Share

Jerat Casanova Insaf
Jerat Casanova Insaf
Author: Chida

1. Anak Konglomerat

Lelaki berwajah tampan dengan setelan kemeja body fit dan celana Chinos yang menggantung semata kaki lengkap dengan loafer shoes itu berjalan tegap mengarah ke lobby kantornya sore itu. 

Setelah seharian bekerja, cuma ada dua tujuan yang biasanya dia sambangi. Pertama, club yang biasanya menawarkan musik hingar bingar atau pulang ke apartemennya bermain-main dengan wanita yang setiap saat siap menemaninya setiap malam.

Hidup dengan bergelimang harta, mempunyai wajah tampan, dan wawasan yang luas membuatnya di sukai banyak orang. 

Sakti Bima Anggara namanya, lelaki berumur 29 tahun berpendidikan tinggi dan salah satu anak konglomerat di negara ini. Ayahnya adalah seorang pengusaha besar, sudah tidak terhitung usaha apa saja yang mereka geluti.

Sakti memegang tiga perusahaan besar dan lima anak cabang. Sepak terjang lelaki ini hampir mirip dengan sang Ayah, meluaskan bisnis keluarga. Namun sayang, dalam hal kehidupan pribadi dia lebih memilih untuk bersenang-senang daripada menjalin hubungan serius.

"Kamu dimana, Nak?" Terdengar suara lembut wanita yang hampir satu bulan ini tidak di kunjunginya dari seberang sana.

"Baru keluar kantor, Ma," jawab Sakti lalu masuk ke dalam mobil yang sudah di siapkan oleh petugas.

Mobil sport itu membelah jalan raya sore itu, tumbe Jakarta sore ini terlihat lengang. Atau hanya Sakti yang menyadarinya. Menuju kediaman orang tuanya, karena Hanna sang Mama memintanya untuk singgah walau sebentar.

Mobil sport berwarna hitam itu sudah terparkir rapih di pekarangan kediaman Anggara. Rumah besar itu hanya di huni pasangan suami istri yang berumur kurang lebih 50 tahun. Sakti seorang anak tunggal, dia di besarkan oleh tangan lembut sang Mama, namun di didik keras oleh ayahnya, Satyo Anggara. 

"Kamu kalo nggak di telpon, nggak bakalan pulang," omel Hanna yang sudah berdiri di depan teras.

"Kalo nggak di telpon aku nggak pulang, Ma," kekeh Sakti sambil mencium kedua pipi wanita cantik yang mengenakan tunik sebatas lutut.

"Kamu nggak kasihan sama?" Tangan Hanna mengusak rambut anak lelaki satu-satunya itu.

"Harusnya Mama angkat anak satu lagi, di panti-panti asuhan yang sering Mama kunjungi itu kan banyak," ujar Sakti menghenyakkan tubuhnya di sofa ruang tengah.

"Mama itu butuh kamu, bukan yang lain. Kalo buat nemenin Mama di rumah sudah ada si Eneng, Mbok Sum, Mbak Isah, Kang Dadang sama Supri, itu udah cukup rame dengan suara mereka. Tapi beda kalo kamu yang tinggal di rumah ini, apalagi bawa istri sama anak," kata Hanna sambil melirik Sakti.

"Umur Sakti masih 29 tahun, Ma."

"Terus kenapa? Anak-anak teman Mama sudah banyak yang menikah."

"Jadi Sakti pulang buat di suruh nikah?"

"Bila perlu," ujar Hanna memberikan amplop undangan pernikahan. "Teddy temanmu itu aja sudah mau menikah minggu depan."

"Wah, Mama di undang ... pake undangan lagi, kok aku cuma di telpon doang suruh dateng, nggak asik banget si Teddy," gerutu Sakti membuka undangan itu dan melihat nama Teddy sahabatnya semasa SMA.

Masih teringat jelas di ingatan Sakti kelakuannya bersama Teddy saat umur 18 tahun. Mereka harus kehilangan keperjakaan pada usia yang sangat muda. Itu karena coba-coba mem-booking "ayam kampus" untuk merayakan hari kelulusan sekolah mereka.

"Ada juga yang nerima dia." Sakti cekikan sambil membolak-balik undangan itu.

"Hush ... kalo ngomong sembarangan, ya ada lah, manusia di ciptakan udah dengan jodohnya masing-masing," hardik Hanna. "Makan dulu, yuk."

Baru saja Sakti beranjak dari duduknya, suara derap sepatu memasuki ruangan itu. Lelaki dengan setelan jas berwarna hitam hanya tersenyum sekilas padanya.

