Keesokan harinya, Almira kembali menjalani rutinitas seperti semula. Almira duduk di meja kerjanya dengan setumpuk berkas yang siap di input. Meski tubuhnya sudah jauh lebih baik, kejadian pingsan beberapa waktu lalu mengingatkannya untuk tidak memaksakan diri lagi.
Setelah seharian bekerja, Almira akhirnya pulang. Langkahnya pelan, bahunya terasa berat menahan segala beban. Sesampainya di kosan, ia langsung disambut oleh Lestari yang duduk di kursi depan kamar kosnya dengan tangan bersedekap. “Mir, sini sebentar,” ucapnya, nada suaranya penuh selidik. Almira menaruh tasnya, lalu duduk di sebelah Lestari. “Kenapa, Mba?” tanyanya lemah. Lestari menatapnya tajam, seakan sedang menginterogasi. “Kemarin itu siapa yang nganterin kamu? Mba sempet lihat walau samar kayaknya laki-laki. Hayoo ngaku siapa? Sepertinya dia bukan orang biasa.” Almira berusaha tenang, padahal hatinya sedikit berdegup lebih cepat. “Oh itu, cuma orang yang kebetulan bantu aku waktu pingsan kemarin,” jelasnya pelan. “Orang yang bantu kamu?” Mbak Lestari menaikkan alisnya, penasaran. “Maksudmu… orang yang nganter kamu itu? Lestari masih penasaran, matanya menyipit penuh rasa ingin tahu. Almira menunduk, menatap jemari tangannya sendiri. “Ya…, dia yang bantu karena pas aku pingsan, dia kebetulan saja lewat. Aku nggak enak kalau harus cerita panjang, lagipula… itu bukan sesuatu yang penting, Mba.” Lestari masih belum puas. “Tapi dari cara dia lihat kamu… kayak ada sesuatu. Jujur aja, Mir. Jangan-jangan—” “Sudah, Mba,” potong Almira pelan, kali ini lebih tegas. Senyumnya tipis tapi matanya lelah. “Aku nggak punya energi buat mikirin yang begituan. Yang penting sekarang aku bisa kerja lagi, bisa bayar kos, dan… bisa tetap bertahan. Itu saja.” Lestari terdiam, melihat gurat kelelahan di wajah Almira. Perlahan ia menghela napas panjang, akhirnya menyerah untuk tidak menggali lebih dalam. “Baiklah, kalau kamu memang nggak mau cerita, Mba nggak akan maksa. Tapi jaga dirimu, Mir. jangan sering menanggung semuanya sendirian.” Almira hanya mengangguk, mencoba tersenyum walau hatinya getir. Ia tahu Lestari hanya peduli, tapi ada hal-hal yang lebih mudah ia simpan sendiri. Malam itu, di balik keheningan kamar kosannya, Almira berbaring sambil menatap langit-langit. Sesekali ia teringat tatapan teduh Alvaro, tapi buru-buru ia tepis. Baginya, itu hanyalah sebuah kebaikan singkat—tak perlu diperpanjang, tak perlu dipikirkan terlalu jauh. Pagi harinya, Almira kembali pergi ke kantor Tubuhnya memang mulai pulih, namun masih menyimpan banyak beban tetapi berusaha ia sembunyikan. Ia berusaha tersenyum walau tipis. Seolah semu baik-baik saja. Seperti biasa, meja kerjanya sudah penuh dengan berkas-berkas yang harus diselesaikan. Nada bicara rekan-rekannya pun tak jauh berbeda; ada yang sekadar basa-basi, ada juga yang jelas-jelas bernada menyindir. “Eh, sudah sehat ya, Mir? Jangan-jangan kemarin sakitnya karena banyak yang dipikirin?” ujar salah satu rekan dengan senyum miring. Almira menahan napas, lalu menjawab singkat, “Iya, sudah lebih baik. Makasih.” Tak ada waktu untuk menanggapi lebih jauh. Ia memilih menunduk, fokus pada lembaran kertas, meski matanya agak berkabut. Namun tekanan itu tak berhenti di situ. Deadline yang menumpuk membuat Almira harus bekerja ekstra cepat. Sementara beberapa rekan lain dengan enteng melempar pekerjaan tambahan ke mejanya. Ada rasa kesal, ada rasa lelah, tapi ia hanya bisa menguatkan diri. Beberapa hari kemudian, soren itu ketika Almira baru saja sampai di kosan. Saat ia hendak membuka pintu kamarnya, suara langkah seseorang terdengar mendekat dari arah gerbang kos. “Almira.” Almira tertegun. Suara itu begitu familiar. Ia menoleh cepat, dan benar saja—Alvaro berdiri di sana dengan kemeja rapi, wajahnya tampak khawatir. “Alvaro?” suaranya nyaris berbisik karena kaget. Alvaro menghampirinya dengan tenang. “Aku kebetulan ada urusan di dekat sini, jadi sekalian mampir. Aku ingin memastikan keadaanmu… kamu baik-baik saja kan?” Almira menelan ludah, lalu tersenyum kecil. “Aku… alhamdulillah. Sudah sehat. Terima kasih kamu sudah repot-repot datang