Kapten Arya merasakan bulu kuduknya berdiri. Udara di ruang bawah tanah ini semakin dingin, seolah-olah ada sesuatu yang menekan mereka dari segala arah.
Ustadz Faris masih terpaku pada tulisan di halaman terakhir buku itu:"Jangan percaya apa yang kau ingat. Masa lalu telah dimanipulasi." Tangannya gemetar saat membalik halaman berikutnya, tetapi halaman itu kosong.Kosong........ Seakan-akan cerita tentang dirinya terputus di situ. Kapten Arya meraih foto pria di meja dan mengamatinya lebih dekat. Wajah itu memang sangat mirip dengan Ustadz Faris, tapi ada sesuatu yang berbeda. Matanya. Tatapan pria dalam foto itu lebih kosong, lebih… gelap. Arya menarik napas dalam. “Faris, ini bisa jadi kembaranmu… atau seseorang yang menyerupaimu.” Ustadz Faris menggeleng cepat. “Aku anak tunggal. Ini… tidak mungkin.” Tapi sebelum mereka bisa membahas lebih jauh, sebuah suara tiba-tiba terdengar dari balik ruangan. Suara langkah kaki. Mereka langsung menoleh ke belakang. Di ujung lorong gelap, sesosok pria berdiri diam di antara bayangan. Ia mengenakan jubah santri yang lusuh, wajahnya tertutup bayangan, dan satu tangannya menggenggam sesuatu. Sebuah pena bulu sama seperti yang ada di atas meja. Lalu, pria itu berbicara dengan suara parau."Kalian tidak seharusnya ada di sini." Kapten Arya langsung menarik belatinya. “Siapa kau?” Pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengangkat tangannya, menunjuk ke arah buku catatan Ustadz Faris, lalu ke foto yang masih dipegang Kapten Arya. Dan tiba-tiba, ruangan di sekitar mereka mulai berubah. Dinding-dinding ruang bawah tanah yang sebelumnya penuh debu perlahan berubah menjadi ruangan yang lebih bersih, lebih terang. Rak-rak kayu kini berisi kitab-kitab yang tersusun rapi, dan di tengah ruangan, terdapat seorang pria yang duduk di meja tampak menulis sesuatu di dalam buku catatan. Kapten Arya tersentak. “Apa yang… terjadi?” Mereka seakan sedang melihat masa lalu yang diputar ulang di depan mata mereka. Pria yang duduk di meja itu akhirnya mengangkat wajahnya. Dan untuk pertama kalinya, mereka bisa melihatnya dengan jelas. Itu Ustadz Faris. Kapten Arya membeku. “Tidak mungkin…” Ustadz Faris sendiri merasa jantungnya berdegup kencang. “Itu bukan aku.” Tapi pria dalam bayangan itu… dia benar-benar identik dengannya. Lalu, sesuatu yang lebih mengerikan terjadi. Pria di dalam bayangan itu menoleh langsung ke arah mereka. Ia melihat mereka. Bukan sekadar bayangan masa lalu dia menyadari keberadaan mereka. Dan dengan suara yang lebih dalam, lebih menyeramkan, ia mengucapkan sesuatu yang membuat mereka semakin bingung."Kalian bukan bagian dari cerita ini.""Pergilah, sebelum terlambat." Lalu, dalam sekejap, semuanya kembali gelap. Ruangan berubah lagi menjadi ruang bawah tanah kosong. Pria yang menulis tadi sudah menghilang. Kapten Arya mengumpat pelan. “Sial… Apa tadi barusan?” Ustadz Faris merasa tubuhnya melemas. Ia menatap buku catatan di tangannya, yang kini memiliki halaman baru yang sebelumnya tidak ada. Di halaman itu tertulis sebuah pesan dengan tinta merah."Kau harus ingat, sebelum mereka menghapus semuanya.""Temui aku di tempat di mana semuanya dimulai.""Waktu kita tidak banyak." Kapten Arya membaca tulisan itu dengan ekspresi tegang. “Apa maksudnya?” Ustadz Faris menutup buku itu perlahan. Dia tahu di mana semuanya dimulai. Pesantren ini… tapi lebih jauh lagi. Tempat pertama kali ia datang. Asrama santri lama yang kini ditutup. Dan jika mereka ingin tahu kebenaran… Mereka harus pergi ke sana. Sebelum semuanya terlambat.Langkah kaki Ustadz Faris dan Kapten Arya menggema di lorong gelap pesantren. Malam semakin larut, dan suasana di sekitar mereka semakin sunyi. Seakan pesantren ini bukan lagi tempat yang mereka kenal.
