Home / Romansa / Jerat Casanova Insaf / 1. Anak Konglomerat

Share

Jerat Casanova Insaf
Jerat Casanova Insaf
Author: Chida

1. Anak Konglomerat

Author: Chida
last update Last Updated: 2022-04-08 19:30:00

Lelaki berwajah tampan dengan setelan kemeja body fit dan celana Chinos yang menggantung semata kaki lengkap dengan loafer shoes itu berjalan tegap mengarah ke lobby kantornya sore itu. 

Setelah seharian bekerja, cuma ada dua tujuan yang biasanya dia sambangi. Pertama, club yang biasanya menawarkan musik hingar bingar atau pulang ke apartemennya bermain-main dengan wanita yang setiap saat siap menemaninya setiap malam.

Hidup dengan bergelimang harta, mempunyai wajah tampan, dan wawasan yang luas membuatnya di sukai banyak orang. 

Sakti Bima Anggara namanya, lelaki berumur 29 tahun berpendidikan tinggi dan salah satu anak konglomerat di negara ini. Ayahnya adalah seorang pengusaha besar, sudah tidak terhitung usaha apa saja yang mereka geluti.

Sakti memegang tiga perusahaan besar dan lima anak cabang. Sepak terjang lelaki ini hampir mirip dengan sang Ayah, meluaskan bisnis keluarga. Namun sayang, dalam hal kehidupan pribadi dia lebih memilih untuk bersenang-senang daripada menjalin hubungan serius.

"Kamu dimana, Nak?" Terdengar suara lembut wanita yang hampir satu bulan ini tidak di kunjunginya dari seberang sana.

"Baru keluar kantor, Ma," jawab Sakti lalu masuk ke dalam mobil yang sudah di siapkan oleh petugas.

Mobil sport itu membelah jalan raya sore itu, tumbe Jakarta sore ini terlihat lengang. Atau hanya Sakti yang menyadarinya. Menuju kediaman orang tuanya, karena Hanna sang Mama memintanya untuk singgah walau sebentar.

Mobil sport berwarna hitam itu sudah terparkir rapih di pekarangan kediaman Anggara. Rumah besar itu hanya di huni pasangan suami istri yang berumur kurang lebih 50 tahun. Sakti seorang anak tunggal, dia di besarkan oleh tangan lembut sang Mama, namun di didik keras oleh ayahnya, Satyo Anggara. 

"Kamu kalo nggak di telpon, nggak bakalan pulang," omel Hanna yang sudah berdiri di depan teras.

"Kalo nggak di telpon aku nggak pulang, Ma," kekeh Sakti sambil mencium kedua pipi wanita cantik yang mengenakan tunik sebatas lutut.

"Kamu nggak kasihan sama?" Tangan Hanna mengusak rambut anak lelaki satu-satunya itu.

"Harusnya Mama angkat anak satu lagi, di panti-panti asuhan yang sering Mama kunjungi itu kan banyak," ujar Sakti menghenyakkan tubuhnya di sofa ruang tengah.

"Mama itu butuh kamu, bukan yang lain. Kalo buat nemenin Mama di rumah sudah ada si Eneng, Mbok Sum, Mbak Isah, Kang Dadang sama Supri, itu udah cukup rame dengan suara mereka. Tapi beda kalo kamu yang tinggal di rumah ini, apalagi bawa istri sama anak," kata Hanna sambil melirik Sakti.

"Umur Sakti masih 29 tahun, Ma."

"Terus kenapa? Anak-anak teman Mama sudah banyak yang menikah."

"Jadi Sakti pulang buat di suruh nikah?"

"Bila perlu," ujar Hanna memberikan amplop undangan pernikahan. "Teddy temanmu itu aja sudah mau menikah minggu depan."

"Wah, Mama di undang ... pake undangan lagi, kok aku cuma di telpon doang suruh dateng, nggak asik banget si Teddy," gerutu Sakti membuka undangan itu dan melihat nama Teddy sahabatnya semasa SMA.

Masih teringat jelas di ingatan Sakti kelakuannya bersama Teddy saat umur 18 tahun. Mereka harus kehilangan keperjakaan pada usia yang sangat muda. Itu karena coba-coba mem-booking "ayam kampus" untuk merayakan hari kelulusan sekolah mereka.

