Enjoy reading 😘
"Han ... Hanna," panggil Satyo saat memasuki kediamannya. Hanna keluar dari kamarnya yang berada di lantai satu, menatap heran pada suaminya. "Bilang ke aku, jujur! Kemana anak angkat kamu itu pergi?!" "Kamu pulang marah-marah terus tiba-tiba nanya kemana Tari pergi, kamu kenapa?" "Jawab aja," ujar Satyo menghenyakkan tubuhnya di sofa ruang tengah. "Tari pulang ke panti asuhan, dia bilang di sana sedang tidak da tenaga pembantu untuk mengurus adik-adik asuhnya, kenapa sih, ada apa?" Hanna ikut duduk di sebelah suaminya. "Jangan bohong, Han. Aku tau kamu pasti tau kemana Tari pergi, ya kan?" "Apa sih, Mas ... aku nggak ngerti deh." "Tari ke Jogja, iya kan? jawab!" Satyo menatap mata istrinya tajam. Sebenarnya Hanna yang mendukung Tari dan Sakti dalam mencari Gendis. Tujuan Hanna hanya satu, dia ingin Sakti hidup lebih baik lagi. Karena selama melihat Sakti bersama Gendis, anak lelakinya itu terlihat lebih bahagia. Bukan semata-mata di dunia ini hanya Gendis seorang yang bisa me
Lelaki berumur kepala lima itu berjalan menuju ruangan VIP sebuah restoran yang berada di salah satu tempat bermain golf di Ibukota Jakarta. Di dalam ruangan itu sudah menunggu seorang ayah dan anak perempuannya. "Hei, Sat ... silahkan," ujar Billy berdiri dari tempat duduknya, tersenyum sumringah menyambut kedatangan Satyo. "Hai, Om ... apa kabar?" "Baik, May," jawab Satyo lalu duduk di kursi berhadapan dengan bapak dan anak itu. Matanya menatap tajam ke dua orang di hadapannya, bahkan kancing kemeja Maya yang terbuka sampai ke dada itu pun tak luput dari tatapannya. "Gimana, Om? Sakti sudah beberapa minggu belakangan susah sekali di temui, semenjak pertemuan terakhir saat dia resign dari perusahaan, Om." "Anak kamu itu memang luar biasa, Sat. Menurut informasi yang aku dapat, sepak terjangnya patut di acungi jempol, meski klien dia dari pengusaha menengah ke atas tapi aku salut perjuangannya dalam kurun waktu singkat namanya sebagai konsultan bisnis mulai menggema." "Anak itu c
"Sentuh aku, sentuh dimana pun kamu mau, Sayang," bisik Maya merdu di telinga Sakti. Sakti mendorong kasar tubuh Maya ke atas sofa. Matanya menatap sendu lekuk tubuh wanita yang sudah setengah telanjang itu. Senyum memikat Maya memancingnya untuk semakin mendekat. Sakti mengukung tubuh itu, menatapnya dalam dan penuh keliaran. "Kamu mau yang seperti apa?" Sakti berbisik lembut membuat tubuh Maya menegang dan membusungkan dadanya. "Seperti ini?" Tangan Sakti mengitari jahitan kain yang melingkar di bawah perut Maya menutupi bagian sensitifnya. Desah Maya semakin menjadi, tangannya membelai lembut rambut-rambut halus di bagian belakang kepala Sakti. "Come on, Sakti. Jangan ragu-ragu," ucap Maya, satu tangannya sudah mengitari pilinan boxer Sakti. Sensasi itu menjalar di tubuh Maya kala Sakti menempelkan tubuhnya pada wanita itu. Sesuatu yang menegang di bawah sana begitu terasa. "Sakti ...." Maya memberikan tempat leluasa bagi Sakti untuk menciumi leher jenjangnya. "Aku suka cara
Pintu kamar itu tidak tertutup rapat, lampu di dalamnya pun hanya lampu tidur yang di nyalakan. Sebelum naik ke lantai atas untuk menemui istrinya, Satyo berpapasan dengan Tari di anak tangga. Gadis itu baru saja mengambil piring kotor bekas makan malam Hanna, Satyo duga pasti Hanna menghabiskan waktunya seharian di kamar, karena sejak kemarin wanita yang di nikahinya 30 tahun lalu itu tak mengeluarkan sepatah katapun usai mereka beradu mulut kemarin. "Han," panggil Satyo. Hanna berdiri di ambang pintu kaca menuju balkon kamarnya, menatap langit malam dan udara yang dingin. Baru saja hujan reda membasahi bumi malam itu. "Han." Satyo mengusap pundak Hanna dari belakang. "Udara dingin, ayo masuk," ajak Satyo. "Biarkan sebentar lagi," ujar Hanna singkat. "Aku minta maaf," bisik Satyo lalu memeluk istrinya dari belakang. "Maafkan kekhilafanku, selama ini. Aku terlalu egois, bodohnya aku nggak pernah sadar dengan tingkahku ini meski kamu berulang kali memperingatkannya. Aku minta maaf