kemari.” Alvaro mengangguk, lalu menatapnya lebih serius. “ Oya, Mana ponselmu? aku mau memasukkan nomorku biar kamu mudah menghubungiku.” Pertanyaan itu membuat Almira terdiam canggung. Ia menggeleng pelan. “Ponsel?Aku belum punya, jadi… tidak bisa dihubungi.” Alvaro terkejut sejenak, lalu menghela napas pendek. “Begitu, ya. Ya sudah kalau begitu, lain kali aku bolehkan mampir lagi ke sini?.” Almira hanya menunduk, merasa sungkan sekaligus hangat mendengar perhatian itu. Sayangnya, momen itu tidak luput dari pandangan Lestari. Ia kebetulan baru pulang dari warung kecil di dekat kosan dan melihat jelas sosok Alvaro berdiri di depan Almira. Matanya langsung membesar penuh rasa ingin tahu. Ia buru-buru menghampiri. “Mir!” serunya sambil melirik Alvaro dengan tatapan kepo. “Lho… ini siapa Mir?” Almira serba salah, wajahnya memerah. “Ini… Alvaro, orang yang menolongku waktu itu, Mba.” Alvaro hanya tersenyum sopan, lalu berpamitan karena tidak ingin membuat Almira semakin canggung. “Baiklah, saya tidak ingin mengganggu lebih lama. Almira, jangan lupa istirahat. Aku pamit.” Setelah Alvaro pergi, Lestari langsung menatap Almira penuh selidik. “Mir… jadi itu toh orangnya? ganteng, perhatian pula. Pantas kamu diam-diam aja waktu aku tanya kemarin!” “Mba…” Almira menunduk, wajahnya makin panas. “Jangan begitu. Aku… aku nggak mau mba mikir macam-macam. Itu hanya kebetulan, dia menolongku. ngak lebih.” Lestari tersenyum nakal. “Tapi jelas banget lo dia perhatian sama kamu, Mir. Masih bilang ‘nggak lebih’?” Almira menarik napas panjang, lalu menatap Lestari memohon. “Mba, jangan goda aku dengan hal seperti itu. Itu sesuatu yang mustahil. Kami berbeda dunia, berbeda status. Aku hanya orang biasa. Jadi… tolong jangan buat aku berfikir tentang sesuatu yang ngak mungkin.” Nada suaranya tulus, bahkan sedikit bergetar. Lestari yang tadinya tersenyum menggoda akhirnya terdiam, lalu menghela napas lembut. Ia tahu Almira sungguh-sungguh. “Baiklah, Mir,” ucapnya perlahan. “Mba janji nggak akan godain kamu lagi soal ini. Tapi ingat… kadang hidup suka kasih kejutan yang nggak kita sangka.” Almira hanya tersenyum tipis, menahan rasa yang berputar di hatinya. Ia tahu benar—mimpi itu terlalu tinggi untuk dijangkau.Jam istirahat siang tiba. Almira menghela napas panjang setelah menyelesaikan satu tumpukan berkas. Perutnya sudah mulai protes, tapi kepalanya terasa lebih berat karena pekerjaan yang menunggu tak ada habisnya. Ia bangkit dari kursi, merapikan bajunya sebentar, lalu melangkah keluar kantor dengan langkah pelan. Udara luar sedikit lebih lega dibanding ruang kerja yang penuh tekanan. Almira berniat langsung menuju kantin, tapi langkahnya terhenti begitu melihat seseorang berdiri di dekat pagar kantor. Sosok itu tidak asing—kemeja rapi, map di tangan, senyum yang begitu dikenalnya. “Alvaro?” Pria itu menoleh, matanya berbinar kecil. “Tepat sekali. Aku memang menunggumu.” Almira mengerutkan dahi, sedikit canggung. “Menungguku?” Alvaro melangkah mendekat, suaranya tenang. “Kalau kamu tidak keberatan, aku ingin mengajakmu makan siang. Ada tempat yang ingin aku tunjukkan. Tempatnya sederhana, tapi aku yakin kamu akan suka.” Almira terdiam, ragu. Ia menoleh sebentar ke arah kantor, tak
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar Almira. Suasana sepi, hanya terdengar detak jarum jam. Almira duduk di tepi tempat tidur, menatap cermin di depannya. Hari itu terasa berbeda. Ada sesuatu yang membuat hatinya sedikit bergetar, meski ia berusaha menepisnya. Ia menepuk pipinya perlahan, mencoba menenangkan diri sebelum berangkat ke kantor. Almira menuju kantor dengan langkah ringan, meski pundaknya terasa berat menanggung beban pekerjaan yang belum selesai. Sesampainya di kantor, ia disambut oleh tumpukan dokumen, senyum tipis rekan kerjanya, dan beberapa komentar sarkastik yang membuatnya menahan napas. “Eh, Mir! Sudah sehat ya? Jangan-jangan kemarin sakit karena terlalu banyak dipikirin,” seloroh salah satu rekan, sambil menatapnya penuh sindiran. Almira hanya tersenyum tipis, menunduk, dan tetap fokus dengan pekerjaannya. Ia tidak punya energi untuk menjawab lebih jauh. Setiap lembar berkas terasa seperti beban, tapi ia berusaha menguatkan diri. Seperti hari
