Lelaki berwajah tampan dengan setelan kemeja body fit dan celana Chinos yang menggantung semata kaki lengkap dengan loafer shoes itu berjalan tegap mengarah ke lobby kantornya sore itu.
Setelah seharian bekerja, cuma ada dua tujuan yang biasanya dia sambangi. Pertama, club yang biasanya menawarkan musik hingar bingar atau pulang ke apartemennya bermain-main dengan wanita yang setiap saat siap menemaninya setiap malam.
Hidup dengan bergelimang harta, mempunyai wajah tampan, dan wawasan yang luas membuatnya di sukai banyak orang.
Sakti Bima Anggara namanya, lelaki berumur 29 tahun berpendidikan tinggi dan salah satu anak konglomerat di negara ini. Ayahnya adalah seorang pengusaha besar, sudah tidak terhitung usaha apa saja yang mereka geluti.
Sakti memegang tiga perusahaan besar dan lima anak cabang. Sepak terjang lelaki ini hampir mirip dengan sang Ayah, meluaskan bisnis keluarga. Namun sayang, dalam hal kehidupan pribadi dia lebih memilih untuk bersenang-senang daripada menjalin hubungan serius.
"Kamu dimana, Nak?" Terdengar suara lembut wanita yang hampir satu bulan ini tidak di kunjunginya dari seberang sana.
"Baru keluar kantor, Ma," jawab Sakti lalu masuk ke dalam mobil yang sudah di siapkan oleh petugas.
Mobil sport itu membelah jalan raya sore itu, tumbe Jakarta sore ini terlihat lengang. Atau hanya Sakti yang menyadarinya. Menuju kediaman orang tuanya, karena Hanna sang Mama memintanya untuk singgah walau sebentar.
Mobil sport berwarna hitam itu sudah terparkir rapih di pekarangan kediaman Anggara. Rumah besar itu hanya di huni pasangan suami istri yang berumur kurang lebih 50 tahun. Sakti seorang anak tunggal, dia di besarkan oleh tangan lembut sang Mama, namun di didik keras oleh ayahnya, Satyo Anggara.
"Kamu kalo nggak di telpon, nggak bakalan pulang," omel Hanna yang sudah berdiri di depan teras.
"Kalo nggak di telpon aku nggak pulang, Ma," kekeh Sakti sambil mencium kedua pipi wanita cantik yang mengenakan tunik sebatas lutut.
"Kamu nggak kasihan sama?" Tangan Hanna mengusak rambut anak lelaki satu-satunya itu.
"Harusnya Mama angkat anak satu lagi, di panti-panti asuhan yang sering Mama kunjungi itu kan banyak," ujar Sakti menghenyakkan tubuhnya di sofa ruang tengah.
"Mama itu butuh kamu, bukan yang lain. Kalo buat nemenin Mama di rumah sudah ada si Eneng, Mbok Sum, Mbak Isah, Kang Dadang sama Supri, itu udah cukup rame dengan suara mereka. Tapi beda kalo kamu yang tinggal di rumah ini, apalagi bawa istri sama anak," kata Hanna sambil melirik Sakti.
"Umur Sakti masih 29 tahun, Ma."
"Terus kenapa? Anak-anak teman Mama sudah banyak yang menikah."
"Jadi Sakti pulang buat di suruh nikah?"
"Bila perlu," ujar Hanna memberikan amplop undangan pernikahan. "Teddy temanmu itu aja sudah mau menikah minggu depan."
"Wah, Mama di undang ... pake undangan lagi, kok aku cuma di telpon doang suruh dateng, nggak asik banget si Teddy," gerutu Sakti membuka undangan itu dan melihat nama Teddy sahabatnya semasa SMA.
Masih teringat jelas di ingatan Sakti kelakuannya bersama Teddy saat umur 18 tahun. Mereka harus kehilangan keperjakaan pada usia yang sangat muda. Itu karena coba-coba mem-booking "ayam kampus" untuk merayakan hari kelulusan sekolah mereka.
"Ada juga yang nerima dia." Sakti cekikan sambil membolak-balik undangan itu.
"Hush ... kalo ngomong sembarangan, ya ada lah, manusia di ciptakan udah dengan jodohnya masing-masing," hardik Hanna. "Makan dulu, yuk."
Baru saja Sakti beranjak dari duduknya, suara derap sepatu memasuki ruangan itu. Lelaki dengan setelan jas berwarna hitam hanya tersenyum sekilas padanya.
"Pulang kamu," ujar Satyo sambil memberikan jas pada Hanna.
