Home / Rumah Tangga / Jejak Luka, Jejak Cinta / Bab 7 Meniti Ulang Jejak Hidup

Share

Bab 7 Meniti Ulang Jejak Hidup

Author: Alfpaint
last update Last Updated: 2025-08-24 20:00:56

Pagi itu, sinar matahari masuk perlahan melalui celah tirai kamarnya. Arsya membuka mata dengan perlahan, merasakan kesejukan udara pagi yang menyelinap ke dalam ruangan. Sudah beberapa minggu ia berada di rumah ini, rumah yang begitu megah namun masih terasa asing bagi dirinya. Setiap hari ia berusaha untuk membangun kembali sisa-sisa dirinya yang dulu hancur.

Ia bangkit, melipat selimut, lalu berdiri di depan cermin yang terpasang di dinding. Wajahnya mulai tak sepucat dulu. Lingkaran hitam di bawah matanya perlahan memudar, tanda bahwa ia sudah mulai tidur dengan lebih baik meskipun mimpi buruk masih kadang datang.

"Hari ini aku harus tetap melangkah… walau sekecil apa pun langkah itu," bisiknya kepada diri sendiri, sebelum melangkahkan kakinya ke dalam kamar mandi.

Arsya terlebih dahulu membersihkan dirinya, sebelum menyiapkan segala keperluan Yasa,

Arsya kini sudah mulai hafal dengan tugas-tugasnya di rumah Yasa. Setiap pagi ia akan menyiapkan setelan pakaian kerja pria itu, merapikan dokumen-dokumen yang perlu dibawa, serta memastikan kebutuhan kecilnya telah tersedia.

Namun, selama beberapa minggu terakhir, Yasa sangat jarang berada di rumah. Kesibukan pekerjaannya membuatnya lebih banyak menghabiskan waktu di luar kota, atau terkadang pulang larut malam tanpa banyak bicara.

Bagi Arsya, itu justru sebuah berkah kecil. Ia tidak perlu sering berhadapan langsung dengan pria itu, yang sikapnya sulit ditebak dan cenderung dingin. Bukan berarti Yasa jahat atau kasar hanya saja, ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Arsya merasa tidak nyaman untuk terlalu dekat.

Mungkin karena tatapannya yang tajam, atau nada suaranya yang selalu tenang namun mengandung jarak.

Hari-hari Arsya kini dipenuhi dengan rutinitas sederhana. Pagi hari ia menyiapkan segala keperluan Yasa, siang ia membantu membereskan beberapa ruangan, dan sore ia biasanya mengatur ulang jadwal-jadwal yang telah diberikan oleh asisten pribadi Yasa yang lain.

Ia jarang berinteraksi dengan penghuni rumah selain para pembantu. Mereka pun lama-lama mulai mengenal dan menerima kehadirannya.

“Bu Arsya, ini jadwal rapat Tuan Yasa minggu depan. Katanya kalau beliau pulang, tolong letakkan di meja kerjanya,” ujar Deon sambil menyerahkan map.

Arsya menerimanya sambil tersenyum tipis. “Baik, terima kasih. Nanti saya atur.”

Setelah semua pekerjaannya selesai, ia biasanya kembali ke kamar. Tidak ada banyak hiburan di sana selain buku-buku lama dan ponsel yang jarang ia gunakan. Namun, justru dalam kesendirian itu, ia perlahan belajar berdamai dengan dirinya sendiri.

Meski masa lalu masih sering membayanginya, Arsya mulai berlatih untuk tidak terus-menerus memikirkannya. Setiap kali ingatan tentang Reysa datang senyum kecilnya, pelukannya, tangisannya, ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua itu telah berlalu.

“Aku tidak boleh terus berada di sana…,” gumamnya lirih suatu sore sambil duduk di kursi taman belakang rumah. “Reysa tidak akan senang kalau Mamanya terus begini.”

Bunga-bunga mawar di taman itu kini menjadi temannya setiap kali kesedihan datang menyergap. Ia merawatnya diam-diam, meski bukan tugasnya, hanya untuk memberi dirinya sedikit ketenangan.

