Share

3. Si Gadis Rumah Susun

"Dis ... udah jam enam, kamu bilang ada kuliah pagi ini." Suara perempuan paruh baya terdengar dari balik pintu kamar Gendis.

Gadis berumur 23 tahun itu masih meringkuk di atas tempat tidur. Malam tadi dia pulang lebih lama tidak seperti biasanya. Ada audit dari kantor pusat yang mengharuskan dia ikut serta mengecek barang di minimarket tempat dia bekerja.

"Dis ...."

"Iya, Bu ... udah bangun," sahutnya dari dalam.

Meraih ikat rambut yang tergeletak tidak jauh dari sisinya, perlahan dia bangkit membuka pintu kamarnya. Bayu, sang adik yang duduk di kelas dua SMA sudah rapi mengenakan pakaian sekolah. Melintas melewati Bayu, Gendis mengacak rambut sang adik.

"Mbak—"

"Ambil di kantung celana Mbak, 10 ribu aja jangan banyak-banyak," ujar Gendis seakan tahu apa yang akan di minta Bayu.

"Makasih, Mbak," ucap Bayu tersenyum lalu berlari ke kamar Gendis. "Ibu, Bayu berangkat ya," serunya. "Mbak ...."

"Ya, hati-hati," jawab Gendis melingkarkan handuk di lehernya. "Bapak mana, Bu?"

"Biasa, lagi periksa bemo nya," jawab Wati yang sedang mencuci piring.

"Biar nanti Gendis yang beresin, Bu," ujar Gendis sebelum masuk ke kamar mandi.

"Kamu kuliah aja, kalo semua kamuyang beresin terus kerja ibu apa?" Wati pun tetawa samar.

"Ibu kerjanya ya masak, masak yang enak buat aku, Bayu dan Bapak," serunya lagi.

"Sudah cepat, kamu bilang kuliah jam delapan."

"Ck, sepeda onthel Bapak rusak lagi, Bu," ujar lelaki yang masih mengenakan sarung itu duduk di kursi meja makan lalu membuka tudung saji. 

"Sepeda onthel Bapak itu sudah sewajarnya masuk ke museum," kata Wati. "Beli onderdilnya saja harganya mahal, mending di jual, Pak. Lumayan uangnya buat buka usaha di depan gang."

"Jangan di jual, Bu. Sepeda itu yang berjasa sama hidup kita hingga sampai sekarang," ujar Hendro mengunyah nasi goreng sebagai sarapan paginya sebelum menarik bemo.

"Harganya berapa, Pak?" tanya Gendis dengan rambut basah keluar dari kamar mandi.

"Kemarin Bapak tanya 750 ribu, Dis."

"Mahal, Pak ... kalo Bapak mau, harus nunggu Gendis gajian dua bulan lagi," serunya dari kamar. 

"Sudah Dis, biar saja Bapakmu itu, kita makan aja sudah syukur, bayar buku dan ongkos Bayu saja dari kamu, belum lagi kontrakan ini, untung kamu bisa bantu," sergah Wati mencebik pada suaminya.

"Ya sudah, Bapak nabung dulu buat beli onderdilnya."

"Hhmm." Wati melengos meninggalkan suaminya duduk sendiri di meja itu.

"Gendis berangkat ya, Pak." Gendis meraih tangan Hendro, mencium punggung tangan lelaki tua itu. 

"Bareng Bapak aja, Bapak antar sampai Benhil."

Gendis dan keluarganya tinggal di sebuah rumah susun di lingkungan padat penduduk kota Jakarta. Sebelum dia lahir pun, kedua orangtuanya sudah tinggal di Jakarta, aslinya dari Jawa Tengah. 

Kedua orangtuanya merantau ke Jakarta, ibunya dulu seorang pembantu rumah tangga, sedangkan ayah Gendis dari dulu sudah menjadi supir bemo, hingga sekarang dan bisa membeli bemo sendiri.

Memilih tinggal di rumah susun, karena menurut ibu Gendis lebih hemat, selain uang kontrak yang tidak terlalu mahal, saat itu rumah majikannya yang seorang angkatan laut bertempat tinggal tidak jauh dari rusun mereka.

"Besok-besok kalo sepeda Bapak rusak lagi, ngomongnya jangan di depan ibu," pesan Gendis saat turun dari bemo ayahnya. 

"Iya, Bapak nggak bilang lagi di depan ibu," jawab Hendro.

"Bulan depan kalo Gendis dapat uang lembur, Bapak bisa pakai buat beli onderdilnya," ujar putri sulungnua itu sambil tersenyum. "Gendis berangkat, Pak." 

"Hati-hati, Nak," pesan Hendro menatap punggung anaknya hingga Gendis menghilang baru lah dia menjalani kembali bemonya.

Dulu Gendis harus mengalah untuk tidak kuliah karena bertepatan dengan masuknya Bayu ke SMP. Sampai akhirnya, setahun kemudian Gendis mencoba masuk kuliah karena mengikuti program beasiswa di kampus yang dia tuju dan syukurnya nasib baik berpihak padanya.

*****

"Pagi, Neng," sapa Rika yang mendudukkan tubuhnya tepat di samping Gendis.

"Tumben kamu udah dateng," ujar Gendis melirik sedikit ke arah gadis yang setahun lebih muda darinya.

"Kan ada tugas," ujar Rika tersenyum penuh arti pada Gendis.

"Kebiasaan, tapi aku belum ngerjain," kekeh Gendis.

"Wah payah nih, pelit," cebik Rika meletakkan kepalanya di atas meja. "Ayolah, Dis ... semalam aku ketiduran, aku lupa," rengeknya.

"Aku juga semalam ketiduran," kata Gendis tapi tetap saja dia mengeluarkan kertas tugas yang sudah dia kerjakan satu hari sebelumnya. "Tapi aku masih sempat membuatnya, nih." 

Senyum bahagia terpancar dari wajah Rika. "Gitu dong, baru namanya bestie," ujar Rika memberikan ciuman di pipi sahabatnya itu.

"Bisa nggak kamu bergaul yang wajar-wajar aja, Ka."

"Wajar kok," ucap Rika sambil menyalin tugas dengan cepat.

"Berhenti clubing, teman-teman kamu itu nggak baik, kalo ada apa-apa sama kamu apa mereka mau tanggung jawab."

"Gendis manis, Gendis cantik, Gendis yang selalu baik hati, aku udah gede kamu jangan khawatir, ya," ujar Rika lalu mencium pipi Gendis lagi. "Nanti selesai kuliah aku traktir, oke."

"Aku langsung kerja, nggak bisa Ka, lain kali aja," kata Gendis merapikan duduknya saat dosen mereka masuk ke dalam kelas.

"Kerja mulu, sekali-sekali nikmati hidup," bisik Rika yang hanya di jawab dengan senyuman oleh Gendis.

Comments (8)
goodnovel comment avatar
Mardiati Badri
kak chida aq baru bemu karyamu di sini. wah rute bemonya tenabang karet ato tenabang benhil nih. keknya aq tau rusunnya gendis hihihi
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
yg bakal jadi jodoh sakti wkwkwk
goodnovel comment avatar
Puput Gendis
semangat nak.. mmh slalu doain wkwkwkwk
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status