LOGINPagi itu, sinar matahari masuk perlahan melalui celah tirai kamarnya. Arsya membuka mata dengan perlahan, merasakan kesejukan udara pagi yang menyelinap ke dalam ruangan. Sudah beberapa minggu ia berada di rumah ini, rumah yang begitu megah namun masih terasa asing bagi dirinya. Setiap hari ia berusaha untuk membangun kembali sisa-sisa dirinya yang dulu hancur.
Ia bangkit, melipat selimut, lalu berdiri di depan cermin yang terpasang di dinding. Wajahnya mulai tak sepucat dulu. Lingkaran hitam di bawah matanya perlahan memudar, tanda bahwa ia sudah mulai tidur dengan lebih baik meskipun mimpi buruk masih kadang datang. "Hari ini aku harus tetap melangkah… walau sekecil apa pun langkah itu," bisiknya kepada diri sendiri, sebelum melangkahkan kakinya ke dalam kamar mandi. Arsya terlebih dahulu membersihkan dirinya, sebelum menyiapkan segala keperluan Yasa, Arsya kini sudah mulai hafal dengan tugas-tugasnya di rumah Yasa. Setiap pagi ia akan menyiapkan setelan pakaian kerja pria itu, merapikan dokumen-dokumen yang perlu dibawa, serta memastikan kebutuhan kecilnya telah tersedia. Namun, selama beberapa minggu terakhir, Yasa sangat jarang berada di rumah. Kesibukan pekerjaannya membuatnya lebih banyak menghabiskan waktu di luar kota, atau terkadang pulang larut malam tanpa banyak bicara. Bagi Arsya, itu justru sebuah berkah kecil. Ia tidak perlu sering berhadapan langsung dengan pria itu, yang sikapnya sulit ditebak dan cenderung dingin. Bukan berarti Yasa jahat atau kasar hanya saja, ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Arsya merasa tidak nyaman untuk terlalu dekat. Mungkin karena tatapannya yang tajam, atau nada suaranya yang selalu tenang namun mengandung jarak. Hari-hari Arsya kini dipenuhi dengan rutinitas sederhana. Pagi hari ia menyiapkan segala keperluan Yasa, siang ia membantu membereskan beberapa ruangan, dan sore ia biasanya mengatur ulang jadwal-jadwal yang telah diberikan oleh asisten pribadi Yasa yang lain. Ia jarang berinteraksi dengan penghuni rumah selain para pembantu. Mereka pun lama-lama mulai mengenal dan menerima kehadirannya. “Bu Arsya, ini jadwal rapat Tuan Yasa minggu depan. Katanya kalau beliau pulang, tolong letakkan di meja kerjanya,” ujar Deon sambil menyerahkan map. Arsya menerimanya sambil tersenyum tipis. “Baik, terima kasih. Nanti saya atur.” Setelah semua pekerjaannya selesai, ia biasanya kembali ke kamar. Tidak ada banyak hiburan di sana selain buku-buku lama dan ponsel yang jarang ia gunakan. Namun, justru dalam kesendirian itu, ia perlahan belajar berdamai dengan dirinya sendiri. Meski masa lalu masih sering membayanginya, Arsya mulai berlatih untuk tidak terus-menerus memikirkannya. Setiap kali ingatan tentang Reysa datang senyum kecilnya, pelukannya, tangisannya, ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua itu telah berlalu. “Aku tidak boleh terus berada di sana…,” gumamnya lirih suatu sore sambil duduk di kursi taman belakang rumah. “Reysa tidak akan senang kalau Mamanya terus begini.” Bunga-bunga mawar di taman itu kini menjadi temannya setiap kali kesedihan datang menyergap. Ia merawatnya diam-diam, meski bukan tugasnya, hanya untuk memberi dirinya sedikit ketenangan. ------------------------------------------------------------------------- Hari ini Yasa kembali dari dinas di luar kota, Arsya merasa setiap kali Yasa pulang, suasana rumah berubah. Bukan menjadi riuh, melainkan justru lebih tenang, terlalu tenang. Pria itu jarang bicara, hanya mengangguk singkat ketika Arsya melaporkan hal-hal kecil yang perlu diketahuinya. Pernah suatu malam, Arsya memberanikan diri untuk berbicara sedikit lebih banyak. “Tuan Yasa , apakah besok Anda akan berangkat pagi?” tanyanya sopan sambil menyerahkan jadwal. Yasa hanya meliriknya sekilas, lalu mengangguk. “Ya. Seperti biasa. Siapkan dokumen itu sebelum jam tujuh.” Tidak ada ucapan terima kasih, tidak ada pertanyaan balik, tidak ada basa-basi. Arsya sempat tersenyum kaku. “Baik, Tuan.” Setelah pria itu pergi, ia hanya menghela napas panjang. “Entah mengapa, dia selalu seperti itu. Tenang, tapi… seperti tembok.” Namun dalam hatinya, Arsya justru sedikit bersyukur. Dengan sikap Yasa yang dingin, setidaknya ia tidak perlu terbawa perasaan atau memiliki beban moral lain. Ia