Home / Rumah Tangga / Jejak Luka, Jejak Cinta / Bab 6 Awal yang Asing

Share

Bab 6 Awal yang Asing

Author: Alfpaint
last update Last Updated: 2025-08-23 20:01:47

Arsya terbangun dengan napas tersengal. Tubuhnya terasa lemas, matanya berat seakan habis menangis sepanjang malam. Sisa-sisa air mata masih mengering di pipinya, membekas dingin. Ia terdiam lama, menatap kosong ke langit-langit kamar yang asing baginya.

Di kepalanya, bayangan masa lalu masih berkelebat, wajah Reysa, tawa kecilnya, tangisannya, hingga saat terakhirnya di rumah sakit. Semua terasa nyata, seperti baru saja terjadi. Arsya mengusap wajahnya perlahan, mencoba menghapus rasa sesak yang kembali menguasai dada.

“Aku masih hidup…” bisiknya lirih, seakan meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini bukan mimpi.

Kamar itu rapi, bersih, namun dingin. Dinding putihnya seperti tak menyimpan kehangatan apa pun. Ia belum terbiasa dengan tempat ini, rumah orang asing yang telah menyelamatkannya saat ia hendak mengakhiri hidup di jembatan malam itu.

Perlahan, Arsya duduk di tepi ranjang. Kepalanya masih berat, tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Beberapa hari terakhir ia hanya terbaring, berjuang melawan luka batin yang lebih sakit daripada luka fisik mana pun.

Meskipun begitu, hidupnya memang belum kembali, tapi entah mengapa, setelah malam-malam panjang yang ia habiskan dalam keheningan, ada sedikit kekuatan yang mulai tumbuh. Meski kecil, meski rapuh, namun ia sadar bahwa ia tidak bisa terus begini.

Dengan langkah pelan, ia berdiri. Jendela kamar dibiarkan sedikit terbuka, membiarkan udara pagi masuk. Cahaya matahari yang lembut menyusup ke dalam ruangan, menghangatkan kulitnya yang pucat.

Arsya menarik napas dalam-dalam. "Aku harus bisa… meski hanya untuk bertahan hari ini."

Setelah cukup lama berdiam di kamar, ia memutuskan keluar. Pintu kamar dibuka perlahan, dan lorong panjang menyambutnya. Rumah itu benar-benar luas, lantainya mengilap, dindingnya dihiasi lukisan-lukisan yang tampak mahal, dan setiap sudutnya terawat rapi.

Arsya melangkah perlahan, matanya berkeliling mencari seseorang, sosok pria yang telah menyelamatkannya yaitu Yasa.

Namun yang ia temukan hanyalah para pembantu rumah yang sedang sibuk dengan tugas masing-masing. Beberapa sedang membersihkan lantai, sebagian lainnya mengatur bunga di ruang tamu.

Salah satu dari mereka, seorang wanita paruh baya dengan wajah ramah, menghampirinya.

“Ah, Bu Arsya sudah bangun? Bagaimana apa sudah lebih baik?”

Arsya hanya mengangguk kecil. “Iya, Bu… maaf, Tuan Yasa ada?”

Wanita itu menggeleng pelan. “Tuan sedang keluar kota untuk urusan pekerjaan. Beliau berpesan agar Bu Arsya beristirahat, tapi juga… kalau sudah merasa lebih baik, bisa mulai beradaptasi di sini.”

Arsya terdiam sejenak. “Beradaptasi?”

Wanita itu tersenyum tipis. “Iya, Tuan Yasa sudah memberitahu kami mengenai pekerjaan yang akan diberikan kepada Nona.”

Arsya sempat mengernyitkan dahi. Ia mengingat kembali tawaran Yasa sebelum ia setuju dirawat di rumah sakit. Laki-laki itu tidak hanya menolongnya, tapi juga menanggung semua biayanya. Sebagai gantinya, ia menawarkan Arsya pekerjaan di rumahnya.

