Mag-log in
Tiga miliar rupiah.
Angka itu berputar di kepalaku, lebih berisik daripada debur ombak Pantai Melasti yang menghantam karang malam ini. Tiga miliar adalah harga yang dipasang oleh bank untuk menyita rumah warisan Ayah. Dan tiga miliar juga harga yang dipasang Ibu untuk menjualku. "Dia orang kaya, Ayu. Dia bisa melunasi semuanya. Kamu hanya perlu menikah dengannya, dan hidup kita selamat." Kata-kata Ibu terngiang lagi, membuat perutku mual. Aku berdiri di pasir basah yang dingin, menggigil. Aku sudah mematikan ponselku sejak sore, melarikan diri dari rumah sesaat sebelum rombongan keluarga Bram datang untuk melamar—atau lebih tepatnya, membeli—diriku secara resmi. Aku pikir tempat ini aman. Pantai selatan di jam sebelas malam sunyi senyap, tersembunyi di balik tebing kapur raksasa. Aku hanya butuh waktu untuk berpikir. Lari ke mana? Siapa yang bisa membantu? Namun, lamunanku hancur seketika. Suara ban mobil menggilas kerikil terdengar di belakangku. Sorot lampu yang menyilaukan tiba-tiba memotong kegelapan, menangkap tubuhku seperti rusa di tengah jalan. Jantungku berhenti berdetak. Mereka menemukanku. Sebuah SUV hitam memblokir jalan keluar. Pintu terbuka. Bram Kusuma Wardhana turun. Ia mengenakan kemeja batik sutra yang lengannya digulung, terlihat santai namun mematikan. Di tangannya, sebatang rokok menyala merah di kegelapan. "Sudah kubilang, jangan main petak umpet, Sayang," suaranya tenang, namun terdengar jelas di antara suara ombak. "Ibumu panik. Dia takut cek pelunasannya batal cair kalau pengantin wanitanya hilang." Aku mundur hingga tumitku menyentuh air laut. "Aku tidak mau menikah denganmu, Bram. Aku bukan barang pelunas utang." Bram tertawa kering. Ia membuang rokoknya ke pasir, lalu menginjaknya. "Kamu memang bukan barang. Kamu aset. Dan aset keluarga Maheswari sekarang adalah milikku." Ia menjentikkan jari. Tiga pria berbadan tegap turun dari mobil, langsung mengepungku. "Bawa dia," perintah Bram datar. "Ikat kalau perlu. Besok pagi akad nikah tetap dilaksanakan, suka atau tidak." Dua orang maju. Aku mencoba lari, tapi pasir basah menghisap langkahku. Sebuah tangan kasar mencengkeram lenganku, menyakitkan. "Lepas!" teriakku. Aku meronta, tapi tenagaku kalah jauh. "Percuma," desis Bram, mendekat dan mencengkeram daguku kasar. Bau alkohol menguar dari mulutnya. "Malam ini kamu tidur di kamarku, Ayu. Kita akan pastikan kamu tidak punya alasan untuk menolak besok pa—" Kalimatnya terputus. Cahaya lain muncul membelah kegelapan dari arah jalan masuk pantai. Sebuah sedan hitam matte melesat masuk, berhenti mendadak tepat di samping mobil Bram dengan presisi militer. Pintu terbuka. Seorang pria turun. Tinggi, mengenakan setelan jas hitam slim-fit yang terlihat terlalu mahal untuk berada di pantai kotor ini. Ethan Alejandro Mahendra. Tamu VVIP hotel tempatku bekerja. Pria misterius yang selama tiga hari ini selalu mengawasiku dari jauh. Ethan tidak bicara. Ia berjalan lurus ke arah Bram, tatapannya dingin dan kosong. "Lepaskan tanganmu," ucap Ethan datar. Bram menyipitkan mata. "Siapa kau? Ini urusan kelua—" DOR! Satu tembakan melesat tanda peringatan. Aku menjerit. Bram melompat mundur dengan wajah pucat pasi. Ethan tidak menembak ke langit. Ia menembak pasir, tepat satu inci di depan ujung sepatu Bram. "Langkah berikutnya, aku tidak akan meleset ke pasir," kata Ethan tenang. Pistol di tangannya terarah stabil ke kepala Bram. Anak buah Bram melepaskanku karena kaget, tapi Ethan bergerak secepat kilat. Krak! Suara tulang patah terdengar mengerikan. Pria itu ambruk seketika setelah Ethan memelintir lengannya dan menghantamkan