"Pulang kamu," ujar Satyo sambil memberikan jas pada Hanna.

"Tadinya sih nggak mau, Pa. Tapi Mama bialng kesepian," ucap Sakti berjalan ke ruang makan mendahului Satyo yang menggeleng melihat kelakuan putranya.

Obrolan di meja makan malam itu sama seperti kemarin, kemarin dan kemarinnya lagi, canggung. Entahlah, jika sudah berhadapan dengan Satyo Anggara, Sakti seperti bukan dirinya beda dengan jika dia bersama Hanna.

Mungkin memang Sakti tidak begitu dekat dengan ayahnya, sekalinya dekat sang ayah memperlakukannya begitu keras. Hasil yang Satyo petik dari kerasnya dia mendidik Sakti ya Sakti berhasil menjadi seorang pemimpin di perusahaan, namun sayang sifat jelek Sakti selama bertahun-tahun di luar negeri sampai detik ini pun belum bisa dia tanggalkan, itu lah yang selalu membuat Satyo belum sepenuhnya percaya bahwa Sakti mampu mengemban tugas lebih banyak lagi.

"Papa mau beli perkebunan kelapa sawit, gimana menurut kamu?"

"Papa kan udah punya, nambah lagi?"

"Prospeknya besar, bisnis itu untungnya luar biasa. Kamu juga harus belajar menginvestasikan uang kamu, jangan hanya berfoya-foya saja," kata Satyo sambil memasukkan sesendok makanan ke mulutnya.

"Enak, Pa?" tanya Hanna mencairkan suasana yang sebentar lagi biasanya akan menegang.

"Masakan kamu seperti biasa enak, Ma." Satyo mengumbar senyum. "Gimana, Sak?"

"Kelapa sawit?"

"Iya," ujar Satyo.

"Terserah Papa, berapa hektar?"

"Ini." Satyo menyodorkan ponselnya, menunjukkan luas perkebunan sawit yang akan di beli oleh Satyo. "Gimana? Kalo oke, Papa mau kamu suruh Agus siapkan SDM nya."

"Besok aku coba bicarakan dengan Agus," ujar Sakti.

"Oh ya, Papa dengar kamu ada kerjasama bisnis dengan perusahaan retail yang di Lippo Karawaci?"

"Iya, besok meeting, Papa mungkin mau datang?"

"Ck, Papa serahin ke kamu aja. Tapi Papa nggak mau dengar ada kegagalan," ujar Satyo dengan jari telunjuk memberi peringatan.

"Kapan Sakti pernah ngecewain Papa?" Sakti menyunggingkan senyum.

"Ma ... Sakti nggak bisa nginep ya," ujarnya.

Nampak raut kecewe Hanna. "Kok gitu?"

"Sakti ada janji," ujar Sakti sambil mengusap bibirnya dengan napkin yang berada di sisi kanannya.

"Kurang-kurangi pergi ke club, pulang bawa cewek-cewek nggak jelas," kata Satyo acuh namun dia tahu jika perkataannya itu membuay putranya tak senang.

"Papa bisa nggak berhenti urusin kehidupan pribadi aku," ujar Sakti meletakkan napkin itu kasar. "Papa cukup tau, perusahaan di tanganaku beres, tapi Papa jangan urusin apa yang jadi privasi aku," ujarnya lagi. "Sakti pulang, Ma." Sakti mencium kedua pipi Hanna, wjah Hanna kini bertambah murung.

"Bisa nggak sih kamu berhenti—" 

"Aku nggak akan berhenti, nama baik keluarga ini dan perusahaan ada di tangan anak itu, setiap kelakuan dia jadi santapan buat para pesaing aku," ujar Satyo beranjak dari tempat duduknya.

Mobil sport dengan kecepatan tinggi itu membelah jalan raya Jakarta di malam hari, menuju salah satu klub yang biasa dia datangi.

Senyum Sakti merekah, saat memasuki ruangan itu, hingar bingar musik memekakkan telinga, namun tidak bagi Sakti apalagi kedua temannya sudah menunggu di ruang VIP di temani tiga wanita berpakaian minim yang sedang bergerak, meliukkan tubuhnya berdiri di atas meja.

Comments (10)
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
sama siapa sakti bakal insaf ya wkwkwk
goodnovel comment avatar
Puput Gendis
wwooowww aku hadir say
goodnovel comment avatar
Anne
next thor.. uhuuuuy
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status