Share

Sebuah Pertanda

Safira pikir hidupnya akan berakhir ketika mobil itu menghantam dan meremukkan tubuhnya. Mungkin itu lebih baik dibanding menanggung aib yang bisa terbongkar kapan saja.

Kedatangan seseorang yang langsung merengkuh tubuhnya kuat-kuat membuatnya terselamatkan dari maut. Entah ia harus mengumpat atau berterimakasih pada orang yang telah menyelamatkan dirinya.

Safira membuka kelopak matanya perlahan-lahan dan netranya langsung bertemu dengan netra gelap Agam yang menatapnya penuh perhitungan. Tatapan keduanya terkunci selama beberapa saat hingga akhirnya Agam lebih dulu membuang muka.

Di saat yang bersamaan, Safira langsung tersadar dari lamunannya kemudian berusaha kembali berdiri tegak dan melepaskan diri dari rengkuhan Agam. Wanita itu menyentuh dadanya sembari mengatur degup jantungnya yang menggila karena nyaris tertabrak tadi.

“Apa sudah gila dan berniat ingin bunuh diri, hah?” hardik Agam tanpa basa-basi.

Bukannya menanggapi Agam, Safira malah mengedarkan pandangannya, mencari jejak Emily. Sayangnya, sejauh mata memandang dirinya tidak menemukan Emily. Padahal masih ada banyak pertanyaan yang ingin Safira layangkan, tetapi semuanya gagal karena kecerobohannya.

“Apa yang kamu lakukan di sini, Safira?” desak Agam tak sabaran. Tangan kekarnya kembali menyentuh pundak Safira dan memberi sedikit guncangan di sana.

Berhasil! Safira langsung tersadar dari lamunannya dan menyingkirkan tangan Agam yang bertengger di pundaknya dengan gerakan kasar. Sorot matanya menajam saat bertemu pandang dengan lelaki itu.

Kemarahan bercampur kebencian yang masih menggelora di dada Safira tidak serta merta padam walaupun Agam telah menyelamatkannya. Jangan harap dirinya sudi mengucapkan terimakasih.

“Itu bukan urusan kamu!” balas Safira sarkas. “Jangan kamu pikir karena kamu menyelamatkan aku, aku akan ngelupain sikap brengsek kamu! Itu nggak akan pernah terjadi!”

Safira semakin risih karena mereka berdua mulai menjadi pusat perhatian orang-orang yang berada di bahu jalan. Entah kenapa pagi ini begitu banyak pejalan yang berlalu lalang di sekitar mereka.

Meskipun semua orang terlihat fokus dengan urusan masing-masing, tetapi Safira menyadari jika orang-orang itu mulai tertarik dengan pertengkarannya dengan Agam.

Agam terkekeh sinis seraya melipat kedua tangannya di depan dada. “Apa kamu nggak bisa sekedar mengucapkan terimakasih? Kalau aku nggak buru-buru lari ke sini, mungkin sekarang kamu udah bersimbah darah dan tergeletak di tengah jalan.”

Safira mencibir. “Jangan harap aku akan berterimakasih sama kamu! Aku nggak akan pernah ngelakuin itu!” Wanita itu menjeda kalimatnya dan maju selangkah. “Aku harap kita nggak akan ketemu lagi selamanya!”

Setelah itu Safira langsung membalikkan tubuhnya dan melangkah cepat meninggalkan Agam. Tidak ada gunanya ia berlama-lama di sana, berdekatan dengan Agam hanya membuat emosinya semakin mendidih saja.

Safira memilih kembali ke rumah untuk menenangkan diri. Semoga saja saat dirinya pulang nanti, ayahnya sedang tidak berada di rumah. Saat ini dirinya tidak ingin bertemu dengan siapa pun, apalagi jika ditanya macam-macam.

Di hari-hari berikutnya Safira nyaris tak pernah bertemu dengan Agam padahal mereka tinggal satu rumah. Entah karena Safira yang lebih banyak mendekam di kamar atau Agam lebih banyak berkeliaran di luar rumah.

Safira akan jauh lebih senang jika Agam keluar dari rumahnya. Sayangnya, kemungkinan tersebut nyaris mustahil karena ayahnya sangat menyayangi lelaki itu.

Safira memoles riasan tipis wajahnya agar terlihat lebih segar. Setidaknya itu bisa sedikit menutupi suasana hatinya yang mending serta pikiran yang kusut karena permasalahan yang bertubi-tubi datang ke hidupnya.

Setelah dirasa siap, Safira segera meraih tas selempangnya yang tergeletak di atas meja dan bergegas keluar dari kamar. Tungkai jenjangnya berpacu menuju ruang makan. Namun, gerak langkahnya terhenti karena seseorang tiba-tiba mencekal pergelangan tangannya dari belakang.

