LOGINArsya terbangun dengan napas tersengal. Tubuhnya terasa lemas, matanya berat seakan habis menangis sepanjang malam. Sisa-sisa air mata masih mengering di pipinya, membekas dingin. Ia terdiam lama, menatap kosong ke langit-langit kamar yang asing baginya.
Di kepalanya, bayangan masa lalu masih berkelebat, wajah Reysa, tawa kecilnya, tangisannya, hingga saat terakhirnya di rumah sakit. Semua terasa nyata, seperti baru saja terjadi. Arsya mengusap wajahnya perlahan, mencoba menghapus rasa sesak yang kembali menguasai dada.
“Aku masih hidup…” bisiknya lirih, seakan meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini bukan mimpi.
Kamar itu rapi, bersih, namun dingin. Dinding putihnya seperti tak menyimpan kehangatan apa pun. Ia belum terbiasa dengan tempat ini, rumah orang asing yang telah menyelamatkannya saat ia hendak mengakhiri hidup di jembatan malam itu.
Perlahan, Arsya duduk di tepi ranjang. Kepalanya masih berat, tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Beberapa hari terakhir ia hanya terbaring, berjuang melawan luka batin yang lebih sakit daripada luka fisik mana pun.
Meskipun begitu, hidupnya memang belum kembali, tapi entah mengapa, setelah malam-malam panjang yang ia habiskan dalam keheningan, ada sedikit kekuatan yang mulai tumbuh. Meski kecil, meski rapuh, namun ia sadar bahwa ia tidak bisa terus begini.
Dengan langkah pelan, ia berdiri. Jendela kamar dibiarkan sedikit terbuka, membiarkan udara pagi masuk. Cahaya matahari yang lembut menyusup ke dalam ruangan, menghangatkan kulitnya yang pucat.
Arsya menarik napas dalam-dalam. "Aku harus bisa… meski hanya untuk bertahan hari ini."
Setelah cukup lama berdiam di kamar, ia memutuskan keluar. Pintu kamar dibuka perlahan, dan lorong panjang menyambutnya. Rumah itu benar-benar luas, lantainya mengilap, dindingnya dihiasi lukisan-lukisan yang tampak mahal, dan setiap sudutnya terawat rapi.
Arsya melangkah perlahan, matanya berkeliling mencari seseorang, sosok pria yang telah menyelamatkannya yaitu Yasa.
Namun yang ia temukan hanyalah para pembantu rumah yang sedang sibuk dengan tugas masing-masing. Beberapa sedang membersihkan lantai, sebagian lainnya mengatur bunga di ruang tamu.
Salah satu dari mereka, seorang wanita paruh baya dengan wajah ramah, menghampirinya.
“Ah, Bu Arsya sudah bangun? Bagaimana apa sudah lebih baik?”Arsya hanya mengangguk kecil. “Iya, Bu… maaf, Tuan Yasa ada?”
Wanita itu menggeleng pelan. “Tuan sedang keluar kota untuk urusan pekerjaan. Beliau berpesan agar Bu Arsya beristirahat, tapi juga… kalau sudah merasa lebih baik, bisa mulai beradaptasi di sini.”
Arsya terdiam sejenak. “Beradaptasi?”
Wanita itu tersenyum tipis. “Iya, Tuan Yasa sudah memberitahu kami mengenai pekerjaan yang akan diberikan kepada Nona.”
Arsya sempat mengernyitkan dahi. Ia mengingat kembali tawaran Yasa sebelum ia setuju dirawat di rumah sakit. Laki-laki itu tidak hanya menolongnya, tapi juga menanggung semua biayanya. Sebagai gantinya, ia menawarkan Arsya pekerjaan di rumahnya.
“Jadi… saya harus mulai bekerja dari mana?” tanyanya hati-hati.
Wanita paruh baya itu tersenyum, melihat raut kekhawatiran Arsya. “ Jangan khawatir, pekerjaan ini tidak berat. Tuan Yasa hanya ingin Nona membantu menyiapkan perlengkapan beliau sehari-hari. Pakaian, dokumen kerja, kebutuhan kecil… lebih seperti asisten pribadi daripada pembantu rumah.”
Mendengar itu membuat Arsya menarik napas panjang. Dalam hatinya masih ada rasa enggan, bukan karena gengsi, melainkan karena ia masih merasa terlalu lemah untuk melakukan apa pun. Namun ia juga sadar, ia berhutang pada Yasa. Biaya rumah sakit yang besar itu tidak akan mampu ia bayar jika hanya mengandalkan belas kasihan.
Arsya mengangguk “Baiklah… saya akan mengerti.”
Hari itu menjadi permulaan baru bagi Arsya. Meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, ia mengikuti instruksi pembantu-pembantu lain di rumah itu. Mereka menunjukkan di mana ruang kerja Yasa, lemari pakaian utamanya, jadwal-jadwal pentingnya, hingga daftar kebiasaan kecil yang perlu diperhatikan.