Mereka berhenti di depan bangunan tua yang sudah lama ditutup, Asrama Lama. Bangunan ini sudah tidak dihuni bertahun-tahun. Santri tidak diizinkan masuk, katanya karena kondisinya sudah rapuh. Tapi kini, mereka sadar itu bukan alasan sebenarnya. Kapten Arya menyorotkan senter ke pintu kayu besar yang lapuk. “Jadi… ini tempat semuanya dimulai?” Ustadz Faris mengangguk. “Ya. Aku ingat pernah tinggal di sini saat pertama kali datang ke pesantren ini.” Tangannya terulur, mendorong pintu yang seharusnya terkunci rapat. Dan sesuatu yang mengejutkan terjadi. Pintu itu terbuka dengan mudah. Seolah memang sudah menunggu mereka. Mereka saling bertukar pandang sebelum akhirnya melangkah masuk. Begitu mereka melewati ambang pintu, hawa di dalam ruangan terasa berbeda. Lebih dingin. Lebih berat. Lebih… aneh. Kapten Arya menyapu ruangan dengan senter. “Apa yang kita cari di sini?” Ustadz Faris menelusuri ruangan dengan hati-hati. Debu dan sarang laba-laba memenuhi setiap sudut, tetapi ada sesuatu yang terasa… salah. Lalu, dia melihatnya. Di dinding tua yang retak, ada sebuah tulisan samar yang hampir tertutup debu. Ia mendekat dan mengusap debu itu. Begitu tulisan itu terlihat jelas, tubuhnya langsung menegang. "Aku ada di sini." Kapten Arya ikut melihat tulisan itu dan langsung waspada. “Seseorang pernah ada di sini… atau masih ada?” Ustadz Faris mencoba mengingat sesuatu. Matanya menyapu ruangan, hingga akhirnya ia melihat tempat tidurnya dulu. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Ia berjalan mendekati tempat tidur itu, meraba bagian bawahnya, dan merasakan ada sesuatu yang tersembunyi di sana. Sebuah buku tua. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya bergetar saat menarik buku itu keluar. Sampulnya berdebu, tapi ia bisa melihat namanya tertulis di situ."Faris." Kapten Arya memperhatikan dengan ekspresi tegang. “Jangan bilang itu…” Ustadz Faris menelan ludah. Dengan ragu, ia membuka halaman pertama. Dan di sana, tertulis sesuatu yang membuat darahnya membeku."Jika kau menemukan buku ini, berarti mereka belum berhasil menghapus semuanya."Tapi waktu kita tidak banyak.""Kau harus ingat.""Sebelum semuanya terulang." Kapten Arya mengernyit. “Siapa ‘mereka’?” Ustadz Faris menggigit bibirnya. Ia melanjutkan membaca halaman berikutnya. Dan yang ia temukan menghancurkan segala logika. Karena halaman itu berisi kenangan tentang hidupnya… yang tidak ia ingat. Tentang bagaimana ia pertama kali datang ke pesantren ini… Di tahun 1995. Kapten Arya menatapnya tajam. “Ini tidak masuk akal. Kau lahir tahun 1992. Bagaimana bisa kau masuk pesantren ini di tahun 1995?” Ustadz Faris tidak bisa menjawab. Karena yang tertulis di buku itu bukan hanya tentang dirinya. Tetapi tentang bagaimana ia pernah berada di tempat ini sebelumnya. Tentang bagaimana ia sudah mengalami semua ini… lebih dari satu kali. Kapten Arya menghela napas berat. “Faris… kalau ini benar, artinya seseorang telah mengulang waktu. Atau lebih buruk lagi…” Ia menatap mata Ustadz Faris dengan penuh