LOGINSuara lirih Natasya membuat Aron tersentak. Ia buru-buru mengambil jarak, memberi waktu bagi keduanya untuk menguasai diri.
Ia menyerahkan buku itu pada Natasya, lalu duduk di salah satu meja yang kosong. Di dalam perpus itu, hanya ada mereka berdua. Natasya tampak bersemangat sekali, kejadian beberapa saat yang lalu seolah tak pernah terjadi. Namun, tiba-tiba wajahnya memucat saat membalik halaman buku. “Pak… untuk bab reproduksi apa harus dipraktekkan?” Sontak Aron melotot. Jurusan kedokteran memang seringnya melakukan praktek, tapi siapa pula yang terpikir untuk mempraktekkan langsung soal materi reproduksi? Apakah Natasya memang sepolos itu? “Kamu mau praktek?” Aron malah bertanya balik. Natasya menggeleng keras, “Tidak, Pak,” ujarnya sambil terkekeh canggung. Di materi itu banyak sekali hal-hal yang membuat Natasya penasaran, terutama alat kelamin lawan jenis. “Pak, saat dia membesar apa memang terasa sakit atau ngilu?” tanya Natasya dengan polosnya. Wajah Aron memerah ketika mendengar pertanyaan Natasya. Tidak menyangka mahasiswanya ini bertanya seperti itu. “Apanya yang membesar?” Aron pura-pura tidak paham. Kini mereka justru saling melempar pertanyaan. Natasya menelan ludah. “Eh… itu Pak, organ intim pria,” bisiknya tercekat. Seketika menyadari betapa aneh pertanyaannya itu. “Memangnya kamu tidak pernah melihat organ intim pria yang mengeras?” Meski pertanyaan Aron terdengar tidak senonoh, tapi wajahnya tampak datar. Seolah itu adalah hal biasa. Natasya menggeleng pelan. Ia pernah berpacaran, tapi tidak pernah aneh-aneh. Ciuman saja dia tidak pernah melakukannya. “Biar aku tunjukkan.” Aron lantas membuka ponselnya, ingin menunjukkan video tentang materi ini. “Hah?! Nggak usah, Pak!” Natasya buru-buru mencegahnya. Bukankah akan sangat canggung apabila menonton video panas seperti itu dengan dosen sendiri? “S-saya takut melihat video seperti itu,” ujarnya sambil memegang lengan Aron erat. “Apa maksud kamu?” tanya Aron tidak mengerti. Pria itu menggulir ponsel dan mencari videonya. “Ini video materi tentang reproduksi,” katanya sambil menghadapkan layar ke Natasya, lalu menatap gadis itu lekat. “O-oh….” Natasya menggaruk tengkuk yang tidak gatal, salah tingkah. “Kamu pikir video apa?” tanya Aron. Ada nada geli di ujung kalimatnya. Natasya merasa wajahnya sangat panas. Ia benar-benar malu. “Maaf, Pak,” ujarnya dengan kepala tertunduk. Ia buru-buru mengambil ponsel pria itu dan memperhatikan video materi yang dimaksud. Di sana, Natasya melihat bentuk organ intim yang masih mengecil tiba-tiba membesar dan ukurannya dua kali lipat. “Seperti ini, dia akan mengembang kalau mendapatkan rangsangan,” jelas Aron santai. Seketika, saat itu juga netra Natasya melihat ke bawah, ke milik Aron. Aron tersenyum tipis. Mahasiswinya ini memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar, tapi materi ini bisa bahaya jika terus-terusan dibahas. “Pak, apa dekat dengan wanita juga membuat dia membesar?” tanya Natasya tiba-tiba. Aron yang tengah minum seketika jadi tersedak. Ada-ada saja pertanyaan Natasya. Pria itu menguasai diri dengan cepat. “Cukup untuk materi reproduksi,” katanya kemudian. “Kamu cukup belajar saja, jangan