Home / Thriller / Jejak di Balik Pesantren / Percakapan yang Tidak Pernah Ditulis

Share

Percakapan yang Tidak Pernah Ditulis

Author: InkRealm
last update Huling Na-update: 2025-06-18 22:21:58

Percakapan yang Tidak Pernah Ditulis

Langit di atas pesantren retak, seperti kaca yang tak sengaja disentuh oleh waktu. Setiap bayangan yang jatuh ke lantai seakan mengandung gema, seolah dunia mulai kehilangan kemampuannya membedakan suara dan diam.

Ustadz Faris berdiri di tengah aula tua yang dulunya digunakan untuk mengajar tafsir. Kini aula itu berubah menjadi semacam ruang gema, tempat kata-kata yang pernah diucapkan tidak lenyap, melainkan melayang tak tentu arah. Di sana, setiap bisikan bisa kembali sebagai percakapan yang belum pernah ditulis.

Kapten Arya datang membawa sebuah manuskrip lusuh. Tulisannya nyaris tak terbaca, kecuali oleh mereka yang pernah meragukan dirinya sendiri. Lena dan Kai mengikutinya dari belakang, tanpa berkata-kata. Mata mereka tidak fokus pada tulisan, melainkan pada ruang antara huruf.

“Ini bukan hanya teks,” ucap Arya, pelan. “Ini adalah ingatan yang belum selesai. Kita sedang berdiri di antara kalimat yang belum menentukan arah. Dan jika kita ber
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Jejak di Balik Pesantren   Halaman yang Tak Dituliskan

    Halaman yang Tak DituliskanLena berdiri di depan sebuah ruang yang belum pernah ada dalam peta dunia naratif. Dindingnya bukan dari batu, tapi dari lapisan kata yang tidak pernah sempat tertulis. Kalimat-kalimat yang tertinggal di ujung pena. Frasa yang berhenti sebelum sempat dimulai. Ia seperti dunia dalam draf: hidup, tapi belum selesai.Kai mengikutinya dari belakang, membawa lembaran yang ia temukan di antara puing-puing perpustakaan tua. Isinya bukan dokumen atau kitab, melainkan potongan narasi dari tokoh-tokoh yang pernah dilupakan. Setiap frasa itu seperti bisikan dari naskah yang nyaris punah. Bukan karena waktu, tapi karena tak pernah sempat dibaca."Lena," ucap Kai pelan, "ruang ini seperti... naskah masa depan."Lena menyentuh satu sisi dinding. Jarinya menyentuh teks yang seolah belum stabil. Kata-katanya bergoyang, kadang berubah bentuk, seakan mencari makna yang tepat."Kita tidak sedang membaca dunia," bisik Lena. "Kita sedang dituliskan olehnya."Sementara itu, jau

  • Jejak di Balik Pesantren   Penjaga Tinta Terakhir

    Penjaga Tinta TerakhirLangit di atas mereka bukan lagi langit. Ia seperti lembar kosong yang belum disentuh pena. Tak ada bintang. Tak ada warna. Tapi Lena bisa mendengar bisikan, seakan lembar itu menyimpan gema dari ribuan suara pembaca yang pernah membayangkan dunia ini.Kai berdiri di sampingnya, menatap ke arah pena terakhir yang kini tergenggam dalam genggaman Lena. Tapi tak satu pun dari mereka yang berani menggoreskan huruf pertama. Karena di balik pena itu, muncul sosok.Ia tidak datang dari arah mana pun. Ia tidak melangkah. Ia hanya tiba-tiba ada. Sosok berjubah abu-abu, wajahnya kabur, seolah belum ditulis.“Siapa kau?” tanya Kapten Arya, tangannya menggenggam gagang pedang yang selama ini hanya berfungsi sebagai simbol, bukan senjata.“Aku... adalah penjaga tinta yang belum tumpah,” jawab suara itu. Bukan nyaring, tapi terasa di dalam kepala. “Aku tidak menulis. Aku menjaga agar yang belum ditulis tetap murni.”Ustadz Faris maju perlahan. “Jadi kau bukan musuh?”“Tidak