"Maksud kamu, sekarang kamu udah di Jakarta?" Suara Sakti meninggi saat tahu jika Tari sudah berada di Jakarta selama dua hari. "Ya ampun, Tar. Kok bisa? aku itu minta tolong kamu untuk bantu aku mencari dimana keberadaan Gendis, ini kamu malah pulang." Sakti mengepalkan telapak tangannya kesal. "Tari minta maaf, Mas. Tari diminta pulang oleh bapak, bapak bilang kalo Tari nggak pulang bapak bakal pulangin Tari ke panti asuhan," ujar Tari meremas ujung bajunya padahal dia berada di sambungan telepon tapi tetap saja dia merasa takut pada Sakti. "Terus kamu percaya? kenapa nggak bilang sama aku? Papa memang benar-benar, aku pulang sekarang!" ujar Sakti. "Jangan dulu, Mas. Bapak sama ibu sedang dalam masa tidak baik-baik saja. Mereka sedang tidak banyak bicara semenjak hari itu." Tari pelan-pelan memberitahukan keadaan rumah saat itu. "Mereka bertengkar?" "Aduh ...." Tari merasa bersalah sudah memberitahukan semua pada Sakti. "Bukan bertengkar, Mas. Hanya saling diam," ujar Tari memp
Gendis menarik dirinya, merutuki kebodohan yang telah dia lakukan. Gadis itu menunduk dengan wajah merona menahan malu. Apa yang dipikirkannya saat ini, bukannya membantu Ami malah dia sendiri yang jatuh pada kata-kata Arya. "Mas, maaf seharusnya kita—" Gendis masih menahan dada Arya sebagai jarak antara mereka. "Kita bisa kalo kita mencobanya, Dis." Gendis menggeleng, meyakinkan dirinya jika dia hanya terbawa suasana. "Enggak Mas, maaf aku nggak bisa. Harusnya aku nggak sebodoh ini," kata Gendis lalu melihat langit-langit malam di luar kaca mobil. "Hujannya sudah reda, terimakasih sudah mengantarkan aku pulang," ujar Gendis membuka sabuk pengamannya. "Dis, tunggu ...." Arya menahan tangan Gendis. "Aku minta maaf kalo aku lancang, aku minta maaf jika terlalu memaksakan kamu, aku minta maaf karena sudah membuat hubungan kita malah jadi seperti ini, tapi setidaknya terima aku, kita coba untuk menjalaninya dulu. Aku tunggu kamu sampai kamu bisa menerima dan membuka hati kamu untuk ak
"Selamat pagi." Ami tersenyum di ambang pintu rumah Arya. Matanya sekilas menatap pada Gendis, lalu beralih mengarah pada Arya. "Ami?" Arya beranjak dari tempat duduknya. "Mari, masuk." Lelaki itu mempersilahkan Ami untuk masuk dengan suara yang sedikit canggung. "Aku ganggu ya?" tanya wanita yang mengenakan kemeja oversize berwarna abu tua di padu padankan dengan jeans yang sobek di bagian lututnya. "Oh, nggak. Kebetulan kita sedang sarapan bareng. Duduk, Mi," pinta Arya. "Siapa Mbak?" tanya Bayu berbisik pada Gendis yang melanjutkan merapikan tempat makan mereka. "Teman Mbak eh maksud Mbak, teman Mas Arya," ujar Gendis melirik ke arah Ami. "Oh, cantik ya," kata Bayu pelan. "Suka sama Mas Arya?" tanyanya lagi dan Gendis mengangguk. "Terus Mbak Gendis?" "Ck, Bayu!" Mata Gendis membesar. "Cuci mangkuknya, Mbak mau buatin teh," ujar Gendis melangkah ke dapur. Mata Ami mengamati ke seluruh ruangan, lalu memperhatikan Gendis yang sedang berbincang dengan lelaki yang lebih muda dari
"Mbak pinjam motornya ya, Bay." Motor Bayu berhenti di depan rumah Arya setelah mereka menghabiskan waktu mencari kebutuhan yang akan Bayu bawa besok pulang ke Gunung Kidul. "Bawa aja Mbak, nanti Bayu yang bilang sama Mas Arya kalo motor di bawa Mbak Gendis." "Kalo gitu Mbak langsung pulang aja ya, udah malem. Mas Arya juga belum pulang sepertinya." Gendis menyalakan mesin motor matic berwarna hitam itu. "Iya, hati-hati Mbak." "Sampaikan salam Mbak buat bapak sama ibu, mudah-mudahan minggu depan Mbak pulang," ujar Gendis menutup kaca helm-nya. "Iya, hati-hati Mbak," seru Bayu melepas kepergian sang kakak. ***** Pagi itu Gendis agak telat sampai ke kantornya. Kira-kira 15 menit dia terlambat karena motor Bayu yang tiba-tiba pecah ban. "Selamat pagi," sapa Gendis pada teman satu ruangannya. "Pagi Gendis." Bowo Manager keuangan yang membawahi Gendis keluar dari ruangannya. "Pagi, Pak Bowo." "Gendis kamu hari ini ikut meeting ya, bawa laporan bulanan dan laporan pajak sekalian.