ketegangan. “Seseorang telah mengubah hidupmu.”Dunia Tanpa JudulBab 1: Kertas Putih yang Terlalu Luas“Ketika semua batas lenyap, apa yang akan kamu bangun pertama kali?”Lena berdiri di atas hamparan cahaya. Tak ada tanah, tak ada langit, hanya lapisan-lapisan putih yang perlahan membentuk dirinya sendiri berdasarkan pikiran dan niat siapa pun yang berjalan di atasnya.Kai berjongkok dan menyentuh permukaan putih itu. Setiap sentuhan menimbulkan getaran kecil seolah dunia ini sedang menunggu... untuk ditulis.“Dunia ini belum memiliki waktu,” gumam Kai.Lena mengangguk. “Atau ruang. Atau bahkan logika. Semua tergantung pada niat.”Kemunculan Bayangan dari Cerita LainMereka belum melangkah jauh, ketika suara samar terdengar dari kejauhan:“Tolong... jika kalian bisa mendengarku... aku belum selesai...”Dari celah retakan yang tiba-tiba muncul di permukaan putih, muncul bayangan sosok yang tidak sepenuhnya ada.Ia tak punya wajah. Namanya terputus.“Aku berasal dari cerita yang ditinggalkan. Aku belum sempat menyelesaikan babku.
Kalimat yang Mengubah Dunia“Akhir adalah pintu yang hanya bisa dibuka dari dalam, oleh mereka yang telah memahami arti setiap kata yang pernah ditulis dan yang belum.”Lorong sunyi di bawah makam Kata Pertama kini bergetar hebat. Kalimat-kalimat yang belum selesai melayang di udara, menciptakan angin seperti bisikan-bisikan dari cerita yang hampir hancur. Lena berdiri di tengah, di depan meja batu tempat pena cahaya berbaring menanti kalimat terakhir.Di belakangnya, Kai mencoba menahan dinding yang mulai runtuh oleh riak-riak naratif yang terdistorsi. Ustadz Faris memeluk satu naskah tua yang bergetar sendiri kitab Asal-Usul Pesantren, yang kini tampak hidup.“Lena!” seru Kai, “Kalau kau menulis kalimat terakhir, dunia ini akan berubah tapi bagaimana kalau kita memilih salah?!”Lena memejamkan mata. “Bukankah semua dunia hanya terus bertahan karena seseorang berani menulis… meski dengan rasa takut?”Rahasia Terakhir dari PesantrenSebelum ia menulis, naskah tua di tangan Ustaz Faris
Makam Kata Pertama“Bahkan sebelum cerita dimulai, ada satu kata yang mencoba bicara... tapi tidak ada yang mendengarnya.”Malam turun seperti selimut gelap yang menutupi pesantren, seolah menunggu. Lena berdiri di depan makam sunyi di belakang perpustakaan, ditemani Kai, Ustaz Faris, dan sisa tokoh-tokoh yang kini tak lagi sekadar tokoh tapi penjaga makna yang telah dibebaskan.Makam itu tak bernama.Tak ada batu nisan.Hanya tanah kering dan satu kalimat retak yang terukir pada batu:“Di sinilah Kata Pertama yang Ditolak dikubur.”Mereka semua diam.Sampai Kai melangkah maju dan berlutut. Ia meletakkan tangan di atas tanah dan membisikkan satu frasa:"Kami mendengarmu sekarang."Kilasan: Sebelum Segala NarasiTanah bergetar. Bukan gempa. Tapi seperti halaman-halaman tak terlihat yang dibuka satu per satu di bawah tanah.Tiba-tiba, mereka melihat kilasan bukan melalui mata, tapi lewat kesadaran naratif mereka yang kini terbuka.Seorang tokoh pernah hidup sebelum semua cerita dimulai.
