Home / Romansa / Jejak Takdir Almira / Bab 9 Kedatangan Alvaro

Share

Bab 9 Kedatangan Alvaro

Author: Almira Ryanza
last update Huling Na-update: 2025-09-01 08:31:48

Keesokan harinya, Almira kembali menjalani rutinitas seperti semula. Almira duduk di meja kerjanya dengan setumpuk berkas yang siap di input. Meski tubuhnya sudah jauh lebih baik, kejadian pingsan beberapa waktu lalu mengingatkannya untuk tidak memaksakan diri lagi.

Setelah seharian bekerja, Almira akhirnya pulang. Langkahnya pelan, bahunya terasa berat menahan segala beban. Sesampainya di kosan, ia langsung disambut oleh Lestari yang duduk di kursi depan kamar kosnya dengan tangan bersedekap.

“Mir, sini sebentar,” ucapnya, nada suaranya penuh selidik.

Almira menaruh tasnya, lalu duduk di sebelah Lestari. “Kenapa, Mba?” tanyanya lemah.

Lestari menatapnya tajam, seakan sedang menginterogasi. “Kemarin itu siapa yang nganterin kamu? Mba sempet lihat walau samar kayaknya laki-laki. Hayoo ngaku siapa? Sepertinya dia bukan orang biasa.”

Almira berusaha tenang, padahal hatinya sedikit berdegup lebih cepat. “Oh itu, cuma orang yang kebetulan bantu aku waktu pingsan kemarin,” jelasnya pelan.

“Orang yang bantu kamu?” Mbak Lestari menaikkan alisnya, penasaran. “Maksudmu… orang yang nganter kamu itu? Lestari masih penasaran, matanya menyipit penuh rasa ingin tahu.

Almira menunduk, menatap jemari tangannya sendiri. “Ya…, dia yang bantu karena pas aku pingsan, dia kebetulan saja lewat. Aku nggak enak kalau harus cerita panjang, lagipula… itu bukan sesuatu yang penting, Mba.”

Lestari masih belum puas. “Tapi dari cara dia lihat kamu… kayak ada sesuatu. Jujur aja, Mir. Jangan-jangan—”

“Sudah, Mba,” potong Almira pelan, kali ini lebih tegas. Senyumnya tipis tapi matanya lelah. “Aku nggak punya energi buat mikirin yang begituan. Yang penting sekarang aku bisa kerja lagi, bisa bayar kos, dan… bisa tetap bertahan. Itu saja.”

Lestari terdiam, melihat gurat kelelahan di wajah Almira. Perlahan ia menghela napas panjang, akhirnya menyerah untuk tidak menggali lebih dalam. “Baiklah, kalau kamu memang nggak mau cerita, Mba nggak akan maksa. Tapi jaga dirimu, Mir. jangan sering menanggung semuanya sendirian.”

Almira hanya mengangguk, mencoba tersenyum walau hatinya getir. Ia tahu Lestari hanya peduli, tapi ada hal-hal yang lebih mudah ia simpan sendiri.

Malam itu, di balik keheningan kamar kosannya, Almira berbaring sambil menatap langit-langit. Sesekali ia teringat tatapan teduh Alvaro, tapi buru-buru ia tepis. Baginya, itu hanyalah sebuah kebaikan singkat—tak perlu diperpanjang, tak perlu dipikirkan terlalu jauh.

Pagi harinya, Almira kembali pergi ke kantor Tubuhnya memang mulai pulih, namun masih menyimpan banyak beban tetapi berusaha ia sembunyikan. Ia berusaha tersenyum walau tipis. Seolah semu baik-baik saja.

Seperti biasa, meja kerjanya sudah penuh dengan berkas-berkas yang harus diselesaikan. Nada bicara rekan-rekannya pun tak jauh berbeda; ada yang sekadar basa-basi, ada juga yang jelas-jelas bernada menyindir. “Eh, sudah sehat ya, Mir? Jangan-jangan kemarin sakitnya karena banyak yang dipikirin?” ujar salah satu rekan dengan senyum miring.

