"Dis ... udah jam enam, kamu bilang ada kuliah pagi ini." Suara perempuan paruh baya terdengar dari balik pintu kamar Gendis.
Gadis berumur 23 tahun itu masih meringkuk di atas tempat tidur. Malam tadi dia pulang lebih lama tidak seperti biasanya. Ada audit dari kantor pusat yang mengharuskan dia ikut serta mengecek barang di minimarket tempat dia bekerja.
"Dis ...."
"Iya, Bu ... udah bangun," sahutnya dari dalam.
Meraih ikat rambut yang tergeletak tidak jauh dari sisinya, perlahan dia bangkit membuka pintu kamarnya. Bayu, sang adik yang duduk di kelas dua SMA sudah rapi mengenakan pakaian sekolah. Melintas melewati Bayu, Gendis mengacak rambut sang adik.
"Mbak—"
"Ambil di kantung celana Mbak, 10 ribu aja jangan banyak-banyak," ujar Gendis seakan tahu apa yang akan di minta Bayu.
"Makasih, Mbak," ucap Bayu tersenyum lalu berlari ke kamar Gendis. "Ibu, Bayu berangkat ya," serunya. "Mbak ...."
"Ya, hati-hati," jawab Gendis melingkarkan handuk di lehernya. "Bapak mana, Bu?"
"Biasa, lagi periksa bemo nya," jawab Wati yang sedang mencuci piring.
"Biar nanti Gendis yang beresin, Bu," ujar Gendis sebelum masuk ke kamar mandi.
"Kamu kuliah aja, kalo semua kamuyang beresin terus kerja ibu apa?" Wati pun tetawa samar.
"Ibu kerjanya ya masak, masak yang enak buat aku, Bayu dan Bapak," serunya lagi.
"Sudah cepat, kamu bilang kuliah jam delapan."
"Ck, sepeda onthel Bapak rusak lagi, Bu," ujar lelaki yang masih mengenakan sarung itu duduk di kursi meja makan lalu membuka tudung saji.
"Sepeda onthel Bapak itu sudah sewajarnya masuk ke museum," kata Wati. "Beli onderdilnya saja harganya mahal, mending di jual, Pak. Lumayan uangnya buat buka usaha di depan gang."
"Jangan di jual, Bu. Sepeda itu yang berjasa sama hidup kita hingga sampai sekarang," ujar Hendro mengunyah nasi goreng sebagai sarapan paginya sebelum menarik bemo.
"Harganya berapa, Pak?" tanya Gendis dengan rambut basah keluar dari kamar mandi.
"Kemarin Bapak tanya 750 ribu, Dis."
"Mahal, Pak ... kalo Bapak mau, harus nunggu Gendis gajian dua bulan lagi," serunya dari kamar.
"Sudah Dis, biar saja Bapakmu itu, kita makan aja sudah syukur, bayar buku dan ongkos Bayu saja dari kamu, belum lagi kontrakan ini, untung kamu bisa bantu," sergah Wati mencebik pada suaminya.
"Ya sudah, Bapak nabung dulu buat beli onderdilnya."
"Hhmm." Wati melengos meninggalkan suaminya duduk sendiri di meja itu.
"Gendis berangkat ya, Pak." Gendis meraih tangan Hendro, mencium punggung tangan lelaki tua itu.
"Bareng Bapak aja, Bapak antar sampai Benhil."
Gendis dan keluarganya tinggal di sebuah rumah susun di lingkungan padat penduduk kota Jakarta. Sebelum dia lahir pun, kedua orangtuanya sudah tinggal di Jakarta, aslinya dari Jawa Tengah.
Kedua orangtuanya merantau ke Jakarta, ibunya dulu seorang pembantu rumah tangga, sedangkan ayah Gendis dari dulu sudah menjadi supir bemo, hingga sekarang dan bisa membeli bemo sendiri.
Memilih tinggal di rumah susun, karena menurut ibu Gendis lebih hemat, selain uang kontrak yang tidak terlalu mahal, saat itu rumah majikannya yang seorang angkatan laut bertempat tinggal tidak jauh dari rusun mereka.
