“Saya terima nikah dan kawinnya, Aivylia Wulan Kusuma binti Wulan Kusumadewa, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,”
“Bagaimana para saksi?” “Sah.” Tanpa sadar Ivy menitikkan air matanya. Selain ia sedih karena tiba-tiba harus menikah dengan Evan, ia juga semakin pilu karena ayah kandungnya tidak hadir di hari istimewanya, sebuah kenyataan pahit yang harus ia terima. Ia mencium tangan Evan untuk pertama kali kala Evan mengulurkan tangannya. Setelahnya, Evan mencium keningnya dengan lembut, namun Ivy sama sekali tak menatap Evan, matanya tetap tertunduk, menyembunyikan kesedihan yang bergelayut di hati. Setelah ijab kabul selesai, tinggal sang pengantin meminta doa dari orang tua. Evan meraih tangan Ivy dan mengajaknya untuk berdiri. Ia lalu menuntunnya berjalan mendekati tempat orang tua mereka duduk. Mereka meminta doa terlebih dahulu kepada orang tua Ivy dan setelahnya baru ke orang tua Evan. “Jaga Ivy terus ya nak, semoga kalian bisa menjadi sepasang suami istri yang bisa saling mencintai,” ucap Mira tulus. Baik Ivy maupun Evan hanya mengangguk kala diberikan nasihat. “Sekarang saatnya kita foto bareng,” seru Galih yang tampak bersemangat sambil membawa kamera. Galih dengan dibantu oleh Rio, adiknya, membantu mengatur posisi yang bagus untuk mereka berfoto bersama. Kloter pertama khusus sang pengantin berfoto dengan kedua orang tuanya, setelahnya baru berfoto dengan semua anggota keluarga lain yang hadir. Di luar ekspektasi Ivy, ternyata keluarga Evan yang hadir cukup banyak, sementara dari keluarganya hanya Ibu dan ayah tirinya. “Sekarang giliran pengantin yang foto berdua,” kata Galih sambil menatap Ivy dan Evan. “Setuju, yang lain bisa makan dulu karena makanannya udah siap,” timpal Erwin lalu berjalan ke arah meja makan. Karena acara pernikahan dilakukan pada malam hari, maka anggota keluarga bisa sekaligus makan malam. Setelah semua berpindah ke area meja makan, kini tersisa sang pengantin beserta Galih dan Rio. “Ayo, foto gimana?” tanya Evan kepada Galih. “Bentar,” jawab Galih sambil mengamati kedua pengantin tersebut, tampak berpikir. Beberapa saat kemudian, ia tercetus ide yang cukup menarik. “Gaya pertama, Evan sama Ivy saling berhadapan terus tangan Evan di pinggang Ivy sementara tangan Ivy di pundak Evan,” terang Galih sambil mempraktekkannya pada Rio. Ivy yang mendengarnya pun langsung menolak mentah-mentah, “Ih ga mau lah, malu.” Seketika ia sedikit menjaga jarak dari Evan. “Kenapa malu? Kan udah nikah,” ucap Galih dengan nada sedikit meledek. “Ee, kita foto biasa aja,” Ivy terbata-bata, berusaha mengatur detak jantungnya. Duduk bersebelahan saja sudah membuatnya gemetaran apalagi harus berpose romantis? Ia tidak bisa. Terlebih menurutnya Evan tampak lebih tampan dengan potongan rambut barunya. “Gaya itu udah biasa kok buat foto pengantin,” rayu Galih. Ivy tetap menggelengkan kepalanya. Namun tanpa Ivy duga, secara tiba-tiba Evan berjongkok di hadapannya dan mencium tangannya. “Kayak gini bisa?” tanya Evan kepada Galih dan Rio. “Boleh,“ jawab Galih sumringah lalu bersiap memotret. Setelahnya, Evan tanpa seizin Ivy mengatur posisi fotonya dengan gaya yang lain. Ia menggeser tubuh Ivy sehingga wajah mereka menghadap penuh. Dengan hati-hati, ia menunduk lebih dalam, bibirnya hampir menyentuh bibir Ivy. Hembusan napas hangatnya menyapu lembut