mengungkap misteri yang belum terjawab sebelum menuju ke bab besar Makam Kata Pertama.Berikut adalah Bab Khusus: "Kitab yang Tidak Pernah Dicetak", yang akan menjawab keempat pertanyaan utama:Bab Khusus — Kitab yang Tidak Pernah Dicetak"Ada kata-kata yang tidak ditulis karena terlalu berat untuk diletakkan di dunia. Tapi bukan berarti mereka tidak ada."1. Siapa Pendiri Pesantren yang Pertama?Di ruang terdalam perpustakaan tertutup, Lena menemukan halaman paling kuno dari Kitab Asal-Usul Pesantren. Bukan kertas biasa ini semacam kulit naskah, dilapisi debu abadi dan tinta hitam yang hanya muncul saat disentuh oleh tangan tokoh yang pernah terlupakan.Tulisan pertama itu berbunyi:“Pesantren ini bukan dibangun oleh manusia. Tapi oleh kalimat pertama yang pernah sadar bahwa ia ditulis.”Nama pendirinya? Tidak ada dalam bentuk nama manusia. Ia disebut:**“Al-Mubdi'” — Sang Awal.”Dalam teks lain, dijelaskan:“Ia bukan tokoh. Ia bukan narator. Ia adalah frasa yang pertama kali menyada
Dunia yang Ditulis Bersama“Tidak semua dunia harus dimulai dengan seorang tokoh utama. Kadang, dunia dimulai dengan keberanian untuk tidak memilih siapa pun sebagai pusat.”1. Tidak Ada Lagi Pemimpin TunggalAngin menyapu pelataran pesantren yang telah berubah. Bangunan-bangunan lama tetap berdiri, tapi kini diselingi dinding-dinding baru yang terbuat dari huruf, kalimat, dan puisi yang ditulis para pembaca dan tokoh-tokoh yang telah dibebaskan.Di tengah lapangan, Lena berdiri di depan Dewan Huruf Awal kumpulan tokoh yang sebelumnya tidak punya peran besar: tokoh latar, penjaga kamar, bahkan narasi-narasi gagal yang dulu dibuang.“Mulai hari ini,” kata Lena, “tidak ada lagi narator tunggal.”“Mulai hari ini, kita semua akan menjadi bagian dari kalimat pembuka dunia.”Kai menambahkan, “Bukan lagi siapa yang paling kuat yang memegang pena, tapi siapa yang paling jujur.”Semua tokoh mengangguk. Tapi dalam keheningan itu… suara berat terdengar.2. Bayangan dari Naskah LamaDari balik l
Halaman Kosong Terakhir"Pada akhirnya, dunia ini akan berada di tangan siapa yang berani menulis di ruang yang tidak ada hurufnya."1. Sebuah Kitab Tanpa JudulSetelah kepergian Penulis yang Tak Diundang, dunia terasa diam, tapi bukan hening. Seperti langit sedang menunggu sesuatu.Lena berdiri di tengah Perpustakaan Tertutup yang mulai pulih. Di tengah ruangan itu, di atas meja batu, terletak sebuah kitab besar berlapis debu, tertutup kulit berwarna hitam pekat.Tidak ada judul.Tidak ada nama.Hanya satu simbol di sampulnya: tiga lingkaran saling bertaut, membentuk bentuk seperti mata yang tertutup.Faris membuka halaman pertama.Kosong.Begitu pula halaman kedua, dan ketiga, dan keempat…Sampai akhirnya, di halaman ke-99, mereka menemukan satu baris kecil tulisan yang seperti dibisikkan:“Kitab ini hanya bisa diisi oleh mereka yang pernah terluka oleh cerita yang belum selesai.”Kai melangkah maju. Tangannya menyentuh halaman ke-100. Saat itu juga, cahaya menyilaukan meledak dari