“Jadi… saya harus mulai bekerja dari mana?” tanyanya hati-hati.

Wanita paruh baya itu tersenyum, melihat raut kekhawatiran Arsya. “ Jangan khawatir, pekerjaan ini tidak berat. Tuan Yasa hanya ingin Nona membantu menyiapkan perlengkapan beliau sehari-hari. Pakaian, dokumen kerja, kebutuhan kecil… lebih seperti asisten pribadi daripada pembantu rumah.”

Mendengar itu membuat Arsya menarik napas panjang. Dalam hatinya masih ada rasa enggan, bukan karena gengsi, melainkan karena ia masih merasa terlalu lemah untuk melakukan apa pun. Namun ia juga sadar, ia berhutang pada Yasa. Biaya rumah sakit yang besar itu tidak akan mampu ia bayar jika hanya mengandalkan belas kasihan.

Arsya mengangguk “Baiklah… saya akan mengerti.”

Hari itu menjadi permulaan baru bagi Arsya. Meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, ia mengikuti instruksi pembantu-pembantu lain di rumah itu. Mereka menunjukkan di mana ruang kerja Yasa, lemari pakaian utamanya, jadwal-jadwal pentingnya, hingga daftar kebiasaan kecil yang perlu diperhatikan.

“Setiap pagi, Tuan Yasa suka minum kopi hitam tanpa gula,” kata salah satu pembantu muda sambil menunjukkan letak dapur kecil dekat ruang kerja.

“Pakaian kerja biasanya sudah disetrika, Nona hanya perlu memilihkannya sesuai jadwal harian beliau,” tambah yang lain.

Arsya mendengarkan dengan seksama. Ada rasa canggung yang belum bisa ia hilangkan. Bagaimanapun juga, ia dulu seorang istri, seorang ibu, yang terbiasa mengurus rumahnya sendiri. Kini, ia kembali seperti memulai dari nol, bekerja di rumah orang asing, di bawah atap yang bukan miliknya.

Tak terasa sore itu, setelah semua pekerjaan kecilnya selesai, Arsya kembali ke kamarnya. Kakinya terasa berat, tapi bukan karena lelah fisik melainkan kelelahan batin.

Ia duduk di tepi ranjang, memandang keluar jendela yang memperlihatkan taman belakang rumah. Angin sore berembus pelan, membawa aroma dedaunan basah.

Pikirannya melayang lagi pada Reysa. Pada senyum kecil yang tak lagi bisa ia lihat. Pada pelukan hangat yang kini hanya menjadi kenangan.

Air matanya kembali mengalir tanpa ia sadari. “Nak… kalau saja Mama bisa mulai lagi dari awal… Mama ngga akan kehilangan kamu. ”

Namun ia tahu, waktu tak bisa diputar. Yang bisa ia lakukan hanyalah berjalan ke depan, meski tertatih, meski hati ini masih penuh luka.

Malam itu, Arsya kembali berbaring. Tubuhnya terasa letih, tapi pikirannya justru tak bisa tenang. Pekerjaan barunya memang sederhana, namun ia merasa ini adalah langkah pertama—langkah kecil menuju sesuatu yang ia sendiri belum mengerti.

Yasa, pria yang telah menyelamatkannya, belum kembali. Ia belum sempat benar-benar berbicara dengan pria itu sejak sadar dari rumah sakit. Namun dari caranya mengatur rumah ini, dari cara para pekerjanya berbicara tentangnya, Arsya menangkap bahwa Yasa bukanlah orang sembarangan.

Arsya menutup mata. Untuk pertama kalinya sejak kepergian Reysa, ia merasa sedikit—sangat sedikit—ada arah yang bisa ia tuju, walau samar.

