Cahaya lampu putih menyilaukan. Dara membuka mata perlahan, kelopak terasa berat. Helaan napasnya pendek, tubuhnya masih lemah. Saat kesadaran berangsur kembali, pandangan pertama yang ia lihat membuat jantungnya berdegup tak karuan.
Satya.
Pria itu duduk di kursi dekat ranjang, kaki bersilang, jas hitamnya masih rapi, wajahnya tegang. Tatapannya menusuk, tak pernah lepas dari Dara. Seperti seekor predator yang sedang menunggu mangsa terbangun.
Dara tersentak, berusaha bangun, tapi tubuhnya terlalu lemah. Tangan dengan jarum infus bergetar. “Kenapa… aku di sini?” suaranya serak.
Satya tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela asap rokok elektrik tipis, lalu mematikan perangkat itu. “Karena kau tumbang di depan mataku. Seharusnya aku biarkan kau tergeletak, tapi aku tidak suka meninggalkan sesuatu yang sudah menyentuh hidupku begitu saja.”
Dara menggigit bibir, hatinya berdebar hebat. Kata-kata itu terdengar seperti ancaman. Ia merapatkan selimut ke tubuhnya. “Aku… bisa pulang sendiri. Tidak perlu sampai—”
“Kau tidak akan pergi.” Suara Satya memotong, tegas, tak memberi ruang bantahan. “Kau pikir setelah apa yang terjadi, aku akan membiarkanmu bebas?”
Dara menelan ludah. “Apa maksud Tuan…?”
Satya maju, duduk di tepi ranjang. Jarak mereka hanya sejengkal. Sorot matanya tajam, dingin, tapi ada bara tersembunyi di sana. “Maksudku sederhana. Kau akan menikah denganku.”
Dara terbelalak. “A… apa?!”
“Aku tidak ulangi dua kali.” Satya bersandar santai, seolah yang ia ucapkan adalah hal paling logis di dunia. “Kau ingat ucapan dokter tadi? Tubuhku hanya merespon pada satu wanita. Dan wanita itu kau.”
Dara menggeleng cepat. “Tuan, itu gila! Kita bahkan tidak saling kenal. Malam itu… hanya kecelakaan.”
“Cek—” Satya mendecak, menahan amarah. Tangannya terulur, meraih dagu Dara dengan paksa hingga wajah gadis itu terangkat menatapnya. “Kecelakaan? Tubuhku tidak mengenal kata kecelakaan, Dara. Kalau hanya kecelakaan, aku tidak akan terikat pada satu-satunya gadis yang pernah kusentuh.”
Dara meronta kecil, matanya berkaca-kaca. “Kenapa harus aku? Ada banyak wanita di luar sana. Kau bisa—”
“Tidak ada.” Suara Satya semakin rendah, namun tajam. “Tidak ada wanita lain. Hanya kau. Otakku menutup semua pintu, kecuali pintu yang kau buka malam itu.”
Ruangan terasa membeku. Dara ingin menolak, tapi tubuhnya gemetar, baik karena lemah maupun karena aura pria di depannya.
Satya melepas dagu Dara, tapi tatapannya tak berubah. “Aku tidak peduli kau setuju atau tidak. Kau akan jadi milikku. Pernikahan hanya formalitas agar tidak ada orang yang berani menyentuhmu. Mengerti?”
Air mata Dara jatuh tanpa bisa ditahan. “Aku tidak bisa… aku tidak siap…”
Satya mencondongkan tubuh, berbisik di telinga Dara. “Kau pikir aku peduli pada kesiapanmu? Aku pria yang selalu mendapatkan apa yang kuinginkan. Dan sekarang, yang kuinginkan adalah kau.”
Suasana hening. Hanya suara mesin infus yang terdengar.
Dara memalingkan wajah, menahan isak. Ia tahu melawan pria ini hanya akan berakhir sia-sia. Tapi hatinya menolak mentah-mentah. Menikah? Dengan pria yang bahkan membuat tubuhnya penuh luka?
Satya berdiri, merapikan jas. “Istirahatlah. Besok kau akan pindah ke kediamanku. Dari sana, kita bicarakan persiapan pernikahan.”
Dara menoleh cepat, panik. “Tidak! Aku tidak mau ikut!”
Satya menatapnya dengan tatapan tajam, lalu melangkah pelan ke arah pintu. Tepat sebelum keluar, ia menoleh sekali lagi. Senyuman tipis, dingin, tersungging di bibirnya.
“Percayalah, Dara. Kau akan lebih aman di sisiku daripada sendirian di luar sana. Karena aku tidak akan segan menghancurkan siapa pun yang mencoba merebutmu dariku.”
Pintu tertutup.
Dara terisak sendirian di ruangan itu, menggenggam selimut erat-erat. Tubuhnya gemetar hebat. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasa benar-benar terperangkap.
Dia baru saja lepas dari pria seperti Rudi, tapi kini, dia malah terjebak dengan pria yang lebih gila lagi. Kenapa tuhan menghukum dirinya sampai seperti ini? Apa dosa Dara sebenarnya?