"Ada juga yang nerima dia." Sakti cekikan sambil membolak-balik undangan itu.

"Hush ... kalo ngomong sembarangan, ya ada lah, manusia di ciptakan udah dengan jodohnya masing-masing," hardik Hanna. "Makan dulu, yuk."

Baru saja Sakti beranjak dari duduknya, suara derap sepatu memasuki ruangan itu. Lelaki dengan setelan jas berwarna hitam hanya tersenyum sekilas padanya.

"Pulang kamu," ujar Satyo sambil memberikan jas pada Hanna.

"Tadinya sih nggak mau, Pa. Tapi Mama bialng kesepian," ucap Sakti berjalan ke ruang makan mendahului Satyo yang menggeleng melihat kelakuan putranya.

Obrolan di meja makan malam itu sama seperti kemarin, kemarin dan kemarinnya lagi, canggung. Entahlah, jika sudah berhadapan dengan Satyo Anggara, Sakti seperti bukan dirinya beda dengan jika dia bersama Hanna.

Mungkin memang Sakti tidak begitu dekat dengan ayahnya, sekalinya dekat sang ayah memperlakukannya begitu keras. Hasil yang Satyo petik dari kerasnya dia mendidik Sakti ya Sakti berhasil menjadi seorang pemimpin di perusahaan, namun sayang sifat jelek Sakti selama bertahun-tahun di luar negeri sampai detik ini pun belum bisa dia tanggalkan, itu lah yang selalu membuat Satyo belum sepenuhnya percaya bahwa Sakti mampu mengemban tugas lebih banyak lagi.

"Papa mau beli perkebunan kelapa sawit, gimana menurut kamu?"

"Papa kan udah punya, nambah lagi?"

"Prospeknya besar, bisnis itu untungnya luar biasa. Kamu juga harus belajar menginvestasikan uang kamu, jangan hanya berfoya-foya saja," kata Satyo sambil memasukkan sesendok makanan ke mulutnya.

"Enak, Pa?" tanya Hanna mencairkan suasana yang sebentar lagi biasanya akan menegang.

"Masakan kamu seperti biasa enak, Ma." Satyo mengumbar senyum. "Gimana, Sak?"

"Kelapa sawit?"

"Iya," ujar Satyo.

"Terserah Papa, berapa hektar?"

"Ini." Satyo menyodorkan ponselnya, menunjukkan luas perkebunan sawit yang akan di beli oleh Satyo. "Gimana? Kalo oke, Papa mau kamu suruh Agus siapkan SDM nya."

"Besok aku coba bicarakan dengan Agus," ujar Sakti.

"Oh ya, Papa dengar kamu ada kerjasama bisnis dengan perusahaan retail yang di Lippo Karawaci?"

"Iya, besok meeting, Papa mungkin mau datang?"

"Ck, Papa serahin ke kamu aja. Tapi Papa nggak mau dengar ada kegagalan," ujar Satyo dengan jari telunjuk memberi peringatan.

"Kapan Sakti pernah ngecewain Papa?" Sakti menyunggingkan senyum.

"Ma ... Sakti nggak bisa nginep ya," ujarnya.

Nampak raut kecewe Hanna. "Kok gitu?"

"Sakti ada janji," ujar Sakti sambil mengusap bibirnya dengan napkin yang berada di sisi kanannya.

"Kurang-kurangi pergi ke club, pulang bawa cewek-cewek nggak jelas," kata Satyo acuh namun dia tahu jika perkataannya itu membuay putranya tak senang.

"Papa bisa nggak berhenti urusin kehidupan pribadi aku," ujar Sakti meletakkan napkin itu kasar. "Papa cukup tau, perusahaan di tanganaku beres, tapi Papa jangan urusin apa yang jadi privasi aku," ujarnya lagi. "Sakti pulang, Ma." Sakti mencium kedua pipi Hanna, wjah Hanna kini bertambah murung.

"Bisa nggak sih kamu berhenti—" 

"Aku nggak akan berhenti, nama baik keluarga ini dan perusahaan ada di tangan anak itu, setiap kelakuan dia jadi santapan buat para pesaing aku," ujar Satyo beranjak dari tempat duduknya.

