Gaya jalan yang elegan memasuki ruangan itu, membuat banyak pasang mata terpesona pada diri lelaki itu. Sakti tersenyum pada kedua temannya yang bersandar di sofa memandangi lekuk tubuh wanita-wanita yang entah sudah berapa lama berada di atas meja itu berusaha menarik hasrat para lelaki di depan mereka.
"Wuih, tumben lo ini hari Senin, bukan jadwal lo, Sak," ujar Reno yang mengulurkan tangannya pada salah satu wanita untuk duduk di pangkuannya.
"Lagi suntuk aja," ujar Sakti meneguk minuman beralkohol yang sudah tersaji di atas meja.
Dentuman musik keras seakan sudah menjadi santapan orang-orang di dalam sana. Mata Sakti menatap wanita dengan belahan dress di dada berwarna hitam yang duduk berhadapan dengannya. Wanita itu menyeringai, mengangkat gelasnya lalu meneguknya seakan menggoda Sakti.
"Kenalin Sak, temen gue," sahut Yoan dengan suara agak di tinggikan, lalu menjentikkan jarinya pada wanita yang dia sebut teman tadi.
Wanita itu melangkah mendekati Sakti, mengulurkan tangannya pada Sakti.
"Clara," ujarnya tersenyum manis.
"Sakti," jawab Sakti.
"Pake kalo lo mau pake," bisik Yoan lalu dia asyik kembali mencium liar teman kencannya.
"Mau di sini atau—" bisik Clara lembut.
"Kamu terganggu kalo mereka ada di sini?" tanya Sakti memperhatikan seluruh lekuk tubuh Clara.
"Kalo boleh ke tempat lain," ujarnya lembut.
Sakti bangkit dari duduknya, seraya mengedipkan matanya ke arah Yoan. Sakti merengkuh pinggang ramping Clara lalu mencium pundak terbuka wanita itu sambil membisikkan sesuatu.
"Apartemen aku, gimana?" Clara tersenyum kemudian berjalan lebih dulu.
"Gue cabut, Yo. Itu Reno jangan sampe bugil di sini," ujarnya menunjuk Reno yang sudah tidak sadar tempat mencumbu wanitanya malam itu.
*****
Sakti menghidupkan lampu apartemennya, apartemen mewah yang berada di salah satu bilangan elite Jakarta itu nampak membuat mata Clara takjub. Pemandangan di luar sana begitu mempesona di waktu malam, kaca jendela besar tanpa tirai pun terbuka lebar. Sakti memeluk tubuh proposional itu dari belakang, menciumi tengkuk leher jenjang dengan rambut yang terikat tinggi.
"Aku biasa pake pengaman, kamu keberatan?" Suara Sakti mulai parau.
Clara mengangkat wajahnya, menikmati ciuman Sakti yang menyusuri leher jenjang miliknya.
"Apa aku harus keberatan? Malam ini terserah sama kamu," desah Clara mengeratkan pelukan Sakti.
Sakti menuntun Clara hingga masuk ke dalam kamar miliknya, tanpa menunggu waktu lama Sakti menautkan bibirnya pada bibir Clara. Wanita itu membalas ciuman itu dengan lembut namun lama kelamaan berubah menjadi liar.
Hingga desahan dan lenguhan pun memenuhi seisi ruangan. Seperti ini malam-malam ya g sering di lalui oleh Sakti. Iya, dia menyukai kehidupan seperti. Baginya ini adalah bentuk menghiburnya diri jika jenuh dan lelah menggelayutinya.
Memutuskan untuk tinggal sendiri semenjak menginjak umur 23 tahun kala dia menginjakkan kaki ke Inggris guna menyelesaikan program S2 nya di sana. Kehidupan semacam ini bukan hal yang aneh baginya selama di dunia luar. Dan kebiasaan itu hingga detik ini di jalaninya tanpa ada rasa bosan.
Hubungan satu malam baginya lebih menyenangkan di banding harus mempunyai hubungan dengan status. Lelah baginya untuk mengerti perasaan orang lain. Egois memang, tapi begitulah Sakti.
Tubuh Clara terkulai lemas, matanya sudah terpejam dari setengah jam yang lalu. Selimut tipis sudah menutupi tubuhnya hingga sebatas leher. Sakti masih menghisap satu batang rokoknya, berdiri di depan kaca jendela dengan tirai terbuka sambil memandangi kerlap kerlip lampu yang masih menerangi gedung-gedung di seberang sana.
Sakti membalikkan tubuhnya, memandangi wajah cantik milik Clara. Entah wanita nomer ke berapa yang tidur di atas ranjangnya, mungkin sudah tidak terhitung. Meski selalu memakai pengaman setiap melakukan hubungan, namun di hati kecilnya terkadang juga takut jika sewaktu-waktu wanita yang pernah dia tiduri tiba-tiba datang meminta pertanggungjawaban darinya.