hanya ingin bekerja dengan baik, melunasi hutangnya, dan kemudian… entah. Mungkin pergi. Hari-hari berjalan dengan pola yang sama. Arsya mulai merasa bahwa kesibukan ini, meski sederhana, justru menjadi penyelamatnya. Ia tidak lagi menghabiskan malam dengan menangis tanpa arah, melainkan dengan kelelahan yang membawanya tidur lebih nyenyak. Ia mulai merawat dirinya sendiri makan teratur, berolahraga ringan di taman belakang, bahkan sesekali membantu memasak di dapur. Para pembantu lain sering memuji perubahan kecil itu. “Mbak Arsya sekarang kelihatan lebih segar ya, beda sama waktu pertama kali ke sini,” ujar salah satu dari mereka suatu pagi. Mereka mengetahui apa yang terjadi pada Arsya sebelumnya. Arsya hanya tersenyum samar. “Saya cuma berusaha… untuk hidup lagi.” Mendengar ucapan Arsya seperti itu membuat mereka hanya mengangguk, tidak ingin membahas lebih jauh. Meski demikian, luka di hatinya belum sepenuhnya sembuh. Ada hari-hari di mana ia kembali merasakan hampa, terutama setiap kali melewati sudut-sudut rumah yang mengingatkannya pada kehidupannya dulu, saat ia menyiapkan sarapan untuk Reysa, atau saat menunggu Bima pulang kerja dengan perasaan rindu yang kini terasa pahit. Namun, perbedaan besar kali ini adalah, ia tidak lagi ingin mengakhiri hidupnya. Tidak sejak malam di jembatan itu. Ia masih belum tahu akan ke mana arah hidupnya, tapi setidaknya kini ia tahu bahwa ia masih punya pilihan untuk tetap berjalan. Suatu sore, saat ia tengah merapikan ruang kerja Yasa, matanya tertumbuk pada sebuah surat kecil yang tertinggal di meja. Isinya singkat, hanya pemberitahuan bahwa Yasa akan kembali terlambat beberapa hari ke depan karena urusan bisnis mendesak. Arsya membaca sebaris kalimatnya yang rapi dan tegas. “Jaga rumah dengan baik. Saya percayakan kamu.” Ia tidak tahu kenapa, tapi kata-kata itu membuat dadanya terasa sedikit lebih hangat. Bukan karena ada perhatian di dalamnya, justru sebaliknya, karena Yasa tidak pernah menulis kata-kata panjang, jadi sebaris kalimat itu terasa seperti bentuk kepercayaan yang sederhana. Ia menaruh kembali surat itu, lalu tersenyum samar. “Baiklah, Tuan. Saya akan lakukan.” Malam pun turun lagi, membawa keheningan yang familiar bagi Arsya. Ia duduk di balkon kecil kamar, memandang langit yang gelap dengan bintang-bintang yang jarang terlihat. Hidupnya belum kembali seperti dulu. Luka itu masih ada. Tapi kini, untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sedang sendirian di dunia ini. Sesuatu dalam dirinya mulai tergerak.Pagi itu, suasana kantor tampak seperti biasa. Semua berjalan normal, namun di balik aktivitas yang terlihat rutin, tiga wanita yang selama ini menjadi duri bagi Arsya telah menyusun rencana baru. Rencana yang jauh lebih keji dari sebelumnya.Setelah kegagalan mereka kemarin yang malah berakhir dengan kekalahan memalukan, mereka tidak mau lagi sekadar bermain-main. Rasa iri yang sudah membakar mereka semakin menjadi-jadi setelah melihat Arsya kembali bekerja dengan tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan, dari pengamatan mereka, hubungan Arsya dengan Yasa tampak semakin dekat. Yasa mulai lebih sering memanggilnya ke ruangannya, memberinya tugas-tugas penting, bahkan beberapa kali terlihat mengajaknya bicara dengan nada yang tidak pernah mereka dapatkan selama bertahun-tahun bekerja.“Lihat aja tuh,” desis Rita, matanya tak lepas dari meja Arsya. “Dikasih perhatian lebih, disenyumin pula sama Pak Yasa. Padahal kemarin abis gue jambak tuh orang.”“Dan dia balik lagi kayak nggak ada a
Hari itu, suasana kantor terlihat seperti biasa. Aktivitas berjalan norma deru printer, suara langkah terburu-buru pegawai yang berpindah dari satu ruangan ke ruangan lain, dan aroma kopi yang samar menyelimuti lantai tempat Arsya bekerja. Namun, ada satu hal yang masih belum reda, gosip tentang dirinya.Sejak ia membawa bekal buatan sendiri dan memberikannya kepada Yasa, topik itu seperti api kecil yang terus dikipasi agar menyala. Beberapa staf perempuan, terutama yang merasa memiliki kedekatan lama dengan Yasa atau sekadar ingin diakui keberadaannya, semakin panas hatinya. Mereka tidak mengerti bagaimana seorang wanita yang baru beberapa minggu bekerja di sini bisa mendapatkan perhatian khusus dari sang pemilik perusahaan.“Lihat saja tadi pas makan siang,” bisik seorang pegawai di pantry, menahan suara agar tak terlalu jelas terdengar. “Pak Yasa makan bekal dari dia. Gila nggak tuh? Selama gue kerja di sini, nggak pernah ada yang kayak gitu.&rdquo