Keesokan harinya, Almira kembali menjalani rutinitas seperti semula. Almira duduk di meja kerjanya dengan setumpuk berkas yang siap di input. Meski tubuhnya sudah jauh lebih baik, kejadian pingsan beberapa waktu lalu mengingatkannya untuk tidak memaksakan diri lagi. Setelah seharian bekerja, Almira akhirnya pulang. Langkahnya pelan, bahunya terasa berat menahan segala beban. Sesampainya di kosan, ia langsung disambut oleh Lestari yang duduk di kursi depan kamar kosnya dengan tangan bersedekap. “Mir, sini sebentar,” ucapnya, nada suaranya penuh selidik. Almira menaruh tasnya, lalu duduk di sebelah Lestari. “Kenapa, Mba?” tanyanya lemah. Lestari menatapnya tajam, seakan sedang menginterogasi. “Kemarin itu siapa yang nganterin kamu? Mba sempet lihat walau samar kayaknya laki-laki. Hayoo ngaku siapa? Sepertinya dia bukan orang biasa.” Almira berusaha tenang, padahal hatinya sedikit berdegup lebih cepat. “Oh itu, cuma orang yang kebetulan bantu aku waktu pingsan kemarin,” jelasny
Pagi itu sinar matahari menembus jendela kamar rawat, menyinari wajah Almira yang masih pucat. Ia baru saja selesai sarapan bubur yang dibawakan perawat ketika pintu kamar diketuk pelan. Sejenak ia mengira itu perawat, namun ternyata yang datang Alvaro. Dengan jas dokter yang melekat di tubuhnya, ia menenteng sebuah map berisi catatan medis. Wajahnya tampak sedikit lebih lega dibanding beberapa hari terakhir. “Almira,” ucapnya tenang, “hasil pemeriksaanmu cukup baik. Kondisimu stabil, jadi hari ini kamu sudah diperbolehkan pulang.” Almira terdiam sejenak, antara senang dan ragu. Hatinya merasa lega karena bisa pulang, namun di sisi lain, ia khawatir tentang pekerjaan dan beban yang sudah menunggunya. “Benarkah, Dok?” tanyanya memastikan. Alvaro mengangguk mantap. “Ya. Tapi dengan syarat kamu tetap harus istirahat yang cukup. Jangan memaksakan diri bekerja terlalu keras dulu.” Ia sempat menghela napas, lalu menatap Almira lebih dalam. “Dan satu lagi… kenapa masih memanggil
Air mata Almira masih menggantung di sudut mata, membasahi pipinya yang pucat. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan, napas masih terasa sesak. Pikiran berputar, menolak percaya bahwa ada seseorang yang mau begitu saja menanggung bebannya—bahkan tanpa mengenalnya. Wajah ayahnya terlintas—samar, ia mengingat bagaimana ayahnya memperlakukannya. sikapnya yang keras, dingin, selalu merampas hasil kerjanya tanpa pernah peduli ia sudah makan atau belum. Ingatan itu membuat matanya semakin panas. Di sini, di ranjang rumah sakit, ia justru diperlakukan lebih manusiawi oleh orang asing yang bahkan baru ditemuinya. Almira menutup wajah dengan telapak tangan, tubuhnya bergetar menahan tangis. Tanpa sadar ia berucap pelan. “saya… tidak terbiasa ditolong dengan cuma-cuma. Saya takut… saya tidak bisa. membalasnya.” Alvaro tetap di kursinya, matanya tidak beranjak dari sosok rapuh di hadapannya. “ Dengar, Kamu tidak perlu berpikir sejauh itu sekarang,” ucapnya akhirnya, suaranya datar
Sore itu, Alvaro dengan jas hitam baru saja keluar dari sebuah kafe mewah di sudut kota. Siang itu, ia baru saja menyelesaikan meeting dengan perwakilan perusahaan pemasok alat-alat medis. Namun begitu menoleh ke arah jalan utama, langkahnya tiba-tiba terhenti. Di trotoar, tampak seorang wanita limbung, tubuhnya goyah seolah tidak punya tenaga. Dan sekejap kemudian, ia ambruk begitu saja. Dengan langkah lebar, Alvaro segera menghampiri. “Tolong beri jalan,” ucapnya tegas. Suaranya yang dalam membuat orang-orang refleks menyingkir. Kini ia melihat dengan jelas seorang wanita terbaring lemah di aspal, wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi pelipisnya. Napasnya tersengal, bibirnya nyaris tak berwarna. Alvaro berjongkok, memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan wanita itu. Wajahnya menegang. “Dia sangat lemah… bisa berbahaya kalau dibiarkan,” gumamnya rendah. Tanpa menunggu bantuan, ia mengangkat tubuh gadis itu. Beberapa orang terperanjat melihatnya menggendong wa