Share

Bab 10 Jejak

Author: Almira Ryanza
last update Last Updated: 2025-09-08 08:31:22

Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar Almira. Suasana sepi, hanya terdengar detak jarum jam. Almira duduk di tepi tempat tidur, menatap cermin di depannya.

Hari itu terasa berbeda. Ada sesuatu yang membuat hatinya sedikit bergetar, meski ia berusaha menepisnya. Ia menepuk pipinya perlahan, mencoba menenangkan diri sebelum berangkat ke kantor.

Almira menuju kantor dengan langkah ringan, meski pundaknya terasa berat menanggung beban pekerjaan yang belum selesai. Sesampainya di kantor, ia disambut oleh tumpukan dokumen, senyum tipis rekan kerjanya, dan beberapa komentar sarkastik yang membuatnya menahan napas.

“Eh, Mir! Sudah sehat ya? Jangan-jangan kemarin sakit karena terlalu banyak dipikirin,” seloroh salah satu rekan, sambil menatapnya penuh sindiran.

Almira hanya tersenyum tipis, menunduk, dan tetap fokus dengan pekerjaannya. Ia tidak punya energi untuk menjawab lebih jauh. Setiap lembar berkas terasa seperti beban, tapi ia berusaha menguatkan diri.

Seperti hari-hari sebelumnya, tekanan tidak berhenti begitu saja. Deadline terus menekan, dan beberapa rekan yang selalu melemparkan pekerjaan tambahan. Almira berusaha menahan rasa kesal dan lelah yang terus menumpuk.

Saat istirahat siang tiba, ia ke kantin. Langkahnya terasa berat, tapi matanya tetap fokus. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti.

“Almira?”

Suara itu begitu familiar hingga membuat jantungnya tercekat. Ia menoleh, dan di sana berdiri Alvaro, kemeja rapi, wajahnya menunjukkan sedikit kekhawatiran.

“Alvaro…” gumam Almira, suaranya nyaris tak terdengar.

Alvaro tersenyum lembut, suaranya hangat. “Aku kebetulan ada urusan di kantor sebelah, jadi mampir sekalian. Ayo kita makan siang bareng?”

Almira menelan ludah, mencoba tersenyum. “Aku… lumayan. Terima kasih sudah mampir.”

Almira mengerjap, wajahnya sempat menunjukkan keterkejutan.

“Boleh… aku juga belum makan,” jawabnya pelan, sedikit ragu namun tetap tersenyum dengan tulus..

Alvaro mengangguk senang. Keduanya lalu berjalan berdampingan menuju kantin. Suasana sederhana dengan deretan meja panjang dan aroma masakan menyambut mereka. Almira menunjukkan beberapa pilihan menu, sementara Alvaro mengikutinya dengan santai.

“Kalau di sini favoritmu apa?” tanya Alvaro sambil melirik papan menu.

Almira berpikir sejenak. “Aku biasanya cuma pesan nasi dan sayur, kadang campur tempe yang penting mengenyangkan.”

Alvaro menatapnya sejenak, tampak menunjukkan kejujuran disana, tapi ia tidak mengomentari lebih jauh. Ia justru tersenyum hangat. “Kalau begitu aku ikut kamu. Sayur pun pasti terasa enak kalau makannya bareng.”

Tak lama mereka sudah duduk berseberangan, nampak sederhana tapi terasa nyaman. Obrolan mengalir di antara mereka, tentang pekerjaan, hal-hal ringan, hingga beberapa candaan kecil yang membuat Almira sesekali tertawa.

Setelah makan selesai, Alvaro meletakkan sendoknya dan menatap Almira dengan senyum hangat. “Terima kasih sudah menemaniku makan siang. Rasanya lebih enak kalau ada teman bicara.”

Almira menunduk, menyembunyikan rona tipis di pipinya. “Aku juga…” suaranya nyaris tak terdengar.

Alvaro melirik jam tangannya. “Sayangnya aku harus balik, ada rapat lagi di kantor sebelah.” Ia berdiri, meraih mapnya. Sebelum benar-benar pergi, ia menatap Almira sekali lagi, lebih lama dari biasanya. “Jangan lupa makan teratur, Almira. Jangan sampai kamu sakit.”