-------------------------------------------------------------------------

Hari ini Yasa kembali dari dinas di luar kota, Arsya merasa setiap kali Yasa pulang, suasana rumah berubah. Bukan menjadi riuh, melainkan justru lebih tenang, terlalu tenang. Pria itu jarang bicara, hanya mengangguk singkat ketika Arsya melaporkan hal-hal kecil yang perlu diketahuinya.

Pernah suatu malam, Arsya memberanikan diri untuk berbicara sedikit lebih banyak. “Tuan Yasa , apakah besok Anda akan berangkat pagi?” tanyanya sopan sambil menyerahkan jadwal.

Yasa hanya meliriknya sekilas, lalu mengangguk. “Ya. Seperti biasa. Siapkan dokumen itu sebelum jam tujuh.”

Tidak ada ucapan terima kasih, tidak ada pertanyaan balik, tidak ada basa-basi.

Arsya sempat tersenyum kaku. “Baik, Tuan.”

Setelah pria itu pergi, ia hanya menghela napas panjang. “Entah mengapa, dia selalu seperti itu. Tenang, tapi… seperti tembok.”

Namun dalam hatinya, Arsya justru sedikit bersyukur. Dengan sikap Yasa yang dingin, setidaknya ia tidak perlu terbawa perasaan atau memiliki beban moral lain. Ia hanya ingin bekerja dengan baik, melunasi hutangnya, dan kemudian… entah. Mungkin pergi.

Hari-hari berjalan dengan pola yang sama. Arsya mulai merasa bahwa kesibukan ini, meski sederhana, justru menjadi penyelamatnya. Ia tidak lagi menghabiskan malam dengan menangis tanpa arah, melainkan dengan kelelahan yang membawanya tidur lebih nyenyak.

Ia mulai merawat dirinya sendiri makan teratur, berolahraga ringan di taman belakang, bahkan sesekali membantu memasak di dapur. Para pembantu lain sering memuji perubahan kecil itu.

“Mbak Arsya sekarang kelihatan lebih segar ya, beda sama waktu pertama kali ke sini,” ujar salah satu dari mereka suatu pagi. Mereka mengetahui apa yang terjadi pada Arsya sebelumnya.

Arsya hanya tersenyum samar. “Saya cuma berusaha… untuk hidup lagi.”

Mendengar ucapan Arsya seperti itu membuat mereka hanya mengangguk, tidak ingin membahas lebih jauh.

Meski demikian, luka di hatinya belum sepenuhnya sembuh. Ada hari-hari di mana ia kembali merasakan hampa, terutama setiap kali melewati sudut-sudut rumah yang mengingatkannya pada kehidupannya dulu, saat ia menyiapkan sarapan untuk Reysa, atau saat menunggu Bima pulang kerja dengan perasaan rindu yang kini terasa pahit.

Namun, perbedaan besar kali ini adalah, ia tidak lagi ingin mengakhiri hidupnya. Tidak sejak malam di jembatan itu.

Ia masih belum tahu akan ke mana arah hidupnya, tapi setidaknya kini ia tahu bahwa ia masih punya pilihan untuk tetap berjalan.

Suatu sore, saat ia tengah merapikan ruang kerja Yasa, matanya tertumbuk pada sebuah surat kecil yang tertinggal di meja. Isinya singkat, hanya pemberitahuan bahwa Yasa akan kembali terlambat beberapa hari ke depan karena urusan bisnis mendesak.

Arsya membaca sebaris kalimatnya yang rapi dan tegas. “Jaga rumah dengan baik. Saya percayakan kamu.”

Ia tidak tahu kenapa, tapi kata-kata itu membuat dadanya terasa sedikit lebih hangat. Bukan karena ada perhatian di dalamnya, justru sebaliknya, karena Yasa tidak pernah menulis kata-kata panjang, jadi sebaris kalimat itu terasa seperti bentuk kepercayaan yang sederhana.

Ia menaruh kembali surat itu, lalu tersenyum samar. “Baiklah, Tuan. Saya akan lakukan.”

