“Ada dua alasan kenapa kamu tidak menceritakan tentang Amanda padaku. Pertama, ada yang salah saat pertama kalian berjumpa setelah sekian tahun tidak bertemu. Kedua, kamu merasa Amanda lebih nyaman berteman dan berkomunikasi denganmu sehingga merasa tidak perlu memberitahu aku. Jadi, yang mana alasanmu?”
Galih menghela napas panjang mendengar ucapan istrinya. Dia mengalihkan pandang, tidak mampu menatap mata Jelita yang seakan sedang menguliti kebohongannya. “Aku benar-benar lupa, Ney. Maaf. Aku merasa tidak ada yang istimewa dengan pertemuanku dan Amanda. Aku menganggap dia teman biasa, sama seperti yang lainnya. Jadi, aku tidak memprioritaskan dia menjadi bahan obrolan kita yang utama.” Lelaki itu menghela napas panjang. Berusaha memilih kalimat yang tepat agar kemarahan istrinya tidak semakin menjadi. “Akhir-akhir ini juga kamu sibuk sekali. Begitu aku pulang, kamu langsung meninggalkan semua dan fokus di depan laptop. Jadi, yaaaa, bukan masalah ada yang salah saat kami bertemu atau aku merasa dia lebih nyaman denganku. Ini semua murni karena aku lupa dan tidak tepat waktunya untuk bercerita.” Jelita mengembuskan napas kencang mendengar ucapan Galih. Dia akhirnya memilih merebahkan tubuhnya kembali. Tidak biasanya Galih seperti ini. Hal sekecil apapun itu, Galih selalu antusias untuk bercerita dengannya. Walau alasan yang disampaikan suaminya terdengar masuk akal, tapi Jelita merasa ada yang janggal. Ingatannya melayang ke dua minggu yang lalu. Suaminya mendadak lembur tanpa berkabar sama sekali, ponselnya mati dan baru pulang pukul dua dini hari. Sepanjang pernikahan, baru itu Galih pulang selarut itu. Belum lagi, aroma parfume asing yang menempel di jaket suaminya. Mau tidak mau, dia menyimpan curiga kalau ada yang disembunyikan darinya. “Ney? Ayolah. Kamu masih marah? Aku minta maaf.” Galih ikut merebahkan tubuh di samping Jelita yang memunggunginya. Dia melingkarkan tangan ke pinggang Jelita yang masih terus mendiamkannya. “Aku membantu dia juga karena spontan saja. Sebagai teman lama dan uangnya kebetulan ada, ya sudah kubantu. Apalagi, dia butuh buat pengobatan anaknya.” Galih berusaha menjelaskan. Jelita memilih diam, tidak menanggapi apa-apa. Entah kenapa, ada yang tidak nyaman di hatinya saat melihat cara Amanda menatap dan berbicara dengan suaminya. Wanita itu akhirnya memejamkan mata, tapi pikirannya berkelana jauh ke masa empat belas tahun yang lalu, saat mereka masih duduk di bangku kuliah. “Jelita!” Jelita yang baru saja kembali dari sekretariat BEM kampus melambaikan tangan pada Amanda yang sudah menunggunya. Dia mengulas senyum saat melihat makanan dan minuman yang selalu dia pesan di kantin sudah tersedia. Seperti biasa, Amanda sudah memesankan menu untuknya agar dia tinggal makan saja. Segudang kegiatan sebagai anggota BEM seringkali membuat Jelita tidak memiliki keleluasaan waktu berlama-lama di kantin. “Siapa?” Jelita berbisik pelan pada Amanda saat melihat mahasiswa yang duduk di sebelah Amanda. Sebenarnya, sudah beberapa bulan ini dia tahu kalau Amanda sedang dekat dengan anak jurusan sebelah. Namun, dia tidak terlalu menaruh perhatian karena Amanda juga tidak pernah bercerita. Baru hari ini akhirnya dia bisa bertemu langsung dengan mahasiswa yang selama ini menjadi bahan gosip teman-teman di kelas karena berhasil mendekati Amanda yang pendiam dan sedikit pemalu. “Aku Galih.” “Jelita.” Jelita menyambut uluran tangan Galih. Walau sedikit malu karena ketahuan bertanya diam-diam pada Amanda, tapi dia dengan segera bisa mencairkan suasana. pembawaannya yang mudah berbaur dan ceria membuat Jelita dan Galih bisa akrab dengan cepat. “Kamu kenal Galih dari mana, Manda? Kalian sedang PDKT?” Jelita bertanya pada Amanda suatu hari. Bukan tanpa alasan dia bertanya. Pasalnya, Galih semakin sering mengiriminya pesan. Bahkan, beberapa kali lelaki itu menungguinya di sekret BEM agar bisa mengantar pulang saat dia ada rapat anggota sampai malam. “Kami tidak sengaja bertemu di perpustakaan. Waktu itu dia izin duduk di meja yang sama dan kami nyambung saat ngobrol.” Amanda memperhatikan Jelita yang sedang tidur-tiduran di kost-kostannya. Kalau sedang tidak ada kelas dan Jelita tidak ada kegiatan BEM, mereka memang sering pulang ke kostannya untuk istirahat sejenak sebelum kelas berikutnya. “Kalian PDKT? Lama amat PDKT. Hampir setengah tahun kayaknya dari aku pertama kenalan di kantin sama dia.” Jelita bertanya tidak sabaran. Sejujurnya, dia tertarik pada Galih. Lelaki itu berbeda dari mahasiswa lain yang biasa mendekatinya. Ada yang istimewa dari diri Galih hingga bisa berteman baik dengan Amanda yang biasanya susah dekat