Almira hanya bisa mengangguk. Ia menatap punggung Alvaro yang menjauh, ada perasaan hangat bercampur sepi tertinggal di dadanya.

Siang itu, setelah pertemuannya dengan Alvaro, Almira kembali ke kantornya. ia melanjutkan pekerjaannya. Saat menatap layar komputernya, pikirannya melayang pada pertemuan tadi. Hatinya terasa hangat, tapi juga canggung. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, dan kembali fokus pada pekerjaan. Meski begitu, setiap kali matanya menatap dokumen atau keyboard, bayangan senyum Alvaro masih muncul, seolah menempel di pikirannya.

Beberapa hari berikutnya, Almira masih menjalani rutinitas seperti biasa: berkas-berkas yang menumpuk, rekan-rekan yang kadang menyebalkan, dan deadline yang terus menekan. Ia berusaha tegar, tersenyum tipis, dan menahan rasa lelah di pundaknya.

Namun, takdir kadang suka memberi kejutan kecil. Saat sore menjelang, saat Almira berjalan pulang, di tikungan jalan menuju kosan, suara itu kembali memanggil namanya.

“Almira?”

Ia menoleh, dan di sana berdiri Alvaro, sambil melambaikan tangan. Hatinya kembali berdegup lebih cepat.

“Alvaro…” gumamnya, canggung dan gugup.

“Kebetulan aku lewat dan melihatmu disini,” kata Alvaro sambil tersenyum lembut. Mari sekalian aku antar pulang..."

Almira mengerjap, seakan tak yakin dengan tawaran itu. “Ah… tidak usah repot. Kosanku tidak jauh lagi, aku bisa jalan kaki.”

Alvaro mendekat beberapa langkah, nada suaranya tenang tapi tegas. “Bukan repot, Almira. Aku yang memang ingin memastikan kamu sampai dengan selamat.”

Almira menunduk, menimbang. Ada bagian dari dirinya yang masih enggan merepotkan orang lain, tapi ada pula bagian lain yang diam-diam merasa hangat menerima perhatian itu. Setelah hening sejenak, ia akhirnya mengangguk kecil. “Baiklah…”

Alvaro tersenyum lega, lalu menuntunnya ke mobil yang terparkir tak jauh dari sana. Sepanjang jalan, merek terus berbincang percakapan mereka ringan. Namun di sela percakapan itu, ada jeda yang membuat dada Almira bergetar, tatapan Alvaro yang begitu tulus.

Mobil berhenti di depan kosan Almira. Alvaro menoleh, menatap lembut. “Terima kasih sudah mengizinkan aku mengantar. Hati-hati, ya. Dan… jangan lupa makan malam nanti.”

Almira menahan senyum, bibirnya melengkung tipis. “Terima kasih… sudah merepotkan.”

“Tidak ada kata repot untuk hal ini,” balas Alvaro pelan. Ia memberi lambaian sebelum akhirnya melaju pergi, meninggalkan Almira berdiri di depan kos dengan hati yang berdebar tak karuan.

Almira masuk ke kamarnya dan menaruh tas, ia kemudian duduk di tepi ranjang, dan menatap langit-langit kamar. Bayangan senyum Alvaro terus muncul, membuat pipinya terasa hangat.

“Kenapa ya… hatiku begini setiap kali bertemu?” gumamnya pelan. Ia menepuk pelan pipinya, mencoba menenangkan diri. “Ah, ini mustahil. Aku harus fokus sama pekerjaan, sama hidupku sendiri.”

Malam itu, Almira tidur dengan pikiran yang masih berkecamuk. Ia berusaha menepis rasa aneh itu, tapi sulit. Setiap momen dengan Alvaro terus terulang di kepalanya: tatapan lembutnya, nada suaranya yang hangat, bahkan senyum tipis saat berpamitan.

Keesokan harinya, rutinitas Almira kembali padat. Ia bangun lebih pagi, menyiapkan diri, dan menatap tumpukan dokumen yang menunggu di meja kerjanya. Ia masih menunjukkan senyum tipis saat beberapa rekan menyapanya, namun matanya kadang kosong menatap layar. Meski begitu, ia menahan diri untuk tidak memikirkan Alvaro terlalu jauh.

