Share

Hati yang Terluka

Mahesa tertegun melihat postingan i*******m milik Mayra. Foto Mayra dengan Arunika berlatar sebuah kafe yang ia lumayan hafal tempatnya. Ternyata Mayra telah bertemu dengan mantan istrinya. Mahesa menekan tombol love pada postingan, lalu melihat foto yang ternyata sudah di tandai dengan akun I*******m Arunika. Ia menekan profil wanita itu, ternyata di privasi. Tangan itu menekan menu “Follow” yang tertera disana.

Mahesa mengingat ketika dulu datang mengajak pacaran Arunika, dia di tolak mentah-mentah oleh ayah wanita itu. Malah ia mendapat siraman rohani dan di ajak bertobat. Besoknya, ia di tertawakan oleh teman-temannya. Tak sampai di sana, tekad Mahesa untuk memiliki Arunika masih sangat menggebu. Satu Minggu setelah penolakan dia datang kembali ke rumah Arunika. 

“Ada apa lagi datang kemari?” tanya Imam kala itu ketika Mahesa datang lagi ke kediamannya. 

“Jika memang saya tak di perbolehkan pacaran dengan Arunika, saya sekarang datang berniat untuk melamar, Om.”

Imam mengembuskan nafas berat. Ditatapnya anak muda itu lamat-lamat. 

“Punya modal apa kamu ingin menikahi anak saya?”

“Saya punya toko baju, Om. Saya juga sedang magang di perusahaan milik Om saya. Saya sudah bisa cari nafkah sendiri dan saya usahakan mencukupi kebutuhan Arunika.”

Imam menggeleng, “bukan modal itu yang saya tanyakan.”

Mahesa menatap Imam bingung, “lalu, modal seperti apa yang Om tanyakan?”

“Modal untuk membimbing anak saya ke surga.”

Mahesa menelan ludah. Sungguh berat modal yang di maksud. Sholat saja dia masih bolong-bolong, baca Al Qur’an pun ia tak bisa, bagaimana caranya membimbing Arunika ke surga?

“Saya bisa belajar, Om.”

“Belajar?” 

“Saya janji, saya akan belajar agama dengan baik. Saya akan buktikan kalau saya benar-benar serius ingin menikahi Arunika.”

“Saya ingin katakan, menikah itu bukan sekadar satu atau dua hari. Menikah itu menjadikan yang haram menjadi halal. Bukan tentang kamu cinta dia atau tidak. Menikah itu ibadah terlama yang akan kalian jalani. Tentu saja di dalamnya ada ujian yang akan dibalas dengan pahala berlipat. Tapi apa kamu yakin sanggup menjalani pernikahan sementara fondasinya saja kamu belum punya.”

Mahesa masih belum paham, yang dia tahu pernikahan terjadi karena dua orang yang saling mencintai ingin memiliki bersama. Bukankah memang seperti itu? Memang seperti apa pernikahan menurut pandangan orang tua Arunika? Menurutnya terlalu ribet dengan berbagai syarat.

“Menikah tak semudah yang kamu pikirkan. Kamu mengambil alih semua tanggung jawab seorang ayah terhadap anak perempuannya. Ketika ijab telah di ucapkan, maka tanggung jawab atas anak perempuan itu jatuh ke tangan kamu. Nafkahnya, ibadahnya, dosanya, apa kamu sudah sanggup? Saya mengajarkan Arunika agama sejak dia kecil. Menerapkan apa yang Haq dan batil. Lalu datang seorang pemuda yang agamanya tak lebih baik dari anak saya, kamu pikir saya akan terima?”

Mahesa menunduk dalam. Kenapa jadi serumit itu pernikahan? Ada sedikit penyesalan di hatinya ketika dulu orang tuanya memasukkan ia ke dalam pondok pesantren tapi dia malah kabur. Jelas saja ia tak betah. Bangun sebelum subuh, kurang tidur, kurang makan, mau mandi pun antre. Sungguh dia sudah terbiasa dengan hidup yang nyaman. 

 

“Belajarlah agama sebelum kamu melamar anak saya. Saya hanya ingin anak saya mendapatkan pasangan yang layak di jadikannya panutan, yang akan meluruskannya ketika ia bengkok, yang akan mengajarkannya ketika ia salah. Bukan sebaliknya.”

Sejak malam itu, Mahesa bertekad kuat mendatangi Ustaz yang sekiranya bisa mengajarkannya agama, mengajarkannya membaca Al Qur’an. Hingga ia datang lagi kepada Imam memberi tahu bahwa ia tengah menjalani masa belajar. Bahkan, ia sempat memohon kepada Arunika untuk sedikit bersabar. Ia sedang berjuang. 

