Mag-log inVonis itu jatuh begitu saja dari bibirnya, seringan debu, namun menghantamku sekeras batu. Aku menahan napas, berharap telingaku salah dengar, berharap ini hanya lelucon buruk dari pria kaya yang bosan. Namun, ekspresi datar di wajah Ethan menghancurkan harapan itu seketika.
Dia tidak sedang bercanda. Rasa takut meledak di dadaku. "Buka pintunya!" teriakku histeris. Tanganku menyambar tuas pintu mobil, menariknya kasar berkali-kali. Terkunci. Logam dingin itu tidak bergeming. Aku memukul kaca jendela dengan kepalan tanganku, berharap ada retakan, ada jalan untuk keluar. "Turunkan aku! Aku tidak mau ikut! Kau tidak berhak membawaku!" Ethan sama sekali tidak menggubris amukanku. Ia tetap tenang, fokus pada jalanan aspal yang melesat di bawah kami. Satu tangannya memutar kemudi dengan santai saat mobil berbelok tajam meninggalkan jalan raya utama, masuk ke jalan akses yang gelap gulita. "Diam, Chintya," katanya. Suaranya tidak keras, tapi otoritas di dalamnya membuat nyaliku menciut seketika. "Berhenti membuang tenagamu. Pilihanmu malam ini cuma dua: kembali ke pantai tadi, diseret Bram pulang, lalu besok pagi kau dijual untuk melunasi utang ibumu... atau ikut denganku." Aku terdiam, tubuhku merosot lemas di sandaran kursi. Dadaku naik turun dengan cepat, mencari oksigen di udara kabin yang terasa menipis. "Ikut denganmu ke mana?" tanyaku dengan suara parau. "Siapa kamu sebenarnya?" "Pemilik barumu," jawabnya singkat. Jawaban itu membuatku mual. Mobil melaju semakin kencang, menembus kegelapan malam Bali. Kami mendekati sebuah gerbang besi tinggi di ujung jalan buntu. Penjaga berseragam hitam dengan senjata laras panjang berdiri di sana. Jantungku berdegup kencang. Ini bukan kantor polisi. Ini benteng. Saat mobil mendekat, para penjaga itu tidak bertanya. Mereka melihat pelat nomor mobil Ethan, lalu dengan sigap memberi hormat. Gerbang raksasa itu terbuka perlahan secara otomatis, memperlihatkan rahasia yang tersembunyi di baliknya. Sebuah landasan pacu pribadi. Dan di tengah landasan itu, diterangi oleh lampu sorot yang menyilaukan, sebuah monster besi sedang menunggu. Sebuah jet pribadi berwarna hitam matte berdiri angkuh. Mesin turbinnya sudah menyala, mengeluarkan suara dengungan rendah yang menggetarkan aspal, siap membelah angkasa. Tidak ada logo maskapai. Tidak ada tanda pengenal. Ethan menghentikan mobil tepat di kaki tangga pesawat. Ia mematikan mesin, lalu menoleh padaku. Tatapan matanya mengunci seluruh pergerakanku, memastikan aku tidak melakukan hal bodoh. "Turun," perintahnya. Aku menggeleng, mencengkeram sabuk pengaman di dadaku seolah itu adalah satu-satunya tali pengaman hidupku. Kuku-kukuku menancap di kain sabuk itu. "Tidak... Aku tidak bisa," suaraku bergetar. "Aku tidak punya paspor! Aku tidak membawa apapun! Kita tidak bisa pergi ke luar negeri begitu saja!" Ethan melepaskan sabuk pengamannya dengan bunyi klik yang nyaring. Ia menatapku dengan sorot mata meremehkan, seolah aku adalah anak kecil yang sedang meributkan pekerjaan rumah yang tertinggal. "Kau pikir aku butuh buku paspor bodoh itu untuk membawamu?" tanyanya dingin. "Di duniaku, hukum imigrasi tidak berlaku. Kau tidak butuh identitas, Chintya. Karena mulai malam ini... Ayu Chintya Maheswari sudah mati." Dunia di sekelilingku terasa berputar. "Apa... apa maksudmu mati?" Ethan keluar dari mobil, berjalan memutar, lalu membuka pintu di sisiku. Ia membungkuk, menatapku tajam. Angin malam dari baling-baling pesawat menerpa wajahnya, mengacak rambut hitamnya, membuatnya terlihat semakin liar dan berbahaya. "Orang-orangku sudah mengurusnya," jelasnya tanpa perasaan. "Besok pagi, berita lokal akan menyiarkan bahwa seorang wanita muda hilang terseret ombak di Pantai Melasti. Sepatu dan tas kerjamu akan ditemukan mengambang di laut besok subuh. Tidak ada mayat, tentu saja. Tapi cukup untuk membuat keluargamu membuat upacara kematian." Air mata menetes dari mataku, panas dan pedih. Mulutku terbuka, tapi kata-kata tertahan di tenggorokan. Dia memalsukan kematianku. Dia menghapus eksistensiku dari muka bumi hanya dalam hitungan jam. "Ibumu akan menangis sebentar," lanjut