Untuk kali pertama, Laura memberanikan diri datang ke rumah sakit. Meski hatinya belum siap. Meski matanya tak ingin melihat Raynald dengan Alexa, tapi entah mengapa rasa ingin tahunya terhadap kondisi perempuan itu begitu besar. Maka sore itu, dicobanya mengontak Raynald untuk menanyakan posisi laki-laki itu. Ketika Raynald menjawab dirinya baru tiba di rumah sakit. Besar keinginan Laura untuk menyusulnya diam-diam. Sepulangnya dari kantor, Laura mengarahkan motornya ke jalan menuju rumah sakit.Cukup lama ia berdiri di depan gedung bercat putih itu. Memikirkan segalanya, menyiapkan dirinya. Ia tahu, apa yang dilihatnya nanti pasti akan menyakiti hatinya. Tapi bukankah mulai sekarang ia harus terbiasa dengan semuanya? Dengan seluruh rasa sakitnya. Dimantapkan hati, Laura berjalan memasuki gedung. Ia pernah mengunjungi kamar rawat Alexa beberapa waktu lalu bersama Raynald. Jadi untuk kali ini, ia tak perlu bertanya lagi tentang posisi ruang rawat Alexa. Lift membawa tubuh Laura melesa
“Gimana perkembangan Alexa?” Pertanyaan itu meluncur dari bibir Angel ketika Laura tengah sibuk membuat proposal konsep pemotretan untuk hari sumpah pemuda bulan depan. Seketika ia menyandarkan punggungnya pada kursi kerjanya dan menatap Angel dengan kesal. “Kamu membuarkan semua konsep di kepala aku tahu gak sih?” keluhnya. Bukan prihatin, Angel malah terkikik. Perempuan itu lantas menjatuhkan tubuhnya di atas kursi meja kerjanya yang bersebrangan dengan Laura. “Sorry, aku cuma penasaraan saja sama hubungan kalian. Karena aku lihat hari ini kamu gak seperti biasa.” “Seperti biasa gimana?” “Muka ditekuk, mata sayu, gak bergairah menghadapi hidup.” Laura menarik kertas hasil coret-coretnya, mengepalnya penuh semangat dan melemparkannya ke arah Angel. Perempuan itu menghindar dengan lihainya dan tertawa renyah. “Aku cuma mau menerima kenyataan saja, emang gak boleh?” jawab Laura. “Oo Bagus itu. Ya, segaknya kamu gak akan membuat hari-hari semua orang ikutan suram.” Angel menyet
Malam itu, Laura tak bisa tidur. Pikirannya melayang pada pemandangan beberapa jam yang lalu ketika ia berada di rumah sakit. Sejujurnya, mengingat apa yang dikatakan Alexa membuat Laura takut. Ia takut kalau perempuan itu akan berharap banyak pada hubungannya dengan Raynald. Bagaimana nanti kalau Alexa ternyata membutuhkan waktu lama untuk pulih dan malah semakin tak terpisahkan dengan Raynald. Memikirkan hal itu seketika membuat ulu hatinya nyeri. Laura menyingkap selimutnya dan duduk di tepi ranjang. Ia sungguh tak ingin hal itu terjadi. Diraihnya ponsel yang sejak tadi digeletakkannya di atas nakas dan mencari nomor Raynald. Beberapa jam ini sungguh membuatnya tak bernafsu untuk melakukan apa-apa. Bahkan untuk sekadar mengecek pesan atau chat yang masuk di aplikasi whatsappnya pun ia enggan. Namun kali ini, ia tak peduli hari sudah malam, ia hanya ingin mendengar suara laki-laki itu. Akhir-akhir ini, mereka jarang sekali punya waktu bersama. Atas apa yang harus dilakukan Raynald, L
Raynald menenggak minumannya yang seketika habis dalam satu kali teguk. Hari ini, genap dua hari Laura tak ada kabar. Ia tak tahu, sampai kapan perempuan itu meminta waktu darinya untuk menyendiri. Tapi, dua hari saja rasanya Raynald sungguh tersiksa. Ia tak fokus bekerja, tak fokus merawat Alexa. Pikirannya hanya tertuju pada Laura yang tak tahu bagaimana kabarnya.“Ya, mau bagaimana lagi? Kamu yang salah di sini, kamu harus hargai keputusan Laura.” Angel menuangkan cola sekali lagi ke gelas Raynald yang sudah kosong. Malam itu, Raynald tak tahu harus ke mana untuk meluapkan rasa rindunya pada Laura. Maka ia memilih untuk berkunjung ke rumah Angel. Beruntung, Angel tak sedang lembur atau keluar. Perempuan itu sedang menikmati waktu senggangnya di rumah, yang sayangnya harus terusik dengan kedatangan Raynald.“Sebenarnya, aku juga kesal sama kamu. Aku saksi hidup bagaimana Laura berjuang mendapatkan promosi itu. Terus tiba-tiba … boom!” Angel menganalogikan tangannya layaknya kembang