Hari-hari berikutnya, sudah beberapa kali Almira bertemu dengan Alvaro di sekitar kosan, di jalanan saat pulang kerja. Hanya singkat, namun setiap pertemuan itu meninggalkan getaran di hatinya, membuatnya semakin bingung dengan perasaannya sendiri.

Almira menyadari satu hal: rasa itu nyata, tapi ia tidak boleh berharap terlalu jauh. Ia hanyalah orang biasa, sedangkan Alvaro adalah sosok yang berada di dunia yang berbeda dengannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jejak Takdir Almira   Bab 11 Handphone

    Jam istirahat siang tiba. Almira menghela napas panjang setelah menyelesaikan satu tumpukan berkas. Perutnya sudah mulai protes, tapi kepalanya terasa lebih berat karena pekerjaan yang menunggu tak ada habisnya. Ia bangkit dari kursi, merapikan bajunya sebentar, lalu melangkah keluar kantor dengan langkah pelan. Udara luar sedikit lebih lega dibanding ruang kerja yang penuh tekanan. Almira berniat langsung menuju kantin, tapi langkahnya terhenti begitu melihat seseorang berdiri di dekat pagar kantor. Sosok itu tidak asing—kemeja rapi, map di tangan, senyum yang begitu dikenalnya. “Alvaro?” Pria itu menoleh, matanya berbinar kecil. “Tepat sekali. Aku memang menunggumu.” Almira mengerutkan dahi, sedikit canggung. “Menungguku?” Alvaro melangkah mendekat, suaranya tenang. “Kalau kamu tidak keberatan, aku ingin mengajakmu makan siang. Ada tempat yang ingin aku tunjukkan. Tempatnya sederhana, tapi aku yakin kamu akan suka.” Almira terdiam, ragu. Ia menoleh sebentar ke arah kantor, tak

  • Jejak Takdir Almira   Bab 10 Jejak

    Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar Almira. Suasana sepi, hanya terdengar detak jarum jam. Almira duduk di tepi tempat tidur, menatap cermin di depannya. Hari itu terasa berbeda. Ada sesuatu yang membuat hatinya sedikit bergetar, meski ia berusaha menepisnya. Ia menepuk pipinya perlahan, mencoba menenangkan diri sebelum berangkat ke kantor. Almira menuju kantor dengan langkah ringan, meski pundaknya terasa berat menanggung beban pekerjaan yang belum selesai. Sesampainya di kantor, ia disambut oleh tumpukan dokumen, senyum tipis rekan kerjanya, dan beberapa komentar sarkastik yang membuatnya menahan napas. “Eh, Mir! Sudah sehat ya? Jangan-jangan kemarin sakit karena terlalu banyak dipikirin,” seloroh salah satu rekan, sambil menatapnya penuh sindiran. Almira hanya tersenyum tipis, menunduk, dan tetap fokus dengan pekerjaannya. Ia tidak punya energi untuk menjawab lebih jauh. Setiap lembar berkas terasa seperti beban, tapi ia berusaha menguatkan diri. Seperti hari

  • Jejak Takdir Almira   Bab 9 Kedatangan Alvaro

    Keesokan harinya, Almira kembali menjalani rutinitas seperti semula. Almira duduk di meja kerjanya dengan setumpuk berkas yang siap di input. Meski tubuhnya sudah jauh lebih baik, kejadian pingsan beberapa waktu lalu mengingatkannya untuk tidak memaksakan diri lagi. Setelah seharian bekerja, Almira akhirnya pulang. Langkahnya pelan, bahunya terasa berat menahan segala beban. Sesampainya di kosan, ia langsung disambut oleh Lestari yang duduk di kursi depan kamar kosnya dengan tangan bersedekap. “Mir, sini sebentar,” ucapnya, nada suaranya penuh selidik. Almira menaruh tasnya, lalu duduk di sebelah Lestari. “Kenapa, Mba?” tanyanya lemah. Lestari menatapnya tajam, seakan sedang menginterogasi. “Kemarin itu siapa yang nganterin kamu? Mba sempet lihat walau samar kayaknya laki-laki. Hayoo ngaku siapa? Sepertinya dia bukan orang biasa.” Almira berusaha tenang, padahal hatinya sedikit berdegup lebih cepat. “Oh itu, cuma orang yang kebetulan bantu aku waktu pingsan kemarin,” jelasny