Malam merambat perlahan. Di luar, angin berembus lembut. Dan di dalam hatinya yang retak, ada secercah kecil harapan yang mulai menyala.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jejak Luka, Jejak Cinta   Bab 21 Lingkup Baru

    Pagi itu, sinar matahari yang baru saja menyelinap di balik gedung-gedung tinggi Jakarta menembus tirai tipis kamar apartemen Arsya. Alarm kecil di meja nakas berbunyi pelan, cukup untuk membangunkan Arsya yang sudah terbiasa dengan rutinitas rumah besar milik Yasa . Namun, kali ini ada yang berbeda. Tidak ada langkah kaki pembantu rumah yang lalu-lalang, tidak ada suara Bi Narsih yang membangunkannya dengan panggilan lembut jika ia kesiangan, tidak ada hiruk pikuk rumah besar itu. Yang ada hanya kesunyian, aroma apartemen baru, dan secercah semangat yang mulai ia pupuk dalam dirinya.Arsya bangun lebih awal dari biasanya. Ia tahu hari ini akan menjadi hari pertama dirinya masuk ke kantor Yasa. Sebuah langkah besar dari seorang wanita yang dulunya hanya berstatus pembantu rumah tangga, menjadi asisten pribadi di perusahaan besar. Perubahan yang terjadi begitu cepat, namun semuanya terasa sangat nyata.Setelah membereskan tempat tidurnya, Arsya melangkah menuju koper yang ia letakkan d

  • Jejak Luka, Jejak Cinta   Bab 20 Berpamintan

    Pagi itu, udara di rumah besar keluarga Yasa terasa berbeda bagi Arsya. Ia berdiri di depan kamarnya, koper kecil sudah rapi di tangannya, dan beberapa tas lain tersusun di lantai. Ada rasa getir yang menggelayut di dadanya. Sejak beberapa minggu terakhir, rumah itu menjadi tempat ia berpijak meskipun penuh dengan pura-pura dan rahasia, tetap saja rumah itu memberikan kehangatan yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya.Sebelum ia benar-benar pergi, Arsya menyempatkan diri untuk berpamitan pada orang yang pertama kali menyambutnya di rumah itu, Bi Narsih. Perempuan paruh baya itu sedang membereskan ruang makan ketika Arsya menghampirinya.“Bi…” suara Arsya pelan, tapi cukup membuat wanita itu menoleh.“Oh, Mba Arsya. Ada apa? Mau sarapan dulu sebelum berangkat?” tanya Bi Narsih sambil mengusap tangannya yang sedikit basah karena bekas melap piring.Arsya menggeleng pelan. “Tidak, Bi. Saya cuma… mau pamit.”Dahi Bi Narsih berkerut, terlihat bingung. “Pamit? Memangnya mau ke mana, Mba?”A

  • Jejak Luka, Jejak Cinta   Bab 19 Peran Baru

    Pagi itu, langit Jakarta tampak sedikit mendung, seolah menandai sebuah keputusan besar yang akan diambil Yasa. Ia duduk di ruang kerjanya yang luas, jari-jarinya mengetuk meja kayu mahal itu dengan ritme pelan. Sudah dua hari sejak pembicaraannya dengan Arsya mengenai ide apartemen yang disarankan oleh Deon. Waktu itu, ia sempat ragu, mempertimbangkan kembali kekhawatiran yang diutarakan gadis itu mengenai jarak yang mungkin mengganggu kelancaran rencana mereka. Namun, dua hari terakhir, gelagat ibunya mulai menunjukkan sesuatu yang tidak menyenangkan. Hal itu membuat Yasa semakin tak tenang juga.Ditambah kemarin ibunya datang dengan alasan makan malam, Yasapun mau tak mau menyuruh Arsya ikut makan malam dengan mereka. Malam itu Herlina mulai bertanya-tanya lebih sering, mulai mengamati gerak-gerik Arsya dengan sorot mata yang penuh selidik. Tidak lagi hanya tersenyum ramah seperti sebelumnya, kini ada tatapan menyipit yang seolah ingin menguliti sandiwara mereka. Yasa tahu betul si