gagang pistol ke pelipisnya. Bram mundur ketakutan hingga menabrak mobilnya sendiri. "K-kau... Kau Mahendra? Pebisnis dari Amerika itu?" Ethan mengabaikannya. Ia menatapku. "Masuk ke mobil." "A-apa?" "Masuk. Atau kau mau tetap di sini bersamanya?" Aku tidak punya pilihan. Aku berlari masuk ke mobil sedan Ethan. Ethan menoleh ke Bram untuk terakhir kalinya. "Pergi. Dan anggap wanita ini sudah mati. Jika kau mencarinya lagi, aku akan menghancurkan seluruh bisnis ilegalmu di pelabuhan." Bram lari terbirit-birit masuk ke mobilnya. Ethan masuk ke kursi pengemudi, lalu memacu mobil meninggalkan pantai. Napasku masih memburu. Tanganku gemetar hebat. "Terima kasih," bisikku lirih. "Tolong antar aku ke kantor polisi. Aku bisa minta perlindungan di sana." Ethan tidak menjawab. Ia malah menekan tombol di pintu, dan suara KLIK keras terdengar. Pintu terkunci otomatis. Mobil berbelok ke arah berlawanan dari kantor polisi. "Ethan?" tanyaku panik. "Ini bukan jalan ke kantor polisi. Kita mau ke mana?" Ethan akhirnya menoleh sekilas. Tatapannya gelap, membuat darahku yang tadinya panas karena adrenalin, kini membeku karena ketakutan baru. "Polisi tidak bisa melindungimu dari mereka, Chintya," katanya dingin. "Kita tidak akan ke kantor polisi. Dan kita tidak akan pulang." "Lalu ke mana?" "Ke tempat di mana kau tidak akan pernah ditemukan lagi."Langkah kakiku terdengar berat saat memasuki ruang tengah penthouse. Dinding kaca raksasa menampilkan langit Los Angeles yang cerah menyakitkan mata. Cahaya matahari membanjiri ruangan, memantul di lantai marmer hitam dan perabotan logam yang dingin. Semuanya di sini berteriak tentang kekuasaan. Tapi bagiku, kemewahan ini terasa seperti peti mati yang dilapisi emas. Di ujung meja makan granit yang panjang, Ethan duduk. Ia membaca koran fisik sambil menyesap espresso. Punggungnya tegak, auranya tenang namun mendominasi, seolah ia adalah raja di atas papan catur raksasa ini. Saat aku mendekat, ia melipat korannya perlahan. Tatapan gelapnya menelusuri tubuhku, berhenti di gaun merah marun yang kupakai—gaun pemberiannya. "Merah," gumamnya. "Warna darah. Cocok untukmu." "Aku merasa seperti memakai kulit orang lain," jawabku dingin, berdiri kaku di sisi meja. "Duduk, Chintya. Makananmu dingin." Aku menarik kursi di seberangnya. Di piringku tersaji sarapan mewah, tapi perutk
Ethan meninggalkanku sendirian di kamar mandi. Ia keluar begitu saja setelah menyampaikan tawaran gilanya, seolah-olah ia baru saja membicarakan cuaca, bukan nasib hidupku. Punggungnya yang lebar dan basah menghilang di balik pintu kaca buram, meninggalkanku yang masih gemetar di bawah guyuran air shower yang mulai terasa dingin. Enam bulan. Aku memeluk tubuhku sendiri. Kontrak macam apa itu? Mencintainya atau dipulangkan? Itu bukan pilihan. Itu ancaman yang dibungkus dengan pita emas. Aku mematikan keran air dengan kasar. Marah. Aku marah pada situasi ini, tapi lebih marah pada tubuhku sendiri yang sempat bereaksi saat ia menyentuhku tadi. Aku keluar dari bilik shower, meraih handuk tebal berwarna putih yang tergantung di rak pemanas. Handuk itu hangat dan beraroma sandalwood—aroma Ethan. Aku melilitkannya ke tubuhku, lalu melangkah keluar menuju kamar tidur. Kamar itu kosong. Ethan sudah tidak ada. Tapi di sisi lain ruangan, sebuah pintu ganda yang terbuat dari
