“Mas, kamu mau ke mana?” tanya Dara pelan, masih mengenakan kebaya pengantin. Wajahnya teduh dengan senyum malu-malu, berusaha menyembunyikan degup jantungnya yang tak karuan.
Kini ia mengikuti suaminya ke sebuah rumah kecil peninggalan orang tua Rudy, yang katanya akan jadi tempat tinggal mereka setelah menikah.
Senyum tipis terukir di bibir Dara ketika melihat foto masa kecil Rudy yang tergantung di dinding. Ia membayangkan kelak foto pernikahan mereka akan dipajang di sana, menyempurnakan rumah mungil itu. Dengan langkah ringan ia masuk ke kamar utama, berniat berganti pakaian sambil menunggu suaminya pulang.
Namun malam bergulir tanpa kepastian. Jam dinding menunjuk angka sepuluh, sementara makan malam yang ia siapkan sudah dingin. Dara menggenggam tangannya gelisah—tak mengenal jalan kota, ia tak mungkin keluar mencarinya.
Ketukan keras di pintu membuatnya terlonjak. Bergegas, Dara membuka pintu dan mendapati Rudy berdiri dengan kemeja kusut, kancing terbuka, dan bau alkohol yang menusuk.
“Mas, kenapa?” Dara cemas, hendak meraih tangannya.
Tapi Rudy menepis kasar. Ia terhuyung lalu menjatuhkan diri ke sofa, terkekeh kecil. Tatapannya bukan lagi tatapan lembut yang selalu Dara kenal.
“Mas… kamu mabuk, ya?” suara Dara bergetar.
“Mabuk? Jangan sok tahu. Baru nikah, kamu pikir berhak ngatur hidupku?” bentaknya.
Dara menunduk, tercekat. Hatinya nyeri. Kenapa Rudy berubah begitu cepat, hanya beberapa jam setelah akad?
Lalu kalimat berikutnya menamparnya lebih keras dari apa pun.
“Lagipula aku nikahin kamu cuma buat nutup hutang. Jangan mimpi ada malam pertama sama aku. Paham?”
Air mata Dara jatuh. Ia menatap Rudy dengan penuh pertanyaan, tapi pintu rumah sudah lebih dulu terbuka.
Dua pria berwajah sangar masuk tanpa permisi. Salah satunya menatap Rudy dengan singkat sebelum berkata, “Bawa gadis ini. Bilang sama Bos, aku dapetin perawan desa buat dia.”
“Mas! Apa maksudnya?!” Dara menjerit panik ketika lengannya dicengkeram kasar. Ia meronta, mencoba meraih Rudy. “Tolong aku, Mas! Lepasin aku!”
“Lepas, kumohon. Mas Rudy!” teriak Dara dengan tangan yang mencoba meraih Rudy.
Namun Rudy hanya duduk di sofa dengan nyaman, ia menyalakan rokok dengan tenang dan menatap Dara tanpa rasa belas kasih sedikitpun. Dia menyeringai ketika Dara terus menjerit dan meronta.
“Pergilah, dan layani Tuanku dengan sebaik mungkin. Kamu adalah alat penebus hutangku,” desisnya dengan dingin, dia tertawa terbahak ketika melihat tetes air mata yang Dara keluarkan. Wanita itu begitu bodoh, mengobral cinta hanya secuil langsung percaya begitu saja.
Dara meronta, tangisnya memecahkan kesunyian malam. Dia terus berteriak di dalam mobil yang ia tumpangi, baju tidurnya sedikit sobek karena tarikan yang begitu kencang. Ia terus memanggil nama Rudy, namun pria itu tak pernah menoleh lagi.
Mobil hitam itu berhenti di salah satu gedung tinggi menjulang, Degup jantung Dara berdetak dengan cepat ketika ia dipaksa turun. Tangannya kembali diseret dan meninggalkan jejak merah yang tercetak jelas di kulit putihnya.
Ia dibawa ke sebuah ruangan mewah, dimana seseorang sedang menunggu hadirnya. Seorang pria mendekat, meneliti penampilannya dan menyerahkan satu topeng yang hanya menutupi sebagian wajah Dara.
“Dia masih perawan, tersegel, dan tentu bersih,” jelas pria gendut itu, dia bersandar pada kursi dengan cerutu di tangannya.
Pria itu terlihat menilai, dia mengangguk pelan dan kembali menatap pada pria gendut itu. “Berapa harga yang kau tawarkan?”
“Satu miliar.”
Dara meremas kedua tangannya, tidak menyangka bahwa pria tua itu menjualnya dengan harga yang begitu fantastis. Dia sedikit menatap pada Randy, menunggu reaksi dari pria itu.
