Share

Ketika Agam Tahu

Safira meraih kalender kecil yang ada di pojok meja belajarnya, melirik tanggal yang sengaja ia lingkari dan mencocokkan dengan tanggal hari ini. Satu fakta yang ia ketahui saat ini, tanggal itu telah terlewat beberapa hari.

Seharusnya beberapa hari yang lalu Safira sudah mendapat tamu bulanannya. Tetapi, hingga hari ini belum ada tanda-tanda dirinya akan datang bulan. Safira sengaja melingkari tanggal itu untuk berjaga-jaga karena dirinya memang pelupa. Pikirannya yang kacau menyebabkan ia melupakan satu hal penting itu.

Kerisauan terlihat semakin jelas di wajahnya. Keterlambatan datang bulan mungkin sering terjadi karena faktor tertentu. Namun, ada sesuatu yang membuat Safira tidak bisa tenang.

Belakangan ini Safira selalu merasakan perutnya bergejolak di pagi hari. Bahkan, pernah juga selama seharian penuh dirinya tidak bisa mengkonsumsi apa pun karena perutnya tidak bisa diajak kompromi.

Safira tersenyum penuh ironi. “Pasti karena telat aja,” monolongnya berusaha meyakinkan diri. “Aku pasti baik-baik aja.”

Safira memejamkan matanya sejenak seraya menghela napas lelah. Sekeras apa pun usahanya untuk tetap tenang, semuanya sia-sia. Asumsi-asumsi negatif terus bermunculan dan memenuhi kepalanya.

Safira tidak bisa membayangkan apa yang harus ia lakukan jika kemungkinan terburuk itu benar-benar terjadi. Safira tidak akan pernah siap menerima kemungkinan itu.

Ayahnya bisa langsung membunuhnya jika mengetahui apa yang pernah terjadi di antara dirinya dan kakak tirinya tempo hari. Sampai kapan pun Safira tidak akan membiarkan ayahnya tahu.

Safira melirik permukaan perutnya yang masih tertutup pakaian dengan tatapan berkaca-kaca. “Nggak mungkin ada sesuatu di sana, ‘kan?”

Masih ada banyak mimpi yang belum sempat Safira raih. Ia tidak bisa membayangkan jika terjadi sesuatu yang menghancurkan semua mimpinya dalam sekejap. Mungkin saat itu juga hidupnya akan hancur berantakan.

Tiba-tiba Safira merasakan gejolak hebat itu kembali datang. Wanita itu tak memiliki pilihan lain selain segera berlari menuju toilet yang ada di kamarnya dan memuntahkan isi perutnya.

Lagi-lagi hanya cairan bening yang Safira muntahkan. Bahkan, pagi ini dirinya belum sempat menelan apa pun, tetapi tetap saja mual itu kembali datang.

“Apa yang terjadi sama aku sebenarnya?” gumamnya frustasi.

Mungkin satu-satunya cara mengetahui apa yang terjadi padanya adalah dengan mendatangi dokter. Namun, Safira tidak memiliki nyali sebesar itu untuk pergi ke sana.

Safira mendesah pelan. Ia tidak bisa menceritakan masalah ini kepada siapa pun untuk mencari solusi. Mau tidak mau, dirinya harus memecahkan persoalan ini sendirian.

Tak berselang lama mual itu datang lagi. Ketika sedang menunduk di depan wastafel, tiba-tiba Safira merasakan sebuah tangan besar menyentuh tengkuknya dan memberi pijatan hangat di sana.

Tubuh Safira menegang seketika. Wanita itu spontan menegakkan tubuhnya dan matanya langsung menangkap bayangan Agam dari cermin di hadapannya. Safira terperanjat dengan mata membulat sempurna.

Agam berdiri di belakang Safira dengan ekspresi tak terbaca. Keduanya beradu pandang melalui perantara cermin selama beberapa saat. Saat itu pula Safira menyadari ada kobaran amarah dari kedua bola mata Agam yang menatapnya tajam.

“Sejak kapan kamu masuk ke kamarku?” sembur Safira dengan sorot nyalang.

Seingatnya, ia masih mengunci pintu kamarnya dari dalam yang tidak memungkinkan orang lain masuk tanpa izin darinya. Entah bagaimana caranya Agam bisa masuk.