Pagi itu, jam baru menunjukkan pukul lima lewat sedikit ketika Arsya membuka matanya. Cahaya matahari belum sepenuhnya menyentuh permukaan kota, hanya samar-samar menembus gorden tipis apartemen yang ia tinggali. Suasana masih sunyi. Udara pagi terasa sedikit dingin, membuat kulitnya merinding sejenak saat kakinya menyentuh lantai.Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan debar jantung yang entah kenapa pagi ini terasa sedikit berbeda. Hari ini ia punya rencana kecil. Bukan rencana yang besar seperti balas dendam yang selama ini ia pendam, tetapi langkah sederhana yang mungkin saja bisa membuka jalur yang lebih luas menuju kepercayaan Yasa.Arsya melangkah ke kamar mandi, membiarkan air dingin mengalir di wajahnya. Selesai membersihkan diri, ia berdiri di depan cermin, memperhatikan wajahnya yang masih basah. Ada sedikit lingkaran gelap di bawah mata akibat begadang beberapa malam lalu, namun itu bukan masalah. Ia tersenyum samar pada bayangannya, lalu melilitkan
Hari-hari terasa berjalan dengan ritme yang berbeda bagi Arsya. Sudah hampir seminggu sejak ia resmi bekerja di perusahaan milik Yasa. Pagi, siang, hingga sore harinya kini dihabiskan di kantor besar itu, sebuah gedung tinggi yang berlapis kaca dengan suasana yang awalnya terasa asing, namun kini perlahan menjadi tempatnya belajar kembali mengenal dunia kerja.Sejak hari pertama ia diperkenalkan sebagai asisten pribadi Yasa di kantor, perhatian banyak mata seolah terus mengawalnya. Dari bisikan samar di balik meja, lirikan penuh rasa ingin tahu di lorong-lorong kantor, hingga tatapan sinis beberapa pegawai wanita yang merasa posisinya terusik. Arsya bisa merasakan semuanya, meski ia tidak menunjukkan reaksi berlebihan.“Katanya dia nggak punya pengalaman kerja di bidang ini sebelumnya, ya?” bisik salah satu karyawan yang melintas di dekat pantry.“Iya, tapi bisa langsung jadi asisten pribadi Pak Yasa. Coba bayangin, orang-orang di sini antri bertahun-tahun buat deket sama beliau,” sahu
Pagi itu, sinar matahari yang baru saja menyelinap di balik gedung-gedung tinggi Jakarta menembus tirai tipis kamar apartemen Arsya. Alarm kecil di meja nakas berbunyi pelan, cukup untuk membangunkan Arsya yang sudah terbiasa dengan rutinitas rumah besar milik Yasa . Namun, kali ini ada yang berbeda. Tidak ada langkah kaki pembantu rumah yang lalu-lalang, tidak ada suara Bi Narsih yang membangunkannya dengan panggilan lembut jika ia kesiangan, tidak ada hiruk pikuk rumah besar itu. Yang ada hanya kesunyian, aroma apartemen baru, dan secercah semangat yang mulai ia pupuk dalam dirinya.Arsya bangun lebih awal dari biasanya. Ia tahu hari ini akan menjadi hari pertama dirinya masuk ke kantor Yasa. Sebuah langkah besar dari seorang wanita yang dulunya hanya berstatus pembantu rumah tangga, menjadi asisten pribadi di perusahaan besar. Perubahan yang terjadi begitu cepat, namun semuanya terasa sangat nyata.Setelah membereskan tempat tidurnya, Arsya melangkah menuju koper yang ia letakkan d
Pagi itu, udara di rumah besar keluarga Yasa terasa berbeda bagi Arsya. Ia berdiri di depan kamarnya, koper kecil sudah rapi di tangannya, dan beberapa tas lain tersusun di lantai. Ada rasa getir yang menggelayut di dadanya. Sejak beberapa minggu terakhir, rumah itu menjadi tempat ia berpijak meskipun penuh dengan pura-pura dan rahasia, tetap saja rumah itu memberikan kehangatan yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya.Sebelum ia benar-benar pergi, Arsya menyempatkan diri untuk berpamitan pada orang yang pertama kali menyambutnya di rumah itu, Bi Narsih. Perempuan paruh baya itu sedang membereskan ruang makan ketika Arsya menghampirinya.“Bi…” suara Arsya pelan, tapi cukup membuat wanita itu menoleh.“Oh, Mba Arsya. Ada apa? Mau sarapan dulu sebelum berangkat?” tanya Bi Narsih sambil mengusap tangannya yang sedikit basah karena bekas melap piring.Arsya menggeleng pelan. “Tidak, Bi. Saya cuma… mau pamit.”Dahi Bi Narsih berkerut, terlihat bingung. “Pamit? Memangnya mau ke mana, Mba?”A







