"Masalah itu harusnya dengan penanggung jawab proyek, kenapa harus bertemu aku." "Sebenarnya itu hanya alasan, intinya dia mau bertemu dengan Akbar Putra Mahesa," ujar Bowo.Akbar berdecak, "Jadwalkan tapi aku tidak mau bertemu dengan Nola sendiri, kamu harus ikut dalam pertemuan tersebut.""Kenapa sih? Kayaknya takut banget, padahal hanya bertemu Nola," ujar Bowo."Bukan masalah takut, tapi aku tau maksudnya bertemu untuk apa? Saat dia tau aku dan Inggrid ternyata sudah pisah, Nola agak agresif. Bahkan dia seperti mengabaikan Sussana, sedangkan aku tidak mungkin berpaling dari Sussana.""Pesona sang Casanova," ledek Bowo."Kamu makin ke sini makin berani ya, mau dimutasi kali," sahut Akbar."Jangan dong," ujar Bowo sambil terkekeh. Tidak lama interkom dimeja Akbar berbunyi. "Pak Akbar ada Ibu Nola ingin bertemu, tapi tidak ada janji sebelumnya." Akbar menghela nafasnya, "Suruh masuk," ujar Akbar. "Kamu tetap di sini," pinta Akbar pada Bowo.Pintu ruangan Akbar terbuka, "Hai, apa kab
"Bu, ini kita ke mana ya?" tanya Pak Cipto Supir Akbar. "Kita pu... aduhhhh. Shhhh," desis Sussana merasakan sakit dan perutnya yang mengencang. Bahkan kini nafasnya terasa sesak. "Kita ke rumah sakit aja pak." Pria paruh baya itu segera melajukan mobilnya menuju Rumah Sakit sesuai perintah Sussana. Merasakan perutnya tidak nyaman, yang mungkin pengaruh dari emosinya tadi akhirnya Sussana langsung memutuskan ke Rumah Sakit. Sampainya di depan UGD, “Bu Sussana mau melahirkan? Saya hubungi Pak Akbar atau bagaimana?” tanya Pak Cipto terlihat khawatir. “Enggak usah, Pak Cipto langsung pulang aja. Nanti saya minta Pak Akbar yang jemput. Perut saya sakit tapi belum waktunya melahirkan.” “Kalau Pak Akbar hubungi saya, saya jawab apa Bu?” tanya Pak Cipto lagi karena dia melihat kedua majikannya tadi sempat berdebat. “Enggak akan, saya yang hubungi beliau. Kalau perlu ponsel Pak Cipto non aktifkan aja,” sahut Sussana sambil membuka pintu mobil. Seorang perawat UGD menyambut Sussana dan
“Bohong, buktinya semalam Mas Akbar enggak cari aku?” “Aku pikir kamu di rumah Bunda, aku berulang kali telpon tapi enggak diangkat.” “Aku enggak mau pulang,” ujar Sussana. “Lalu, Mau kemana?” Sussana merubah posisinya, kini mereka berbaring berhadapan, “Aku mau liburan, minggu depan aku sidang skripsi setelah itu melahirkan. Pasti bakalan sibuk, enggak ada lagi waktu hanya berdua dengan Mas Akbar.” Akbar terkekeh, ia menyelipkan helaian rambut Sussana yang jatuh menutupi dahi wanita yang saat ini menjadi miliknya. “Bisa dong, kita masih bisa habiskan waktu berdua. Anak bisa kita titip ke Mamih, Bira juga biasa begitu. Paling yang enggak tega Ibunya, enggak mau jauh sama anak.” “Pokoknya aku mau liburan, yang jelas fokus Mas Akbar hanya untuk aku. Enggak ada urusan bisnis, perusahaan apa lagi para ulat bulu, ulat keket atau uget-uget.” Akbar mengernyitkan dahinya, “Alat bulu, ulat keket atau uget-uget?” tanya Akbar heran. “Mau enggak? Kalau enggak, ya udah sana pulang. Biarin aj
“Mas Akbar sudah mandi, masa mau ...”“Nanti mandi lagi, bareng kamu.”“Tapi ...”“Stt, jangan menolak. Aku mau jenguk baby, masa enggak boleh,” ujar Akbar. Sussana tidak dapat berbuat apapun selain membiarkan Akbar melakukan apapun pada tubuhnya, karena memang Akbarlah yang berhak atas dirinya.Sussana kembali bergelung dengan selimutnya setelah pergulatannya dengan Akbar. Bahkan ia sudah kembali terlelap karena kelelahan. Akbar yang masih berbaring disisi Sussana memeluk wanita itu. “Sayang, kok tidur lagi, bangunlah kita harus sarapan,” ujar Akbar, tetapi Sussana bergeming, Bahkan saat Akbar mengecupi wajah Sussana dan menyesap leher berjenjang menggoda dan membuat jejak di sana, Sussana hanya merubah posisinya menjadi berbaring miring.“Sayang,” panggil Akbar lagi.“Hmm, aku ngantuk Mas.”Sudah lebih dari satu jam, Sussana tertidur. Bahkan kini Akbar sudah membersihkan dirinya lagi dan sedang duduk di sofa kamar ditemani secangkir kopi. Sesekali menoleh ke arah Sussana yang masih d