Cahaya lampu putih menyilaukan. Dara membuka mata perlahan, kelopak terasa berat. Helaan napasnya pendek, tubuhnya masih lemah. Saat kesadaran berangsur kembali, pandangan pertama yang ia lihat membuat jantungnya berdegup tak karuan.Satya.Pria itu duduk di kursi dekat ranjang, kaki bersilang, jas hitamnya masih rapi, wajahnya tegang. Tatapannya menusuk, tak pernah lepas dari Dara. Seperti seekor predator yang sedang menunggu mangsa terbangun.Dara tersentak, berusaha bangun, tapi tubuhnya terlalu lemah. Tangan dengan jarum infus bergetar. “Kenapa… aku di sini?” suaranya serak.Satya tidak langsung menjawab. Ia hanya menghela asap rokok elektrik tipis, lalu mematikan perangkat itu. “Karena kau tumbang di depan mataku. Seharusnya aku biarkan kau tergeletak, tapi aku tidak suka meninggalkan sesuatu yang sudah menyentuh hidupku begitu saja.”Dara menggigit bibir, hatinya berdebar hebat. Kata-kata itu terdengar seperti ancaman. Ia merapatkan selimut ke tubuhnya. “Aku… bisa pulang sendiri
Satya tertegun sepersekian detik ketika tubuh mungil itu ambruk tepat di hadapannya. Suara benturan infus portabel dengan lantai terdengar nyaring, disusul helaan napas tersengal dari bibir Dara. Seketika darah Satya mendidih. Bukan karena iba, tapi karena rasa frustasi yang bercampur dengan obsesi yang makin menggila.“Brengsek…” desisnya, sebelum dengan cepat meraih tubuh lemah Dara.Bau antiseptik rumah sakit menusuk hidungnya, dan Satya bisa merasakan betapa rapuhnya gadis itu di dalam pelukannya. Tubuh Dara terasa dingin, jauh berbeda dari malam itu—malam yang terus menghantui pikirannya.“Ran—siapkan ruang VIP sekarang juga!” hardiknya pada asistennya, suaranya bergaung di sepanjang koridor.Beberapa perawat buru-buru menghampiri, memapah dan membantu Satya membawa Dara ke kamar perawatan khusus. Langkah-langkahnya keras, seolah tiap hentakan sepatu kulitnya adalah pelampiasan amarah yang tak kunjung padam.Begitu sampai di kamar VIP, Satya sendiri yang menurunkan tubuh Dara ke
“Apa? Maksud Anda, saya impoten begitu?” hardik Satya, telapak tangannya menghantam meja konsultasi hingga dokter di depannya terkejut. Wajahnya tegang, rahang mengeras, sorot matanya menusuk.Dokter itu menarik napas panjang, mencoba tetap tenang. “Bukan begitu, Pak. Organ reproduksi Anda baik-baik saja. Tidak ada kerusakan. Hanya saja… ada hal yang tidak beres pada otak Anda.”“Otak saya?” Satya mengulang, kening berkerut.“Benar. Jika boleh saya tahu, terakhir kali Anda berhubungan, kapan dan dengan siapa?” tanya dokter hati-hati.Satya mendengus, melirik asistennya malas. “Haruskah saya menjelaskan hal itu juga? Bukankah dokter yang seharusnya tahu kondisi pasiennya?”“Saya manusia biasa, sama seperti Anda. Kalau Anda tidak bercerita, bagaimana saya bisa mendiagnosis dengan baik?” jawab dokter sabar.“Tapi barusan Anda memeriksa saya. Bukankah itu sudah cukup?” Satya keukeuh, menahan malu.Dokter menggeleng. “Kalau begitu, cari dokter lain. Saya tidak bisa memberi diagnosa sembara
Dentum suara musik menggema, mengguncang lantai dansa yang penuh dengan tubuh-tubuh bergoyang. Lampu berkelip tajam, silau menusuk mata siapa pun yang menatapnya terlalu lama. Satya melangkah santai, aura berkuasa mengiringi setiap gerakan. Di sampingnya, sang asisten setia mengikutinya tanpa suara, menjaga jarak namun tetap sigap.Malam kembali menelannya, sama seperti malam-malam sebelumnya. Rumah tak lagi menjadi tujuan untuk pulang, karena rumah hanyalah bangunan kosong yang penuh kenangan pahit. Orang tuanya sudah tiada, meninggalkan Satya seorang diri. Maka club, minuman keras, asap rokok, dan dentum musik inilah yang menjadi tempat ia mengubur kepenatan.“Bos, ada tamu,” sapa seorang pria setengah baya dengan perut buncit, pemilik club ternama itu. Senyumnya canggung, berusaha ramah.Satya hanya mendengus. “Hmmm.”“Kalau begitu mari saya antar ke tempat biasa.”Satya mengangguk, langkah kakinya mengikuti pria itu menuju lantai dua. Sebuah ruangan VVIP terbuka, pintunya tebal me
“Mas, kamu mau ke mana?” tanya Dara pelan, masih mengenakan kebaya pengantin. Wajahnya teduh dengan senyum malu-malu, berusaha menyembunyikan degup jantungnya yang tak karuan.Kini ia mengikuti suaminya ke sebuah rumah kecil peninggalan orang tua Rudy, yang katanya akan jadi tempat tinggal mereka setelah menikah.Senyum tipis terukir di bibir Dara ketika melihat foto masa kecil Rudy yang tergantung di dinding. Ia membayangkan kelak foto pernikahan mereka akan dipajang di sana, menyempurnakan rumah mungil itu. Dengan langkah ringan ia masuk ke kamar utama, berniat berganti pakaian sambil menunggu suaminya pulang.Namun malam bergulir tanpa kepastian. Jam dinding menunjuk angka sepuluh, sementara makan malam yang ia siapkan sudah dingin. Dara menggenggam tangannya gelisah—tak mengenal jalan kota, ia tak mungkin keluar mencarinya.Ketukan keras di pintu membuatnya terlonjak. Bergegas, Dara membuka pintu dan mendapati Rudy berdiri dengan kemeja kusut, kancing terbuka, dan bau alkohol yang