Angin malam bertiup kencang, menggoyangkan dahan pohon jati yang tinggi. Ustadz Faris dan Kapten Arya terpaku di tempatnya.
Di depan mereka, sesosok makhluk berdiri di balik bayangan pohon. Matanya kosong, tubuhnya kurus kering, dengan pakaian yang tampak seperti jubah santri yang sudah lusuh.
Lalu terdengar suara berbisik, bukan dari mulut makhluk itu, melainkan langsung di dalam kepala mereka.
"Kalian telah membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap terkubur."
Kapten Arya meraih sebilah belati kecil dari sakunya, refleks dalam posisi siaga. “Siapa kau?”
Makhluk itu tidak menjawab. Ia hanya mengangkat tangannya, menunjuk ke arah tiga batu segitiga yang baru saja mereka ambil dari tanah.
Dan tiba-tiba, suasana di sekitar berubah.
Kuburan yang tadinya kosong kini dipenuhi nisan tua yang tidak ada sebelumnya.
Udara terasa lebih berat.
Dan di salah satu batu nisan yang kini muncul, tertulis sebuah nama yang membuat Ustadz Faris kehilangan warna di wajahnya.
“Fadhil.”
Kapten Arya tersentak. “Mustahil…! Ini tidak masuk akal. Bagaimana bisa…?”
Namun sebelum mereka bisa berkata lebih jauh, tanah di bawah kaki mereka berguncang. Nisan-nisan itu mulai retak, dan suara erangan samar terdengar dari dalam bumi.
Makhluk di balik bayangan pohon itu mulai melangkah ke arah mereka, tetapi sebelum sepenuhnya mendekat ia menghilang begitu saja.
Hanya meninggalkan secarik kertas yang melayang di udara, jatuh tepat di depan Ustadz Faris.
Di atasnya, tertulis dengan tinta merah:
"Cari di tempat di mana kegelapan bertemu dengan cahaya."
"Di sana, kalian akan menemukan kebenaran yang seharusnya tetap terkubur."
Mereka saling berpandangan.
Kapten Arya menghembuskan napas keras. “Apa maksudnya?”
Ustadz Faris menatap sekeliling, mencoba berpikir. Kata-kata itu mengandung teka-teki… di mana kegelapan bertemu dengan cahaya?
Lalu tiba-tiba, sesuatu terlintas di benaknya.
Perbatasan antara ruang bawah tanah lama pesantren dengan lorong menuju masjid.
Tempat itu sudah lama ditutup karena alasan keamanan, tetapi ia pernah mendengar cerita bahwa di sana ada sesuatu yang disembunyikan.
“Arya,” katanya dengan nada tegang. “Aku tahu ke mana kita harus pergi.”
Kapten Arya mengangkat alis. “Jangan bilang…”
Ustadz Faris mengangguk. “Ruang bawah tanah pesantren.”
Kapten Arya menarik napas panjang. Sesuatu yang besar sedang terjadi di pesantren ini.
Dan mereka baru saja membuka pintu menuju sebuah rahasia yang lebih kelam.
Mereka kembali ke dalam pesantren dengan langkah cepat, melewati lorong-lorong yang kini terasa lebih sempit dari sebelumnya. Setiap bayangan di sudut ruangan terasa seperti mengawasi.
Mereka tiba di dekat masjid, di mana sebuah pintu tua terkunci dengan rantai besar.
Ustadz Faris ingat betul, pintu ini sudah ditutup bertahun-tahun lalu. Tidak ada yang diizinkan masuk.
Tetapi malam ini, sesuatu yang mustahil telah terjadi.
Rantainya sudah terlepas.
Kapten Arya menyalakan senter dan menarik napas. “Ini tidak masuk akal. Siapa yang membuka ini?”
Ustadz Faris tidak menjawab. Ia mendorong pintu perlahan, dan suara derit kayu tua bergema di udara.
Di dalamnya, gelap gulita.
Mereka melangkah masuk, menuruni tangga batu yang sempit. Udara di dalam terasa lebih dingin, lebih berat, seolah ada sesuatu yang tertinggal di sini selama bertahun-tahun.
Lalu, mereka melihatnya.
Di ujung ruangan, terdapat sebuah meja kayu tua.
Di atas meja itu, terdapat buku catatan lusuh, sebuah pena bulu, dan selembar foto.