  • Jejak Luka, Jejak Cinta   Bab 18 Tawaran yang Mengguncang

    Langkah-langkah Yasa bergema pelan di koridor rumahnya yang malam itu terasa lebih sepi dari biasanya. Ia baru saja pulang, masih mengenakan jas kerjanya yang rapi namun sedikit kusut akibat hari yang panjang. Pikiran tentang pembicaraannya dengan Deon terus berputar di kepalanya. Malam sebelumnya ia menghabiskan waktu memikirkan cara terbaik untuk menjaga sandiwara ini tetap berjalan. Dan malam ini, ia sudah memutuskan untuk membicarakannya langsung dengan orang yang bersangkutan, yaitu Arsya.Lampu-lampu rumah sudah redup, hanya beberapa sudut yang masih menyala. Langkahnya berhenti di depan ruang kerjanya. Pintu sedikit terbuka, dan dari celahnya ia melihat cahaya lampu meja menyala. Yasa mengerutkan kening.Siapa di dalam?Ia mendorong pintu pelan. Di sana, ia melihat Arsya sedang merapikan beberapa dokumen yang tampaknya tadi digunakan olehnya. Di atas meja, terletak secangkir kopi panas yang asapnya masih mengepul.“Oh, Tuan Yasa,” sapa Arsya segera, berdiri sedikit kikuk saat m

  • Jejak Luka, Jejak Cinta   Bab 17 Rencana Deon

    Makan malam itu berjalan jauh lebih mulus dari yang Yasa perkirakan. Meja makan yang biasanya hanya menjadi tempat pertukaran basa-basi dingin, malam itu menjadi saksi percakapan ringan, tawa kecil, dan obrolan yang mengalir lebih hangat. Arsya memainkan perannya dengan sempurna, bahkan sesekali melempar gurauan yang membuat Ibu Herlina tersenyum samar, sebuah pemandangan langka yang selama ini sulit Yasa dapatkan, bahkan dari dirinya sendiri.Usai makan malam, mereka bertiga berbincang sejenak di ruang tamu. Herlina tidak banyak bicara, namun tatapan matanya cukup untuk membuat Yasa paham. Ibunya tidak sepenuhnya percaya, tapi ia memberi mereka kesempatan. Dan bagi Herlina, kesempatan adalah bentuk kepercayaan awal yang sangat berharga.Namun Yasa terlalu mengenal ibunya. Wanita itu tidak pernah benar-benar percaya hanya karena satu malam berjalan baik. Ia pasti akan menimbang, meneliti, menguji, dan jika perlu menggali sampai ke akar.Malam itu setelah pulang

  • Jejak Luka, Jejak Cinta   Bab 16 Undangan Makan Malam

    Malam telah larut ketika Yasa duduk di ruang kerjanya, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja kayu mahoni yang tertata rapi. Lampu meja yang redup memantulkan cahaya hangat, namun pikirannya terasa jauh lebih berisik dari keheningan malam itu. Telepon dari ibunya sore tadi masih terngiang jelas di telinganya nada suara Herlina begitu tegas, tak memberi celah untuk bernegosiasi. Yasa benar-benar di buat sakit kepala oleh ibunya."Kamu berani membawa wanita lain di kencan yang sudah Mami siapkan? Besok kamu ke rumah Ibu, dan bawa dia. Mami mau lihat wanita pilihanmu."Yasa mendesah berat, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia tahu ibunya bukan tipe orang yang mudah dibohongi atau dibujuk. Herlina memiliki ingatan yang tajam, matanya selalu awas, dan setiap gerak-gerik kecil tidak pernah luput dari perhatiannya. Membawa Arsya ke hadapan ibunya sama saja seperti membawa seekor rusa ke kandang singa, bisa saja semua kedok mereka terbongkar dalam sekejap. Harusnya ia juga mem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status