Evan dan Ivy berjalan bersama menuju kamar yang telah dipesan orang tua mereka. Saat Evan membuka kunci, ia tertegun melihat kondisi di dalamnya. Ivy, yang berdiri di belakangnya, juga dibuat bingung karena Evan belum segera melangkah masuk dan hanya terpaku di ambang pintu.
“Kenapa enggak masuk ke dalam?” tanya Ivy penasaran dan bingung. “Eh, nggak,” Evan menjawab gugup, suaranya terputus-putus. Akhirnya, Evan melangkah masuk, diikuti Ivy. Seketika, Ivy tertegun melihat pemandangan di dalam kamar. Seprai katun sutra berwarna gading terbentang rapi di atas kasur berkanopi, dihiasi taburan kelopak mawar merah muda yang membentuk inisial “E & I” di tengahnya. Di atas sofa, berbagai kado pernikahan tertata rapi, hadiah dari keluarga mereka. Di sudut lain, lampu-lampu lilin aroma terapi beraroma vanilla dan melati tersusun di atas nampan perak. Setiap detail di kamar ini terasa dipersiapkan khusus untuk mereka. Suasana romantis dan intim menyelimuti tiap sudut, seolah merayakan pernikahan Evan dan Ivy. Evan menggaruk tengkuknya yang tak gatal, sedangkan Ivy melotot memandangi dekorasi—jantungnya berdegup lebih kencang. Rasa canggung pun perlahan menyelimuti mereka. “Mending kamu ganti baju dulu sana, ini biar aku beresin,” ucap Evan sambil menunjuk ke arah koper kecil yang terletak di pojok kamar. “Iya,” jawab Ivy lalu melangkah mendekati koper yang dimaksud. Ada dua buah koper kecil berwarna hitam, Ivy membuka satu koper terlebih dahulu. Setelah membuka koper tersebut, Ivy mengerutkan keningnya karena merasa pakaian di dalamnya bukan miliknya. “Ini kayaknya bukan baju aku deh,” gumam Ivy sambil memilah pakaian tersebut. Ia pun tercengang ketika menyadari bahwa pakaian tersebut adalah lingerie berenda halus dengan berbagai warna. Di bawah tumpukan lingerie terdapat kartu bertuliskan, ‘Jangan lupa puasin suami kamu ya’ dengan tanda hati di ujungnya. Jantung Ivy tiba-tiba berdebar kencang, matanya membelalak antara malu dan bingung. Ia bertanya-tanya siapa yang sudah menyiapkan ini. Ia menengok ke arah Evan yang sedang membersihkan bunga mawar yang berada di atas kasur. Jangan sampai Evan tahu ini, ucap Ivy di hatinya. Ia dengan cepat memasukkan semua lingerie itu ke dalam koper kembali. Ivy membuka satu koper lagi, berharap ini adalah bajunya. Dan untunglah di koper ini terdapat baju miliknya. Setelahnya, Ivy masuk ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Ia menghapus make upnya terlebih dahulu sebelum berganti pakaian. Ivy memerhatikan wajahnya di cermin. Ada kesedihan samar yang masih tertinggal di sorot matanya, pikirannya berkecamuk teringat dengan berbagai kenangan beberapa hari terakhir yang masih melekat erat di benaknya. Pikirannya lalu melayang pada malam ini, saat ia dan Evan akan menghabiskan waktu berdua. Ada rasa gugup yang merambat naik membungkus dadanya. Apa yang harus aku lakukan? Apakah kita bakal ngelakuin itu? Malunya! Bisiknya dalam hati. Ia menggigit bibir bawahnya, malu sendiri pada pikirannya sendiri. Ivy kemudian menarik napas panjang lalu berkata lirih, “Aku pasti bisa.” Setelah selesai berganti pakaian, Ivy keluar dari kamar mandi. Kasur sudah bersih dari hiasan bunga mawar namun ia tidak melihat keberadaan Evan di kamar. “Dia pergi kemana?” Ia bertanya lirih. Rasanya lelah sekali, namun Ivy takut tidur di kasur. Ia pun memilih untuk tidur di sofa karena kantuknya sudah tidak bisa ditahan. *** “Heh bangun, jangan tidur disini.” Rasanya belum lama Ivy tertidur, ketika ia terbangun karena suara yang sepertinya memanggil namanya. Ivy membuka matanya