Share

BAB 6

last update Last Updated: 2025-04-28 10:06:52

“Ada dua alasan kenapa kamu tidak menceritakan tentang Amanda padaku. Pertama, ada yang salah saat pertama kalian berjumpa setelah sekian tahun tidak bertemu. Kedua, kamu merasa Amanda lebih nyaman berteman dan berkomunikasi denganmu sehingga merasa tidak perlu memberitahu aku. Jadi, yang mana alasanmu?”

Galih menghela napas panjang mendengar ucapan istrinya. Dia mengalihkan pandang, tidak mampu menatap mata Jelita yang seakan sedang menguliti kebohongannya. “Aku benar-benar lupa, Ney. Maaf. Aku merasa tidak ada yang istimewa dengan pertemuanku dan Amanda. Aku menganggap dia teman biasa, sama seperti yang lainnya. Jadi, aku tidak memprioritaskan dia menjadi bahan obrolan kita yang utama.”

Lelaki itu menghela napas panjang. Berusaha memilih kalimat yang tepat agar kemarahan istrinya tidak semakin menjadi. “Akhir-akhir ini juga kamu sibuk sekali. Begitu aku pulang, kamu langsung meninggalkan semua dan fokus di depan laptop. Jadi, yaaaa, bukan masalah ada yang salah saat kami bertemu atau aku merasa dia lebih nyaman denganku. Ini semua murni karena aku lupa dan tidak tepat waktunya untuk bercerita.”

Jelita mengembuskan napas kencang mendengar ucapan Galih. Dia akhirnya memilih merebahkan tubuhnya kembali. Tidak biasanya Galih seperti ini. Hal sekecil apapun itu, Galih selalu antusias untuk bercerita dengannya. Walau alasan yang disampaikan suaminya terdengar masuk akal, tapi Jelita merasa ada yang janggal.

Ingatannya melayang ke dua minggu yang lalu. Suaminya mendadak lembur tanpa berkabar sama sekali, ponselnya mati dan baru pulang pukul dua dini hari. Sepanjang pernikahan, baru itu Galih pulang selarut itu. Belum lagi, aroma parfume asing yang menempel di jaket suaminya. Mau tidak mau, dia menyimpan curiga kalau ada yang disembunyikan darinya.

“Ney? Ayolah. Kamu masih marah? Aku minta maaf.” Galih ikut merebahkan tubuh di samping Jelita yang memunggunginya. Dia melingkarkan tangan ke pinggang Jelita yang masih terus mendiamkannya. “Aku membantu dia juga karena spontan saja. Sebagai teman lama dan uangnya kebetulan ada, ya sudah kubantu. Apalagi, dia butuh buat pengobatan anaknya.” Galih berusaha menjelaskan.

Jelita memilih diam, tidak menanggapi apa-apa. Entah kenapa, ada yang tidak nyaman di hatinya saat melihat cara Amanda menatap dan berbicara dengan suaminya. Wanita itu akhirnya memejamkan mata, tapi pikirannya berkelana jauh ke masa empat belas tahun yang lalu, saat mereka masih duduk di bangku kuliah.

“Jelita!”

Jelita yang baru saja kembali dari sekretariat BEM kampus melambaikan tangan pada Amanda yang sudah menunggunya. Dia mengulas senyum saat melihat makanan dan minuman yang selalu dia pesan di kantin sudah tersedia. Seperti biasa, Amanda sudah memesankan menu untuknya agar dia tinggal makan saja. Segudang kegiatan sebagai anggota BEM seringkali membuat Jelita tidak memiliki keleluasaan waktu berlama-lama di kantin.

“Siapa?” Jelita berbisik pelan pada Amanda saat melihat mahasiswa yang duduk di sebelah Amanda. Sebenarnya, sudah beberapa bulan ini dia tahu kalau Amanda sedang dekat dengan anak jurusan sebelah. Namun, dia tidak terlalu menaruh perhatian karena Amanda juga tidak pernah bercerita. Baru hari ini akhirnya dia bisa bertemu langsung dengan mahasiswa yang selama ini menjadi bahan gosip teman-teman di kelas karena berhasil mendekati Amanda yang pendiam dan sedikit pemalu.