  • Jejak Takdir Almira   Bab 8. Teguran

    Pagi itu sinar matahari menembus jendela kamar rawat, menyinari wajah Almira yang masih pucat. Ia baru saja selesai sarapan bubur yang dibawakan perawat ketika pintu kamar diketuk pelan. Sejenak ia mengira itu perawat, namun ternyata yang datang Alvaro. Dengan jas dokter yang melekat di tubuhnya, ia menenteng sebuah map berisi catatan medis. Wajahnya tampak sedikit lebih lega dibanding beberapa hari terakhir. “Almira,” ucapnya tenang, “hasil pemeriksaanmu cukup baik. Kondisimu stabil, jadi hari ini kamu sudah diperbolehkan pulang.” Almira terdiam sejenak, antara senang dan ragu. Hatinya merasa lega karena bisa pulang, namun di sisi lain, ia khawatir tentang pekerjaan dan beban yang sudah menunggunya. “Benarkah, Dok?” tanyanya memastikan. Alvaro mengangguk mantap. “Ya. Tapi dengan syarat kamu tetap harus istirahat yang cukup. Jangan memaksakan diri bekerja terlalu keras dulu.” Ia sempat menghela napas, lalu menatap Almira lebih dalam. “Dan satu lagi… kenapa masih memanggil

  • Jejak Takdir Almira   Bab 7 Permohonan Almira

    Air mata Almira masih menggantung di sudut mata, membasahi pipinya yang pucat. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan, napas masih terasa sesak. Pikiran berputar, menolak percaya bahwa ada seseorang yang mau begitu saja menanggung bebannya—bahkan tanpa mengenalnya. Wajah ayahnya terlintas—samar, ia mengingat bagaimana ayahnya memperlakukannya. sikapnya yang keras, dingin, selalu merampas hasil kerjanya tanpa pernah peduli ia sudah makan atau belum. Ingatan itu membuat matanya semakin panas. Di sini, di ranjang rumah sakit, ia justru diperlakukan lebih manusiawi oleh orang asing yang bahkan baru ditemuinya. Almira menutup wajah dengan telapak tangan, tubuhnya bergetar menahan tangis. Tanpa sadar ia berucap pelan. “saya… tidak terbiasa ditolong dengan cuma-cuma. Saya takut… saya tidak bisa. membalasnya.” Alvaro tetap di kursinya, matanya tidak beranjak dari sosok rapuh di hadapannya. “ Dengar, Kamu tidak perlu berpikir sejauh itu sekarang,” ucapnya akhirnya, suaranya datar

  • Jejak Takdir Almira   Bab 6 Pertemuan Pertama

    Sore itu, Alvaro dengan jas hitam baru saja keluar dari sebuah kafe mewah di sudut kota. Siang itu, ia baru saja menyelesaikan meeting dengan perwakilan perusahaan pemasok alat-alat medis. Namun begitu menoleh ke arah jalan utama, langkahnya tiba-tiba terhenti. Di trotoar, tampak seorang wanita limbung, tubuhnya goyah seolah tidak punya tenaga. Dan sekejap kemudian, ia ambruk begitu saja. Dengan langkah lebar, Alvaro segera menghampiri. “Tolong beri jalan,” ucapnya tegas. Suaranya yang dalam membuat orang-orang refleks menyingkir. Kini ia melihat dengan jelas seorang wanita terbaring lemah di aspal, wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi pelipisnya. Napasnya tersengal, bibirnya nyaris tak berwarna. Alvaro berjongkok, memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan wanita itu. Wajahnya menegang. “Dia sangat lemah… bisa berbahaya kalau dibiarkan,” gumamnya rendah. Tanpa menunggu bantuan, ia mengangkat tubuh gadis itu. Beberapa orang terperanjat melihatnya menggendong wa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status