"Tadinya sih nggak mau, Pa. Tapi Mama bialng kesepian," ucap Sakti berjalan ke ruang makan mendahului Satyo yang menggeleng melihat kelakuan putranya.
Obrolan di meja makan malam itu sama seperti kemarin, kemarin dan kemarinnya lagi, canggung. Entahlah, jika sudah berhadapan dengan Satyo Anggara, Sakti seperti bukan dirinya beda dengan jika dia bersama Hanna.
Mungkin memang Sakti tidak begitu dekat dengan ayahnya, sekalinya dekat sang ayah memperlakukannya begitu keras. Hasil yang Satyo petik dari kerasnya dia mendidik Sakti ya Sakti berhasil menjadi seorang pemimpin di perusahaan, namun sayang sifat jelek Sakti selama bertahun-tahun di luar negeri sampai detik ini pun belum bisa dia tanggalkan, itu lah yang selalu membuat Satyo belum sepenuhnya percaya bahwa Sakti mampu mengemban tugas lebih banyak lagi.
"Papa mau beli perkebunan kelapa sawit, gimana menurut kamu?"
"Papa kan udah punya, nambah lagi?"
"Prospeknya besar, bisnis itu untungnya luar biasa. Kamu juga harus belajar menginvestasikan uang kamu, jangan hanya berfoya-foya saja," kata Satyo sambil memasukkan sesendok makanan ke mulutnya.
"Enak, Pa?" tanya Hanna mencairkan suasana yang sebentar lagi biasanya akan menegang.
"Masakan kamu seperti biasa enak, Ma." Satyo mengumbar senyum. "Gimana, Sak?"
"Kelapa sawit?"
"Iya," ujar Satyo.
"Terserah Papa, berapa hektar?"
"Ini." Satyo menyodorkan ponselnya, menunjukkan luas perkebunan sawit yang akan di beli oleh Satyo. "Gimana? Kalo oke, Papa mau kamu suruh Agus siapkan SDM nya."
"Besok aku coba bicarakan dengan Agus," ujar Sakti.
"Oh ya, Papa dengar kamu ada kerjasama bisnis dengan perusahaan retail yang di Lippo Karawaci?"
"Iya, besok meeting, Papa mungkin mau datang?"
"Ck, Papa serahin ke kamu aja. Tapi Papa nggak mau dengar ada kegagalan," ujar Satyo dengan jari telunjuk memberi peringatan.
"Kapan Sakti pernah ngecewain Papa?" Sakti menyunggingkan senyum.
"Ma ... Sakti nggak bisa nginep ya," ujarnya.
Nampak raut kecewe Hanna. "Kok gitu?"
"Sakti ada janji," ujar Sakti sambil mengusap bibirnya dengan napkin yang berada di sisi kanannya.
"Kurang-kurangi pergi ke club, pulang bawa cewek-cewek nggak jelas," kata Satyo acuh namun dia tahu jika perkataannya itu membuay putranya tak senang.
"Papa bisa nggak berhenti urusin kehidupan pribadi aku," ujar Sakti meletakkan napkin itu kasar. "Papa cukup tau, perusahaan di tanganaku beres, tapi Papa jangan urusin apa yang jadi privasi aku," ujarnya lagi. "Sakti pulang, Ma." Sakti mencium kedua pipi Hanna, wjah Hanna kini bertambah murung.
"Bisa nggak sih kamu berhenti—"
"Aku nggak akan berhenti, nama baik keluarga ini dan perusahaan ada di tangan anak itu, setiap kelakuan dia jadi santapan buat para pesaing aku," ujar Satyo beranjak dari tempat duduknya.
Mobil sport dengan kecepatan tinggi itu membelah jalan raya Jakarta di malam hari, menuju salah satu klub yang biasa dia datangi.
Senyum Sakti merekah, saat memasuki ruangan itu, hingar bingar musik memekakkan telinga, namun tidak bagi Sakti apalagi kedua temannya sudah menunggu di ruang VIP di temani tiga wanita berpakaian minim yang sedang bergerak, meliukkan tubuhnya berdiri di atas meja.