perlahan, terlihatlah Evan yang sedang berdiri di depannya sambil melipat tangannya di dada. “Ngapain tidur di sofa? Sana pindah ke kasur,” perintah Evan tegas. “Disini aja lah,” jawab Ivy dengan suara seraknya. Ia masih belum sepenuhnya sadar. “Cepet pindah atau mau saya gendong?” ancam Evan yang langsung membuat Ivy segera bangkit. Ivy tidak punya pilihan lain dan terpaksa menuruti perkataan Evan. Ia berjalan dengan hati-hati lalu merebahkan dirinya di kasur. Begitupun dengan Evan, ia berjalan menuju kasur dan mematikan lampu kamar lalu merebahkan dirinya. Ivy tidur dengan membelakangi Evan dan sebisa mungkin menjaga jarak darinya. “Ga takut jatuh tidurnya ke pinggir banget?” tanya Evan tiba-tiba. “Engga,” jawab Ivy sekenanya. “Ga usah takut, saya ga bakal nyentuh kamu sebelum kamu siap,” ucap Evan sambil menutup matanya. Ivy hanya diam. Ia kemudian membalikkan badan dan memandangi wajah Evan yang terlihat samar karena rasa kantuknya. Entah kenapa setelah mendengar perkataan Evan, hatinya menjadi lebih tenang. Ia pun menutup matanya dan membiarkan tubuhnya beristirahat setelah menjalani hari yang melelahkan.Setelah sambutan yang menurut Ivy penuh kegugupan, bahkan sempat membuat pipinya memanas karena malu, kini ia disibukkan dengan sesi bertemu para tamu. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Bagi Ivy, setiap orang yang hadir adalah istimewa, dan mereka pantas mendapatkan senyum tulus darinya.“Makasih ya udah datang, ” ucap Ivy ramah sambil menyerahkan novel yang baru saja ia tanda tangani.Tangannya mulai terasa pegal, jemarinya kaku karena terlalu lama memegang pena.Satu per satu tamu berlalu, hingga tersisa seorang terakhir. Ivy menghela napas lega karena sebentar lagi ia bisa beristirahat.“Makasih ya sudah hadir,” ucapnya sambil menyerahkan buku yang sudah bertanda tangan. Ia lalu mendongak untuk menatap wajah sang tamu. Namun detik berikutnya, matanya terbelalak. Nafasnya tercekat.“Va… Vania?!” seru Ivy.Seketika ia berdiri dari kursinya, menatap lekat wajah di hadapannya, takut kalau itu hanya berhalusinasi.“Halo,” sapa Vania sambil tersenyum hangat. Ia terkekeh kecil meliha
“Berarti tadi itu istri kamu?” tanya Ivy dengan nada ragu. Mereka saat ini sedang berbincang di sebuah kafe yang terletak di sebelah rumah sakit. Sebenarnya, awalnya Ivy menolak ajakan ini, namun Naufal terus memaksanya. Sementara itu, wanita hamil yang bersama pria itu sudah pulang lebih dulu.Naufal mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat.Ivy mencoba untuk tersenyum tipis. "Selamat atas pernikahan, dan kehamilan istri kamu," ucapnya lembut. Nada suaranya masih menyimpan keterkejutan."Kamu juga. Selamat atas kehamilannya," balas Naufal sekenanya. "Jadi kamu ngajak aku ke sini mau bilang apa? Aku ngga bisa lama-lama," ucap Ivy sambil melirik ke arah Andre yang berada di luar café. Ia takut pria itu akan melapor ke Evan jika ia terlalu lama.Naufal tampak menghela napas panjang. "Aku cuma mau minta maaf untuk ulahku di masa lalu. Aku tahu aku salah banget. Tapi... aku benar-benar menyesal. Aku harap kamu mau maafin aku," ucapnya terdengar tulus.Ivy menatap pria itu lekat-lekat. M