Ethan kejam, menusuk tepat di ulu hati. "Lalu Bram akan datang menagih utangnya. Karena pengantin-nya mati, Bram akan mengambil rumah ibumu sebagai gantinya. Tapi kau? Kau tidak ada lagi. Kau sudah menjadi hantu yang hidup." "Kau iblis..." isakku. "Kenapa kau lakukan ini padaku? Aku tidak salah apa-apa!" "Aku menyelamatkanmu dari pernikahan neraka itu," koreksinya. Tangan besarnya meraih pergelangan tanganku, menarikku keluar dari mobil dengan satu sentakan kuat. "Sekarang naik. Jangan buat aku menyeretmu di aspal." Aku tidak punya tenaga untuk melawan. Kakiku lemas seperti jeli. Aku diseret menaiki tangga pesawat, langkah demi langkah menjauhi tanah kelahiranku. Aku menoleh ke belakang untuk terakhir kalinya. Lampu-lampu kota Bali berkelap-kelip di kejauhan. Itu rumahku. Itu masa laluku. Dan dalam sekejap, pria ini memutus semua benang yang mengikatku ke sana dengan gunting raksasa bernama kekuasaan. Kami masuk ke dalam kabin pesawat. Interiornya mewah, berbau kulit mahal dan champagne, sangat kontras dengan bajuku yang basah, kotor, dan berpasir. Pintu pesawat tertutup di belakang kami. BAM. Suara itu terdengar final. Seperti pintu peti mati yang dipaku. Ethan melepaskan tanganku. Ia berjalan santai menuju minibar, menuangkan cairan berwarna amber ke dalam gelas kristal, seolah ia tidak baru saja menculik seorang wanita dan memalsukan kematiannya. Pesawat mulai bergerak. Getaran mesin merambat di lantai, naik ke kakiku, memberi sinyal bahwa tidak ada jalan kembali. Aku merosot di kursi kulit terdekat, memeluk lututku yang gemetar. "Kita mau ke mana?" tanyaku lirih. Ethan berbalik, menyesap minumannya sambil menatapku di atas bibir gelas. "Los Angeles," jawabnya. Amerika. Ujung dunia yang lain. Ribuan kilometer dari siapa pun yang mengenalku. "Kenapa?" tanyaku, air mata mengalir deras di pipi. "Kenapa harus aku? Aku tidak cantik, aku tidak kaya... kenapa kau menghancurkan hidupku?" Ethan meletakkan gelasnya. Ia berjalan mendekat, langkahnya pelan di atas karpet tebal. Ia berhenti di hadapanku, lalu membungkuk hingga wajahnya sejajar denganku. Aroma musk dan alkohol menguar dari napasnya. Jarinya yang panjang dan dingin menyentuh daguku, memaksaku mendongak menatap matanya yang gelap gulita. "Aku tidak menghancurkan hidupmu, Sayang," bisiknya, suaranya serak. "tapi... Aku memberimu hidup baru. Hidup sebagai milikku."Langkah kakiku terdengar berat saat memasuki ruang tengah penthouse. Dinding kaca raksasa menampilkan langit Los Angeles yang cerah menyakitkan mata. Cahaya matahari membanjiri ruangan, memantul di lantai marmer hitam dan perabotan logam yang dingin. Semuanya di sini berteriak tentang kekuasaan. Tapi bagiku, kemewahan ini terasa seperti peti mati yang dilapisi emas. Di ujung meja makan granit yang panjang, Ethan duduk. Ia membaca koran fisik sambil menyesap espresso. Punggungnya tegak, auranya tenang namun mendominasi, seolah ia adalah raja di atas papan catur raksasa ini. Saat aku mendekat, ia melipat korannya perlahan. Tatapan gelapnya menelusuri tubuhku, berhenti di gaun merah marun yang kupakai—gaun pemberiannya. "Merah," gumamnya. "Warna darah. Cocok untukmu." "Aku merasa seperti memakai kulit orang lain," jawabku dingin, berdiri kaku di sisi meja. "Duduk, Chintya. Makananmu dingin." Aku menarik kursi di seberangnya. Di piringku tersaji sarapan mewah, tapi perutk
Ethan meninggalkanku sendirian di kamar mandi. Ia keluar begitu saja setelah menyampaikan tawaran gilanya, seolah-olah ia baru saja membicarakan cuaca, bukan nasib hidupku. Punggungnya yang lebar dan basah menghilang di balik pintu kaca buram, meninggalkanku yang masih gemetar di bawah guyuran air shower yang mulai terasa dingin. Enam bulan. Aku memeluk tubuhku sendiri. Kontrak macam apa itu? Mencintainya atau dipulangkan? Itu bukan pilihan. Itu ancaman yang dibungkus dengan pita emas. Aku mematikan keran air dengan kasar. Marah. Aku marah pada situasi ini, tapi lebih marah pada tubuhku sendiri yang sempat bereaksi saat ia menyentuhku tadi. Aku keluar dari bilik shower, meraih handuk tebal berwarna putih yang tergantung di rak pemanas. Handuk itu hangat dan beraroma sandalwood—aroma Ethan. Aku melilitkannya ke tubuhku, lalu melangkah keluar menuju kamar tidur. Kamar itu kosong. Ethan sudah tidak ada. Tapi di sisi lain ruangan, sebuah pintu ganda yang terbuat dari