Gaya jalan yang elegan memasuki ruangan itu, membuat banyak pasang mata terpesona pada diri lelaki itu. Sakti tersenyum pada kedua temannya yang bersandar di sofa memandangi lekuk tubuh wanita-wanita yang entah sudah berapa lama berada di atas meja itu berusaha menarik hasrat para lelaki di depan mereka."Wuih, tumben lo ini hari Senin, bukan jadwal lo, Sak," ujar Reno yang mengulurkan tangannya pada salah satu wanita untuk duduk di pangkuannya."Lagi suntuk aja," ujar Sakti meneguk minuman beralkohol yang sudah tersaji di atas meja.Dentuman musik keras seakan sudah menjadi santapan orang-orang di dalam sana. Mata Sakti menatap wanita dengan belahan dress di dada berwarna hitam yang duduk berhadapan dengannya. Wanita itu menyeringai, mengangkat gelasnya lalu meneguknya seakan menggoda Sakti."Kenalin Sak, temen gue," sahut Yoan dengan suara agak di tinggikan, lalu menjentikkan jarinya pada wanita yang dia sebut teman tadi.Wanita itu melangkah men
"Dis ... udah jam enam, kamu bilang ada kuliah pagi ini." Suara perempuan paruh baya terdengar dari balik pintu kamar Gendis.Gadis berumur 23 tahun itu masih meringkuk di atas tempat tidur. Malam tadi dia pulang lebih lama tidak seperti biasanya. Ada audit dari kantor pusat yang mengharuskan dia ikut serta mengecek barang di minimarket tempat dia bekerja."Dis ....""Iya, Bu ... udah bangun," sahutnya dari dalam.Meraih ikat rambut yang tergeletak tidak jauh dari sisinya, perlahan dia bangkit membuka pintu kamarnya. Bayu, sang adik yang duduk di kelas dua SMA sudah rapi mengenakan pakaian sekolah. Melintas melewati Bayu, Gendis mengacak rambut sang adik."Mbak—""Ambil di kantung celana Mbak, 10 ribu aja jangan banyak-banyak," ujar Gendis seakan tahu apa yang akan di minta Bayu."Makasih, Mbak," ucap Bayu tersenyum lalu berlari ke kamar Gendis. "Ibu, Bayu berangkat ya," serunya. "Mbak ....""Ya, hati-hati," jawab Gendis
"Yakin, Dis?" tanya Rika untuk kesekian kalinya saat Gendis membereskan buku-bukunya."Yakin ... udah santai aja, lain kali kalo aku sedang off kerja, kamu bisa traktir aku," ucap Gendis beranjak dari tempat duduknya."Hhmm ... ya sudah kalo gitu, sayang banget padahal aku pengin ajak kamu jalan-jalan," ujar Rika dengan mimik wajah kecewa. "Emm, sebentar Dis."Rika merogoh kantung celananya, di ambilnya dua lembar uang berwarna merah lalu diberikannya pada Gendis."Ini uang buat ibu, bilang sama ibu besok aku mau main ke rumah, masakin aku masakan yang enak," ujar Rika.Ya, begitulah cara Rika jika ingin memberikan uang pada Gendis agar tidak Gendis tolak. Alih-alih meminta ibu Gendis untuk memasakkannya masakan yang lezat untuk dirinya."Ibu masih ada uang, Ka," tolak Gendis. "Kamu kebiasaan kalo kayak gini." Gendis mengembalikan uang itu pada Rika."Aku yang minta ibu buat masakin, jadi nggak ada alasan kamu tolak," gerutu Rik
Ciuman itu begitu liar, Sakti terlihat terburu-buru membuka pakaian lawan mainnya malam ini. Wanita berbeda lagi yang di temuinya malam ini sewaktu dia berada di club tadi."Slowly," ucap wanita itu lembut.Sakti seakan tidak perduli, dia dengan rakusnya melumat bibir yang sejak tadi tidak pernah diam selama perjalanan mereka.Sakti menghempaskan tubuh indah itu ke atas ranjang, seraya tersenyum miring. Gaun berwarna hitam membalut tubuh itu pun sudah terlepas dari tubuhnya. Sakti melempar kemejanya ke atas sofa, merangkak naik ke atas tubuh teman kencannya malam ini."Siapa nama kamu tadi?" bisik Sakti lalu menyusuri leher jenjang putih mulus itu.Wanita itu mendesah saat Sakti menekan tubuh bagian bawahnya dan menyesap leher wanita itu sedikit kuat."Reina ...," ucapnya lirih seraya mengangkat dagunya memberikan ruang pada Sakti menikmati lehernya."Reina ...." Suara itu begitu lembut, tangan Sakti meremas payudara yang bah