"Besok-besok kalo sepeda Bapak rusak lagi, ngomongnya jangan di depan ibu," pesan Gendis saat turun dari bemo ayahnya.
"Iya, Bapak nggak bilang lagi di depan ibu," jawab Hendro.
"Bulan depan kalo Gendis dapat uang lembur, Bapak bisa pakai buat beli onderdilnya," ujar putri sulungnua itu sambil tersenyum. "Gendis berangkat, Pak."
"Hati-hati, Nak," pesan Hendro menatap punggung anaknya hingga Gendis menghilang baru lah dia menjalani kembali bemonya.
Dulu Gendis harus mengalah untuk tidak kuliah karena bertepatan dengan masuknya Bayu ke SMP. Sampai akhirnya, setahun kemudian Gendis mencoba masuk kuliah karena mengikuti program beasiswa di kampus yang dia tuju dan syukurnya nasib baik berpihak padanya.
*****
"Pagi, Neng," sapa Rika yang mendudukkan tubuhnya tepat di samping Gendis.
"Tumben kamu udah dateng," ujar Gendis melirik sedikit ke arah gadis yang setahun lebih muda darinya.
"Kan ada tugas," ujar Rika tersenyum penuh arti pada Gendis.
"Kebiasaan, tapi aku belum ngerjain," kekeh Gendis.
"Wah payah nih, pelit," cebik Rika meletakkan kepalanya di atas meja. "Ayolah, Dis ... semalam aku ketiduran, aku lupa," rengeknya.
"Aku juga semalam ketiduran," kata Gendis tapi tetap saja dia mengeluarkan kertas tugas yang sudah dia kerjakan satu hari sebelumnya. "Tapi aku masih sempat membuatnya, nih."
Senyum bahagia terpancar dari wajah Rika. "Gitu dong, baru namanya bestie," ujar Rika memberikan ciuman di pipi sahabatnya itu.
"Bisa nggak kamu bergaul yang wajar-wajar aja, Ka."
"Wajar kok," ucap Rika sambil menyalin tugas dengan cepat.
"Berhenti clubing, teman-teman kamu itu nggak baik, kalo ada apa-apa sama kamu apa mereka mau tanggung jawab."
"Gendis manis, Gendis cantik, Gendis yang selalu baik hati, aku udah gede kamu jangan khawatir, ya," ujar Rika lalu mencium pipi Gendis lagi. "Nanti selesai kuliah aku traktir, oke."
"Aku langsung kerja, nggak bisa Ka, lain kali aja," kata Gendis merapikan duduknya saat dosen mereka masuk ke dalam kelas.
"Kerja mulu, sekali-sekali nikmati hidup," bisik Rika yang hanya di jawab dengan senyuman oleh Gendis.
"Yakin, Dis?" tanya Rika untuk kesekian kalinya saat Gendis membereskan buku-bukunya."Yakin ... udah santai aja, lain kali kalo aku sedang off kerja, kamu bisa traktir aku," ucap Gendis beranjak dari tempat duduknya."Hhmm ... ya sudah kalo gitu, sayang banget padahal aku pengin ajak kamu jalan-jalan," ujar Rika dengan mimik wajah kecewa. "Emm, sebentar Dis."Rika merogoh kantung celananya, di ambilnya dua lembar uang berwarna merah lalu diberikannya pada Gendis."Ini uang buat ibu, bilang sama ibu besok aku mau main ke rumah, masakin aku masakan yang enak," ujar Rika.Ya, begitulah cara Rika jika ingin memberikan uang pada Gendis agar tidak Gendis tolak. Alih-alih meminta ibu Gendis untuk memasakkannya masakan yang lezat untuk dirinya."Ibu masih ada uang, Ka," tolak Gendis. "Kamu kebiasaan kalo kayak gini." Gendis mengembalikan uang itu pada Rika."Aku yang minta ibu buat masakin, jadi nggak ada alasan kamu tolak," gerutu Rik
