Dentum suara musik menggema, mengguncang lantai dansa yang penuh dengan tubuh-tubuh bergoyang. Lampu berkelip tajam, silau menusuk mata siapa pun yang menatapnya terlalu lama. Satya melangkah santai, aura berkuasa mengiringi setiap gerakan. Di sampingnya, sang asisten setia mengikutinya tanpa suara, menjaga jarak namun tetap sigap.
Malam kembali menelannya, sama seperti malam-malam sebelumnya. Rumah tak lagi menjadi tujuan untuk pulang, karena rumah hanyalah bangunan kosong yang penuh kenangan pahit. Orang tuanya sudah tiada, meninggalkan Satya seorang diri. Maka club, minuman keras, asap rokok, dan dentum musik inilah yang menjadi tempat ia mengubur kepenatan.
“Bos, ada tamu,” sapa seorang pria setengah baya dengan perut buncit, pemilik club ternama itu. Senyumnya canggung, berusaha ramah.
Satya hanya mendengus. “Hmmm.”
“Kalau begitu mari saya antar ke tempat biasa.”
Satya mengangguk, langkah kakinya mengikuti pria itu menuju lantai dua. Sebuah ruangan VVIP terbuka, pintunya tebal meredam bising. Di dalam, hanya ada sisa gema samar dentuman musik. Satya duduk di sofa empuk, membuka jas, melonggarkan beberapa kancing kemejanya. Sebatang rokok ia nyalakan, asapnya mengepul, melingkupi ruangan dengan aroma tajam yang menusuk hidung.
Ia bersandar, kepala terangkat menatap langit-langit. Kelopak matanya menutup, membiarkan pikirannya terseret ke masa dua hari lalu.
Bayangan itu datang lagi. Wanita penebus hutang yang masih perawan. Tubuh mungil yang gemetar, mata basah oleh air mata, bibir bergetar menahan isak. Suara jeritan kecil, rintihan memohon ampun, setiap detik terekam jelas di kepalanya. Tubuh halus, kulit lembut, aroma keringat bercampur takut yang entah mengapa justru membuat darahnya mendidih.
Satya terkejut ketika menyadari tangan kanannya meraba bagian intimnya sendiri. Rokok yang tadi ia genggam sudah terjatuh ke lantai, tersisa abu yang berantakan. Ia tidak pernah melakukan hal memalukan seperti ini sebelumnya, tapi bayangan gadis itu membuat tubuhnya panas, ereksinya muncul hanya dari ingatan.
“Ck, sialan…” gumamnya serak. Rambutnya diacak dengan kasar, wajahnya tegang.
Asistennya menatap bingung, tak berani bersuara.
“Perempuan semalam kemana?” tanya Satya tiba-tiba, suaranya rendah namun penuh tekanan.
Tubuh sang asisten langsung membeku. Ia sudah mencari ke mana-mana sejak pagi, tapi hasilnya nihil. Tidak ada jejak.
“Sa—saya sudah perintahkan orang untuk melacaknya, Bos,” jawabnya gugup. “Tapi… sampai sekarang belum ada yang menemukannya.”
Tatapan Satya menajam, membuat keringat dingin bercucuran di pelipis sang asisten.
“Dia perempuan dari desa. Mustahil hilang begitu saja di kota ini. Kecuali ada yang menyembunyikannya.”
Satya berdiri, langkahnya berat namun tegas. Bara amarah dan frustrasi tercampur jadi satu. Bayangan wajah polos gadis itu kembali hadir di kepalanya, senyum samar yang ia lihat sekilas sebelum berubah jadi tangisan ketakutan. Anehnya, justru bayangan itu yang membuat darahnya kembali mendidih.
Jika ia bukan wanita penggoda… kenapa rasanya masih begitu baru? Masih rapat, kaku, dan perih. Itu jelas bukan tubuh perempuan yang sudah berpengalaman. Rasanya ini adalah yang pertama.
Ia berdiri mendadak, membuat asistennya terlonjak. “Cari tahu,” desisnya. “Siapa yang menaruh sesuatu di minuman saya malam itu–"
Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. “Dan cari dia. Mati-matian kalau perlu. Aku ingin perempuan itu kembali ada di hadapanku.”