bertanya yang tidak-tidak!” Karena hari sudah sangat malam, Aron mengajak Natasya pulang. “Maaf Pak, saya sudah merepotkan Anda,” ujar Natasya saat mereka berada di dalam mobil. “Lain kali jangan merepotkan lagi,” sahut Aron datar. Natasya mengangguk. Sebenarnya kalau Aron mengizinkannya remidi lebih cepat, semua akan menjadi lebih mudah. “Bisakah remidinya dipercepat, Pak? Agar saya tidak merepotkan Anda terus-menerus.” Ucapan Natasya kali ini tidak direspon Aron. Jawabannya sudah jelas, dia tidak pernah memberikan remidi. Oleh karenanya dia tidak akan memberikan soal mudah. Tidak mendapatkan respon, Natasya mengangguk paham. “Baik Pak, saya tidak akan bertanya lagi.” Mulutnya kali ini benar-benar tertutup rapat. Begitulah mereka akhir-akhir ini, meski merasa terganggu dengan urusan Natasya, tapi Aron tetap membimbing mahasiswinya itu. Hingga suatu ketika hujan lebat datang, badai serta hujan es membuat Natasya dan Aron yang masih di kampus sedikit was-was. “Bagaimana ini, Pak Aron?” tanya Natasya. “Tunggu sampai reda,” jawab Aron ringan, tidak menyadari wajah Natasya yang begitu resah. Hari semakin gelap, tapi hujan tak kunjung reda. Akhirnya Aron memutuskan nekat saja. Karena malam ini istrinya akan melakukan video call, jadi dia harus sampai rumah. Aron mengambil mobil sementara Natasya diminta menunggu. “Pak, Anda basah semua….” ujar Natasya saat dia masuk ke dalam mobil dan melihat Aron sudah basah kuyup. “Tidak masalah,” sahut Aron sambil lalu. Keesokan harinya, gara-gara kehujanan semalam, Aron absen karena sakit. Mendengar kabar itu Natasya merasa bersalah, sehingga pulang dari kampus dia datang menjenguk. Beberapa kali Natasya memencet bel tapi tak ada respon sama sekali. “Apa Pak Aron tidur ya…” Tak menyerah, dia terus memencet bel. Tapi sama saja, tak ada yang membukakan pintu. Natasya mencoba menghubungi Aron, tapi panggilannya juga tidak dijawab. “Jangan-jangan Pak Aron….” Seketika panik menyergap. Natasya meraih handle pintu, dan benar saja pintu rumah Aron tidak terkunci. Wanita itu masuk begitu saja, lalu naik ke lantai atas dan mencari Aron. Di dalam kamar, dia melihat Aron berbaring di atas tempat tidur. Pria itu terus mengigau karena demam yang sangat tinggi. Natasya segera mengompres Aron, “Pak Aron,” panggilnya pelan. Netra Aron terbuka, tampak terkejut mendapati Natasya berada di dalam kamar pribadinya. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Suaranya terdengar serak dan lirih. “Menjenguk Bapak,” jawab Natasya. “Apa yang bapak rasain?” “Kamu pulang saja,” sahut Aron, tidak menjawab pertanyaan Natasya. “Saya akan tetap di sini,” ujar Natasya sekenanya. Aron tidak membantah. Ia menurut saja, toh dia juga tidak memiliki tenaga untuk mendebat. “Pak, obat ini diminum setelah makan, bapak sudah makan?” tanya Natasya sambil menunjukkan obat yang dia bawa. Gelengan pelan nyaris tak terlihat Aron tunjukkan, seharian ini perutnya belum terisi sama sekali. Wanita itu pergi keluar, dia mencari sesuatu yang bisa dimasak. Beberapa saat kemudian, dia kembali dengan semangkuk bubur dan sup ayam. “Makan dulu, Pak,” pintanya. Natasya tampak begitu telaten merawat Aron. Dia hanya ingin Aron cepat