LOGINSinar matahari tengah hari membakar jalanan ketika mobil pacuan empat roda milik Ben meluncur kencang meninggalkan restoran tempat ia menurunkan Vennesa. Wajahnya datar, tapi jari-jarinya mencengkeram erat setir. Setiap kali teringat senyum lembut Vennesa sebelum melangkah masuk ke restoran, dadanya terasa sesak.
Ia menekan pedal gas lebih dalam, melampiaskan amarah dan kebingungan dalam kecepatan. Ban mobil berdecit di tikungan tajam, debu jalanan beterbangan di belakang. Tak lama kemudian, mobil itu berhenti di hadapan sebuah vila mewah tiga tingkat di pinggir kota kecil pulau Serenova — kediaman Mr. John. Rumah itu tampak seperti simbol kekuasaan dan uang: pagar besi tinggi, taman yang terawat sempurna, kolam renang luas berair biru jernih, dan deretan mobil mewah berjajar rapi di garasi — Ferrari merah, Porsche silver, dan SUV hitam mengilat. Di sisi pintu masuk, sofa rotan elegan terletak di bawah kanopi, diapit kolPagi itu, angin laut bertiup lembut dari arah barat. Awan tipis berarak perlahan di atas perbukitan Serenova. Vennesa berdiri di tepi pagar kayu tua, memandang hamparan tanah peninggalan ibunya yang luas dan masih asri. Rumput liar tumbuh di sana-sini, diiringi bunyi cengkerik dan burung-burung kecil yang beterbangan di langit biru. Ben berdiri di sampingnya, tangannya diselipkan ke dalam saku celana, matanya menelusuri garis tanah yang berbukit-bukit di hadapan mereka. Tak lama kemudian, sebuah mobil putih berhenti di dekat mereka. Dari dalam keluar seorang wanita berpenampilan rapi, mengenakan kemeja biru muda dan membawa tas kerja hitam. “Selamat pagi, saya Gretha dari Pejabat Tanah Serenova,” ucapnya ramah sambil mengulurkan tangan. Mereka saling berjabat tangan, lalu Gretha mulai berjalan menyusuri kawasan tersebut ditemani Vennesa dan Ben. Ia memerhatikan setiap sudut tanah dengan teliti — bentuk lereng, arah aliran
Beberapa menit setelah Monica meninggalkan kafe, Vennesa duduk terpaku di kursinya. Matanya menerawang ke arah jalanan. Ada rasa janggal yang belum sempat dia pahami sejak pertemuan tadi. Setelah menarik napas panjang, dia berdiri dan melangkah keluar dari kafe, lalu menghentikan taksi yang melintas di depan. “Ke Serenova Bar, ya,” katanya singkat. Taksi itu meluncur menyusuri jalan sempit di tepi pantai. Angin laut berembus lembut menerpa wajahnya. Dari kejauhan, bangunan Serenova Bar tampak sepi. Seperti dugaannya, mobil hitam milik Ben terparkir rapi di depan pintu. Namun, yang tak disadari Vennesa, sebuah Ferrari merah juga berhenti tak jauh dari sana. Di dalamnya, Monica duduk diam, menatap tajam ke arah bar. Saat melihat Vennesa turun dari taksi dan melangkah masuk, rahang Monica menegang. Tangannya menggenggam erat setir hingga buku jarinya memutih. “Jalang sialan, Vennesa,” desisnya dengan nada getir. Ia memejamkan mata sejenak, menahan amarah yang membara, lalu me