Memeluk dari belakang dan mengalungkan tangannya pada perut Sussana. "Sayang," panggil Akbar sambil menempelkan tubuhnya pada tubuh Sussana. Terasa bagian tubuh Akbar yang mengeras menempel pada bokong Sussana. "Ayolah, jangan buat aku tersiksa." Sussana berbalik, posisi mereka kini berhadapan. Mengalungkan kedua tangannya pada leher Akbar, "Nanti malam aku mau keluar, kita jalan-jalan ya," ajak Sussana. Akbar hanya mengangguk mengiyakan. "Aku butuh amunisi untuk temani kamu nanti malam,” jawab Akbar lalu melumat rakus bibir yang tersaji dihadapannya. Suara decapan keluar dari aktifitas keduanya, Akbar menyesap bergantian bibir atas dan bawah membuat bibir wanita itu sedikit bengkak. “Mas Akbar,” ucap Sussana saat pagutan mereka terlepas. “Maaf, aku terbawa suasana dan udah enggak tahan,” sahut Akbar sedangkan Sussana masih terengah. “Tapi ini masih siang, kita ...” Akbar segera mengajak istrinya masuk ke dalam kamar, merebahkan tubuh yang terlihat semakin berisi. Pakaian Sussana s
“Akbar, sebaiknya kamu cepat ke Jakarta. Profesional dong, ini masalah serius. Istri kamu manja banget sih enggak paham kondisi perusahaan suaminya. Makanya jangan menikah dengan bocah yang ...” Sussana mengakhiri panggilan tersebut tanpa mengatakan bahwa ia yang menjawab telpon dan meninggalkan ruang kerja Akbar. "Sudah siap?" tanya Akbar setelah memasukan koper dan tas mereka ke dalam bagasi mobil. Sussana hanya mengangguk dan tersenyum. Akbar merengkuh tubuh Sussana dan mencium keningnya, "Lain kali aku akan berikan liburan yang lebih baik dari ini," ucapnya. Akbar yang semalam kurang tidur dan saat masih masih terus berkomunikasi dengan Bowo via telpon serta tablet yang terus menampilkan data-data entah apa yang Sussana sendiri tidak paham, jadi tidak memungkinkan dia mengemudi. Akhirnya mendapatkan pengemudi rekomendasi dari penjaga villanya. Selama perjalanan Sussana memandang ke luar jendela mobil, sementara Akbar sibuk dengan gadgetnya. Tidak ada rengkuhan atau rangkul
Sampai di apartement, Sussana menumpahkan tangisnya yang sejak tadi ia tahan. Bukan karena cengeng, tapi rasanya tidak akan ada wanita yang rela suaminya didekati wanita lain. Sussana pun tidak merasa ia melakukan kesalahan jika ia cemburu. Bukankah cemburu tanda ia cinta. Meskipun kini Akbar dalam kondisi tertekan, seharusnya ia tidak perlu bersikap seperti itu pada Sussana. Terlebih saat ini Sussana dalam kondisi hamil. Ponsel Sussana berdering, ia menghapus kasar air matanya. Lalu mengeluarkan ponsel dari tasnya. Ia pikir Akbar yang menelpon untuk minta maaf atau menyelesaikan kesalahpahaman mereka. "Halo, Bun," Sussana berusaha menormalkan suaranya agar Halimah tidak mengetahui kalau ia baru saja menangis. Menghela nafasnya, setelah mengakhiri panggilan. Masih menunggu Akbar menghubunginya. Bahkan sampai sore menjelang, ponsel Sussana tidak ada aktivitas yang berhubungan dengan Akbar. Ponselnya ramai grup chat terkait persiapan sidang skripsi besok. Malam harinya, Sussana
Sussana duduk di depan ruang sidang kelompoknya. Terpisah kelompok dengan Reni dan Irgi, tetapi kedua sahabatnya itu sudah menemui Sussana tadi. Mencoba fokus tapi kegundahan hati Sussana membuatnya pecah konsentrasi. Beruntung ia kebagian presentasi dengan nomor urut ketiga, masih ada waktu untuk menenangkan pikirannya sejenak. Menitipkan ransel berisi dokumen dan laptop pada rekannya yang sedang menunggu giliran sidang, Sussana berjalan menyusuri koridor kampus. Ia pun menyadari bahwa kampus tempatnya berada saat ini masih milik keluarga Mahesa. Matanya kembali berembun dengan air mata yang siap menganak sungai. Bergegas menuju toilet, duduk pada closet yang tertutup Sussana kembali terisak. Diakuinya ia memang manja tapi tidak pernah cengeng dan kondisi saat ini membuatnya entah sentimentil atau memang hormon kehamilannya. Membuat Sussana merasa kerdil dengan kecengenangan. “Sshhh,” mulutnya mendesis halus merasakan gerakan bayinya yang sangat aktif. Seakan tau kegalauan wanita y