Semenjak gejala aneh ini mulai muncul di tubuhnya, Safira lebih sering menghindari Agam setiap mereka tak sengaja bertemu. Ia tidak mau Agam mengetahui apa yang sedang terjadi padanya.

Safira membalikkan tubuhnya dengan alis menukik tajam. “Kamu nggak bisa sembarangan masuk kamarku! Pergi dari sini sekarang juga!” usirnya tanpa basa-basi.

Safira mendorong Agam sekuat tenaga. Tetapi, usahanya berakhir sia-sia karena lelaki itu tak bergerak seinchi pun dari posisi awalnya. Bukannya menyingkir, Agam malah mendesak maju dengan tatapan penuh selidik.

Wajah Safira yang memang sudah pucat bertambah pucat karena keberadaan Agam. Safira berusaha terlihat baik-baik saja, namun mual yang mendera ternyata belum usai.

Tanpa mempedulikan keberadaan Agam, Safira kembali memuntahkan isi perutnya. Tubuhnya nyaris terhuyung karena mendadak lemas dengan kepala yang berdenyut. Beruntung Agam yang berada di belakangnya dengan sigap menopang tubuhnya.

“Sejak kapan kamu seperti ini?” tanya Agam sembari melingkarkan lengan kekarnya di perut Safira.

Safira berdecih sinis sembari melepaskan diri dari rengkuhan Agam dan memilih berpegangan pada wastafel. “Kamu nggak perlu tahu! Lebih baik sekarang kamu pergi dari sini dan jangan ganggu aku lagi!”

Agam menyipitkan matanya. “Apa yang kamu sembunyikan dari aku?” desisnya penuh penekanan. “Kalau ini ada kaitannya dengan kejadian tempo hari, berarti aku berhak tahu.”

Safira kembali memutar tubuhnya. “Ini nggak ada kaitannya sama kejadian hari itu! Aku nggak mau dengar kamu bahas kejadian itu lagi!”

Napas Safira mulai terengah seiring dengan emosi yang semakin membumbung di dadanya. Wajahnya berubah merah padam. Perasaannya campur aduk, gelisah, takut, dan amarah menjadi satu.

Ditambah lagi akhir-akhir ini emosinya mudah sekali berubah. Bahkan, ketika sedang bersenda gurau dengan teman-temannya di kampus pun ia lebih mudah terbawa emosi. Padahal sebelumnya tidak pernah seperti itu.

Safira tidak pernah bisa tidur dengan nyenyak setiap malamnya. Kejadian itu benar-benar mengubah hidupnya dan mantan sahabatnya lah yang bertanggungjawab atas kejadian tersebut.

“Kenapa kamu bereaksi seperti ini kalau nggak ada sesuatu yang kamu sembunyikan? Harusnya kamu nggak perlu emosi sampai meledak-ledak seperti ini,” balas Agam tak mau kalah.

“Itu karena aku nggak suka kamu ada di sini!” sentak Safira nyaring. “Aku baik-baik aja dan nggak ada yang kamu sembunyikan. Sekarang kamu pergi dari kamarku!”

Agam semakin menghimpit tubuh Safira hingga tak ada celah lagi bagi wanita itu untuk melarikan diri. Jemari besarnya menyentuh dagu Safira, memaksa wanita itu mendongak dan membalas tatapannya.

Agam berdecih sinis. “Aku nggak akan pernah ke mana pun sebelum kamu jujur sama aku. Apa ini alasan kamu selalu menghindar dari aku akhir-akhir ini?”

“Kamu harus ingat kalau kita memang nggak pernah dekat!” seru Safira sembari menyingkirkan jemari Agam dari dagunya dengan gerakan kasar.

Agam tidak tidak menyahuti kalimat sarkas yang keluar dari mulut Safira. Lelaki itu terlihat seperti menimbang-nimbang sesuatu, kemudian kembali melirik Safira sekilas.

“Kalau kamu nggak mau jujur, kita harus ke rumah sakit sekarang biar semuanya jelas!” tegas Agam sembari menarik tangan Safira.

Safira menggeleng panik. “Aku nggak akan pergi ke mana pun sama kamu!” tolaknya seraya berusaha melepaskan cekalan tangan Agam di tangannya. “Lepasin tangan aku!”

Agam menggertakkan giginya untuk menahan emosinya yang memuncak. “Jangan keras kepala!” Tanpa mempedulikan Safira yang terus berusaha meronta, Agam segera menarik wanita itu agar mengikuti langkahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status