sisi wajah Ivy, sementara satu tangan tetap menahan pinggangnya sehingga membuat jantung Ivy berdetak lebih kencang. “Lakuin dengan benar biar cepet selesai,” bisik Evan begitu mendekatkan mulutnya ke telinga Ivy. Ivy terdiam sesaat, hatinya menolak namun pipinya terasa hangat. Ia segera mengerutkan alisnya, menahan malu sambil menggeser sedikit tubuhnya. Setelah berbagai gaya pose sudah diambil, Galih dan Rio pun tampak puas dengan hasilnya. “Nah, udah bagus semua, sekarang tinggal makan,” ucap Galih sambil berjalan ke arah meja makan. Ivy menarik napas dalam, dadanya masih berdebar setelah rangkaian pose intim tadi. Wajahnya terasa panas, seolah setiap sorotan lampu memantulkan kegugupan yang masih sulit ia redam. Ia akhirnya melangkah menuju meja makan dengan raut wajah tak terbaca; setengah malu, setengah kesal, setengah sedih, pokoknya bercampur aduk. Hingga tiba-tiba, sebuah tangan menahan langkahnya. Ivy menoleh dan melihat Evan yang menatapnya datar. Pria itu lalu berkata, “Mukanya senyum jangan cemberut mulu biar orang lain ga curiga.” Ivy menyuguhkan senyum kecil yang terasa dipaksakan lalu matanya melirik ke Evan yang berjalan di sampingnya dengan napas tertahan. Dalam hati ia mendesah, “Salah siapa coba ia jadi campur aduk begini? Dasar pria tidak peka!” Mereka akhirnya sampai di meja makan yang sudah terisi keluarga mereka. “Eh, sini pengantinnya!” Seru seorang wanita paruh baya yang tidak Ivy kenal. Evan dan Ivy langsung duduk di kursi yang masih kosong. “Cantik banget ya pengantin perempuannya, ga salah Evan cari istri,” puji wanita lain yang duduk di sebelah Ela. Ivy hanya menanggapi dengan tersenyum canggung. Duduk di antara keluarga Evan membuatnya gelisah. Ia kemudian meremas gaunnya untuk mengurangi rasa gugup. Sekilas ia merasa malu, namun senyuman hangat mereka perlahan membuat hatinya sedikit lega. “Nah, karena udah lengkap semua, ayo kita mulai makan,” ujar Ela yang segera disambut antusias orang-orang. Di sela-sela acara makannya, Icha yang merupakan tante Evan tiba-tiba menyeletuk, “Coba ceritain dong kalian ketemunya dimana terus gimana kalian bisa nikah?” Baik Ivy maupun Evan yang mendengarnya langsung menghentikan kunyahannya. “Iya bener, padahal Kak Evan kan cuek terus galak lagi. Kok Kak Ivy mau sih nikah sama Kak Evan?” timpal Fiola, anak Icha, dengan nada bercanda. Seluruh anggota keluarga langsung dibuat tertawa mendengarnya, sementara Ivy hanya tersenyum kaku. Ia melirik ke arah Evan lalu kembali menatap Fiola, berusaha menyusun jawaban yang tepat. Namun sebelum sempat membuka mulut, Evan sudah lebih dulu menyela. “Ini acara makan atau acara gosip?” tanya Evan dengan tajam. Pandangannya menatap tajam ke Fiola lalu beralih ke sekeliling meja. Seketika semua anggota keluarga menghentikan tawanya. Ela langsung memberi kode agar semuanya memaklumi perkataan Evan, sementara Erwin memberikan tatapan tidak suka kepada Evan. Ivy ikutan merasa tidak enak karena suasana menjadi canggung. Setelah acara makan bersama selesai, anggota keluarga pun pulang dan menyisakan Evan dan Ivy beserta orang tuanya. “Mama pamit pulang ya. Kamu sekarang udah jadi seorang istri, harus nurut sama suami kamu,” ucap Mira sambil memeluk Ivy. Ivy mengangguk sambil tersenyum kaku. Ia tidak membalas pelukan Mira. Sadar anaknya tidak membalas pelukannya, Mira segera