“Setiap pagi, Tuan Yasa suka minum kopi hitam tanpa gula,” kata salah satu pembantu muda sambil menunjukkan letak dapur kecil dekat ruang kerja.
“Pakaian kerja biasanya sudah disetrika, Nona hanya perlu memilihkannya sesuai jadwal harian beliau,” tambah yang lain.Arsya mendengarkan dengan seksama. Ada rasa canggung yang belum bisa ia hilangkan. Bagaimanapun juga, ia dulu seorang istri, seorang ibu, yang terbiasa mengurus rumahnya sendiri. Kini, ia kembali seperti memulai dari nol, bekerja di rumah orang asing, di bawah atap yang bukan miliknya.
Tak terasa sore itu, setelah semua pekerjaan kecilnya selesai, Arsya kembali ke kamarnya. Kakinya terasa berat, tapi bukan karena lelah fisik melainkan kelelahan batin.
Ia duduk di tepi ranjang, memandang keluar jendela yang memperlihatkan taman belakang rumah. Angin sore berembus pelan, membawa aroma dedaunan basah.
Pikirannya melayang lagi pada Reysa. Pada senyum kecil yang tak lagi bisa ia lihat. Pada pelukan hangat yang kini hanya menjadi kenangan.
Air matanya kembali mengalir tanpa ia sadari. “Nak… kalau saja Mama bisa mulai lagi dari awal… Mama ngga akan kehilangan kamu. ”
Namun ia tahu, waktu tak bisa diputar. Yang bisa ia lakukan hanyalah berjalan ke depan, meski tertatih, meski hati ini masih penuh luka.
Malam itu, Arsya kembali berbaring. Tubuhnya terasa letih, tapi pikirannya justru tak bisa tenang. Pekerjaan barunya memang sederhana, namun ia merasa ini adalah langkah pertama—langkah kecil menuju sesuatu yang ia sendiri belum mengerti.
Yasa, pria yang telah menyelamatkannya, belum kembali. Ia belum sempat benar-benar berbicara dengan pria itu sejak sadar dari rumah sakit. Namun dari caranya mengatur rumah ini, dari cara para pekerjanya berbicara tentangnya, Arsya menangkap bahwa Yasa bukanlah orang sembarangan.
Arsya menutup mata. Untuk pertama kalinya sejak kepergian Reysa, ia merasa sedikit—sangat sedikit—ada arah yang bisa ia tuju, walau samar.
Malam merambat perlahan. Di luar, angin berembus lembut. Dan di dalam hatinya yang retak, ada secercah kecil harapan yang mulai menyala.
Pagi itu, suasana kantor tampak seperti biasa. Semua berjalan normal, namun di balik aktivitas yang terlihat rutin, tiga wanita yang selama ini menjadi duri bagi Arsya telah menyusun rencana baru. Rencana yang jauh lebih keji dari sebelumnya.Setelah kegagalan mereka kemarin yang malah berakhir dengan kekalahan memalukan, mereka tidak mau lagi sekadar bermain-main. Rasa iri yang sudah membakar mereka semakin menjadi-jadi setelah melihat Arsya kembali bekerja dengan tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan, dari pengamatan mereka, hubungan Arsya dengan Yasa tampak semakin dekat. Yasa mulai lebih sering memanggilnya ke ruangannya, memberinya tugas-tugas penting, bahkan beberapa kali terlihat mengajaknya bicara dengan nada yang tidak pernah mereka dapatkan selama bertahun-tahun bekerja.“Lihat aja tuh,” desis Rita, matanya tak lepas dari meja Arsya. “Dikasih perhatian lebih, disenyumin pula sama Pak Yasa. Padahal kemarin abis gue jambak tuh orang.”“Dan dia balik lagi kayak nggak ada a
Hari itu, suasana kantor terlihat seperti biasa. Aktivitas berjalan norma deru printer, suara langkah terburu-buru pegawai yang berpindah dari satu ruangan ke ruangan lain, dan aroma kopi yang samar menyelimuti lantai tempat Arsya bekerja. Namun, ada satu hal yang masih belum reda, gosip tentang dirinya.Sejak ia membawa bekal buatan sendiri dan memberikannya kepada Yasa, topik itu seperti api kecil yang terus dikipasi agar menyala. Beberapa staf perempuan, terutama yang merasa memiliki kedekatan lama dengan Yasa atau sekadar ingin diakui keberadaannya, semakin panas hatinya. Mereka tidak mengerti bagaimana seorang wanita yang baru beberapa minggu bekerja di sini bisa mendapatkan perhatian khusus dari sang pemilik perusahaan.“Lihat saja tadi pas makan siang,” bisik seorang pegawai di pantry, menahan suara agar tak terlalu jelas terdengar. “Pak Yasa makan bekal dari dia. Gila nggak tuh? Selama gue kerja di sini, nggak pernah ada yang kayak gitu.&rdquo