“Aku Galih.”

“Jelita.” Jelita menyambut uluran tangan Galih. Walau sedikit malu karena ketahuan bertanya diam-diam pada Amanda, tapi dia dengan segera bisa mencairkan suasana. pembawaannya yang mudah berbaur dan ceria membuat Jelita dan Galih bisa akrab dengan cepat.

“Kamu kenal Galih dari mana, Manda? Kalian sedang PDKT?” Jelita bertanya pada Amanda suatu hari. Bukan tanpa alasan dia bertanya. Pasalnya, Galih semakin sering mengiriminya pesan. Bahkan, beberapa kali lelaki itu menungguinya di sekret BEM agar bisa mengantar pulang saat dia ada rapat anggota sampai malam.

“Kami tidak sengaja bertemu di perpustakaan. Waktu itu dia izin duduk di meja yang sama dan kami nyambung saat ngobrol.” Amanda memperhatikan Jelita yang sedang tidur-tiduran di kost-kostannya. Kalau sedang tidak ada kelas dan Jelita tidak ada kegiatan BEM, mereka memang sering pulang ke kostannya untuk istirahat sejenak sebelum kelas berikutnya.

“Kalian PDKT? Lama amat PDKT. Hampir setengah tahun kayaknya dari aku pertama kenalan di kantin sama dia.” Jelita bertanya tidak sabaran. Sejujurnya, dia tertarik pada Galih. Lelaki itu berbeda dari mahasiswa lain yang biasa mendekatinya. Ada yang istimewa dari diri Galih hingga bisa berteman baik dengan Amanda yang biasanya susah dekat dengan orang.

“Kita … berteman biasa.” Amanda menjawab sambil mengulas senyum. Dia menautkan alis saat melihat Jelita langsung bangun dari tidurannya. “Beberapa kali dia juga menanyakan tentang kamu. Kenapa? Dia mulai pendekatan? Kayaknya Galih memang tertarik sama kamu cuma masih ragu mau maju.”

Sejak mengetahui Amanda dan Galih tidak sedang pendekatan, Jelita jadi merasa tidak ada beban setiap kali jalan berdua saja dengan Galih. Kadang, mereka jalan bertiga, tapi Galih jadi lebih sering berinteraksi dengan Jelita. Tidak seperti dulu, lelaki itu banyak ngobrol dengan Amanda walau tanggapannya begitu-begitu saja karena Amanda memang lebih senang menjadi pendengar.

“Manda! Galih nembak aku!” Jelita memeluk Amanda sebulan kemudian. Dia yang semula ingin fokus belajar dan berorganisasi akhirnya tidak bisa menolak pesona Galih. Kesabaran dan ketelatenan lelaki itu membuat Jelita luluh. Selain itu, jelas ada gengsi tersendiri baginya bisa menggaet anak jurusan arsitektur yang terkenal pintar dan tajir. “Kok kamu nangis sih? Ih! Makasih loh, Manda, kamu segitu terharunya.”

Jelita mendadak bangun dari rebahan. Napasnya memburu saat mengingat semua perjalanan tentang mereka bertiga. Telinganya berdenging hebat, seakan sedu sedan Amanda terdengar jelas di telinganya. Dia bahkan tidak bisa mendengar suara Galih yang terlihat mengkhawatirkan keadaannya.