Sakti mendengus, lalu menyeringai membuang pikiran itu jauh-jauh darinya. Dia bergidik membayangkan ada seorang wanita datang dengan membawa bayi atau anak kecil tiba-tiba datang memanggilnya Papa.
"Kamu nggak tidur?" Suara lembut itu mengagetkannya.
Sakti melangkah mendekati Clara, ikut masuk ke dalam selimut dan memiringkan tubuhnya menghadap Clara.
"Kamu sendiri kenapa bangun?"
"Pukul berapa sekarang?" tanya Clara sambil menahan tangan Sakti yang sudah berada di atas dadanya.
"Dua, kenapa?" tanya Sakti mendekatkan kembali tubuhnya. "Kamu lapar?"
Clara menggeleng, "aku harus pulang, pesawatku pukul lima pagi."
"Kemana?"
"Surabaya, ada pemotretan di sana."
Ah, iya ... Sakti baru ingat semalam saat perjalanan pulang dia menanyakan apa pekerjaan Clara, seorang model majalah dewasa. Sakti tersenyum tipis, hidupnya memang luar biasa.
Clara beranjak dari tempat tidur, memunguti helai demi helai penutup tubuhnya.
"Mau aku antar?" Tawar Sakti mengingat ini tengah malam.
"Nggak usah," ujar Clara lalu berbicara pada sambungan telepon. "Aku di jemput manager aku."
Setelah merapikan pakaiannya dan juga membersihkan wajahnya, Clara kembali mendekat pada Sakti.
"Senang kenal sama kamu, mungkin lain kali kita bisa lebih lama lagi." Lembut suara Clara di telinga Sakti hingga wanita itu mencium lembut bibir Sakti dan mengusap bibir basah itu dengan jarinya. "Bye, see you ... soon," ucap wanita itu menghilang dari hadapan Sakti.
Sakti menghela napas panjang, berusaha memejamkan matanya agar tertidur namun tidak bisa. Baru beberapa jam yang lalu dia bergelut menggagahi perempuan yang baru saja dia kenal, lalu kemudian ruang yang tadinya penuh dengan suara yang memacu adrenalin itu sekarang sepi.
Sakti berusaha memejamkan matanya, waktunya hanya dua sampai tiga jam untuk mengistirahatkan tubuhnya, hingga pagi menjelang nanti.
Taman samping rumah Sakti di sulap sedemikian rupa menjadi sebuah taman yang penuh dengan pernak pernik ulang tahun anak pertamanya yang sudah berusia lima tahun. Anak-anak kecil berlarian kesana kemari sebelum acara di mulai. Sakti sedang berbincang dengan Andi sambil menggendong anak ketiga mereka yang berusia enam bulan, tertidur di dalam pelukannya setelah menangis karena menginginkan ibunya yang sibuk mengurusi snack yang akan dibagikan setelah acara selesai. "Kalo menurut lo klien kemarin sudah oke sama pengajuan proposal lo, ya gue pasti tanda tangan, tapi sebelumnya lo tanya Gendis dulu, gue takutnya masalah keuangan klien kita itu memang sedang nggak baik-baik aja." "Iya, hal ini memang Gendis lebih peka." Andi menggerakkan dagunya menunjuk Gendis yang melangkah ke arah mereka. "Rara mana?" tanya Gendis pada Sakti. Anak keduanya itu memang lebih suka bersembunyi, jarang sekali menampakkan dirinya hingga sering sekali membuat Gendis panik. "Kamu jalannya pelan-pelan aja, S
Baru saja Gendis ingin memejamkan matanya, Abi kembali merengek ingin di gendong. Padahal baru 15 menit yang lalu bayi itu dia letakkan tidur di sampingnya. Dengan mata yang setengah mengantuk, Gendis kembali mengangkat putranya. Tepat pukul setengah 11 malam, Sakti masuk ke kamar mereka. Lelaki itu baru saja pulang dari kantor, sore tadi dia dan Satyo menghadiri perjamuan acara makan malam perusahaan klien mereka. "Hei," ucap Sakti pelan sambil mengusap-usap lengan Gendis yang sedang menimang Abi. "Kok belum tidur," ujar Sakti lagi kali ini dia memberikan kecupan di pipi Gendis. "Aku udah ngantuk banget, Abi juga tadi sudah tidur. Tapi, waktu aku rebahkan dia di tempat tidur baru aja mau tidur, Abi bangun lagi." Wajah lelah Gendis begitu kentara. "Aku mandi dulu ya, biar nanti aku yang jagain Abi, kamu tidur nggak apa-apa." Sebelum melangkah ke kamar mandi, lelaki yang masih mengenakan setelan jas itu tersenyum pada bayi yang baru saja berusia satu bulan itu. "Papa mandi dulu, n