  • Jejak di Balik Pesantren   Halaman Pembalik

    Halaman PembalikLangkah mereka tidak lagi bersuara di tanah yang biasa. Sejak meninggalkan ruang terakhir pesantren, Lena, Kai, Ustadz Faris, dan Kapten Arya melintasi jalur yang tidak ditulis dalam naskah mana pun. Mereka berjalan di atas kalimat yang belum selesai, di atas jeda antara satu bab dan bab lainnya. Mereka menyebutnya Halaman Pembalik, tempat transisi yang hanya bisa dilalui oleh tokoh-tokoh yang telah sadar bahwa mereka bukan hanya hasil tulis, tapi juga pembaca dalam bentuk lain.Di sini, langit tidak berwarna. Hanya hamparan putih kusam seperti kertas tua yang belum disentuh pena. Udara tidak mengandung angin, hanya gema dari narasi yang pernah ditinggalkan.Kai melangkah pelan, memperhatikan sekeliling. Ia melihat sosok-sosok samar, karakter-karakter dari cerita yang tidak pernah selesai. Ada seorang perempuan dengan mata kabur memegang payung dari fiksi romansa yang terpotong. Ada anak kecil dengan kepala tertunduk, berasal dari dongeng yang dihentikan di tengah ja

  • Jejak di Balik Pesantren   Mereka yang Pernah Dihapus

    Mereka yang Pernah DihapusBegitu Lena melangkah masuk ke dalam ruang dari cahaya dan jeda, suasana mendadak hening. Tidak seperti sunyi di ruang kosong, tapi seperti sunyi di dalam kepala yang sedang menyadari sesuatu. Ruang ini tidak memiliki dinding, tidak memiliki lantai, namun Lena bisa berdiri di dalamnya, bisa merasakan denyut setiap kalimat yang pernah ditulis, kemudian dicoret.Siluet manusia bermunculan. Samar, tak berbentuk utuh. Sebagian hanya nama, sebagian hanya emosi yang pernah digambarkan dalam satu paragraf lalu dihapus. Mereka adalah tokoh-tokoh yang tidak jadi. Yang ditulis oleh keraguan. Yang hidup di antara rancangan dan kehendak.Salah satu dari mereka mendekat. Ia tidak memiliki wajah, tapi Lena bisa merasakan bahwa ia pernah ada. Mungkin di bab yang hilang. Mungkin dalam ingatan pembaca yang tidak selesai membaca.“Apa kau akan menulis kami kembali?” suara itu muncul tanpa gerak bibir.“Aku tidak tahu,” jawab Lena jujur.“Jika kau tidak menulis kami, kami aka

  • Jejak di Balik Pesantren   Percakapan yang Tidak Pernah Ditulis

    Percakapan yang Tidak Pernah DitulisLangit di atas pesantren retak, seperti kaca yang tak sengaja disentuh oleh waktu. Setiap bayangan yang jatuh ke lantai seakan mengandung gema, seolah dunia mulai kehilangan kemampuannya membedakan suara dan diam.Ustadz Faris berdiri di tengah aula tua yang dulunya digunakan untuk mengajar tafsir. Kini aula itu berubah menjadi semacam ruang gema, tempat kata-kata yang pernah diucapkan tidak lenyap, melainkan melayang tak tentu arah. Di sana, setiap bisikan bisa kembali sebagai percakapan yang belum pernah ditulis.Kapten Arya datang membawa sebuah manuskrip lusuh. Tulisannya nyaris tak terbaca, kecuali oleh mereka yang pernah meragukan dirinya sendiri. Lena dan Kai mengikutinya dari belakang, tanpa berkata-kata. Mata mereka tidak fokus pada tulisan, melainkan pada ruang antara huruf.“Ini bukan hanya teks,” ucap Arya, pelan. “Ini adalah ingatan yang belum selesai. Kita sedang berdiri di antara kalimat yang belum menentukan arah. Dan jika kita ber

  • Jejak di Balik Pesantren   Saat Suara yang Membaca Menjadi Suara yang Ditulis

    Saat Suara yang Membaca Menjadi Suara yang DitulisLangit malam di atas menara pesantren tidak lagi biru pekat. Warnanya seperti tinta yang tumpah namun tertahan, menggantung di antara hitam dan ungu tua. Di bawahnya, Lena berdiri mematung di antara lembaran naskah yang beterbangan, sementara Kai mencatat ulang nama-nama yang sempat terhapus."Kita sudah melewati Dunia Frasa," kata Lena pelan, "tapi Dunia Pembaca itu... seperti gema yang belum selesai."Kai mengangguk. "Tapi gema itu berasal dari suara nyata. Suara yang membaca kita."Dalam Perpustakaan Tak Bernama, ruang tersembunyi yang hanya muncul di saat batas narasi mulai retak, Lena dan Kai menemukan catatan tangan Kapten Arya. Bukan catatan tentang misi atau doktrin, tetapi tentang suara. Suara pembaca."Aku pernah merasa seperti ditonton," tulis Arya. "Tapi lebih dari itu, aku merasa sedang dibentuk. Didorong. Mungkin oleh sesuatu di luar halaman ini."Mereka mengangkat kepala. Di luar jendela retak, cahaya samar seperti memb

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status