Mobil sport dengan kecepatan tinggi itu membelah jalan raya Jakarta di malam hari, menuju salah satu klub yang biasa dia datangi.

Senyum Sakti merekah, saat memasuki ruangan itu, hingar bingar musik memekakkan telinga, namun tidak bagi Sakti apalagi kedua temannya sudah menunggu di ruang VIP di temani tiga wanita berpakaian minim yang sedang bergerak, meliukkan tubuhnya berdiri di atas meja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (10)
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
sama siapa sakti bakal insaf ya wkwkwk
goodnovel comment avatar
Puput Gendis
wwooowww aku hadir say
goodnovel comment avatar
Anne
next thor.. uhuuuuy
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jerat Casanova Insaf   Extra Part

    Taman samping rumah Sakti di sulap sedemikian rupa menjadi sebuah taman yang penuh dengan pernak pernik ulang tahun anak pertamanya yang sudah berusia lima tahun. Anak-anak kecil berlarian kesana kemari sebelum acara di mulai. Sakti sedang berbincang dengan Andi sambil menggendong anak ketiga mereka yang berusia enam bulan, tertidur di dalam pelukannya setelah menangis karena menginginkan ibunya yang sibuk mengurusi snack yang akan dibagikan setelah acara selesai. "Kalo menurut lo klien kemarin sudah oke sama pengajuan proposal lo, ya gue pasti tanda tangan, tapi sebelumnya lo tanya Gendis dulu, gue takutnya masalah keuangan klien kita itu memang sedang nggak baik-baik aja." "Iya, hal ini memang Gendis lebih peka." Andi menggerakkan dagunya menunjuk Gendis yang melangkah ke arah mereka. "Rara mana?" tanya Gendis pada Sakti. Anak keduanya itu memang lebih suka bersembunyi, jarang sekali menampakkan dirinya hingga sering sekali membuat Gendis panik. "Kamu jalannya pelan-pelan aja, S

  • Jerat Casanova Insaf   117. Anugerah Itu Datang Kembali (TAMAT)

    Baru saja Gendis ingin memejamkan matanya, Abi kembali merengek ingin di gendong. Padahal baru 15 menit yang lalu bayi itu dia letakkan tidur di sampingnya. Dengan mata yang setengah mengantuk, Gendis kembali mengangkat putranya. Tepat pukul setengah 11 malam, Sakti masuk ke kamar mereka. Lelaki itu baru saja pulang dari kantor, sore tadi dia dan Satyo menghadiri perjamuan acara makan malam perusahaan klien mereka. "Hei," ucap Sakti pelan sambil mengusap-usap lengan Gendis yang sedang menimang Abi. "Kok belum tidur," ujar Sakti lagi kali ini dia memberikan kecupan di pipi Gendis. "Aku udah ngantuk banget, Abi juga tadi sudah tidur. Tapi, waktu aku rebahkan dia di tempat tidur baru aja mau tidur, Abi bangun lagi." Wajah lelah Gendis begitu kentara. "Aku mandi dulu ya, biar nanti aku yang jagain Abi, kamu tidur nggak apa-apa." Sebelum melangkah ke kamar mandi, lelaki yang masih mengenakan setelan jas itu tersenyum pada bayi yang baru saja berusia satu bulan itu. "Papa mandi dulu, n

  • Jerat Casanova Insaf   116. Porsi Bahagia

    Ketukan di pintu pagi itu membuat Gendis dan Sakti menoleh ke arah suara. Sahabat yang hampir satu tahun ini tidak menampakkan dirinya itu kembali datang bersama istri yg sedang hamil dan juga seorang anak di dalam pelukannya. "Wuih, selamat Sak ... akhirnya beneran insaf," ujar Teddy melangkah masuk ke dalam kamar rawat inap Gendis. "Astaga, memang sahabat nggak ada akhlak lo, ya. Udah macem jelangkung aja tiba-tiba dateng tiba-tiba hilang." Sakti merangkul erat lelaki bermata sipit itu. Gimana kabar?" "Baik lah ...." Mata Teddy mendelik melirik istrinya yang sedang hamil 4 bulan. "Kemana aja lo?" tanya Sakti. "Gue mau kasih selamat dulu dong sama istri lo. Selamat ya, Dis ... maaf nggak dateng saat kalian nikah, biasalah panggilan kerja, orang lapangan harus standby." "Selamat ya Gendis," ucap Siti wanita yang semakin terlihat cantik dengan perut yang sedikit membuncit. "Makasih Mbak, enggak apa-apa Mas Teddy ... kita ngerti kok kalo Mas Teddy sibuk." "Ini buat baby boy," uja