sembuh, agar bisa membimbingnya mengingat bulan depan semakin dekat. “Aku makan sendiri.” Pria itu berusaha bangkit, tapi kepalanya masih sangat pusing. “Biar saya suapin saja, Pak.” Melihat perhatian Natasya, Aron merasakan sesuatu yang aneh menjalari dadanya. Alih-alih istrinya, justru mahasiswinya lah yang merawatnya saat sakit. ‘Andaikan kamu tidak bekerja, Sayang, pasti bukan wanita lain yang merawatku.’Malam itu, Natasya terus saja memikirkan ciumannya bersama Aron, sampai-sampai dia tidak bisa tidur karenanya. Keesokan harinya, Natasya sangat gugup ketika Aron memanggilnya. “Masalah semalam jangan kamu pikirkan, semua karena ketidaksengajaan,” kata Aron sambil menatap Natasya lekat. “Baik, Pak,” sahut Natasya. Entah kenapa jantungnya masih berdebar-debar.Karena Aron ada urusan, dia meminjamkan buku-bukunya pada Natasya. Hal ini membuat Natasya senang tak karuan. Itu artinya, dia tidak perlu menghabiskan waktu bersama dosennya!“Pak Aron benar meminjamkan buku-buku ini?” tanyanya antusias. “Iya, kamu belajar sendiri di rumah,” jawab Aron singkat, berusaha mengalihkan perhatian dari wajah Natasya yang berseri-seri.Sementara itu, Natasya mematung. Sekilas, ia melihat Aron tersenyum. Dan itu membuat darahnya berdesir. Natasya tahu Aron memang tampan, tapi ia baru sadar Aron memang setampan itu….‘Andaikan dia masih lajang,’ gumamnya dalam hati.Sekian detik kemudian, Natasya sad
Melihat mata Aron yang sedikit basah, Natasya mengira Aron kesakitan.“Pak, sakit memang nggak enak. Bapak sabar ya, habis ini minum obat pasti sembuh,” ujar Natasya berusaha menenangkan. Dia tersenyum menatap Aron, mencoba memberikan semangat. Namun, Aron mendengus mendengar perkataan Natasya. “Aku tidak selemah itu,” sahutnya dingin. Gantian Natasya yang memberengut. Tidak selemah itu, tapi matanya berkaca-kaca! Dasar dosen killer pembohong!Usai menyuapi Aron, Natasya mengambil obat. Dia juga membantu pria itu meminum obatnya. “Sekarang Pak Aron istirahat, saya harus pulang,” kata Natasya kemudian. “Tapi boleh nggak Pak saya pinjam bukunya?” pintanya sambil tersenyum manis. Sepasang matanya tampak berbinar memohon pada Aron. “Kenapa tidak pinjam di perpus saja?” tanya Aron sambil mengernyit seolah tidak suka. Wanita itu menghela nafas. Materi yang Aron berikan tidak ditemui di buku manapun, termasuk buku di perpus. “Kalau ada saya pasti pinjam di perpus Pak, sayangnya tidak a
Suara lirih Natasya membuat Aron tersentak. Ia buru-buru mengambil jarak, memberi waktu bagi keduanya untuk menguasai diri.Ia menyerahkan buku itu pada Natasya, lalu duduk di salah satu meja yang kosong.Di dalam perpus itu, hanya ada mereka berdua. Natasya tampak bersemangat sekali, kejadian beberapa saat yang lalu seolah tak pernah terjadi. Namun, tiba-tiba wajahnya memucat saat membalik halaman buku. “Pak… untuk bab reproduksi apa harus dipraktekkan?” Sontak Aron melotot. Jurusan kedokteran memang seringnya melakukan praktek, tapi siapa pula yang terpikir untuk mempraktekkan langsung soal materi reproduksi? Apakah Natasya memang sepolos itu?“Kamu mau praktek?” Aron malah bertanya balik. Natasya menggeleng keras, “Tidak, Pak,” ujarnya sambil terkekeh canggung.Di materi itu banyak sekali hal-hal yang membuat Natasya penasaran, terutama alat kelamin lawan jenis.“Pak, saat dia membesar apa memang terasa sakit atau ngilu?” tanya Natasya dengan polosnya. Wajah Aron memerah ketik