Almira menahan napas, lalu menjawab singkat, “Iya, sudah lebih baik. Makasih.”

Tak ada waktu untuk menanggapi lebih jauh. Ia memilih menunduk, fokus pada lembaran kertas, meski matanya agak berkabut.

Namun tekanan itu tak berhenti di situ. Deadline yang menumpuk membuat Almira harus bekerja ekstra cepat. Sementara beberapa rekan lain dengan enteng melempar pekerjaan tambahan ke mejanya. Ada rasa kesal, ada rasa lelah, tapi ia hanya bisa menguatkan diri.

Beberapa hari kemudian, soren itu ketika Almira baru saja sampai di kosan. Saat ia hendak membuka pintu kamarnya, suara langkah seseorang terdengar mendekat dari arah gerbang kos.

“Almira.”

Almira tertegun. Suara itu begitu familiar. Ia menoleh cepat, dan benar saja—Alvaro berdiri di sana dengan kemeja rapi, wajahnya tampak khawatir.

“Alvaro?” suaranya nyaris berbisik karena kaget.

Alvaro menghampirinya dengan tenang. “Aku kebetulan ada urusan di dekat sini, jadi sekalian mampir. Aku ingin memastikan keadaanmu… kamu baik-baik saja kan?”

Almira menelan ludah, lalu tersenyum kecil. “Aku… alhamdulillah. Sudah sehat. Terima kasih kamu sudah repot-repot datang kemari.”

Alvaro mengangguk, lalu menatapnya lebih serius. “ Oya, Mana ponselmu? aku mau memasukkan nomorku biar kamu mudah menghubungiku.”

Pertanyaan itu membuat Almira terdiam canggung. Ia menggeleng pelan. “Ponsel?Aku belum punya, jadi… tidak bisa dihubungi.”

Alvaro terkejut sejenak, lalu menghela napas pendek. “Begitu, ya. Ya sudah kalau begitu, lain kali aku bolehkan mampir lagi ke sini?.”

Almira hanya menunduk, merasa sungkan sekaligus hangat mendengar perhatian itu.

Sayangnya, momen itu tidak luput dari pandangan Lestari. Ia kebetulan baru pulang dari warung kecil di dekat kosan dan melihat jelas sosok Alvaro berdiri di depan Almira. Matanya langsung membesar penuh rasa ingin tahu. Ia buru-buru menghampiri.

“Mir!” serunya sambil melirik Alvaro dengan tatapan kepo. “Lho… ini siapa Mir?”

Almira serba salah, wajahnya memerah. “Ini… Alvaro, orang yang menolongku waktu itu, Mba.”

Alvaro hanya tersenyum sopan, lalu berpamitan karena tidak ingin membuat Almira semakin canggung. “Baiklah, saya tidak ingin mengganggu lebih lama. Almira, jangan lupa istirahat. Aku pamit.”

Setelah Alvaro pergi, Lestari langsung menatap Almira penuh selidik. “Mir… jadi itu toh orangnya? ganteng, perhatian pula. Pantas kamu diam-diam aja waktu aku tanya kemarin!”

“Mba…” Almira menunduk, wajahnya makin panas. “Jangan begitu. Aku… aku nggak mau mba mikir macam-macam. Itu hanya kebetulan, dia menolongku. ngak lebih.”

Lestari tersenyum nakal. “Tapi jelas banget lo dia perhatian sama kamu, Mir. Masih bilang ‘nggak lebih’?”

Almira menarik napas panjang, lalu menatap Lestari memohon. “Mba, jangan goda aku dengan hal seperti itu. Itu sesuatu yang mustahil. Kami berbeda dunia, berbeda status. Aku hanya orang biasa. Jadi… tolong jangan buat aku berfikir tentang sesuatu yang ngak mungkin.”

Nada suaranya tulus, bahkan sedikit bergetar. Lestari yang tadinya tersenyum menggoda akhirnya terdiam, lalu menghela napas lembut. Ia tahu Almira sungguh-sungguh.