Wanita itu mengepalkan tangan saat satu kesadaran datang menghantam. Empat belas tahun berlalu dan dia baru mempertanyakan arti tangisan Amanda hari itu, ikut terharu karena dua sahabatnya bersatu? Atau … Amanda menangis karena bersedih kehilangan Galih?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jejak Dusta di Rumah Kita   BAB 6

    “Ada dua alasan kenapa kamu tidak menceritakan tentang Amanda padaku. Pertama, ada yang salah saat pertama kalian berjumpa setelah sekian tahun tidak bertemu. Kedua, kamu merasa Amanda lebih nyaman berteman dan berkomunikasi denganmu sehingga merasa tidak perlu memberitahu aku. Jadi, yang mana alasanmu?”Galih menghela napas panjang mendengar ucapan istrinya. Dia mengalihkan pandang, tidak mampu menatap mata Jelita yang seakan sedang menguliti kebohongannya. “Aku benar-benar lupa, Ney. Maaf. Aku merasa tidak ada yang istimewa dengan pertemuanku dan Amanda. Aku menganggap dia teman biasa, sama seperti yang lainnya. Jadi, aku tidak memprioritaskan dia menjadi bahan obrolan kita yang utama.”Lelaki itu menghela napas panjang. Berusaha memilih kalimat yang tepat agar kemarahan istrinya tidak semakin menjadi. “Akhir-akhir ini juga kamu sibuk sekali. Begitu aku pulang, kamu langsung meninggalkan semua dan fokus di depan laptop. Jadi, yaaaa, bukan masalah ada yang salah saat kami bertemu ata

  • Jejak Dusta di Rumah Kita   BAB 5

    “Tidak apa-apa, Manda, bayar kalau sudah ada uangnya saja. Tidak perlu memaksakan diri karena uang itu juga buat SPP Bella bulan depan.” Jelita mengulas senyum sambil meraih tangan Galih dan menggandengnya. “Papanya anak-anak itu, gajinya ke aku semua. Jadi, pas kamu pinjam uang itu, dia pakai yang buat SPP Bella karena memang dia biasanya yang urus masalah bayar membayar.” Jelita memberi kode pada Galih untuk maju karena antrian di depan mereka sudah selesai di kasir.“Oh … begitu.” Amanda bernapas lega. Dia tertawa sambil menepuk bahu Jelita yang sedang membantu Galih memindahkan belanjaan mereka. “Nanti kalau honorku sudah masuk, langsung aku bayar ya. Sorry, nggak biasanya telat begini. Mami ada urusan, makanya jadi molor sampai dua hari.”“Kamu sudah lama di Jakarta? Pindah kesini atau sekedar berkunjung saja?” Jelita kembali bertanya, mengabaikan ucapan Amanda barudan. Dia melirik ke arah suaminya yang menyibukkan diri dengan dua anak mereka, seperti enggan berbaur dan ikut ngob

  • Jejak Dusta di Rumah Kita   BAB 4

    “Kamu kemana tadi malam?” Jelita menatap Galih penuh selidik saat memberikan jaket. Dia sengaja membalik jaket sehingga aroma parfume yang tertinggal disana tercium dengan jelas. Wanita itu melirik Bella yang baru saja menyelesaikan sarapan. Dia mengulas senyum saat anaknya mencium tangannya dan menuju teras untuk memasang sepatu.“Lembur.”“Yakin?” Jelita memperhatikan Galih yang menghindari tatapannya. Sepuluh tahun menikah, dia jelas tahu gerak-gerik suaminya. “Sejak kapan kamu punya rekan satu tim perempuan di kantor? Kamu bisa cium aroma ini? Ini jelas aroma parfume wanita yang menempel karena dia memakai jaket ini.” Jelita menunjuk jaket di tangan Galih.“Aku tidak tahu, Ney.” Galih menghela napas panjang. Jelas tidak mungkin dia meralat alasan lembur tadi malam dan jujur mengatakan kalau dia ikut karaoke bersama teman. Dia mengeluh pelan karena harus berbohong lagi untuk menutupi kebohongannya yang sebelumnya. “Kemarin jaket itu aku geletakkan dimana saja. Mungkin ada yang isen