Keesokan paginya, sinar matahari lembut menyapu permukaan laut Serenova. Angin sejuk pagi berhembus membawa aroma garam dan wangi bunga liar dari taman sekitar rumah Vennesa. Bel rumah berbunyi pelan. Tak lama kemudian, pintu kaca bergeser terbuka — muncul sosok wanita yang masih mengenakan piyama berwarna pastel. Rambutnya sedikit kusut, namun kecantikannya alami dan lembut seperti embun pagi. Monica terpaku sesaat. Ia membayangkan Ben terbangun dari tidur dan melihat sosok ini di sampingnya. Bayangan itu menimbulkan luka di dadanya. Rasa cemburu menusuk, tapi Monica cepat menutupinya dengan senyum manis. “Hola… maaf ya, aku ganggu kamu sepagi ini,” sapa Monica riang pura-pura ceria. “Aku mau ajak kamu sarapan di kafe terkenal di sini. Sarapannya enak banget, kamu pasti suka.” Vennesa sempat ragu, namun akhirnya tersenyum ramah. “Tentu, tunggu sebentar ya. Masuk dulu, aku siapkan minuman.” Monica melangkah masuk ke ruang tamu. Rumah itu sederhana tapi hangat. Aroma bunga ker
Suasana malam begitu tenang saat mobil mewah berwarna hitam meluncur meninggalkan restoran. Lampu jalan memantul di bodi mobil, menciptakan kilau keemasan yang menari di sepanjang jalan menuju vila megah milik Mr. John. Di kursi belakang, Mr. John duduk tegap dengan wajah tanpa ekspresi. Cerutu di tangannya masih menyala, asapnya perlahan memenuhi ruang kabin. Di sampingnya, Monica bersandar santai, memainkan ujung rambutnya yang bergelombang, sesekali melirik suaminya dengan senyum menggoda. “Besok pagi…” suara Mr. John memecah kesunyian. “Temui Vennesa. Ajak dia sarapan. Cobalah lebih dekat dengannya.” Monica menoleh, alisnya sedikit terangkat. “Kamu mau aku dekati dia?” “Ya. Tapi jangan menyinggung soal tanah. Belum saatnya,” jawab Mr. John tanpa menoleh. “Dia wanita pintar. Kalau kita beri tekanan terlalu cepat, dia akan curiga.” Monica mengangguk pelan, matanya menatap ke luar je
Malam itu, Tommy dan Vellery datang menjemput Vennesa di vila sewanya. Mobil Tommy meluncur meninggalkan pekarangan vila, menuju restoran mewah di pusat kota kecil Pulau Serenova — tempat yang sudah dipesan Tommy sejak siang, begitu ia mendapat lampu hijau dari Vellery. Begitu tiba di depan restoran, seorang staf segera menghampiri untuk mengambil alih kemudi dan memarkir mobil mereka. Lampu kristal yang berkilau di lobi memantulkan bayangan mereka di lantai marmer. Tommy tampak gagah malam itu, dibalut jas hitam bermotif emas tipis dan dasi yang serasi. Namun entah kenapa, bagi Vennesa, aura wibawa itu terasa palsu — seolah hanya tempelan. Sementara Vennesa dan Vellery tampil menawan dalam balutan gaun panjang berpotongan elegan. Keduanya tampak seperti dua bidadari yang turun ke bumi; kecantikan mereka alami, tanpa riasan tebal, tapi cukup untuk membuat kepala menoleh. Memang benar kata Tomny, Mereka m
Ben menutup pintu rumahnya dengan kasar. Napasnya masih berat, kepalan tangannya belum juga mengendur sejak meninggalkan vila Mr. John. Di dadanya, amarah dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, membuatnya sulit berpikir jernih. Langkahnya langsung menuju dapur. Ia membuka pintu kulkas, mengambil sebotol air dingin, menuangkannya ke dalam gelas, lalu meneguk habis tanpa berhenti. Rasa sejuk yang mengalir di tenggorokan tak cukup untuk menurunkan panas yang bergolak di dadanya. Ben berjalan ke arah jendela besar yang menghadap ke teras belakang. Dari balik tirai, ia melihat seseorang berbaring di sofa luar rumahnya, tepat di tepi pintu kaca sliding door. Rambut panjangnya terurai lembut, sebagian wajahnya tertutup lengan. Ben menarik napas panjang. Ia kenal betul sosok itu. Vennesa. Dengan langkah perlahan, ia membuka pintu kaca itu. Angin lembut langsung menyapa wajahnya, membawa aroma laut dan wangi tubuh Vennesa yang halus. Ia berjalan mendekat, lalu berjongkok di depan sofa