Ketukan di pintu pagi itu membuat Gendis dan Sakti menoleh ke arah suara. Sahabat yang hampir satu tahun ini tidak menampakkan dirinya itu kembali datang bersama istri yg sedang hamil dan juga seorang anak di dalam pelukannya. "Wuih, selamat Sak ... akhirnya beneran insaf," ujar Teddy melangkah masuk ke dalam kamar rawat inap Gendis. "Astaga, memang sahabat nggak ada akhlak lo, ya. Udah macem jelangkung aja tiba-tiba dateng tiba-tiba hilang." Sakti merangkul erat lelaki bermata sipit itu. Gimana kabar?" "Baik lah ...." Mata Teddy mendelik melirik istrinya yang sedang hamil 4 bulan. "Kemana aja lo?" tanya Sakti. "Gue mau kasih selamat dulu dong sama istri lo. Selamat ya, Dis ... maaf nggak dateng saat kalian nikah, biasalah panggilan kerja, orang lapangan harus standby." "Selamat ya Gendis," ucap Siti wanita yang semakin terlihat cantik dengan perut yang sedikit membuncit. "Makasih Mbak, enggak apa-apa Mas Teddy ... kita ngerti kok kalo Mas Teddy sibuk." "Ini buat baby boy," uja
Tangis bayi mungil itu pecah memenuhi seisi ruangan, tangisan kencang yang terdengar itu nyaris membuat Sakti tak sanggup berdiri lama. Mengingat perjuangan Gendis mempertaruhkan nyawanya demi seorang bayi mungil, buah cinta mereka. Sakti mengusap air matanya, tak henti-hentinya dia mengecupi kening Gendis yang bahkan masih penuh dengan peluh. Wajah wanita yang sekarang berubah menjadi seorang ibu itu pun terlihat lelah namun sudut bibirnya berusaha mengembang saat bayi mungil mereka di serahkan padanya. "Coba belajar biar dia mencari puting ibunya ya," ujar dokter anak yang menangani bayi Gendis. Lagi-lagi Sakti meneteskan air matanya, rasanya jika kembali lagi ke masa lalunya dia bersumpah tidak akan segampang itu mempermainkan wanita. Melihat perjuangan Gendis mengejan hingga bisa melahirkan bayi sehat, Sakti merasa sangat-sangat bersalah sudah menyia-nyiakan masa mudanya dengan hal yang tak berguna. "Dia pintar," lirih Gendis melihat bayi kecilnya mendapat puting susunya. "Kaya
Pagi itu Gendis sudah menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya, sore nanti rencananya mereka akan menjemput Wati dan Hendro dari Jogja. Perkiraan dokter dua minggu lagi Gendis sudah bisa melahirkan, oleh karena itu Wati memutuskan untuk menemani putrinya melewati hari yang di nantikan itu. "Bikin apa?" Sakti datang sambil memeluk istrinya dari belakang. "Nasi goreng buat kamu, kopi kamu udah di meja makan. Sebentar lagi nasi gorengnya selesai," ujar Gendis menoleh sedikit pada Sakti yang meletakkan dagunya di pundak sang istri. "Kita jemput bapak sama ibu jam berapa?" "Jam lima mereka sampai di stasiun, kita jangan terjebak macet ... kasian mereka kalo menunggu lama," ujar Gendis lalu memindahkan hasil masakannya ke sebuah mangkuk ukuran besar. "Ayo makan." Sakti membawakan masakan istrinya ke atas meja makan, Buk Sumi yang berada di sana menyelesaikan potongan buah lalu menyusul meletakkannya di meja makan. "Bik, ayo makan," ajak Gendis. Gendis tidak pernah membedakan wanita tua
Wajah Sakti masih nampak cemas, dia dan Gendis baru saja keluar dari ruangan praktek dokter kandungan yang menangani Gendis selama hamil. "Aku minta maaf, ya." Lagi wajah Gendis mengiba, dia benar-benar merasa bersalah. Harusnya dia lebih berhati-hati lagi jika hendak melakukan sesuatu, apalagi ini pekerjaan di kantor. Sakti masih terdiam, ekspresi wajahnya begitu menyeramkan jika sedang marah. Tatapannya tajam ke depan sambil mendorong kursi roda yang membawa Gendis hingga ke lobby rumah sakit. "Sayang." Gendis menahan tangan Sakti. "Aku minta maaf," ujarnya sungguh-sungguh. "Aku nggak bakal ulangi lagi, aku pasti jaga anak kamu." "Taruh tangan kamu melingkar di sini." Sakti menepuk pundaknya memberi titah agar Gendis melingkarkan tangannya. Dengan satu kali gerakan, Sakti mengangkat Gendis dengan perut besarnya berjalan ke arah mobil yang sudah menunggu mereka. "Kita langsung pulang, Pak?" tanya Pak Supri. "Langsung pulang saja," jawab Sakti dingin. Benar-benar Sakti marah a