“Baiklah, Mir,” ucapnya perlahan. “Mba janji nggak akan godain kamu lagi soal ini. Tapi ingat… kadang hidup suka kasih kejutan yang nggak kita sangka.”

Almira hanya tersenyum tipis, menahan rasa yang berputar di hatinya. Ia tahu benar—mimpi itu terlalu tinggi untuk dijangkau.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Jejak Takdir Almira   Bab 29 Tamparan

    Malam itu, di kejauhan, sebuah mobil hitam berhenti di tikungan tak jauh dari kosan Almira.Lampu jalan yang temaram hanya sedikit menerangi bodi mobil itu. Di dalamnya, seorang pria duduk diam, memperhatikan setiap gerak-gerik di halaman kecil itu. Matanya tajam, tak berkedip, menatap Alvaro dan Almira dari balik kaca. Dialah Arman, orang suruhan Rania yang ditugaskan untuk mengikuti Alvaro tanpa sepengetahuannya. Sudah berhari-hari ia membuntuti pria itu, mencatat ke mana ia pergi, dengan siapa ia bertemu, bahkan kapan ia pulang. Dan malam ini, ia kembali menjalankan perintah itu. Ia mengeluarkan ponselnya, mengambil beberapa foto, lalu menekan nomor yang sudah sangat ia hafal. “Sudah saya pastikan, Nona,” katanya pelan ketika panggilan tersambung. “Pak Alvaro menemui seorang wanita… di kosan sederhana, di kawasan Rawasari.” Di ujung sana, suara perempuan terdengar datar namun tajam. “ Siapa Wanita itu?” “Namanya Almira, salah satu staf admin dari salah satu perusaha

  • Jejak Takdir Almira   Bab 28 Rencana

    Malam itu, setelah semua staf pulang, kantor terasa sunyi. Hanya suara pendingin ruangan dan langkah Alvaro yang terdengar bergema di lorong. Ia berdiri sejenak di depan jendela besar, menatap lampu-lampu kota yang berkelip. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya—penyesalan, rindu, dan kegelisahan yang tak bisa ia abaikan lagi. Akhirnya, ia mengambil jasnya dan melangkah cepat menuju lift. Malam itu, ia hanya ingin menemui satu orang: Almira. Ketika ia tiba di depan kosan sederhana Almira. Ia memarkir mobilnya sedikit agak jauh, tak ingin menarik perhatian. Ia berdiri sejenak di depan pagar kecil itu, menenangkan napas. Lalu mengetuk perlahan. Tak lama, pintu terbuka. Almira muncul dengan pakaian sederhana, wajah lelah sehabis pulang kerja. Matanya terkejut melihat siapa yang berdiri di sana. “Pak Alvaro?” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. Alvaro hanya menatapnya. Sekian hari ia menahan rindu, tapi kini tatapan gadis itu dingin — tidak seperti dulu. Ada jarak yang

  • Jejak Takdir Almira   Bab 27 Keputusan

    Siang itu, suasana ruang kerja Alvaro terasa sangat menegangkan. Walau pendingin ruangan sudah dihidupkan, namun dia masih merasa gerah. Ada gemuruh yang berkecamuk di dadanya. Ia baru saja menyelesaikan rapat dengan tim manajemen rumah sakit ketika pintu ruangannya diketuk pelan. “Masuk,” ucapnya datar. Clara, asisten pribadinya masuk. Wajahnya terlihat ragu. Ia memegang tablet dengan kedua tangan, matanya menatap layar seolah tak yakin ingin membicarakannya. “Pak… ada hal yang sepertinya harus Bapak lihat.” Alvaro mengangkat kepala perlahan. “Apa?” Clara menelan ludah sebelum menjawab. “Beberapa portal berita… menulis tentang rencana pertunangan Bapak dengan Nona Rania Adiningrat.” Waktu seperti berhenti. Pena di tangan Alvaro jatuh ke meja. “Pertunangan?” suaranya meninggi tanpa sengaja. Clara langsung menunduk. “Iya, Pak. Sudah tersebar sejak pagi. Ada beberapa foto dari acara jamuan semalam. Semua portal besar sudah memuatnya. Bahkan media sosial perusahaan Adi