Pagi itu, jam baru menunjukkan pukul lima lewat sedikit ketika Arsya membuka matanya. Cahaya matahari belum sepenuhnya menyentuh permukaan kota, hanya samar-samar menembus gorden tipis apartemen yang ia tinggali. Suasana masih sunyi. Udara pagi terasa sedikit dingin, membuat kulitnya merinding sejenak saat kakinya menyentuh lantai.Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan debar jantung yang entah kenapa pagi ini terasa sedikit berbeda. Hari ini ia punya rencana kecil. Bukan rencana yang besar seperti balas dendam yang selama ini ia pendam, tetapi langkah sederhana yang mungkin saja bisa membuka jalur yang lebih luas menuju kepercayaan Yasa.Arsya melangkah ke kamar mandi, membiarkan air dingin mengalir di wajahnya. Selesai membersihkan diri, ia berdiri di depan cermin, memperhatikan wajahnya yang masih basah. Ada sedikit lingkaran gelap di bawah mata akibat begadang beberapa malam lalu, namun itu bukan masalah. Ia tersenyum samar pada bayangannya, lalu melilitkan
Hari-hari terasa berjalan dengan ritme yang berbeda bagi Arsya. Sudah hampir seminggu sejak ia resmi bekerja di perusahaan milik Yasa. Pagi, siang, hingga sore harinya kini dihabiskan di kantor besar itu, sebuah gedung tinggi yang berlapis kaca dengan suasana yang awalnya terasa asing, namun kini perlahan menjadi tempatnya belajar kembali mengenal dunia kerja.Sejak hari pertama ia diperkenalkan sebagai asisten pribadi Yasa di kantor, perhatian banyak mata seolah terus mengawalnya. Dari bisikan samar di balik meja, lirikan penuh rasa ingin tahu di lorong-lorong kantor, hingga tatapan sinis beberapa pegawai wanita yang merasa posisinya terusik. Arsya bisa merasakan semuanya, meski ia tidak menunjukkan reaksi berlebihan.“Katanya dia nggak punya pengalaman kerja di bidang ini sebelumnya, ya?” bisik salah satu karyawan yang melintas di dekat pantry.“Iya, tapi bisa langsung jadi asisten pribadi Pak Yasa. Coba bayangin, orang-orang di sini antri bertahun-tahun buat deket sama beliau,” sahu
Pagi itu, sinar matahari yang baru saja menyelinap di balik gedung-gedung tinggi Jakarta menembus tirai tipis kamar apartemen Arsya. Alarm kecil di meja nakas berbunyi pelan, cukup untuk membangunkan Arsya yang sudah terbiasa dengan rutinitas rumah besar milik Yasa . Namun, kali ini ada yang berbeda. Tidak ada langkah kaki pembantu rumah yang lalu-lalang, tidak ada suara Bi Narsih yang membangunkannya dengan panggilan lembut jika ia kesiangan, tidak ada hiruk pikuk rumah besar itu. Yang ada hanya kesunyian, aroma apartemen baru, dan secercah semangat yang mulai ia pupuk dalam dirinya.Arsya bangun lebih awal dari biasanya. Ia tahu hari ini akan menjadi hari pertama dirinya masuk ke kantor Yasa. Sebuah langkah besar dari seorang wanita yang dulunya hanya berstatus pembantu rumah tangga, menjadi asisten pribadi di perusahaan besar. Perubahan yang terjadi begitu cepat, namun semuanya terasa sangat nyata.Setelah membereskan tempat tidurnya, Arsya melangkah menuju koper yang ia letakkan d
Pagi itu, udara di rumah besar keluarga Yasa terasa berbeda bagi Arsya. Ia berdiri di depan kamarnya, koper kecil sudah rapi di tangannya, dan beberapa tas lain tersusun di lantai. Ada rasa getir yang menggelayut di dadanya. Sejak beberapa minggu terakhir, rumah itu menjadi tempat ia berpijak meskipun penuh dengan pura-pura dan rahasia, tetap saja rumah itu memberikan kehangatan yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya.Sebelum ia benar-benar pergi, Arsya menyempatkan diri untuk berpamitan pada orang yang pertama kali menyambutnya di rumah itu, Bi Narsih. Perempuan paruh baya itu sedang membereskan ruang makan ketika Arsya menghampirinya.“Bi…” suara Arsya pelan, tapi cukup membuat wanita itu menoleh.“Oh, Mba Arsya. Ada apa? Mau sarapan dulu sebelum berangkat?” tanya Bi Narsih sambil mengusap tangannya yang sedikit basah karena bekas melap piring.Arsya menggeleng pelan. “Tidak, Bi. Saya cuma… mau pamit.”Dahi Bi Narsih berkerut, terlihat bingung. “Pamit? Memangnya mau ke mana, Mba?”A







