Share

Kita Harus Menikah!

Safira hanya bisa menundukkan kepala dengan jemari yang saling bertautan untuk menguatkan diri. Wanita itu tak berhenti mengutuk Agam dalam hati karena menyeretnya ke rumah sakit tanpa kompromi.

Safira ingin melarikan diri, namun tertahan karena Agam merengkuh pinggangnya sangat erat. Lelaki itu pasti sudah menduga niatnya dan sengaja melakukan antisipasi sejak awal.

Setiap detik yang terlewati terasa sangat cepat. Satu per satu pasien yang mengantri sudah selesai menjalani pemeriksaan hingga akhirnya tibalah waktu Safira dipanggil untuk masuk ke ruangan dokter kandungan itu.

“Kamu nggak perlu ikut masuk,” bisik Safira ketika melihat Agam ikut berdiri setelah dirinya dipanggil.

“Diam!” jawab Agam sembari menggandeng tangan Safira dan memimpin langkah memasuki ruangan yang ada di depannya tanpa keraguan sedikitpun.

Agam dan Safira duduk bersisian di hadapan dokter perempuan berusia pertengahan 30 tahun-an yang menatap keduanya sembari tersenyum ramah. Sangat kontras dengan ekspresi Safira dan Agam yang sangat tegang.

“Kalau boleh tahu, keluhannya apa ya, Bu?” tanya dokter itu pada Safira.

Safira berdecih dalam hati, dirinya terlalu muda untuk mendapat panggilan ibu. Meskipun begitu, ia tetap berusaha memasang senyum di wajahnya. “Belakangan ini saya sering mual-mual bahkan sampai muntah setiap bangun tidur,” jelasnya dengan suara kaku.

Dokter itu mengangguk paham. “Kita periksa dulu ya, Bu. Silakan berbaring di sana.”

Sang dokter langsung membimbing Safira menuju sebuah brankar yang tersedia di sana. Walaupun enggan, Safira terpaksa mengikuti permintaan dokter itu. Sang dokter meminta Safira berbaring sebelum pemeriksaan dimulai.

Jantung Safira mulai berdebar dua kali lebih cepat ketika pemeriksaan tersebut di mulai. Diam-diam ia melirik Agam yang berdiri di sampingnya. Ekspresi lelaki itu masih datar dan tak terbaca. Safira tidak bisa memperkirakan apa yang sedang lelaki itu pikirkan.

Di saat yang sama, Agam menundukkan pandangannya dan tatapan mereka bertemu. Safira spontan membuang muka karena malas beradu pandang dengan lelaki itu.

Safira menatap dokter yang menanganinya dengan sorot cemas. Keringat dingin mulai bercucuran dari pelipisnya dengan wajah yang mulai memucat. “Apa yang terjadi sama saya, Dok?”

Dokter itu menoleh dengan senyum yang lebih merekah di wajahnya. Sang dokter menatap Safira dan Agam seraya bergantian seraya berkata, “Selamat, Pak, Bu. Ibu Safira sedang mengandung, usia kandungannya baru menginjak 6 minggu.”

Bak tersambar petir di siang bolong, tatapan Safira berubah kosong. Wanita itu menatap nanar ke arah layar monitor berwarna hitam putih yang menampilkan sesuatu yang bergerak di sana.

“Di trimester pertama, sangat wajar jika Ibu mengalami morning sickness juga tubuh yang lemas. Yang terpenting dijaga waktu istirahat dan pola makannya. Saya akan memberikan beberapa vitamin—”

Telinga Safira terasa berdengung hingga tak mampu lagi mendengarkan kelanjutan penjelasan dari dokter itu. Fakta yang baru saja dirinya dengar membuatnya terguncang hebat.

Tak ada sedikitpun kebahagiaan yang Safira rasakan. Safira belum siap menerima kenyataan ini, mungkin selamanya juga tidak akan pernah siap. Jiwanya seperti ditarik paksa dan hanya menyisakan cangkang kosong tanpa kehidupan di dalamnya.

Hingga proses pemeriksaan tersebut selesai, Safira lebih banyak melamun, sibuk dengan segala pemikiran yang muncul di kepalanya. Safira tidak tahu harus bereaksi seperti apa, yang pasti ia hanya ingin menangis. Tetapi, dirinya tidak mungkin meluapkan kekecewaannya di depan orang banyak.

Sama halnya dengan Safira yang syok berat, Agam pun menampilkan ekspresi demikian. Tetapi, lelaki itu menutupinya dengan ekspresi datar di balik emosi yang berkecambuk di dadanya.

Di sepanjang perjalanan kembali ke rumah, baik Agam maupun Safira sama-sama bungkam. Safira jelas tidak akan membahas apa pun. Seharusnya Agam yang memulai pembicaraan, lelaki itu yang menyeret Safira kemari, tetapi sekarang malah ikut-ikutan bungkam.