Asisten itu mengangguk cepat, tak berani menatap langsung ke arah bosnya.
Pintu kembali terbuka. Beberapa wanita masuk dengan pakaian minim, langkah menggoda, aroma tubuh menyeruak. Mereka tersenyum genit, berjalan mendekat sambil melepas satu per satu pakaian. Musik seksi diputar, tubuh mereka berlenggok di depan Satya.
Satu wanita bergaun hitam ketat duduk di pangkuannya, tangan nakal meraba dada bidangnya. Ia mendekat, bibirnya siap menempel. Namun tiba-tiba Satya membuka mata, tatapannya tajam menusuk.
“Turun.” Suaranya dingin. “Saya tidak suka ada yang menyentuh bibir saya.”
Wanita itu menelan ludah, turun perlahan, lalu berlutut, siap melakukan hal lain. Tapi Satya keburu mencengkeram pergelangan tangannya, menunduk menatap bagian intimnya sendiri. Ia meringis. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.
“Keluar kalian semua!” bentaknya keras.
Wanita-wanita itu buru-buru kabur, meninggalkan Satya seorang diri bersama asap rokok yang mulai tipis. Ia menggenggam rambutnya, mengusap wajah keras-keras. Biasanya, cukup melihat tubuh telanjang, burungnya sudah menegang. Tapi kini, sudah tiga malam, sama sekali tidak ada reaksi.
Malam pertama ia pikir karena lelah. Malam kedua ia kira efek mabuk. Tapi malam ketiga ini? Mustahil.
Yang lebih mengerikan, hanya bayangan gadis itu yang mampu membuatnya terangsang. Jeritan, isakan, tatapan ketakutan. Bagaimana bisa tubuhnya hanya merespons pada satu orang? Apa tubuhnya rusak? Atau… ada sesuatu yang lebih jahat dari sekadar masalah fisik?
Satya berdiri, wajahnya suram. “Besok siang antar saya ke dokter.”
Nada suaranya malas, namun asisten di sampingnya bisa melihat jelas ketegangan di rahang bosnya. Satya berjalan keluar ruangan, meninggalkan asap dan aroma parfum murahan. Dalam hati, ia mengutuk Rudy.
Jika benar wanita itu membawa sihir sialan yang menjeratnya, maka Satya tidak akan diam. Gadis itu harus membayar, dan Rudy akan ia hancurkan.
Cahaya lampu putih menyilaukan. Dara membuka mata perlahan, kelopak terasa berat. Helaan napasnya pendek, tubuhnya masih lemah. Saat kesadaran berangsur kembali, pandangan pertama yang ia lihat membuat jantungnya berdegup tak karuan.Satya.Pria itu duduk di kursi dekat ranjang, kaki bersilang, jas hitamnya masih rapi, wajahnya tegang. Tatapannya menusuk, tak pernah lepas dari Dara. Seperti seekor predator yang sedang menunggu mangsa terbangun.Dara tersentak, berusaha bangun, tapi tubuhnya terlalu lemah. Tangan dengan jarum infus bergetar. “Kenapa… aku di sini?” suaranya serak.Satya tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela asap rokok elektrik tipis, lalu mematikan perangkat itu. “Karena kau tumbang di depan mataku. Seharusnya aku biarkan kau tergeletak, tapi aku tidak suka meninggalkan sesuatu yang sudah menyentuh hidupku begitu saja.”Dara menggigit bibir, hatinya berdebar hebat. Kata-kata itu terdengar seperti ancaman. Ia merapatkan selimut ke tubuhnya. “Aku… bisa pulang sendiri
Satya tertegun sepersekian detik ketika tubuh mungil itu ambruk tepat di hadapannya. Suara benturan infus portabel dengan lantai terdengar nyaring, disusul helaan napas tersengal dari bibir Dara. Seketika darah Satya mendidih. Bukan karena iba, tapi karena rasa frustasi yang bercampur dengan obsesi yang makin menggila.“Brengsek…” desisnya, sebelum dengan cepat meraih tubuh lemah Dara.Bau antiseptik rumah sakit menusuk hidungnya, dan Satya bisa merasakan betapa rapuhnya gadis itu di dalam pelukannya. Tubuh Dara terasa dingin, jauh berbeda dari malam itu—malam yang terus menghantui pikirannya.“Ran—siapkan ruang VIP sekarang juga!” hardiknya pada asistennya, suaranya bergaung di sepanjang koridor.Beberapa perawat buru-buru menghampiri, memapah dan membantu Satya membawa Dara ke kamar perawatan khusus. Langkah-langkahnya keras, seolah tiap hentakan sepatu kulitnya adalah pelampiasan amarah yang tak kunjung padam.Begitu sampai di kamar VIP, Satya sendiri yang menurunkan tubuh Dara ke