  • Jejak Dusta di Rumah Kita   BAB 3

    “Memangnya apa yang tidak bisa kamu miliki, Amanda?”“Kamu ….”Galih dan Amanda sontak tertawa bersamaan setelah sekian detik terdiam. Mereka berteman cukup dekat dulu. Galih bahkan bisa dekat dengan Jelita juga atas bantuan Amanda. Dia bisa berteman baik dengan Amanda yang pendiam dan sedikit pemalu hingga membuat Jelita mulai merasa tertarik dengan kepribadian lelaki itu.“Kenapa tidak main ke rumah, Manda? Komunikasi kita benar-benar terputus sejak kamu menikah dan pindah keluar kota.” Galih kembali bertanya. Lelaki itu menggeleng pelan saat beradu pandang dengan Arul yang mengedipkan sebelah mata kepadanya karena tampak sangat akrab dengan Amanda. “Aku tidak mau merepotkan orang lain, Galih. Aku … trauma menerima penolakan. Jangankan teman, bahkan keluarga suamiku pun enggan memberi bantuan. Sementara keluargaku juga kamu tahu sendiri keadaannya bagaimana. Jadi ya begitulah. Aku memilih berjuang sendiri karena kalau tidak begitu, siapa yang akan membiayai pengobatan anakku?”Gali

  • Jejak Dusta di Rumah Kita   BAB 2

    “Bicara disini saja, Pak. Tidak perlu buka room lagi.” Galih menggeleng, menanggapi ucapan Raka barusan. Dia langsung menunjuk sofa panjang dan mengajak Amanda duduk di posisi paling pojok. Berduaan dengan lawan jenis di ruangan tertutup jelas bukan ide yang bagus bagi Galih. Apalagi, Amanda berpakaian sangat seksi. Biasanya, dia melihat wanita berpakaian seperti ini dari jarak yang sangat dekat saat dia dan Jelita akan melakukan ritual malam.“Kamu nggak dingin?” Galih membuka percakapan. Dia bisa merasakan kekakuan di antara mereka. Sekian tahun tidak bertemu, lalu berjumpa di tempat ini dan dalam keadaan seperti ini jelas tidak pernah terbayangkan sebelumnya. “Pakai jaketku.” Galih melepaskan jaket kulit yang dia kenakan dan meminta Amanda memakainya. Sejujurnya, dia tidak nyaman melihat wanita itu mengenakan pakaian seperti itu.“Kerja di perusahaan yang sama dengan Om Raka ya? Sering main-main ke tempat begini?” Amanda mengulas senyum setelah mengenakan jaket. Aroma minyak wangi

  • Jejak Dusta di Rumah Kita   BAB 1

    “Yaelah, Bro, cemen banget jadi laki! Masih zaman takut sama istri? Lelaki nakal-nakal dikit ya wajar lah. Sekedar buat hiburan tidak apa-apa. Apalagi, duitnya ada.” Arul menggosokkan jari telunjuk dengan ibu jari. Lelaki itu lalu merangkul bahu Galih yang sedang membereskan meja kerja. Dia menggeleng melihat rekan kerjanya itu bergeming mendengar ucapannya.“Ikut kita yuk! Sesekali ini. Mbak Jelita nggak bakal tahu, amaaan. Emang kamu nggak bosan kerja pulang kerja pulang terus? Mlipir sebentar, ngopi-ngopi.” Farhat ikut mendekat. Dia mengedipkan sebelah mata pada Arul yang mengangkat jempol mendengar ucapannya. “LC disana mantap-mantap, Mas Galih. Ini tempat karaoke jempolan. Sekelas selebgram, artis tik tok dan artis baru di TV bahkan sering jadi LC panggilan disana.”“Memangnya kamu tidak bosan nyangkul sawah itu-itu saja, Mas Galih? Sesekali cobain lah sawah lain. Mana tahu lebih becek lumpurnya. Semakin basah semakin menyenangkan rasanya. Ya nggak, Mas Farhat?” Arul tertawa saat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status