  • Jerat Casanova Insaf   115. Mahendra Abimanyu

    Tangis bayi mungil itu pecah memenuhi seisi ruangan, tangisan kencang yang terdengar itu nyaris membuat Sakti tak sanggup berdiri lama. Mengingat perjuangan Gendis mempertaruhkan nyawanya demi seorang bayi mungil, buah cinta mereka. Sakti mengusap air matanya, tak henti-hentinya dia mengecupi kening Gendis yang bahkan masih penuh dengan peluh. Wajah wanita yang sekarang berubah menjadi seorang ibu itu pun terlihat lelah namun sudut bibirnya berusaha mengembang saat bayi mungil mereka di serahkan padanya. "Coba belajar biar dia mencari puting ibunya ya," ujar dokter anak yang menangani bayi Gendis. Lagi-lagi Sakti meneteskan air matanya, rasanya jika kembali lagi ke masa lalunya dia bersumpah tidak akan segampang itu mempermainkan wanita. Melihat perjuangan Gendis mengejan hingga bisa melahirkan bayi sehat, Sakti merasa sangat-sangat bersalah sudah menyia-nyiakan masa mudanya dengan hal yang tak berguna. "Dia pintar," lirih Gendis melihat bayi kecilnya mendapat puting susunya. "Kaya

  • Jerat Casanova Insaf   114. Semua Panik

    Pagi itu Gendis sudah menyiapkan sarapan pagi untuk suaminya, sore nanti rencananya mereka akan menjemput Wati dan Hendro dari Jogja. Perkiraan dokter dua minggu lagi Gendis sudah bisa melahirkan, oleh karena itu Wati memutuskan untuk menemani putrinya melewati hari yang di nantikan itu. "Bikin apa?" Sakti datang sambil memeluk istrinya dari belakang. "Nasi goreng buat kamu, kopi kamu udah di meja makan. Sebentar lagi nasi gorengnya selesai," ujar Gendis menoleh sedikit pada Sakti yang meletakkan dagunya di pundak sang istri. "Kita jemput bapak sama ibu jam berapa?" "Jam lima mereka sampai di stasiun, kita jangan terjebak macet ... kasian mereka kalo menunggu lama," ujar Gendis lalu memindahkan hasil masakannya ke sebuah mangkuk ukuran besar. "Ayo makan." Sakti membawakan masakan istrinya ke atas meja makan, Buk Sumi yang berada di sana menyelesaikan potongan buah lalu menyusul meletakkannya di meja makan. "Bik, ayo makan," ajak Gendis. Gendis tidak pernah membedakan wanita tua

  • Jerat Casanova Insaf   113. Kecemasan Sakti

    Wajah Sakti masih nampak cemas, dia dan Gendis baru saja keluar dari ruangan praktek dokter kandungan yang menangani Gendis selama hamil. "Aku minta maaf, ya." Lagi wajah Gendis mengiba, dia benar-benar merasa bersalah. Harusnya dia lebih berhati-hati lagi jika hendak melakukan sesuatu, apalagi ini pekerjaan di kantor. Sakti masih terdiam, ekspresi wajahnya begitu menyeramkan jika sedang marah. Tatapannya tajam ke depan sambil mendorong kursi roda yang membawa Gendis hingga ke lobby rumah sakit. "Sayang." Gendis menahan tangan Sakti. "Aku minta maaf," ujarnya sungguh-sungguh. "Aku nggak bakal ulangi lagi, aku pasti jaga anak kamu." "Taruh tangan kamu melingkar di sini." Sakti menepuk pundaknya memberi titah agar Gendis melingkarkan tangannya. Dengan satu kali gerakan, Sakti mengangkat Gendis dengan perut besarnya berjalan ke arah mobil yang sudah menunggu mereka. "Kita langsung pulang, Pak?" tanya Pak Supri. "Langsung pulang saja," jawab Sakti dingin. Benar-benar Sakti marah a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status