Safira tidak tahu harus melakukan apa pada janin yang ada dalam kandungannya. Entah harus dilenyapkan atau dipertahankan. Namun, jika ia mempertahankan janin ini, ada banyak resiko yang datang menghantuinya. Semua orang akan tahu, termasuk ayahnya sendiri.

Begitu mobil yang Agam kendarai berhenti di halaman rumah mereka, Safira langsung keluar dari mobil itu tanpa mengatakan sepatah kata pun. Sedangkan Agam hanya diam, mengamati punggung Safira yang semakin menjauh hingga tenggelam di balik pintu sembari mencengkeram kemudi.

Safira berjalan gontai menuju kamarnya yang berada di lantai dua rumah mewah ini. Setelah tiba di kamar, ia segera mengunci pintu dan membuang kuncinya ke sembarang arah.

Tubuhnya langsung meluruh di sana. Isakan yang sedari tadi Safira tahan mendesak keluar. Ia tidak menyangka jika pengkhianatan kekasihnya berujung mendatangkan petaka-petaka lain dalam hidupnya.

“Kenapa ini harus terjadi sama aku? Apa yang harus aku lakukan setelah ini?” gumam Safira di sela isak tangisnya.

Safira meraba perutnya, tak menyangka ada kehidupan lain yang sedang berkembang di sana dalam keadaan yang tidak tepat. Safira tak sanggup menanggung aib ini sendirian.

Safira memilih mengurung diri di kamar seharian penuh. Padahal seharusnya hari ini dirinya berangkat kuliah, tetapi ia tidak berminat sedikitpun untuk datang ke sana. Selera makannya pun menghilang hingga Safira tak perlu repot-repot keluar kamar untuk mengisi perutnya.

Sama seperti hari-hari sebelumnya, Safira tak kunjung memejamkan mata hingga tengah malam tiba. Apalagi setelah mengetahui fakta tersebut, mungkin dirinya tidak akan terlelap hingga pagi.

Saat sedang berusaha memejamkan mata, Safira mendengar suara aneh dari arah balkonnya. Wanita itu spontan terduduk dengan tatapan awas. Safira membuka selimut yang membalut tubuhnya, kemudian melangkah menuruni ranjang.

Terlihat siluet seseorang dari bayangan gorden yang menutup balkon. Jika dilihat dari perawakannya, orang yang berada di sana sepertinya seorang lelaki. Tampaknya orang itu sedang berusaha membuka pintu balkon yang memang terkunci dari dalam.

“Kenapa kamu ada di sini?” Safira melotot kaget karena rupanya penyusup itu adalah kakak tirinya sendiri.

Agam yang sudah berhasil membuka pintu balkon tersebut langsung merangsek maju dan membekap mulut Safira. “Jangan keras-keras! Nanti penjaga yang ada diluar curiga. Kamu nggak mau Ayah tahu, ‘kan?”

Tanpa melepaskan bekapannya pada mulut Safira, Agam menggiring wanita itu mengikuti langkahnya hingga mereka berada di tengah-tengah ruangan. Setelah dirasa aman barulah Agam melepaskan Safira.

“Apa lagi yang kamu mau?!” sembur Safira penuh penekanan. “Belum cukup kamu seret-seret aku tadi pagi?”

Safira mengepalkan kedua tangannya. Semakin lama kakak tirinya ini semakin berani saja. Setelah menyeretnya ke rumah sakit, sekarang lelaki itu kembali menyelinap ke kamarnya.

“Cepat pergi dari sini!” usir Safira sembari mendorong tubuh Agam agar kembali keluar dari kamarnya.

Safira sengaja mengunci diri di dalam kamar seharian penuh untuk menenangkan diri. Ia sedang tidak ingin berbicara atau bertemu dengan siapa pun, terutama Agam.

“Aku akan pergi setelah kita selesai bicara. Ada banyak hal yang perlu kita bicarakan sekarang juga,” tegas Agam tanpa mempedulikan pengusiran yang Safira lakukan.

Safira menggeram kesal. ”Nggak ada lagi yang perlu dibicarakan! Kamu udah dapat jawaban atas pertanyaan kamu tadi pagi. Kamu udah janji nggak akan ganggu aku lagi, jadi sekarang kamu angkat kaki dari kamarku!”

Masalahnya, kamar Safira dan ayahnya bersebelahan. Jika ayahnya mengetahui keberadaan Agam di sini, sudah pasti ada banyak pertanyaan yang muncul. Safira belum siap memberitahu ayahnya tentang kebenaran yang tengah dirinya hadapi saat ini.

“Aku udah membuat keputusan,” balas Agam tanpa menanggapi kalimat Safira. Lelaki itu menghela napas pelan, kemudian menatap mata Safira yang kini menatapnya dengan tatapan berapi-api. “Kita harus menikah!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status