Geraman samar lolos dari bibir Safira saat mengetahui siapa yang berani menyentuh tangannya. “Jangan sentuh aku!” Wanita itu langsung menyentak cekalan Agam.

Padahal pagi ini mood Safira sedang bagus, tetapi kedatangan Agam langsung menghancurkan semuanya. Moodnya memang tidak pernah bagus setelah bertemu dengan lelaki itu.

Tanpa mempedulikan alasan Agam yang tiba-tiba menghampirinya, Safira segera memutar arah meninggalkan ruang makan. Selera makannya telah hilang tak bersisa, lebih baik dirinya sarapan di kampus saja.

Safira berdecak kesal karena Agam masih saja mengikutinya hingga keluar rumah, tetapi ia berusaha bersikap masa bodoh. Safira tidak ingin lagi berurusan dengan saudara tirinya itu.

Lagi-lagi Agam menarik tangan Safira ketika wanita itu hendak berbelok ke garasi. Tentu saja langsung mendapat sentakan keras disertai tatapan sinis pemiliknya. “Kita perlu bicara, hanya sebentar.”

Safira berdecih sinis sembari melipat kedua tangannya di depan dada. “Aku nggak punya waktu untuk ngeladenin kamu! Nggak ada yang perlu dibicarakan, lebih baik kamu pergi!”

Tanpa membuang waktu lagi, Safira berjalan cepat ke arah mobilnya. Safira menduga jika apa yang ingin Agam bicarakan berkaitan dengan kejadian tempo hari dan ia tidak ingin membahas apa pun lagi.

Sampai detik ini, Safira masih berusaha mencari keberadaan Emily yang menghilang ditelan bumi. Ponsel gadis itu tidak pernah aktif dan batang hidung tidak pernah terlihat.

Safira sudah mencoba mendatangi indekos Emily juga menanyakan keberadaan gadis itu pada beberapa orang, tetapi hasilnya nihil. Sedangkan keluarga besar Emily tinggal di Surabaya dan tidak mungkin Safira nekat menyusul ke sana.

Kebenciannya pada Emily perlahan mencuat. Mungkin memang selama ini dirinya hanya dimanfaatkan hingga akhirnya Emily berhasil mencari celah untuk menghancurkannya.

“Pagi semuanya! Boleh gabung di sini?” sapa Safira sembari memamerkan senyum ramah andalannya. Di tangannya ada setumpuk roti bakar dengan selai cokelat dan segelas orange juice.

Kantin fakultas sangat ramai dan penuh sesak sehingga Safira tidak menemukan meja yang benar-benar kosong. Alhasil, ia terpaksa menghampiri meja yang diisi teman-teman satu fakultasnya demi mendapat tempat duduk.

Seluruh penghuni meja mengangguk serempak dan mempersilakan Safira bergabung dengan mereka. Sebenarnya Safira sedang ingin menyendiri, tetapi keadaan tidak mendukung suasana hatinya.

Di tengah kegiatan sarapannya, tiba-tiba Safira merasakan perutnya bergejolak seolah akan mengeluarkan sesuatu. Ia membekap mulutnya untuk menahan gelayar asing itu.

“Lo kenapa, Fir? Sakit?” tanya perempuan yang duduk di samping Safira.

Safira berdeham pelan seraya menggeleng cepat. “Nggak, gue baik-baik aja.”

Safira mencuri-curi pandang pada teman satu fakultasnya yang duduk di meja seberang, berusaha mengintip menu makanan orang itu. Sayangnya jarak yang cukup jauh membuat jarak pandangnya terbatas.

Dari sanalah aroma menyengat itu berasal. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan aroma makanan itu. Aromanya segar dan menggugah selera makan, letak permasalahan ada pada Safira sendiri.

Safira berusaha keras untuk menahan mual yang membuatnya tidak nyaman. Lama-kelamaan ia menyerah, tak kuat menahan sesuatu yang terus mendesak keluar di ujung kerongkongannya.

Safira langsung pergi dari meja itu tanpa berpamitan pada rekannya. Masa bodoh dengan tatapan-tatapan penuh keheranan yang mereka layangkan padanya, ada urusan yang jauh lebih penting yang harus ia tuntaskan.

Begitu tiba di toilet, Safira langsung memuntahkan isi perutnya. Jemarinya mencengkeram pinggiran wastafel sebagai penopang, tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas tak bertenaga.

Hanya cairan bening yang meninggalkan rasa pahit di ujung lidahnya yang keluar. Safira mengerutkan kening. “Apa yang terjadi sama aku?” gumamnya menerka-nerka.

Tubuh Safira langsung menegang saat menyadari satu hal. “Apa jangan-jangan aku—”

Bahkan, untuk sekedar mengatakannya saja ia tak mampu. Tidak! Safira berusaha mengusir pikiran negatif yang mulai berputar di otaknya. Dirinya seperti ini karena sedang kurang sehat saja, bukan karena hal lain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status