melepaskan pelukannya dan bergantian menyalimi Evan sambil berkata, “Jaga Ivy baik-baik ya. Kalau dia ada salah tolong maklumi ya, dia masih muda,” “Pasti bu,” balas Evan dengan sopan. Setelahnya, Mira pergi meninggalkan hotel bersama suami dan anaknya. “Kami juga pulang dulu ya, kalian tidur disini dulu, kami udah pesen kamar buat kalian,” jelas Erwin sambil menyerahkan sebuah kunci hotel kepada Evan. “Iya,” sahut Evan. Ela memeluk Ivy dan Evan secara bersamaan sambil berbisik jahil, “Selamat bersenang-senang malam ini, ya!” Wajah Ivy langsung merah padam, buru-buru ia melepas pelukan tersebut sambil memalingkan wajah. Sementara Evan hanya mengangkat alis sedikit, wajahnya tetap datar seperti biasa."Saya ngga paham sama pertanyaan kamu!" ucap Evan mendengarkan pertanyaan beruntun dari Ivy. "Kenapa ngga paham? Dari tadi kamu yang nanyain aku tentang siapa orang yang aku sembunyiin di hp aku, kenapa sekarang malah ngga paham sama pertanyaan sederhana ini?" tanya Ivy. "Pertanyaan saya sama kamu beda!" balas Evan. "Apa bedanya? Kamu tinggal jawab aja pertanyaan aku. Kamu beneran cinta sama aku atau ngga?" tanya Ivy. Evan tampak terdiam beberapa saat. Entah apa yang ia pikirkan hingga tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan cepat. "Kenapa diem aja? Dari tadi kamu yang nyudutin aku terus kan?!" seru Ivy. Evan menghela napas pendek. "Saya emang benar-benar cinta sama kamu, bukan hanya karena kita udah terlanjur menikah," ucapnya. "Bohong!" ucap Ivy. "Saya serius," tegas Evan. Ivy menatap Evan dengan mata sudah memerah. "Kalau kamu emang beneran cinta sama aku, kamu ngga bakalan marah cuma gara-gara aku ngga mau nunjukin hp aku. Kamu harusnya bisa menghargai pendapat aku," j
Ting! Bunyi nada dering ponsel Ivy kembali berbunyi, membuat sang pemilik langsung mengecek ponselnya. Ivy juga segera melepaskan pelukannya dengan Evan. Tentunya hal itu langsung membuat Evan mengernyitkan keningnya. "Dari siapa?" tanya Evan penasaran. Ia berusaha melihat layar ponsel Ivy, namun sudah terlambat, karena Ivy berdiri dan berjalan menjauh dari Evan. "Bukan siapa-siapa," jawab Ivy sedikit gugup. Ia memilih untuk duduk di sisi ranjang. Evan semakin bertambah heran melihat gerak-gerik Ivy yang mencurigakan. Ia lalu berjalan mendekat, dan duduk di samping istrinya yang tampak serius menatap layar ponselnya. "Coba sini saya lihat hp kamu," ucap Evan sambil berusaha mengambil ponsel Ivy. Namun dengan cekatan Ivy langsung menjauhkannya. "Ngga boleh!" tegas Ivy. "Kenapa?" tanya Evan sambil memasang wajah datar. "Privasi!" jawab Ivy. "Maksudnya privasi? Kita kan udah menikah, wajar kan kalau saling cek hp masing-masing?" Evan membalasnya sambil tetap memasang wajah ser
Ivy berjalan ke arah meja tempat sate kambing berada. Ia tersenyum kecil karena Evan begitu memperhatikannya, terutama mengenai makanan. Ia pun membawa sate tersebut ke meja makan, dan kemudian duduk di sana.Ivy membuka bungkusan sate tersebut. Aromanya yang menyengat membuat cacing di perutnya meronta-ronta minta segera diisi. "Saatnya makan!" seru Ivy sambil menyantap suapan pertama.Sembari menyantap makanannya, Ivy mendengar suara tawa dari arah ruang tamu. "Itu pasti tamunya Evan," gumam Ivy.Beberapa menit kemudian, sate kambing pun ludes tak tersisa. Ivy merasa kenyang, ia mengelus-elus perutnya yang sedikit buncit."Enak banget!" puji Ivy merasa puas.Ivy kemudian membuang bungkus sate, dan membereskan meja makan. Setelah semuanya bersih, ia kembali masuk ke dalam kamar.Di dalam kamar, Ivy merasa sedikit bosan. Ia tidak memiliki kegiatan yang harus dilakukan. Ia ingin tidur, namun belum mengantuk karena tadi baru saja bangun. Akhirnya Ivy hanya bersantai di sofa, sambil be