“Oke.”
“Pakai, dan jangan pernah membukanya. Apapun yang tuan inginkan, kamu harus mampu melakukannya.”
Perintah itu bergema di dalam pikiran Dara, dia kembali diseret paksa oleh satu pria.
Pintu megah berada di depannya, dengan sekali dorong, Dara masuk ke dalamnya. Dara begitu takut, dia terus mencoba menggedor pintu, tapi semua terasa sia-sia saja. Kaki jenjangnya mencoba melangkah, menyusuri setiap jengkal ruangan, sampai Dara berhenti di depan seorang pria yang terlihat sedang duduk dengan tenang di atas sofa.
Iris hitamnya menatap sekitar, sampai menemukan sosok indah di atas ranjang.
Langkah Dara terus mendekat, menatap pada pria di atas ranjang dengan senyum menawannya. Langkah itu pasti, dengan harapan yang terlihat nyata.
Jemari lentik Dara bergerak pelan, ketika berada tepat di samping Satya. Dia mengusap pelan dada bidang Satya dengan ujung jemari indahnya.
Satya membuka mata, iris hitam itu menggelap ketika tubuhnya disentuh dengan begitu lancang. Tangan besarnya menggenggam dengan erat jemari lentik Dara, membuat gadis itu meringis pelan.
“Sttt … sakit Tuan,” bisik Dara, suaranya terdengar lemah.
“Siapa kau, kenapa datang ke kamar ini?” tanya Satya dengan sisa kesadaran yang ia punya. Dia menatap tidak suka dengan kehadiran Dara.
Rasa panas di tubuh Satya membuat ia hilang akal, dengan gigi gemeretak menahan amarah, tangan besarnya meraih pinggang ramping Dara. Dengan sekali sentak, tubuh mungil itu berada di atas kasur dengan posisi terlentang.
Satya mulai melepas kemeja miliknya dengan cepat, dia menunduk dan mulai menyesap area leher Dara. Satya benar-benar lepas kendali, obat membuat ia melupakan segalanya.
“Ah … sakit, Tuan,” bisik Dara dengan seksi, dia tersenyum miring di balik punggung Satya, terus berteriak dan membisikan suara indah ke telinga pria itu.
Rasa panas yang menjalar di tubuh Satya membuat akalnya nyaris hilang. Rahangnya mengeras, gigi bergemeletuk menahan gelombang asing dalam darahnya. Dengan gerakan spontan, tangannya meraih pinggang Dara dan menekannya ke kasur. Tubuh mungil itu terbaring, matanya membelalak namun bibirnya tetap melengkung samar.
Satya melepaskan kemejanya dengan kasar, napasnya berat. Ia menunduk, bibirnya menemukan sisi leher Dara. Desahan tercekik lolos dari bibir gadis itu, bukan hanya karena kaget, tapi juga karena sengatan sensasi baru yang tak mampu ia kendalikan.
“Tuan…” suara Dara lirih, nyaris menggoda, meski dalam sorot matanya tersimpan sesuatu yang lain.
Tangan besar Satya bergerak liar, meraba lekuk tubuh Dara. Obat dalam darahnya membuatnya kehilangan kendali, sementara ranjang mulai berderit pelan mengikuti ritme tubuhnya.
Cahaya lampu putih menyilaukan. Dara membuka mata perlahan, kelopak terasa berat. Helaan napasnya pendek, tubuhnya masih lemah. Saat kesadaran berangsur kembali, pandangan pertama yang ia lihat membuat jantungnya berdegup tak karuan.Satya.Pria itu duduk di kursi dekat ranjang, kaki bersilang, jas hitamnya masih rapi, wajahnya tegang. Tatapannya menusuk, tak pernah lepas dari Dara. Seperti seekor predator yang sedang menunggu mangsa terbangun.Dara tersentak, berusaha bangun, tapi tubuhnya terlalu lemah. Tangan dengan jarum infus bergetar. “Kenapa… aku di sini?” suaranya serak.Satya tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela asap rokok elektrik tipis, lalu mematikan perangkat itu. “Karena kau tumbang di depan mataku. Seharusnya aku biarkan kau tergeletak, tapi aku tidak suka meninggalkan sesuatu yang sudah menyentuh hidupku begitu saja.”Dara menggigit bibir, hatinya berdebar hebat. Kata-kata itu terdengar seperti ancaman. Ia merapatkan selimut ke tubuhnya. “Aku… bisa pulang sendiri