Pagi itu terasa berbeda bagi Sakti, secara sengaja ketika berangkat kerja lagi-lagi dia melewati halte busway tempat pertama kali dia bertemu gadis ber-kulot lilac. Meski gadis itu tidak ada, tetap saja dia perintah agar membawa mobil jangan terlalu cepat. Bahkan setelah melewati halte itu pun Sakti masih memutar kepalanya memastikan gadis itu bisa saja tiba-tiba datang. "Memangnya siapa, Pak?" tanya Supri. "Manis," jawab Sakti sambil tersenyum. "Manis?" Supri melirik kaca spion melihat Sakti di kursi tengah. "Iya, gadis manis di halte busway. Jarang saya liat yang seperti itu. Seperti tadi malam, kamu ingat ... saya bilang kejar gadis yang mengenakan celana kulot itu, saya rasa itu dia." Supri menyadari sepertinya anak majikannya ini sedang jatuh cinta. "Pandangan pertama, Pak." "Kenapa?" "Iya, namanya pandangan pertama ... dulu saya juga pertama kali jatuh cinta sama istri waktu ke temu di pasar becek. Pertama kali lihat dia lagi nawar tempe," cerita Supri. "Kamu ngapain d
"Meeting siang nanti setelah makan siang," ujar Agus assisten pribadi Sakti."Di kantor mereka?""Iya, Pak.""Ok, tim marketing siapa yang kamu tunjuk untuk ikut kita?" tanya Sakti masih fokus dengan berkas yang dia tanda tangani."Saya tunjuk Roro untuk presentasi produk kita," jawab Agus."Ok, kalian bawa mobil kantor saja, saya biar bawa mobil sendiri." Sakti memberikan berkas itu pada Agus."Saya permisi, Pak." Agus mohon diri embali ke ruangannya."Oh ya, Gus," panggil Sakti.Agus memutar tubuhnya, "ya, Pak?""Sudah berapa lama kamu menikah?" tanya Sakti.Agus mengernyitkan dahinya, seingatnya atasannya ini sangat sangat jarang membahas hal pribadi."Sudah berapa lama?" Lagi sakti bertanya."Dua tahun, Pak.""Pacaran berapa lama?""Tiga tahun, Pak. Kalo boleh tau, ada apa Pak?""Total sudah saling kenal lima tahun, nggak bosan?'"Lebih, Pak," ujar
"Pembalutnya isi 10 dengan sayap," ulang Gendis lagi."Ah ... iya— iya," jawab Sakti kelabakan karena merasa mengambil barang-barang itu dengan asal ambil saja."Totalnya 250 ribu, Kak," ujar Gendis lalu tersenyum."Ya ampun," ucap Sakti saat melihat senyum Gendis."Gimana? ada yang salah?" Gendis mengerutkan keningnya."Oh, nggak— nggak, nggak ada yang salah." Sakti merogoh saku celana bagian belakang mengeluarkan dompetnya. "Berapa tadi?""250 ribu," jawab Gendis lagi.Mengeluarkan tiga lembar uang ratusan, dan memberikannya pada Gendis. Detak jantung itu masih sama, berdegub kencang. Apalagi saat Gendis memberikan uang kembaliannya pada Sakti beserta struk pembayaran, jari mereka tak sengaja bersentuhan."Terimakasih, selamat berbelanja kembali," ujar Gendis dan lagi-lagi kembali tersenyum."Sama-sama," jawab Sakti namun mata lelaki itu mengarah pada name tag yang berada di dada Gendis.Gendis menge
"Pacarnya? ck ...." Sakti berdecak, kecewa terlihat dari raut wajahnya.Sebegitu ingin tahunya dia tentang Gendis, namun ketika rasa penasarannya membuncah lalu menghadapi kenyataan kalo gadis itu malah milik orang lain."Nggak mungkin pacarnya, kalo pacar pasti naek motornya nggak jauhan kayak gitu. Ck, bukan ... bukan pacar, mungkin kakaknya. Nah, bisa jadi ...."Bergelut dengan pikirannya sendiri, Sakti memutuskan untuk datang lagi besok. Meraih gawainya, Sakti mencari nama Supri. Hal pertama yang harus dia lakukan adalah menghubungi Supri, hanya lelaki itu yang bisa membantunya."Pri.""Ya, Pak.""Kamu di rumah?""Iya, Pak ... saya di rumah Pak Satyo.""Besok, setelah antar Papa ... kamu ke kantor saya, ya.""Siap, Pak.""Oh ya, kamu udah cari motor yang saya mau kemarin?""Belum, Pak ... maaf, seharian saya nemenin Pak Satyo.""Ya sudah, besok temani saya berarti. Nanti saya bi