Maksud Aron dengan kegigihan adalah harus belajar dengan sungguh-sungguh.Namun, Natasya menangkap hal lain. Kegigihan yang dimaksud ialah terus menjadi teman ranjang dosennya itu.Setelah jam kampus selesai, Natasya langsung pergi ke rumah Aron. Karena Aron belum tiba di rumah, Natasya menunggu dosennya itu di teras. Kebetulan rumah Aron adalah tipe perumahan cluster, jadi tidak memiliki pagar. Melihat tanaman yang kering, Natasya beranjak menyiramnya. Hingga suara mobil mengejutkannya. “Pak Aron, maaf saya sudah lancang.” Natasya buru-buru meletakkan selang air, lalu menunduk ketika Aron turun dari mobil. Pria itu hanya berdehem, lalu membuka pintu rumahnya. Seperti kemarin, setelah membersihkan diri, Aron berbaring di tempat tidur. Sementara Natasya masih di sofa menatapnya heran. “Pak apa yang harus saya lakukan?” tanyanya bingung. Ia benar-benar dalam urusan ranjang seperti ini.“Tunjukkan saja kegigihanmu.” Pria itu menjawab asal karena saat ini dia tengah membalas pesan
“Apa? Kamu… mau?” ulang Aron tak percaya. Kini dialah yang dibuat gugup dan bingung. Tadinya, Aron hanya ingin menguji sampai di mana kegigihan Natasya, tapi siapa sangka gadis itu justru menyetujui keinginan tak masuk akalnya? “Pikirkan kembali,” ujar Aron setelah menguasai diri dengan cepat. Ekspresinya kembali datar. “Sekali menjadi teman ranjangku, kamu tidak akan bisa pergi.” Ucapan dingin dan penuh peringatan itu sengaja agar Natasya memilih mundur. Bagaimanapun, Aron tidak serius dengan penawarannya. Namun, gelengan tegas justru didapatkan. Natasya tidak tampak goyah sama sekali.Aron mengelola nafas panjang. Karena tidak ingin menjatuhkan harga dirinya dengan menarik semua ucapannya, akhirnya dia membawa Natasya pulang ke rumahnya. Natasya tidak mengucapkan apapun selain mengikuti Aron.Aron berharap gadis itu berubah pikiran setibanya di rumah, tapi Natasya tetap tidak berkata apa-apa. Seolah sudah pasrah. Aron membawa Natasya ke kamar tamu, dan memberikan mahasiswinya
“Pak, saya mohon jangan beri saya nilai D. Saya bisa remidi agar nilai saya tidak kurang.” Di hadapan pria yang dijuluki dosen killer itu, Natasya memohon dengan wajah memelas, berharap agar dosennya sedikit berbelas kasih. Namun, Aron tampaknya tidak peduli. Wajahnya datar, kilat di matanya menunjukkan kejengahan yang begitu kentara. Di mata kuliah yang diajarnya, tidak pernah ada kata remidi. Nilai ujian jelek adalah mutlak kesalahan mahasiswa sendiri. Sebelumnya, nilai Natasya tidak pernah buruk. Namun, karena sang ibu jatuh sakit, Natasya tidak fokus belajar sehingga nilai ujiannya anjlok. “Pak Aron, saya mohon,” ujar Natasya sekali lagi. Kali ini suaranya bergetar hingga hampir menangis. “Mata kuliah Anda adalah mata kuliah wajib jurusan saya. Ka-kalau Anda memberikan nilai jelek, itu akan menghambat kelulusan saya dan—” “Itu urusanmu, bukan urusanku,” sela Aron dingin. Netranya menatap tajam, tak ada toleransi di raut wajahnya. Dunia Natasya benar-benar runtuh mendeng