dengan orang. “Kita … berteman biasa.” Amanda menjawab sambil mengulas senyum. Dia menautkan alis saat melihat Jelita langsung bangun dari tidurannya. “Beberapa kali dia juga menanyakan tentang kamu. Kenapa? Dia mulai pendekatan? Kayaknya Galih memang tertarik sama kamu cuma masih ragu mau maju.” Sejak mengetahui Amanda dan Galih tidak sedang pendekatan, Jelita jadi merasa tidak ada beban setiap kali jalan berdua saja dengan Galih. Kadang, mereka jalan bertiga, tapi Galih jadi lebih sering berinteraksi dengan Jelita. Tidak seperti dulu, lelaki itu banyak ngobrol dengan Amanda walau tanggapannya begitu-begitu saja karena Amanda memang lebih senang menjadi pendengar. “Manda! Galih nembak aku!” Jelita memeluk Amanda sebulan kemudian. Dia yang semula ingin fokus belajar dan berorganisasi akhirnya tidak bisa menolak pesona Galih. Kesabaran dan ketelatenan lelaki itu membuat Jelita luluh. Selain itu, jelas ada gengsi tersendiri baginya bisa menggaet anak jurusan arsitektur yang terkenal pintar dan tajir. “Kok kamu nangis sih? Ih! Makasih loh, Manda, kamu segitu terharunya.” Jelita mendadak bangun dari rebahan. Napasnya memburu saat mengingat semua perjalanan tentang mereka bertiga. Telinganya berdenging hebat, seakan sedu sedan Amanda terdengar jelas di telinganya. Dia bahkan tidak bisa mendengar suara Galih yang terlihat mengkhawatirkan keadaannya. Wanita itu mengepalkan tangan saat satu kesadaran datang menghantam. Empat belas tahun berlalu dan dia baru mempertanyakan arti tangisan Amanda hari itu, ikut terharu karena dua sahabatnya bersatu? Atau … Amanda menangis karena bersedih kehilangan Galih?Bella menunduk saat Jelita membelai rambutnya. Mendadak, matanya terasa panas mengingat ucapan papanya tadi siang. Dia tidak bisa menahan tangis saat Jelita meraih bahunya dan membawanya ke dalam pelukan.“Ada apa, Sayang?” Jelita bertanya dengan hati-hati. Dia berusaha mengendalikan diri walau pikirannya sudah kemana-mana. Tidak biasanya anak pertamanya yang mandiri itu menangis seperti ini. “Mau cerita apa sama Mama?” Jelita melepaskan pelukan. Dia membingkai wajah anaknya dan mengusap air mata di wajah Bella.“Mama sama Om Langit pacaran ya?”Jelita menautkan alis mendengar pertanyaan anaknya. Dia memilih diam, menunggu Bella melanjutkan pembicaraan. Wanita itu menduga-duga apa yang terjadi tadi siang saat kedua anaknya dibawa oleh Galih keluar.“Kata Papa, kalau Mama menikah lagi nanti, Mama bakalan sibuk sama Papa baru. Apalagi kalau punya bayi, pasti Bella dan Zaky tidak terurus.” Bella menutup wajah dengan kedua tangan. Ketakutan menguasai hatinya. “Kalau Mama menikah lagi, nan
“Pantas saja selama ini kamu selalu meminta aku menggunakan alat kontrasepsi, kamu tidak ada rencana masa depan denganku, Galih. Kamu hanya menjadikan aku persinggahan sementara karena kehilangan Jelita.” Amanda menatap Galih yang kini terlentang di kasur. Mata lelaki itu menatap langit-langit kamar yang memiliki aksen kayu. Amanda meraba lehernya yang masih terasa sakit karena cekikan Galih tadi.“Sekarang saja kamu mengeluh uang bulanan yang kuberikan kurang, Manda, apalagi kalau kita memiliki anak?” Galih mengembuskan napas kencang. Dia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran istrinya. Selama berumah tangga, mereka jarang berbagi pikiran karena kalau sudah membicarakan hal yang penting sering tidak sejalan. “Aku menunda dulu agar fokus tidak terbagi. Aku ingin kita fokus pada pengobatan Dery dan aku tetap memiliki banyak waktu bersama Bella dan Zaky.”Amanda berdiri dan menuju cermin. Dia mengeluh pelan mengetahui dress yang dia kenakan robek di bagian pinggang, mungkin kar
“Memangnya kamu berharap apa dari menikahi duda beranak dua, Amanda? Gajiku ya jelas terbagi untuk mereka juga. Walau mereka tinggal dengan mamanya, tapi untuk makan, pakaian dan kebutuhan lainnya itu tetap tanggung jawabku sebagai Papa mereka.” Galih menggeleng mendengar Amanda mengungkit masalah biaya kecantikan. Memangnya dia pengusaha sukses yang uangnya tidak terbatas?“Jelita dulu perasaan bisa perawatan di tempat-tempat mahal, ke kafe dan belanja-belanja dari postingannya. Kok aku nggak bisa? Aku nggak minta harus rutin seperti dia dulu. Ya setidaknya bisa lah dua bulan sekali aku perawatan, sebulan sekali diajak makan keluar pas gajian, kalau ada momen spesial seperti ulang tahun atau apa dapat kado tas atau cincin. Reward, Lih, aku butuh reward. Butek banget aku sepanjang waktu hanya di rumah saja.”“Dulu aku hanya membiayai Jelita dan anak-anakku saja. Sekarang, aku harus membiayai anak-anakku dan juga pengobatan Dery yang tidak murah. Seharusnya, kamu mengerti akan hal itu.