Ivy menatap kertas yang berada di tangannya dengan tatapan heran."Siapa yang udah ngirim surat ini?" gumam Ivy.Pandangannya lalu beralih ke arah flashdisk yang berada di tangan kirinya. Rasa penasaran mendorongnya untuk segera membuka flashdisk tersebut. Ivy kemudian berdiri dan berjalan ke arah meja kerjanya. Ia duduk di kursi dan mulai menghidupkan komputernya. Sebelum memasangkan flashdisk tersebut, Ivy berdoa di dalam hati agar isi di dalamnya bukan suatu hal yang harus ia khawatirkan.Ivy pun segera memasang flashdisk ke komputernya. Di dalam flashdisk tersebut hanya berisi satu folder tanpa nama, ia membuka folder tersebut, dan menampilkan satu file dokumen dan satu video.Ivy memilih untuk membuka dokumen terlebih dahulu, setelah menunggu beberapa detik, dokumen tersebut terbuka, namun tak berisi tulisan apapun. "Kosong lagi?" gumam Ivy pelan. Ivy kemudian berganti membuka video. Video tersebut berdurasi sepuluh menit.Dengan hati yang berdebar-debar, ia mulai menonton vid
"Beneran ngga mau cek ke dokter?" tanya Evan sambil merapikan selimut untuk menutupi tubuh Ivy."Iya, udah ngga sakit kok," balas Ivy sambil tersenyum lebar. Melihat Ivy yang tampak baik-baik saja, Evan pun akhirnya mengangguk. "Baiklah, kalau gitu kamu tidur aja ya," ucap Evan lembut.Ivy mengangguk pelan. "Kamu ngga tidur?" tanya Ivy."Ngga, saya masih ada kerjaan," balas Evan. Ivy kembali mengangguk dan mulai menutup matanya. Namun ia tidak benar-benar tertidur, ia kembali membuka matanya, dan melihat Evan yang masih menatapnya."Kenapa lihatin terus?" tanya Ivy merasa risih.Evan tersenyum tipis. "Ngga papa," balasnya."Katanya masih ada kerjaan, sana pergi!" perintah Ivy sambil mengibaskan tangan kanannya. "Nanti, saya lagi pengin liatin kamu dulu," jawab Evan sambil tersenyum tipis.Ivy kembali memejamkan mata, namun tiba-tiba ia teringat sesuatu yang harus ia tanyakan kepada Evan. Ia pun kembali membuka matanya dan mengubah posisinya menjadi duduk."Ada apa?" tanya Evan yang
Setelah beberapa jam berada dalam pesawat, Ivy dan Evan akhirnya sudah sampai di kota mereka. Namun kini hanya tinggal Ivy yang berada di dalam mobil, karena Evan sudah lebih dulu pergi menuju kantor.Ivy memandangi jalanan dengan tatapan kosong. Ia merasa kalau bulan madunya kali ini benar-benar gagal. Mulai dari kehadiran teman lama Evan yang mengganggu makan malam mereka, hingga mereka yang harus kembali lebih awal dari jadwal seharusnya karena urusan pekerjaan.Ivy menghela napas, walaupun ia berkali-kali mencoba menerima, namun entah kenapa semuanya terasa sulit.Mobil mulai menunjukkan gedung-gedung yang tak asing, menandakan bahwa sebentar lagi mobil akan sampai di rumah kediaman mereka. Namun tiba-tiba Ivy teringat sesuatu. Ia segera menatap ke arah Andre di depan, sang sopir yang sedang fokus menyetir.“Andre, saya mau pulang ke rumah saya sendiri, bisa antarkan saya ke sana?” pinta Ivy.Andre tampak bingung menanggapi permintaan Ivy. “Maaf nyonya, apakah saya perlu bilang