Ciuman itu begitu liar, Sakti terlihat terburu-buru membuka pakaian lawan mainnya malam ini. Wanita berbeda lagi yang di temuinya malam ini sewaktu dia berada di club tadi."Slowly," ucap wanita itu lembut.Sakti seakan tidak perduli, dia dengan rakusnya melumat bibir yang sejak tadi tidak pernah diam selama perjalanan mereka.Sakti menghempaskan tubuh indah itu ke atas ranjang, seraya tersenyum miring. Gaun berwarna hitam membalut tubuh itu pun sudah terlepas dari tubuhnya. Sakti melempar kemejanya ke atas sofa, merangkak naik ke atas tubuh teman kencannya malam ini."Siapa nama kamu tadi?" bisik Sakti lalu menyusuri leher jenjang putih mulus itu.Wanita itu mendesah saat Sakti menekan tubuh bagian bawahnya dan menyesap leher wanita itu sedikit kuat."Reina ...," ucapnya lirih seraya mengangkat dagunya memberikan ruang pada Sakti menikmati lehernya."Reina ...." Suara itu begitu lembut, tangan Sakti meremas payudara yang bah
Pagi itu terasa berbeda bagi Sakti, secara sengaja ketika berangkat kerja lagi-lagi dia melewati halte busway tempat pertama kali dia bertemu gadis ber-kulot lilac. Meski gadis itu tidak ada, tetap saja dia perintah agar membawa mobil jangan terlalu cepat. Bahkan setelah melewati halte itu pun Sakti masih memutar kepalanya memastikan gadis itu bisa saja tiba-tiba datang. "Memangnya siapa, Pak?" tanya Supri. "Manis," jawab Sakti sambil tersenyum. "Manis?" Supri melirik kaca spion melihat Sakti di kursi tengah. "Iya, gadis manis di halte busway. Jarang saya liat yang seperti itu. Seperti tadi malam, kamu ingat ... saya bilang kejar gadis yang mengenakan celana kulot itu, saya rasa itu dia." Supri menyadari sepertinya anak majikannya ini sedang jatuh cinta. "Pandangan pertama, Pak." "Kenapa?" "Iya, namanya pandangan pertama ... dulu saya juga pertama kali jatuh cinta sama istri waktu ke temu di pasar becek. Pertama kali lihat dia lagi nawar tempe," cerita Supri. "Kamu ngapain d
"Meeting siang nanti setelah makan siang," ujar Agus assisten pribadi Sakti."Di kantor mereka?""Iya, Pak.""Ok, tim marketing siapa yang kamu tunjuk untuk ikut kita?" tanya Sakti masih fokus dengan berkas yang dia tanda tangani."Saya tunjuk Roro untuk presentasi produk kita," jawab Agus."Ok, kalian bawa mobil kantor saja, saya biar bawa mobil sendiri." Sakti memberikan berkas itu pada Agus."Saya permisi, Pak." Agus mohon diri embali ke ruangannya."Oh ya, Gus," panggil Sakti.Agus memutar tubuhnya, "ya, Pak?""Sudah berapa lama kamu menikah?" tanya Sakti.Agus mengernyitkan dahinya, seingatnya atasannya ini sangat sangat jarang membahas hal pribadi."Sudah berapa lama?" Lagi sakti bertanya."Dua tahun, Pak.""Pacaran berapa lama?""Tiga tahun, Pak. Kalo boleh tau, ada apa Pak?""Total sudah saling kenal lima tahun, nggak bosan?'"Lebih, Pak," ujar
"Pembalutnya isi 10 dengan sayap," ulang Gendis lagi."Ah ... iya— iya," jawab Sakti kelabakan karena merasa mengambil barang-barang itu dengan asal ambil saja."Totalnya 250 ribu, Kak," ujar Gendis lalu tersenyum."Ya ampun," ucap Sakti saat melihat senyum Gendis."Gimana? ada yang salah?" Gendis mengerutkan keningnya."Oh, nggak— nggak, nggak ada yang salah." Sakti merogoh saku celana bagian belakang mengeluarkan dompetnya. "Berapa tadi?""250 ribu," jawab Gendis lagi.Mengeluarkan tiga lembar uang ratusan, dan memberikannya pada Gendis. Detak jantung itu masih sama, berdegub kencang. Apalagi saat Gendis memberikan uang kembaliannya pada Sakti beserta struk pembayaran, jari mereka tak sengaja bersentuhan."Terimakasih, selamat berbelanja kembali," ujar Gendis dan lagi-lagi kembali tersenyum."Sama-sama," jawab Sakti namun mata lelaki itu mengarah pada name tag yang berada di dada Gendis.Gendis menge