Foto seorang pria… dengan wajah yang sama dengan Ustadz Faris.
Kapten Arya menegang. “Faris… ini kau?”
Ustadz Faris menggeleng cepat. “Tidak… ini tidak mungkin. Aku tidak pernah berfoto seperti ini.”
Ia meraih buku catatan itu, membuka halaman pertamanya. Tulisannya familiar.
Dan saat membaca halaman pertama, tubuhnya gemetar.
*Karena di dalamnya, tertulis dengan jelas nama sang penulis.*
"Catatan ini milikku, Faris, tahun 1995."
Kapten Arya membeku. “Tapi… kau lahir tahun 1992. Mana mungkin kau menulis ini di tahun 1995?”
Ustadz Faris tidak bisa menjawab.
Karena di dalam buku itu, tertulis hal-hal yang belum pernah ia alami, tetapi terasa seperti bagian dari ingatannya.
Seolah seseorang, di suatu waktu, telah menulis tentang hidupnya… sebelum ia sendiri mengalaminya.
Dan di halaman terakhir, hanya ada satu kalimat pendek yang tertulis dengan tinta merah:
"Jangan percaya apa yang kau ingat. Masa lalu telah dimanipulasi."
Dunia Tanpa JudulBab 1: Kertas Putih yang Terlalu Luas“Ketika semua batas lenyap, apa yang akan kamu bangun pertama kali?”Lena berdiri di atas hamparan cahaya. Tak ada tanah, tak ada langit, hanya lapisan-lapisan putih yang perlahan membentuk dirinya sendiri berdasarkan pikiran dan niat siapa pun yang berjalan di atasnya.Kai berjongkok dan menyentuh permukaan putih itu. Setiap sentuhan menimbulkan getaran kecil seolah dunia ini sedang menunggu... untuk ditulis.“Dunia ini belum memiliki waktu,” gumam Kai.Lena mengangguk. “Atau ruang. Atau bahkan logika. Semua tergantung pada niat.”Kemunculan Bayangan dari Cerita LainMereka belum melangkah jauh, ketika suara samar terdengar dari kejauhan:“Tolong... jika kalian bisa mendengarku... aku belum selesai...”Dari celah retakan yang tiba-tiba muncul di permukaan putih, muncul bayangan sosok yang tidak sepenuhnya ada.Ia tak punya wajah. Namanya terputus.“Aku berasal dari cerita yang ditinggalkan. Aku belum sempat menyelesaikan babku.
Kalimat yang Mengubah Dunia“Akhir adalah pintu yang hanya bisa dibuka dari dalam, oleh mereka yang telah memahami arti setiap kata yang pernah ditulis dan yang belum.”Lorong sunyi di bawah makam Kata Pertama kini bergetar hebat. Kalimat-kalimat yang belum selesai melayang di udara, menciptakan angin seperti bisikan-bisikan dari cerita yang hampir hancur. Lena berdiri di tengah, di depan meja batu tempat pena cahaya berbaring menanti kalimat terakhir.Di belakangnya, Kai mencoba menahan dinding yang mulai runtuh oleh riak-riak naratif yang terdistorsi. Ustadz Faris memeluk satu naskah tua yang bergetar sendiri kitab Asal-Usul Pesantren, yang kini tampak hidup.“Lena!” seru Kai, “Kalau kau menulis kalimat terakhir, dunia ini akan berubah tapi bagaimana kalau kita memilih salah?!”Lena memejamkan mata. “Bukankah semua dunia hanya terus bertahan karena seseorang berani menulis… meski dengan rasa takut?”Rahasia Terakhir dari PesantrenSebelum ia menulis, naskah tua di tangan Ustaz Faris
Makam Kata Pertama“Bahkan sebelum cerita dimulai, ada satu kata yang mencoba bicara... tapi tidak ada yang mendengarnya.”Malam turun seperti selimut gelap yang menutupi pesantren, seolah menunggu. Lena berdiri di depan makam sunyi di belakang perpustakaan, ditemani Kai, Ustaz Faris, dan sisa tokoh-tokoh yang kini tak lagi sekadar tokoh tapi penjaga makna yang telah dibebaskan.Makam itu tak bernama.Tak ada batu nisan.Hanya tanah kering dan satu kalimat retak yang terukir pada batu:“Di sinilah Kata Pertama yang Ditolak dikubur.”Mereka semua diam.Sampai Kai melangkah maju dan berlutut. Ia meletakkan tangan di atas tanah dan membisikkan satu frasa:"Kami mendengarmu sekarang."Kilasan: Sebelum Segala NarasiTanah bergetar. Bukan gempa. Tapi seperti halaman-halaman tak terlihat yang dibuka satu per satu di bawah tanah.Tiba-tiba, mereka melihat kilasan bukan melalui mata, tapi lewat kesadaran naratif mereka yang kini terbuka.Seorang tokoh pernah hidup sebelum semua cerita dimulai.