Cahaya matahari pagi yang menusuk melalui dinding kaca memaksaku membuka mata. Aku mengerjap, merasakan tubuhku pegal luar biasa. Kasur ini empuk, terlalu empuk, seperti menelan tubuhku hidup-hidup. Seprei sutra terasa dingin di kulit. Aku hendak bergerak, tapi tubuhku kaku seketika. Di sampingku, hanya berjarak beberapa sentimeter, seorang pria sedang tidur telentang. Ethan. Napasnya teratur. Satu lengannya terlempar santai di atas bantal, tepat di atas kepalaku. Bahkan dalam tidurnya, ia terlihat mendominasi ranjang ini, seolah memberi tanda bahwa akulah yang menumpang di wilayah kekuasaannya. Aku menahan napas, takut membangunkannya. Tidur di sebelahnya terasa seperti tidur di samping singa yang kenyang. Perlahan, aku menggeser tubuhku menjauh. Aku turun dari ranjang raksasa itu tanpa suara, lalu menyelinap menuju pintu kaca buram di sudut ruangan. Kamar mandi. Aku butuh air dingin. Aku butuh mencuci otakku agar sadar bahwa mimpi buruk ini nyata. Kama
Kepalaku berdenyut nyeri saat aku membuka mata.Rasanya seperti ada palu kecil yang memukul pelipisku. Aku mengerjapkan mata, mencoba mengusir kabur yang menghalangi pandangan. Langit-langit di atasku bukan langit-langit kamar kosku yang sederhana, melainkan panel kulit mewah berwarna krem."Sudah bangun, Putri Tidur?"Suara itu rendah dan berat.Aku menoleh cepat ke samping. Leherku kaku.Ethan duduk di kursi seberangku. Ia sudah berganti pakaian. Kemeja kusut bekas di pantai tadi sudah hilang, digantikan oleh turtleneck hitam yang membalut tubuh atletisnya. Di tangannya ada gelas kopi, dan di pangkuannya sebuah tablet menyala. Ia terlihat segar, seolah perjalanan panjang ini tidak menyentuhnya sama sekali."Jam berapa ini?" tanyaku, suaraku parau."Jam delapan malam," jawabnya tanpa melihat jam. "Waktu Los Angeles."Los Angeles.Kata itu menghantam kesadaranku. Aku duduk tegak, mengabaikan pusing di kepalaku, dan menatap ke luar jendela pesawat.Di bawah sana, hamparan ca
Interior pesawat ini tidak terlihat seperti alat transportasi. Ini terlihat seperti penthouse mewah yang dicabut paksa dari fondasinya dan dilemparkan ke langit. Lantainya dilapisi karpet tebal yang meredam suara langkah kaki. Kursi-kursi kulit berwarna krem ditata berhadapan, dipisahkan oleh meja kayu mahoni yang mengkilap. Pencahayaan di dalam temaram, hangat, dan intim. Sangat kontras dengan kegelapan dan kepanikan yang baru saja kutinggalkan di luar pintu. Seorang pramugari wanita berseragam rapi muncul dari balik tirai. Wajahnya cantik, namun ekspresinya kosong dan profesional. Ia tidak tampak terkejut melihatku yang berantakan, basah kuyup, dan penuh pasir. "Selamat datang, Tuan Mahendra," sapanya dengan nada datar. "Rute ke Los Angeles sudah siap. Izin lepas landas sudah disetujui menara kontrol." Los Angeles. Kata itu kembali menghantamku. Aku berbalik cepat, menatap Ethan yang baru saja mengunci pintu pesawat dengan sistem elektronik. Lampu indikator di pint
Vonis itu jatuh begitu saja dari bibirnya, seringan debu, namun menghantamku sekeras batu. Aku menahan napas, berharap telingaku salah dengar, berharap ini hanya lelucon buruk dari pria kaya yang bosan. Namun, ekspresi datar di wajah Ethan menghancurkan harapan itu seketika. Dia tidak sedang bercanda. Rasa takut meledak di dadaku. "Buka pintunya!" teriakku histeris. Tanganku menyambar tuas pintu mobil, menariknya kasar berkali-kali. Terkunci. Logam dingin itu tidak bergeming. Aku memukul kaca jendela dengan kepalan tanganku, berharap ada retakan, ada jalan untuk keluar. "Turunkan aku! Aku tidak mau ikut! Kau tidak berhak membawaku!" Ethan sama sekali tidak menggubris amukanku. Ia tetap tenang, fokus pada jalanan aspal yang melesat di bawah kami. Satu tangannya memutar kemudi dengan santai saat mobil berbelok tajam meninggalkan jalan raya utama, masuk ke jalan akses yang gelap gulita. "Diam, Chintya," katanya. Suaranya tidak keras, tapi otoritas di dalamnya mem