Lamunan Mahesa terhenti saat mendengar suara ketukan pintu. Ia begitu sulit memperjuangkan Arunika, tetapi kenapa begitu mudah pula ia lepaskan hanya karena nafsu semata. Mahesa mendesah, di bukakan pintu ruang kerjanya yang terletak di sebelah kamar utama.

Dania disana membawa secangkir kopi. Seperti dirinya dulu, wanita itu juga masih dalam proses meluluhkan hatinya kembali. Mahesa pun tak paham sejak kapan rasa kepada Dania pupus begitu saja dan tergantikan oleh sosok Arunika yang datang hanya sekejap. 

“Minumlah, sejak tadi kamu belum keluar. Aruna menanyakan kamu.” Ucap Dania dingin. 

Walaupun Mahesa tak pernah lagi memedulikannya, ia tetap bertahan demi Aruna. Dulu ia pernah tumbuh dalam keadaan keluarga yang tak utuh. Rasanya begitu sulit ketika kedua orang tuanya telah memiliki pasangan masing-masing. Dania pernah mengalami trauma di lecehkan oleh ayah tirinya, dan ia tak mau Aruna mengalami hal serupa. Tekadnya adalah Aruna akan tumbuh dalam keluarga yang utuh walaupun ada sandiwara di dalamnya. 

“Aku lihat Kak Mayra bertemu dengan Arunika. Apa kakakmu begitu menginginkan wanita itu kembali?” 

Mahesa melihat luka di mata Dania. Tak pernah di anggap menantu dan ipar dalam keluarganya, tentu saja wajar jika Dania merasa cemburu dengan kedekatan mantan istri suaminya dengan kakak iparnya. 

“Aku tak tahu menahu pertemuan mereka.”

“Oh ya? Aku lihat kamu memberi tanda ‘love’ di postingan itu. Kamu senang keluargamu kembali bertemu dengan mantan istri kamu itu?”

“Aku sedang tidak ingin bertengkar. Keluarlah.”

“5 tahun, Sa. 5 tahun kita menikah, bahkan kita pacaran sejak masuk SMA, tapi keluarga kamu tak pernah menganggapku ada.”  Dania tergugu. Air matanya telah membasahi sebagian wajahnya.

“Lalu dengan tidak berperikemanusiaannya, kakak kamu posting foto dengan mantan istri adiknya yang sudah menikah. Kamu tahu rasanya, Sa?”

Mahesa diam melihat Dania yang mulai emosi. Tak pernah ia menyalahkan Dania atas yang telah terjadi di antara mereka. Mahesalah yang seharusnya bertanggung jawab. Dulu, ia yang mendekati Dania terlebih dahulu padahal ia telah menikah. Dulu, ia yang telah memberi harapan kepada wanita yang sekarang menjadi istrinya itu, lalu mengapa sekarang terasa hampa?

“Aku yang berjuang sendiri meluluhkan hati mereka tanpa kamu ikut berjuang. Bahkan kamu terlihat acuh pada sikap mereka terhadapku.”

Mahesa menyugar rambutnya yang terlihat berantakan. Mendekati Dania yang mulai tak bisa mengontrol emosinya. Rasa kasihan menyelimutinya. Mahesa mengembuskan napas dalam, andai saja dulu ia tak menghampiri Dania di kafe itu mungkin kini ia masih menjalani pernikahan dengan Arunika tanpa ada hati yang terluka.

Mahesa memeluk Dania, mengusap punggungnya yang bergetar.

“Kamu yang terlebih dulu datang padaku, Sa. Kamu yang terlebih dahulu datang memberi harapan padaku. Tapi kenapa seolah semua memojokkanku? Seolah semua salahku padahal kamulah peran utamanya.”

Mahesa membiarkan Dania meluapkan segala emosinya agar wanita itu lebih tenang. Ia pun diam saja ketika Dania mulai memukuli dadanya. Mahesa tak berhak protes karena memang semua berawal darinya. Terkadang dia berpikir, kenapa Tuhan membuat takdir jika penyesalan selalu ada di akhir jika di awal akan lebih baik.

Dania melepaskan pelukan Mahesa, laku menatap pria itu lemah. Tatapan penuh luka, penuh kecewa. Mahesa tak pernah sanggup melihatnya.

“Kamu masih mencintainya bukan? Menikahlah lagi dengannya, tapi biarkan aku dan Aruna tetap berada disisimu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status