Laura mematung di ujung koridor rumah sakit menuju ruang rawat Alexa, ketika dilihatnya ruangan itu sedang ramai pengunjung. Mungkin sekitar 6 atau 7 orang. Tak biasanya ruangan itu terasa hidup. Tapi, memang tidak ada yang salah. Bukankah, Alexa memiliki teman? Mungkin saat ini mereka sedang menjalankan peran sebagai teman yang baik. Mengunjungi temannya yang baru saja sadar dari koma setelah dua tahun lamanya berjuang. Diam-diam, Laura suka melihat pemandangan itu. Mereka bergurau, tertawa dengan renyah. Setidaknya, hal itu bisa menghibur Alexa, bukan? Terkadang, Laura mencoba merasakan bagaimana rasanya menjadi Alexa. Pasti sangat membosankan setiap hari bangun dan berada di ruangan yang sama dengan pergerakan yang terbatas. Tapi, mau tak mau Alexa harus menerima itu kalau ia mau cepat pulih. Dan melihat mereka yang tak Laura kenal datang menghibur Alexa, Laura tiba-tiba saja ikut bahagia. Ia menunduk, menatap setangkai mawar yang dibawanya hari ini dan berkata pada bunga itu, mu
“Hari ini, seharusnya Alexa sudah menjadi istri saya yang sah.” Dylan memulai ceritanya. Mengenang kisah yang tak pernah terjadi hingga hari ini. Laura mengangkat wajahnya dari gelas kopi, menatap wajah Dylan yang menerawang. Lantas ketika menyadari perempuan di depannya sedang menatapnya, Dylan mengalihkan pandangan ke arah Laura dan tersenyum. Laura tak tahu mengapa ia bisa tersenyum mengiringi statment menyedihkan seperti tadi. Bahkan, Laura sendiri merasa menyesal atas apa yang didengarnya. Ia tahu, sebenarnya hati laki-laki ini sedang hancur. Bagaimana tidak, dilenyapkan begitu saja dari ingatan sang kekasih. Rasa-rasanya cukup wajar untuk merasa berduka. Tapi, Laura justru merasa laki-laki di depannya ini cukup dewasa dalam menghadapi persoalannya.Dylan meraih gelasnya dan meneguk isinya sekali teguk. “Saya merasa ini semacam hukuman buat saya dari Tuhan.” Ia mendesah. Tapi Laura menangkap ketenangan dari wajahnya. Kenyataan itu membuat Laura sedikit iri. Bagaimana tidak, di te
Dylan pulang ke rumahnya dengan rasa lelah yang membelit tubuhnya. Seluruh lampu sudah padam. Artinya, ibu dan adik perempuannya, Nania sudah tidur. Ya, Dylan sudah terbiasa pulang dalam kondisi seluruh lampu rumah sudah padam. Mereka memang jarang bertemu ketika malam, mereka lebih sering bertemu saat pagi. Ketika pukul 04.00 ibunya akan terbangun untuk melaksanakan sholat tahajud dan menyempatkan mengaji sedikit sembari menunggu waktu subuh. Setelah itu, beliau akan mulai disibukan dengan urusan rumah tangga. Memasak sarapan untuk Dylan dan adiknya yang masih SMA, dan segala macam kesibukan rumah lainnya.Dylan menghempaskan tubuh di atas kasurnya yang terasa nyaman. Ia melonggarkan dasi yang sejak pagi menecekik lehernya. Ia bersyukur seluruh pekerjaannya hari ini lancar tanpa hambatan. Meski setiap hari ia akan meneysal karena belum sempat menyelesaikan kasus ayahnya pasca tragedi kecelakaan yang menimpa Alexa. Ah, mengingat gadis itu membuat Dylan melayangkan ingatannya pada Laur
Sudah satu minggu berlalu sejak hari itu. sejak pertemuan pertama Laura dengan Dylan. Sejak mereka saling bertukar pikiran dan saling menguatkan. Laura sudah tak pernah bertemu lagi dengan laki-laki itu. Beberapa kali ia diam-diam datang berkunjung ke rumah sakit, tapi Dylan juga tak pernah terlihat di sana. Entahlah. Kemana perginya laki-laki itu. Mungkin ia sedang sibuk dengan pekerjaannya. Bisa jadi juga, hari itu adalah pertemuan pertama dan terakhir Laura dengan Dylan. Laura tak mau ambil pusing dan memikirkannya. Ia hanya ingin fokus pada hubungannya dengan Raynald. Berusaha untuk tetap menjaga semuanya agar tak ada yang berubah atau merasa ada yang berubah “Mik, duluan ya.” Sore itu, Laura pamit pada rekan kerjanya untuk pulang lebih awal. Ia sudah menyelesaikan pekerjaannya. Biasanya jika pekerjaannya selesai lebih awal seperti ini, Laura akan menghabiskan waktu di tempat kerjanya. Sekadar cerita-cerita atau menemani kawannya lembur. Ia bersyukur mendapatkan pekerjaan ini y