Satya tertegun sepersekian detik ketika tubuh mungil itu ambruk tepat di hadapannya. Suara benturan infus portabel dengan lantai terdengar nyaring, disusul helaan napas tersengal dari bibir Dara. Seketika darah Satya mendidih. Bukan karena iba, tapi karena rasa frustasi yang bercampur dengan obsesi yang makin menggila.“Brengsek…” desisnya, sebelum dengan cepat meraih tubuh lemah Dara.Bau antiseptik rumah sakit menusuk hidungnya, dan Satya bisa merasakan betapa rapuhnya gadis itu di dalam pelukannya. Tubuh Dara terasa dingin, jauh berbeda dari malam itu—malam yang terus menghantui pikirannya.“Ran—siapkan ruang VIP sekarang juga!” hardiknya pada asistennya, suaranya bergaung di sepanjang koridor.Beberapa perawat buru-buru menghampiri, memapah dan membantu Satya membawa Dara ke kamar perawatan khusus. Langkah-langkahnya keras, seolah tiap hentakan sepatu kulitnya adalah pelampiasan amarah yang tak kunjung padam.Begitu sampai di kamar VIP, Satya sendiri yang menurunkan tubuh Dara ke
“Apa? Maksud Anda, saya impoten begitu?” hardik Satya, telapak tangannya menghantam meja konsultasi hingga dokter di depannya terkejut. Wajahnya tegang, rahang mengeras, sorot matanya menusuk.Dokter itu menarik napas panjang, mencoba tetap tenang. “Bukan begitu, Pak. Organ reproduksi Anda baik-baik saja. Tidak ada kerusakan. Hanya saja… ada hal yang tidak beres pada otak Anda.”“Otak saya?” Satya mengulang, kening berkerut.“Benar. Jika boleh saya tahu, terakhir kali Anda berhubungan, kapan dan dengan siapa?” tanya dokter hati-hati.Satya mendengus, melirik asistennya malas. “Haruskah saya menjelaskan hal itu juga? Bukankah dokter yang seharusnya tahu kondisi pasiennya?”“Saya manusia biasa, sama seperti Anda. Kalau Anda tidak bercerita, bagaimana saya bisa mendiagnosis dengan baik?” jawab dokter sabar.“Tapi barusan Anda memeriksa saya. Bukankah itu sudah cukup?” Satya keukeuh, menahan malu.Dokter menggeleng. “Kalau begitu, cari dokter lain. Saya tidak bisa memberi diagnosa sembara
Dentum suara musik menggema, mengguncang lantai dansa yang penuh dengan tubuh-tubuh bergoyang. Lampu berkelip tajam, silau menusuk mata siapa pun yang menatapnya terlalu lama. Satya melangkah santai, aura berkuasa mengiringi setiap gerakan. Di sampingnya, sang asisten setia mengikutinya tanpa suara, menjaga jarak namun tetap sigap.Malam kembali menelannya, sama seperti malam-malam sebelumnya. Rumah tak lagi menjadi tujuan untuk pulang, karena rumah hanyalah bangunan kosong yang penuh kenangan pahit. Orang tuanya sudah tiada, meninggalkan Satya seorang diri. Maka club, minuman keras, asap rokok, dan dentum musik inilah yang menjadi tempat ia mengubur kepenatan.“Bos, ada tamu,” sapa seorang pria setengah baya dengan perut buncit, pemilik club ternama itu. Senyumnya canggung, berusaha ramah.Satya hanya mendengus. “Hmmm.”“Kalau begitu mari saya antar ke tempat biasa.”Satya mengangguk, langkah kakinya mengikuti pria itu menuju lantai dua. Sebuah ruangan VVIP terbuka, pintunya tebal me
“Mas, kamu mau ke mana?” tanya Dara pelan, masih mengenakan kebaya pengantin. Wajahnya teduh dengan senyum malu-malu, berusaha menyembunyikan degup jantungnya yang tak karuan.Kini ia mengikuti suaminya ke sebuah rumah kecil peninggalan orang tua Rudy, yang katanya akan jadi tempat tinggal mereka setelah menikah.Senyum tipis terukir di bibir Dara ketika melihat foto masa kecil Rudy yang tergantung di dinding. Ia membayangkan kelak foto pernikahan mereka akan dipajang di sana, menyempurnakan rumah mungil itu. Dengan langkah ringan ia masuk ke kamar utama, berniat berganti pakaian sambil menunggu suaminya pulang.Namun malam bergulir tanpa kepastian. Jam dinding menunjuk angka sepuluh, sementara makan malam yang ia siapkan sudah dingin. Dara menggenggam tangannya gelisah—tak mengenal jalan kota, ia tak mungkin keluar mencarinya.Ketukan keras di pintu membuatnya terlonjak. Bergegas, Dara membuka pintu dan mendapati Rudy berdiri dengan kemeja kusut, kancing terbuka, dan bau alkohol yang