggalkan Ivy sendiri di ambang gerbang. Ivy hanya diam sambil melihat mobil Evan yang kian menjauh. Begitu mobil itu benar-benar menghilang dari pandangan, Ivy buru-buru menutup wajah dengan kedua tangan, seolah ingin menghapus ingatan yang baru saja terjadi. Pipinya terasa panas, jantungnya masih berdebar tak karuan. Ia benar-benar tak percaya dirinya bisa berpikir sejauh itu dan menyangka bahwa Evan akan menciumnya.Untuk kedua kalinya, Ivy dibuat terkagum-kagum oleh Evan yang kembali mengajaknya pergi ke suatu tempat istimewa. Kini Ivy berdiri di depan sebuah rumah khas Jawa, rumah djoglo yang tampak begitu autentik dan menawan. Sesuai dengan namanya, ‘Djoglo Terapung HMY’, bangunan tersebut tampak seperti mengapung di atas air karena tepat di bawah tangga rumah djoglo itu terbentang sebuah kolam ikan yang luas, memantulkan bayangan bangunan di permukaannya yang tenang. Konsep djoglo ini dibuat semi-outdoor, dengan jendela dan pintu kayu yang dibiarkan setengah terbuka. Udara segar pun bebas masuk, membuat siapa pun yang berkunjung bisa merasakan kesejukan alami sambil menikmati keindahan arsitektur tradisional. Untuk masuk ke dalam djoglo, harus menaiki tangga yang juga terbuat dari kayu. "Selamat datang di Djoglo Terapung, silahkan mau duduk di sebelah mana kak?" sapa salah satu karyawan yang berdiri tepat di sebelah pintu masuk. "Di sebelah sana aja," jawab Evan sambil menunjuk salah sat
Setelah menempuh perjalanan sekitar setengah jam, mobil Evan pun berhenti di depan sebuah bangunan berdesain elegan nan menawan. Di atas pintu kaca berbingkai hitam, terpampang tulisan ‘Harmony Boutique’ dengan huruf kaligrafi keemasan, sementara lampu gantung kristal di terasnya memantulkan cahaya hangat yang menyambut setiap pengunjung.Evan segera melangkah keluar dari mobil dan memasuki butik tanpa menunggu Ivy. Sementara itu, Ivy tersenyum masam sambil menggenggam tas kecilnya dan berusaha menjaga keseimbangan di atas sepatu hak tinggi, sesuatu yang sama sekali tak biasa baginya. “Apa susahnya sih jalan bareng? Aish!” protes Ivy pelan.Ivy melangkah masuk ke dalam butik yang seketika memikat pandangannya. Lantai marmer putih berkilau terhampar luas, dipadu lantunan musik klasik lembut yang mengalun bak alunan mimpi membuat ia semakin terkagum-kagum. Lampu kristal menggantung di langit-langit tinggi, memantulkan cahaya hangat ke setiap sudut ruangan sehingga gaun-gaun pernikaha
Esok paginya, Ivy pergi ke toko aksesorisnya. Meskipun ia memiliki karyawan, ia tetap rutin mengecek kondisi toko. Sejak masuk kuliah, ia memang sudah bercita-cita membangun bisnis aksesoris. Ia menabung dari hasil kerja paruh waktu, hingga setelah lulus, ia mampu membuka tokonya sendiri. Ivy berkali-kali mengecek ponselnya, berharap ada pesan atau telepon dari Vania, namun hasilnya nihil. Ia semakin khawatir, takut terjadi sesuatu pada Vania, sehingga ia memutuskan untuk mengunjungi rumah sahabatnya itu sepulang dari toko. “Saya pulang dulu ya. Kalau ada masalah, telepon aja,” ucapnya pada salah satu karyawan. Vania adalah temannya sejak SMA. Ia selalu membalas pesannya sehingga Ivy sangat cemas ketika pesan-pesannya diabaikan. Dua puluh menit kemudian, Ivy tiba di depan rumah Vania, sebuah bangunan bergaya klasik-modern khas Jawa, lengkap dengan pohon mangga di halaman depan. Saat memasuki pelataran, ia disambut oleh seorang wanita paruh baya yang sangat dikenalnya, Bi Inem,
Ivy menerobos masuk dan melewati Evan begitu saja. Ia mencari tas dan barang-barangnya di atas sofa. Benar saja, di dalam tasnya ada kartu yang digunakan untuk membuka pintu kamarnya. Setelah itu, Ivy langsung keluar dari kamar tanpa sedetik pun menatap wajah Evan. “Jadi ini cara kamu bersikap ke calon suamimu?” suara Evan tiba-tiba memecah kesunyian. Ivy yang mendengarnya langsung berhenti. “Kapan mau ketemu orang tua saya? Biar saya bisa suruh mereka siap-siap,” tanya Ivy lirih. “Nanti jam tiga sore,” jawab Evan datar. Setelah mendengar jawaban tersebut, Ivy langsung pergi menuju kamarnya. Evan yang melihatnya hanya mengangkat sebelah alisnya dengan wajah datar seolah tak peduli dan kembali masuk ke kamar. Ivy langsung merebahkan dirinya di kasur begitu masuk ke kamar. Ia begitu lelah menjalani hari ini. Tak lupa ia mengirim pesan ke ibunya untuk datang ke rumahnya sebelum jam tiga sore dan menyuruhnya menyiapkan cemilan. Usai mengirimkan pesan, Ivy memejamkan matanya.