  • Jejak Takdir Almira   Bab 26 Gosip

    Pagi itu suasana kantor terlihat lebih ramai dari biasanya. Suara obrolan terdengar pelan dari beberapa staf yang ia temui sejak ia melewati pintu utama. Almira baru saja duduk di mejanya, ketika dua rekan kerja dari divisi lain datang menghampiri. “Mir, kamu udah denger belum?” tanya salah satunya dengan nada penuh gosip. Almira menatap sekilas sambil menyalakan komputernya. “Denger apa?”. "Berita tentang keluarga Pradipta Grup.” Tangannya yang hendak membuka laptop terhenti. “Kenapa dengan mereka?” “Katanya… semalam ada jamuan makan malam di rumah mereka. Dan sumber yang datang bilang, itu jamuan buat membicarakan pertunangan anaknya — Alvaro Pradipta — sama Rania Adiningrat.” Kalimat itu seperti palu yang jatuh di tengah dadanya. “Pertunangan?” ia mengulang pelan, berusaha memastikan ia tidak salah dengar. “Iya. Katanya dua keluarga itu udah lama menjalin kerja sama di proyek besar. Jadi, ya… kayaknya mau disatukan lewat pernikahan juga.” Temannya menatap Alm

  • Jejak Takdir Almira   Bab 25 Amarah

    Malam itu, Alvaro mendapat pesan singkat dari ayahnya. "Datanglah ke rumah. Ada jamuan makan malam penting. Tepat pukul delapan." Tak ada penjelasan lebih lanjut, tapi nada pesannya tak memberi ruang untuk bertanya. Alvaro sempat berpikir untuk menolak, namun sesuatu di dalam dirinya tahu — percuma. Ketika ayahnya sudah berbicara, penolakan hanyalah bentuk lain dari perlawanan yang akan berujung panjang. Ia tiba di rumah besar itu sedikit lewat pukul delapan. Lampu-lampu taman menyala lembut, bayangan pepohonan memantul di jendela kaca besar ruang tamu. Aroma masakan mewah tercium samar dari dapur. “Selamat malam, Nak Alvaro,” sapa salah satu pelayan dengan sopan. “Tuan dan Nyonya sudah menunggu di ruang makan.” Alvaro mengangguk singkat. Langkahnya pelan, tapi hatinya seperti diisi kabut. Sejak pertemuan dengan Rania malam sebelumnya, pikirannya tak pernah tenang. Namun begitu memasuki ruang makan, langkahnya spontan terhenti. Di meja makan panjang itu — ayahnya, ibu

  • Jejak Takdir Almira   Bab 24 Goyah

    Sejak pertemuan di kantor itu, pikiran Alvaro tak tenang. Keputusannya untuk menjauh akan menyembuhkan segalanya — menenangkan hati, menenangkan keadaan, melindungi Almira dari bayang-bayang kekuasaan ayahnya yang dingin dan kejam. Namun nyatanya, justru membuat batinnya semakin berantakan. Ia masih bisa mengingat dengan jelas tatapan Almira tadi siang nampak dingin. Seolah-olah mereka hanya sekadar rekan kerja. Padahal dulu, setiap kali ia menatap mata itu, dunia seolah berhenti berputar. Alvaro menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap langit-langit apartemen dengan fikirannya yang tak bisa diam. Ia menghela napas berat, menutup mata. Tapi yang muncul justru wajah Almira, senyumnya, suaranya, cara ia menunduk dengan lembut tapi tegas. Ia bahkan masih bisa merasakan bagaimana udara di ruang itu berubah ketika mereka berdiri dengan jarak hanya beberapa langkah. “Kamu sepertinya sengaja menghindariku, Mir…” gumamnya lirih. Tapi ia tahu jawabannya — karena itu keinginannya send

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status