Malam pun turun lagi, membawa keheningan yang familiar bagi Arsya. Ia duduk di balkon kecil kamar, memandang langit yang gelap dengan bintang-bintang yang jarang terlihat.

Hidupnya belum kembali seperti dulu. Luka itu masih ada. Tapi kini, untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sedang sendirian di dunia ini.

Sesuatu dalam dirinya mulai tergerak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jejak Luka, Jejak Cinta   Bab 21 Lingkup Baru

    Pagi itu, sinar matahari yang baru saja menyelinap di balik gedung-gedung tinggi Jakarta menembus tirai tipis kamar apartemen Arsya. Alarm kecil di meja nakas berbunyi pelan, cukup untuk membangunkan Arsya yang sudah terbiasa dengan rutinitas rumah besar milik Yasa . Namun, kali ini ada yang berbeda. Tidak ada langkah kaki pembantu rumah yang lalu-lalang, tidak ada suara Bi Narsih yang membangunkannya dengan panggilan lembut jika ia kesiangan, tidak ada hiruk pikuk rumah besar itu. Yang ada hanya kesunyian, aroma apartemen baru, dan secercah semangat yang mulai ia pupuk dalam dirinya.Arsya bangun lebih awal dari biasanya. Ia tahu hari ini akan menjadi hari pertama dirinya masuk ke kantor Yasa. Sebuah langkah besar dari seorang wanita yang dulunya hanya berstatus pembantu rumah tangga, menjadi asisten pribadi di perusahaan besar. Perubahan yang terjadi begitu cepat, namun semuanya terasa sangat nyata.Setelah membereskan tempat tidurnya, Arsya melangkah menuju koper yang ia letakkan d

  • Jejak Luka, Jejak Cinta   Bab 20 Berpamintan

    Pagi itu, udara di rumah besar keluarga Yasa terasa berbeda bagi Arsya. Ia berdiri di depan kamarnya, koper kecil sudah rapi di tangannya, dan beberapa tas lain tersusun di lantai. Ada rasa getir yang menggelayut di dadanya. Sejak beberapa minggu terakhir, rumah itu menjadi tempat ia berpijak meskipun penuh dengan pura-pura dan rahasia, tetap saja rumah itu memberikan kehangatan yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya.Sebelum ia benar-benar pergi, Arsya menyempatkan diri untuk berpamitan pada orang yang pertama kali menyambutnya di rumah itu, Bi Narsih. Perempuan paruh baya itu sedang membereskan ruang makan ketika Arsya menghampirinya.“Bi…” suara Arsya pelan, tapi cukup membuat wanita itu menoleh.“Oh, Mba Arsya. Ada apa? Mau sarapan dulu sebelum berangkat?” tanya Bi Narsih sambil mengusap tangannya yang sedikit basah karena bekas melap piring.Arsya menggeleng pelan. “Tidak, Bi. Saya cuma… mau pamit.”Dahi Bi Narsih berkerut, terlihat bingung. “Pamit? Memangnya mau ke mana, Mba?”A

  • Jejak Luka, Jejak Cinta   Bab 19 Peran Baru

    Pagi itu, langit Jakarta tampak sedikit mendung, seolah menandai sebuah keputusan besar yang akan diambil Yasa. Ia duduk di ruang kerjanya yang luas, jari-jarinya mengetuk meja kayu mahal itu dengan ritme pelan. Sudah dua hari sejak pembicaraannya dengan Arsya mengenai ide apartemen yang disarankan oleh Deon. Waktu itu, ia sempat ragu, mempertimbangkan kembali kekhawatiran yang diutarakan gadis itu mengenai jarak yang mungkin mengganggu kelancaran rencana mereka. Namun, dua hari terakhir, gelagat ibunya mulai menunjukkan sesuatu yang tidak menyenangkan. Hal itu membuat Yasa semakin tak tenang juga.Ditambah kemarin ibunya datang dengan alasan makan malam, Yasapun mau tak mau menyuruh Arsya ikut makan malam dengan mereka. Malam itu Herlina mulai bertanya-tanya lebih sering, mulai mengamati gerak-gerik Arsya dengan sorot mata yang penuh selidik. Tidak lagi hanya tersenyum ramah seperti sebelumnya, kini ada tatapan menyipit yang seolah ingin menguliti sandiwara mereka. Yasa tahu betul si