Cahaya matahari pagi yang menusuk melalui dinding kaca memaksaku membuka mata. Aku mengerjap, merasakan tubuhku pegal luar biasa. Kasur ini empuk, terlalu empuk, seperti menelan tubuhku hidup-hidup. Seprei sutra terasa dingin di kulit. Aku hendak bergerak, tapi tubuhku kaku seketika. Di sampingku, hanya berjarak beberapa sentimeter, seorang pria sedang tidur telentang. Ethan. Napasnya teratur. Satu lengannya terlempar santai di atas bantal, tepat di atas kepalaku. Bahkan dalam tidurnya, ia terlihat mendominasi ranjang ini, seolah memberi tanda bahwa akulah yang menumpang di wilayah kekuasaannya. Aku menahan napas, takut membangunkannya. Tidur di sebelahnya terasa seperti tidur di samping singa yang kenyang. Perlahan, aku menggeser tubuhku menjauh. Aku turun dari ranjang raksasa itu tanpa suara, lalu menyelinap menuju pintu kaca buram di sudut ruangan. Kamar mandi. Aku butuh air dingin. Aku butuh mencuci otakku agar sadar bahwa mimpi buruk ini nyata. Kama
Kepalaku berdenyut nyeri saat aku membuka mata.Rasanya seperti ada palu kecil yang memukul pelipisku. Aku mengerjapkan mata, mencoba mengusir kabur yang menghalangi pandangan. Langit-langit di atasku bukan langit-langit kamar kosku yang sederhana, melainkan panel kulit mewah berwarna krem."Sudah bangun, Putri Tidur?"Suara itu rendah dan berat.Aku menoleh cepat ke samping. Leherku kaku.Ethan duduk di kursi seberangku. Ia sudah berganti pakaian. Kemeja kusut bekas di pantai tadi sudah hilang, digantikan oleh turtleneck hitam yang membalut tubuh atletisnya. Di tangannya ada gelas kopi, dan di pangkuannya sebuah tablet menyala. Ia terlihat segar, seolah perjalanan panjang ini tidak menyentuhnya sama sekali."Jam berapa ini?" tanyaku, suaraku parau."Jam delapan malam," jawabnya tanpa melihat jam. "Waktu Los Angeles."Los Angeles.Kata itu menghantam kesadaranku. Aku duduk tegak, mengabaikan pusing di kepalaku, dan menatap ke luar jendela pesawat.Di bawah sana, hamparan ca
Interior pesawat ini tidak terlihat seperti alat transportasi. Ini terlihat seperti penthouse mewah yang dicabut paksa dari fondasinya dan dilemparkan ke langit. Lantainya dilapisi karpet tebal yang meredam suara langkah kaki. Kursi-kursi kulit berwarna krem ditata berhadapan, dipisahkan oleh meja kayu mahoni yang mengkilap. Pencahayaan di dalam temaram, hangat, dan intim. Sangat kontras dengan kegelapan dan kepanikan yang baru saja kutinggalkan di luar pintu. Seorang pramugari wanita berseragam rapi muncul dari balik tirai. Wajahnya cantik, namun ekspresinya kosong dan profesional. Ia tidak tampak terkejut melihatku yang berantakan, basah kuyup, dan penuh pasir. "Selamat datang, Tuan Mahendra," sapanya dengan nada datar. "Rute ke Los Angeles sudah siap. Izin lepas landas sudah disetujui menara kontrol." Los Angeles. Kata itu kembali menghantamku. Aku berbalik cepat, menatap Ethan yang baru saja mengunci pintu pesawat dengan sistem elektronik. Lampu indikator di pint
Vonis itu jatuh begitu saja dari bibirnya, seringan debu, namun menghantamku sekeras batu. Aku menahan napas, berharap telingaku salah dengar, berharap ini hanya lelucon buruk dari pria kaya yang bosan. Namun, ekspresi datar di wajah Ethan menghancurkan harapan itu seketika. Dia tidak sedang bercanda. Rasa takut meledak di dadaku. "Buka pintunya!" teriakku histeris. Tanganku menyambar tuas pintu mobil, menariknya kasar berkali-kali. Terkunci. Logam dingin itu tidak bergeming. Aku memukul kaca jendela dengan kepalan tanganku, berharap ada retakan, ada jalan untuk keluar. "Turunkan aku! Aku tidak mau ikut! Kau tidak berhak membawaku!" Ethan sama sekali tidak menggubris amukanku. Ia tetap tenang, fokus pada jalanan aspal yang melesat di bawah kami. Satu tangannya memutar kemudi dengan santai saat mobil berbelok tajam meninggalkan jalan raya utama, masuk ke jalan akses yang gelap gulita. "Diam, Chintya," katanya. Suaranya tidak keras, tapi otoritas di dalamnya mem