“Tapi kenapa?” tanya Erwin. “Saya nggak terlalu suka keramaian, apalagi pesta yang terlalu mewah, om. Menurut saya, yang terpenting dalam pernikahan adalah sahnya akad, kan?” jawab Ivy. Ivy mengajukan syarat ini bukan untuk memberatkan, melainkan karena ia ingin pernikahannya nanti berlangsung private, terlepas dengan siapa pun ia menikah. “Tapi Evan kan anak tunggal kami, Nak Ivy. Keluarga besar pun ingin merayakan pernikahannya secara besar-besaran,” terang Ela. “Benar. Belum lagi rekan bisnis kami yang pastinya ingin hadir menyaksikan pernikahan kalian secara langsung,” timpal Erwin. Ivy semakin terpojok. Sebelum ia sempat membalas, Evan menyela, “Kalau dia maunya private, ya sudah kita turuti. Lagipula yang menikah kan kami berdua, jadi kalian nggak perlu ikut campur.” Ela dan Erwin terdiam, saling bertukar pandang. Jika Evan sudah angkat bicara, keputusannya tak bisa diganggu gugat. Ivy hanya tersenyum kaku mendengar itu. Setelah perdebatan kecil tersebut, mereka memesan sa
Menikah? Terlebih lagi dengan orang yang baru ia kenal? Benar-benar tidak pernah ada dalam bayangan Ivy. Selama ini ia hanya fokus membangun bisnis agar bisa mandiri. Ia bahkan tak pernah terpikir akan menikah dalam waktu dekat, karena trauma masa kecil yang masih membekas. “Maaf, pak, bu, tapi ini nggak masuk akal. Gimana mungkin saya menikah dengan orang yang sama sekali nggak saya kenal?” “Kalau kamu nggak kenal anak kami, kenapa kamu bisa satu kamar dengannya?” tanya Ela, “Atau jangan-jangan kamu memang terbiasa melayani pria, dan anak saya menyewa kamu?” serang Ela. Ivy ternganga. Sekarang ia dituduh bekerja sebagai penghibur. Jelas ia merasa direndahkan. “Saya nggak serendah itu sampai bekerja sebagai penghibur, Tante. Saya juga berasal dari keluarga baik-baik,” tegas Ivy. Ia dengan kesal melirik Evan di sampingnya. Evan hanya diam, tak membela sama sekali. Tapi ia menatap balik Ivy. “Sepertinya kita perlu bicara berdua,” ajak Evan. Setelah mendapat izin kedua orang tua,
Pagi merayap pelan saat suara keras membangunkan Ivy. Ia terbangun dengan kepala yang masih terasa sakit. Tangannya berusaha mencari sumber suara yang sepertinya berasal dari alarm ponselnya, namun tanpa diduga ia mendapati ada beban hangat di atas tubuhnya. “Apa?” Ivy mendelik, jantungnya berdetak kencang saat sadar ada seorang pria yang menindihnya. Sontak ia mendorong pria tersebut hingga terguling jatuh ke samping. Seorang pria berkulit sawo matang, rambutnya kusut, napasnya terlihat berat. Pria itu terbangun perlahan, matanya yang merah pekat menyapu ruangan. “Uh, kamu siapa?” tanyanya dengan suara serak. "Saya yang harusnya bertanya, kamu siapa?" Ivy balik bertanya dengan panik. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana ia bisa tidur seranjang dengan pria yang tidak ia kenal. Ivy memilih untuk buru-buru turun dari ranjang. Namun, ia merasakan sakit luar biasa di inti tubuhnya. Apa yang sudah ia lakukan semalam? Yang membuatnya kaget lagi saat ia sadar bahwa dirinya hanya