  • Jejak Luka, Jejak Cinta   Bab 18 Tawaran yang Mengguncang

    Langkah-langkah Yasa bergema pelan di koridor rumahnya yang malam itu terasa lebih sepi dari biasanya. Ia baru saja pulang, masih mengenakan jas kerjanya yang rapi namun sedikit kusut akibat hari yang panjang. Pikiran tentang pembicaraannya dengan Deon terus berputar di kepalanya. Malam sebelumnya ia menghabiskan waktu memikirkan cara terbaik untuk menjaga sandiwara ini tetap berjalan. Dan malam ini, ia sudah memutuskan untuk membicarakannya langsung dengan orang yang bersangkutan, yaitu Arsya.Lampu-lampu rumah sudah redup, hanya beberapa sudut yang masih menyala. Langkahnya berhenti di depan ruang kerjanya. Pintu sedikit terbuka, dan dari celahnya ia melihat cahaya lampu meja menyala. Yasa mengerutkan kening.Siapa di dalam?Ia mendorong pintu pelan. Di sana, ia melihat Arsya sedang merapikan beberapa dokumen yang tampaknya tadi digunakan olehnya. Di atas meja, terletak secangkir kopi panas yang asapnya masih mengepul.“Oh, Tuan Yasa,” sapa Arsya segera, berdiri sedikit kikuk saat m

  • Jejak Luka, Jejak Cinta   Bab 17 Rencana Deon

    Makan malam itu berjalan jauh lebih mulus dari yang Yasa perkirakan. Meja makan yang biasanya hanya menjadi tempat pertukaran basa-basi dingin, malam itu menjadi saksi percakapan ringan, tawa kecil, dan obrolan yang mengalir lebih hangat. Arsya memainkan perannya dengan sempurna, bahkan sesekali melempar gurauan yang membuat Ibu Herlina tersenyum samar, sebuah pemandangan langka yang selama ini sulit Yasa dapatkan, bahkan dari dirinya sendiri.Usai makan malam, mereka bertiga berbincang sejenak di ruang tamu. Herlina tidak banyak bicara, namun tatapan matanya cukup untuk membuat Yasa paham. Ibunya tidak sepenuhnya percaya, tapi ia memberi mereka kesempatan. Dan bagi Herlina, kesempatan adalah bentuk kepercayaan awal yang sangat berharga.Namun Yasa terlalu mengenal ibunya. Wanita itu tidak pernah benar-benar percaya hanya karena satu malam berjalan baik. Ia pasti akan menimbang, meneliti, menguji, dan jika perlu menggali sampai ke akar.Malam itu setelah pulang

  • Jejak Luka, Jejak Cinta   Bab 16 Undangan Makan Malam

    Malam telah larut ketika Yasa duduk di ruang kerjanya, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja kayu mahoni yang tertata rapi. Lampu meja yang redup memantulkan cahaya hangat, namun pikirannya terasa jauh lebih berisik dari keheningan malam itu. Telepon dari ibunya sore tadi masih terngiang jelas di telinganya nada suara Herlina begitu tegas, tak memberi celah untuk bernegosiasi. Yasa benar-benar di buat sakit kepala oleh ibunya."Kamu berani membawa wanita lain di kencan yang sudah Mami siapkan? Besok kamu ke rumah Ibu, dan bawa dia. Mami mau lihat wanita pilihanmu."Yasa mendesah berat, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia tahu ibunya bukan tipe orang yang mudah dibohongi atau dibujuk. Herlina memiliki ingatan yang tajam, matanya selalu awas, dan setiap gerak-gerik kecil tidak pernah luput dari perhatiannya. Membawa Arsya ke hadapan ibunya sama saja seperti membawa seekor rusa ke kandang singa, bisa saja semua kedok mereka terbongkar dalam sekejap. Harusnya ia juga mem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status