mengungkap misteri yang belum terjawab sebelum menuju ke bab besar Makam Kata Pertama.Berikut adalah Bab Khusus: "Kitab yang Tidak Pernah Dicetak", yang akan menjawab keempat pertanyaan utama:Bab Khusus — Kitab yang Tidak Pernah Dicetak"Ada kata-kata yang tidak ditulis karena terlalu berat untuk diletakkan di dunia. Tapi bukan berarti mereka tidak ada."1. Siapa Pendiri Pesantren yang Pertama?Di ruang terdalam perpustakaan tertutup, Lena menemukan halaman paling kuno dari Kitab Asal-Usul Pesantren. Bukan kertas biasa ini semacam kulit naskah, dilapisi debu abadi dan tinta hitam yang hanya muncul saat disentuh oleh tangan tokoh yang pernah terlupakan.Tulisan pertama itu berbunyi:“Pesantren ini bukan dibangun oleh manusia. Tapi oleh kalimat pertama yang pernah sadar bahwa ia ditulis.”Nama pendirinya? Tidak ada dalam bentuk nama manusia. Ia disebut:**“Al-Mubdi'” — Sang Awal.”Dalam teks lain, dijelaskan:“Ia bukan tokoh. Ia bukan narator. Ia adalah frasa yang pertama kali menyada
Dunia yang Ditulis Bersama“Tidak semua dunia harus dimulai dengan seorang tokoh utama. Kadang, dunia dimulai dengan keberanian untuk tidak memilih siapa pun sebagai pusat.”1. Tidak Ada Lagi Pemimpin TunggalAngin menyapu pelataran pesantren yang telah berubah. Bangunan-bangunan lama tetap berdiri, tapi kini diselingi dinding-dinding baru yang terbuat dari huruf, kalimat, dan puisi yang ditulis para pembaca dan tokoh-tokoh yang telah dibebaskan.Di tengah lapangan, Lena berdiri di depan Dewan Huruf Awal kumpulan tokoh yang sebelumnya tidak punya peran besar: tokoh latar, penjaga kamar, bahkan narasi-narasi gagal yang dulu dibuang.“Mulai hari ini,” kata Lena, “tidak ada lagi narator tunggal.”“Mulai hari ini, kita semua akan menjadi bagian dari kalimat pembuka dunia.”Kai menambahkan, “Bukan lagi siapa yang paling kuat yang memegang pena, tapi siapa yang paling jujur.”Semua tokoh mengangguk. Tapi dalam keheningan itu… suara berat terdengar.2. Bayangan dari Naskah LamaDari balik l
Halaman Kosong Terakhir"Pada akhirnya, dunia ini akan berada di tangan siapa yang berani menulis di ruang yang tidak ada hurufnya."1. Sebuah Kitab Tanpa JudulSetelah kepergian Penulis yang Tak Diundang, dunia terasa diam, tapi bukan hening. Seperti langit sedang menunggu sesuatu.Lena berdiri di tengah Perpustakaan Tertutup yang mulai pulih. Di tengah ruangan itu, di atas meja batu, terletak sebuah kitab besar berlapis debu, tertutup kulit berwarna hitam pekat.Tidak ada judul.Tidak ada nama.Hanya satu simbol di sampulnya: tiga lingkaran saling bertaut, membentuk bentuk seperti mata yang tertutup.Faris membuka halaman pertama.Kosong.Begitu pula halaman kedua, dan ketiga, dan keempat…Sampai akhirnya, di halaman ke-99, mereka menemukan satu baris kecil tulisan yang seperti dibisikkan:“Kitab ini hanya bisa diisi oleh mereka yang pernah terluka oleh cerita yang belum selesai.”Kai melangkah maju. Tangannya menyentuh halaman ke-100. Saat itu juga, cahaya menyilaukan meledak dari