“Mama kenal dimana? Sering pergi bareng Mama ya?”“Nggak tahu kenal dimana. Setahu Bella, Om Langit itu ada usaha bareng sama Mama. Ya lumayan sering pergi berdua. Kadang kalau perginya sore atau malam, Bella dan Zaky juga diajak.” Bella menjawab ringan. Dia tertawa saat melihat adiknya tersedak kuah ramen. “Om Langit baik, Pa. Dia sering beliin Zaky mainan sama buku cerita buat Bella. Setiap datang, pasti bawa makanan yang enak-enak. Kakek dan Nenek juga suka sama Om Langit.”Galih menghela napas panjang mendengar cerita putrinya. Sebagai lelaki, dia tahu betul kalau Langit sedang berusaha mengambil hati Jelita dengan mendekati orangtua dan anak-anaknya. Melihat dari pakaian dan mobil Langit tadi, dia bisa menduga kalau lelaki itu sudah cukup mapan. Dari segi usia, dia yakin mereka tidak berjauhan. Galih tampak berpikir sejenak karena aneh saja lelaki mapan dan berusia matang seperti Langit belum memiliki pasangan. “Bella tahu banyak ya tentang Om Langit?”Bella mengangkat bahu sambi
“Ya namanya usaha masih merangkak, cara promosinya seperti ini. Ikut mengisi stand-stand kalau ada acara sehingga bisa dikenal masyarakat langsung.” Langit bertepuk tangan saat Zaky berhasil menyelesaikan rancangan kincir dari lego yang disusunnya. “Hebat! Nanti Om belikan mainan kincir biar sama dengan legonya ya.”“Kenapa tidak fokus ke usaha katering saja, Nak Langit?” Asep bertanya setelah sejak tadi hanya menjadi pendengar saja. Mereka kenal cukup baik karena Langit sering datang kesana setiap ada yang perlu dibicarakan dengan Jelita. Lelaki itu tahu kalau Langit ada usaha lain yang sudah kuat selain usaha sabun herbal yang kini sedang dikerjakan bersama Jelita.“Kalau bisa dua, kenapa harus satu, Pak?” Langit terkekeh pelan. “Itu usaha punya orangtua. Saya hanya meneruskan saja. Dulu, kuliah ambil jurusan kimia. Jadi usaha sabun herbal ini untuk menyalurkan hobi. Dari dulu saya itu suka membuat formula produk. Ya karena katering sudah jalan dan manajemennya sudah kuat, saya jadi
Suara ketukan di pintu membuat Amanda mengangkat kepala dan meletakkan ponselnya. Dia menatap Galih yang masuk ke rumah dengan wajah sumringah. Wanita itu mengembuskan napas panjang saat mendengar Galih bersiul pelan, seolah hatinya sedang berbunga-bunga dan sangat bahagia. Dia berdiri dan mengikuti Galih ke kamar. “Yang habis makan bareng sama mantan istri, senang banget kayaknya.”Galih menautkan alis mendengar nada suara Amanda yang sedikit berbeda. Lelaki itu menghela napas panjang saat melihat wajah Amanda yang biasanya selalu tersenyum itu terlihat sedikit kusut. “Aku senang karena bisa makan bersama anak-anakku. Selain itu aku juga senang karena hubunganku dengan orangtua Jelita bisa tetap baik-baik saja. Aku dan Jelita juga bisa berinteraksi dengan baik sehingga kedepan tidak akan ada masalah dalam membersamai perkembangan Bella dan Zaky.”Amanda mengembuskan napas kencang mendengar jawaban Galih. Wanita itu tahu Galih memang sempat resah memikirkan hal itu. Galih selalu berce