“Apa? Maksud Anda, saya impoten begitu?” hardik Satya, telapak tangannya menghantam meja konsultasi hingga dokter di depannya terkejut. Wajahnya tegang, rahang mengeras, sorot matanya menusuk.Dokter itu menarik napas panjang, mencoba tetap tenang. “Bukan begitu, Pak. Organ reproduksi Anda baik-baik saja. Tidak ada kerusakan. Hanya saja… ada hal yang tidak beres pada otak Anda.”“Otak saya?” Satya mengulang, kening berkerut.“Benar. Jika boleh saya tahu, terakhir kali Anda berhubungan, kapan dan dengan siapa?” tanya dokter hati-hati.Satya mendengus, melirik asistennya malas. “Haruskah saya menjelaskan hal itu juga? Bukankah dokter yang seharusnya tahu kondisi pasiennya?”“Saya manusia biasa, sama seperti Anda. Kalau Anda tidak bercerita, bagaimana saya bisa mendiagnosis dengan baik?” jawab dokter sabar.“Tapi barusan Anda memeriksa saya. Bukankah itu sudah cukup?” Satya keukeuh, menahan malu.Dokter menggeleng. “Kalau begitu, cari dokter lain. Saya tidak bisa memberi diagnosa sembara
Dentum suara musik menggema, mengguncang lantai dansa yang penuh dengan tubuh-tubuh bergoyang. Lampu berkelip tajam, silau menusuk mata siapa pun yang menatapnya terlalu lama. Satya melangkah santai, aura berkuasa mengiringi setiap gerakan. Di sampingnya, sang asisten setia mengikutinya tanpa suara, menjaga jarak namun tetap sigap.Malam kembali menelannya, sama seperti malam-malam sebelumnya. Rumah tak lagi menjadi tujuan untuk pulang, karena rumah hanyalah bangunan kosong yang penuh kenangan pahit. Orang tuanya sudah tiada, meninggalkan Satya seorang diri. Maka club, minuman keras, asap rokok, dan dentum musik inilah yang menjadi tempat ia mengubur kepenatan.“Bos, ada tamu,” sapa seorang pria setengah baya dengan perut buncit, pemilik club ternama itu. Senyumnya canggung, berusaha ramah.Satya hanya mendengus. “Hmmm.”“Kalau begitu mari saya antar ke tempat biasa.”Satya mengangguk, langkah kakinya mengikuti pria itu menuju lantai dua. Sebuah ruangan VVIP terbuka, pintunya tebal me
“Mas, kamu mau ke mana?” tanya Dara pelan, masih mengenakan kebaya pengantin. Wajahnya teduh dengan senyum malu-malu, berusaha menyembunyikan degup jantungnya yang tak karuan.Kini ia mengikuti suaminya ke sebuah rumah kecil peninggalan orang tua Rudy, yang katanya akan jadi tempat tinggal mereka setelah menikah.Senyum tipis terukir di bibir Dara ketika melihat foto masa kecil Rudy yang tergantung di dinding. Ia membayangkan kelak foto pernikahan mereka akan dipajang di sana, menyempurnakan rumah mungil itu. Dengan langkah ringan ia masuk ke kamar utama, berniat berganti pakaian sambil menunggu suaminya pulang.Namun malam bergulir tanpa kepastian. Jam dinding menunjuk angka sepuluh, sementara makan malam yang ia siapkan sudah dingin. Dara menggenggam tangannya gelisah—tak mengenal jalan kota, ia tak mungkin keluar mencarinya.Ketukan keras di pintu membuatnya terlonjak. Bergegas, Dara membuka pintu dan mendapati Rudy berdiri dengan kemeja kusut, kancing terbuka, dan bau alkohol yang