"Kamu beneran ngga papa pergi ke dokter sendiri?" tanya Evan dengan nada cemas. Pagi ini seharusnya ia mendampingi Ivy melakukan pemeriksaan kandungan, tapi rapat mendadak di kantornya memaksanya berangkat lebih awal."Aku ngga papa kok. Lagian aku kan di temenin Andre, jadi ngga sendirian," jawab Ivy sambil berusaha menenangkan suaminya.Alis Evan berkerut. “Tapi kalau nanti orang-orang ngira Andre itu suami kamu gimana?” Nada suaranya terdengar tak rela.Ivy tak kuasa menahan tawa mendengar kekhawatiran yang menurutnya konyol. “Ya ampun, nggak mungkin lah. Udah, sana berangkat! Ntar kamu malah telat,” usirnya sambil melambaikan tangan ke arah mobil.Dengan berat hati Evan akhirnya menurut. Ia masuk ke dalam mobil, namun sempat menoleh sekali lagi ke arah Ivy. Sebelum menyalakan mesin, ia melambaikan tangan, seolah enggan meninggalkan istrinya sendirian.Ivy membalas lambaian itu dengan senyum lebar yang hangat, membuat rasa waswas Evan sedikit mereda.Ivy masih berdiri di depan ruma
Tiga bulan semenjak jatuh pingsan, perut Ivy sudah tampak membesar. Kini usia kandunganny sudah berjalan empat bulan. Ia mengelus perut itu perlahan. Ia tidak menyangka bisa berada di tahap mengandung lagi setelah sebelumnya sempat kehilangan calon anaknya. Dokter meminta Ivy untuk jangan melakukan aktivitas berat yang membuatnya lelah. Evan yang mendapat pesan seperti itu dari dokter, langsung melakukan segala cara agar kandungan Ivy bisa tetap aman.Ia kini bersikap lebih protektif kepada istrinya. Ia mengatur makanan istrinya dengan sayur dan buah setiap hari. Ia bahkan memindahkan kamar mereka ke lantai satu agar Ivy tidak perlu naik turun tangga. Ivy hanya bisa menggelengkan kepala setiap kali Evan bersikap berlebihan. Pria yang dulunya dingin dan cuek, kini berubah cerewet setelah ia hamil.Evan tak akan tinggal diam saat Ivy membeli makanan lewat online tanpa izin. Seperti yang terjadi hari ini. Tanpa sepengetahuan pria itu, Ivy membeli seblak lewat online. Ia sudah memberita
Ivy kembali ke rumah hampir pukul dua belas malam. Langkahnya terasa berat saat memasuki kamar. Tubuh dan hatinya sama-sama letih setelah beberapa hari terakhir diwarnai situasi yang melelahkan.Sekilas, pandangannya tertuju pada Evan yang sudah lebih dulu merebahkan diri di kasur. Pria itu bahkan tidak sempat berganti pakaian, dan hanya menjatuhkan tubuhnya begitu saja.“Kamu nggak ganti baju dulu?” tanya Ivy dengan suara pelan, seolah takut mengganggu.Evan hanya menggeleng tanpa membuka mata. Napasnya berat, dan dari raut wajahnya jelas terlihat betapa lelahnya pria itu.Ivy menatapnya lebih lama. Sejak mereka pulang dari hotel, suaminya memang jarang berbicara. Hatinya ingin bertanya lebih jauh, tapi akalnya menahan. Ia tahu Evan sedang tidak ingin diganggu.Dengan langkah pelan, Ivy masuk ke kamar mandi. Ia membasuh wajahnya, berharap air dingin bisa menghapus sedikit rasa penat. Setelah selesai, ia mematikan lampu kamar lalu naik ke atas ranjang. Ia juga hingga menutupi tubuhnya
"Apa yang sedang kalian lakukan sebenarnya?! Apakah kalian sudah bersekongkol untuk mengelabui saya?!" tanya Adelia sambil berteriak. Ia kini tak peduli lagi dengan tatapan para tamu yang sedang memperhatikan mereka."Kami di sini cuma mengungkap siapa ayah kandung Eliza sebenarnya," ucap Ivy tenang. Ia tidak gentar sedikit pun karena sudah muak dengan Adelia yang memanfaatkan anaknya demi keuntungannya sendiri."Ayah kandungnya adalah Evan! Kamu yang bilang sendiri kalau kamu percaya itu!" bentak Adelia. Ivy tersenyum miring. "Tapi di kertas ini tertulis jelas siapa ayah kandungnya kan? Laporan Tes DNA yang kamu berikan itu palsu!" balasnya."Dan ditambah lagi, selama kamu pacaran sama Mas Evan, kalian tidak pernah berhubungan intim kan?!" Adelia ternganga dengan perkataan Ivy. Ia tidak menyangka diam-diam Ivy melawannya semulus itu."Kamu itu masih polos. Dia itu bohongin kamu! Yang benar itu saya!" balas Adelia. Ia bahkan merobek kertas yang tadi ia pegang."Kayaknya kamu butuh p