"Pacarnya? ck ...." Sakti berdecak, kecewa terlihat dari raut wajahnya.Sebegitu ingin tahunya dia tentang Gendis, namun ketika rasa penasarannya membuncah lalu menghadapi kenyataan kalo gadis itu malah milik orang lain."Nggak mungkin pacarnya, kalo pacar pasti naek motornya nggak jauhan kayak gitu. Ck, bukan ... bukan pacar, mungkin kakaknya. Nah, bisa jadi ...."Bergelut dengan pikirannya sendiri, Sakti memutuskan untuk datang lagi besok. Meraih gawainya, Sakti mencari nama Supri. Hal pertama yang harus dia lakukan adalah menghubungi Supri, hanya lelaki itu yang bisa membantunya."Pri.""Ya, Pak.""Kamu di rumah?""Iya, Pak ... saya di rumah Pak Satyo.""Besok, setelah antar Papa ... kamu ke kantor saya, ya.""Siap, Pak.""Oh ya, kamu udah cari motor yang saya mau kemarin?""Belum, Pak ... maaf, seharian saya nemenin Pak Satyo.""Ya sudah, besok temani saya berarti. Nanti saya bi
"Dis, lo kenapa?" tanya Andi, melihat Gendis berjingkrak setelah lelaki yang terakhir berada di depan kasir itu pergi. "Hah? Nggak ... nggak apa-apa," ujar Gendis tersipu malu. "Yee ... udah buruan, udah di hitung?" "Oh iya, sebentar ...." Seperti biasa ketika keluar dari minimarket yang selalu tidak pernah di sangka pasti sudah setia menunggu di sana. "Dia pantang mundur ya ternyata," kata Andi menggoda Gendis. "Ya ampun, Mas Arya ...," ucap Gendis pelan nyaris tak terdengar. "Udah terima aja kenapa, Dis." "Terima apaan?" "Udah nembak, kan?" "Nggak ada nembak ... nembak apa?" "Ya elo Munaroh ... siape lagi?!" Logat Betawi itu terdengar lebih kental dari biasanya. Gendis tertawa, membantu Andi mendorong rolling door, "nggak nembak, nggak ngomong apa-apa, gimana mau nerima." "Nggak gercep, diambil orang aja dulu ... kapok," rutuk Andi. "Gue duluan, ya ... Mas Arya, gue
Matahari sore mulai tenggelam, Sakti masih sibuk dengan pekerjaannya. Tiga hari yang lalu dia memerintahkan Supri untuk mencari tahu siapa Gendis, dimana dia tinggal, kuliah jurusan apa, semester berapa, bagaimana kehidupannya, bagaimana keluarganya. Supri melakukan dengan sangat baik, entah bagaimana cara Supri mendapatkan semua informasi itu, termasuk Gendis belum punya pasangan. Sakti tersenyum saat mendengarkan laporan dari Supri, terlebih saat tahu kalau Gendis belum mempunyai pacar. Itu artinya, peluang untuk dirinya terbuka lebar. Dan sudah tiga hari pula, lelaki itu selalu menyempatkan diri berhenti di minimarket tempat Gendis bekerja, meski masih sering menemukan lelaki lain itu menjemput Gendis tapi setidaknya masih ada celah untuknya masuk ke hati gadis itu. Malam ini rencananya Sakti ingin memperkenalkan diri, tapi bingung harus memulai darimana. Apalagi pekerjaannya yang masih harus dia selesaikan. "Sak," suara berat itu dat