"Ma-maaf Pak." Suci ragu-ragu mendongak, menatap pria tampan dengan rahang yang tegas di depannya.
Pria yang sempat dia ledek waktu itu bersama Olivia tampak sangat tampan dari arah sini.
Bayangan wajah pria ini pun begitu jelas dalam mimpinya. Bagaimana pria itu tidur di sampingnya, serta bagaimana pria ini menyetubuhinya dengan sangat lembut semalam. Suci merasa kepalanya sudah tidak waras sekarang.
"Ambil barangmu dan ikut aku!" ujar Rey lagi berjalan meninggalkan Suci yang masih tertegun dengan ketampanan sosok atasannya.
"Aku hitung sampai lima, kalau kamu belum juga masuk ke ruanganku. Aku akan memberimu hukuman!" ancamnya.
Suci bergegas mengambil barang miliknya yang berserakan di lantai, dan melangkah cepat masuk keruangan Rey.
"Ternyata kamu cukup sigap untuk seorang wanita." Rey tersenyum tipis melihat Suci yang terlihat takut mendapatkan hukuman darinya.
"Mulai hari ini kamu akan bekerja satu ruangan denganku."
"Satu ruangan, Pak?" tanya Suci memastikan.
"Iya, aku akan meminta Michael menambah meja dan kursi untukmu disini."
"Ta-tapi, Pak. Kenapa harus satu ruangan? Apa disini tidak ada ruangan yang lain lagi?" protes Suci.
"Kamu terlalu banyak bicara dengan tubuh kecilmu itu!"
Eh, kenapa ucapannya mirip sekali dengan yang ada di mimpiku? Gumam wanita berbibir tipis itu dalam hati.
"Jika kamu mau bekerja denganku, kamu harus mendengarkan semua perintahku dan jangan coba-coba membantah! Aku paling tidak suka di bantah!" sambung Rey masih menatap Suci penuh arti.
Kenapa kepribadian mereka sangat mirip dengan mimpiku? Astaga … apa mimpi itu seperti ramalan yang akan terjadi pada kita di kemudian hari? Suci larut dalam pikirannya hingga tidak sadar Rey sudah berdiri di depannya.
"Kamu melamun, hm?"
"Eh…." Suci kaget dan refleks mundur ke belakang.
Tidak sengaja wanita itu menyambar vas bunga di atas bufet ruangan atasannya hingga pecah.
"Astaga … ma-maaf, Pak." Suci buru-buru meletakkan kardus yang masih dia bawa di tangannya, dan menunduk mengambil serpihan-serpihan vas bunga yang pecah.
Karena gugup takut dimarahi lagi oleh Rey, Suci malah tidak sengaja melukai jari telunjuknya hingga berdarah.
"Aww…," ringis Suci.
"Apa kamu tidak bisa berhati-hati?!" sentak Rey menarik jari Suci dan menghisap darahnya yang keluar dengan cepat.
Suci membola tidak menyangka pria dingin itu akan bersikap semanis ini padanya. Wajahnya seketika merona dengan dada yang berdebar tidak karuan.
Wajah mulus dengan hidung mancung bak seluncuran itu terlihat begitu tampan. Bulu matanya yang lentik ke bawah dengan bibirnya yang tipis di bagian atas dan tebal di bagian bawah, menambah kesan pesona pria dengan kulit tubuhnya yang pucat.
Entah kenapa Suci jadi ingin berlama-lama menatap wajah tampan Rey yang ikut berjongkok di depannya.
"Lain kali jangan memegang benda-benda tajam seperti ini lagi Suci. Darahmu terlalu berharga jika sampai keluar sedikit saja…."
"I-iya, Pak. Maaf aku memecahkan vas bungamu." jawab Suci menarik tangannya dari genggaman Rey.
"Vas bunga masih bisa aku beli lagi, tapi darahmu … tidak akan pernah bisa tergantikan!" sahut Rey penuh makna.
Suci mengangguk dan menyambut uluran tangan Rey yang membantunya untuk berdiri. Malu-malu wanita itu kembali menyentuh tangan halus atasannya.
"Sekarang kamu duduk disitu. Aku akan mengobati jarimu!" tunjuk Rey di kursi sofa tamunya.
"Tidak perlu, Pak. Ini hanya luka kecil, aku tidak apa-apa…," sahut Suci tidak enak.
"Berapa kali harus aku katakan padamu jangan pernah membantahku Suci?!" Rey sedikit menekan nada suaranya, memberi kesan bahwa dia mulai kesal dengan sikap pembangkang wanita itu.
Suci hanya bisa menelan salivanya dalam, takut menyela ucapan pria itu lagi. Sikap pemaksa Rey yang dominan, membuat Suci tidak bisa bergerak dengan leluasa dan harus mengikuti semua perintah atasannya ini.
Sepertinya dia harus mulai terbiasa dengan sikap Rey, jika masih mau bekerja disini pikirnya.
Pria bertubuh pucat itu pergi mengambil kotak obat di dalam lemari setelah Suci duduk, dan kembali menjatuhkan dirinya di samping Suci.
"Ulurkan tanganmu." Suci memberikan tangan kanannya yang terluka di bagian jari telunjuk.
Rey dengan lembut mulai mengolesi obat merah pada luka goresan itu, dan membungkusnya dengan perban.
Ah, kenapa pria ini harus perhatian begini? Sudah lama aku tidak pernah diperhatikan oleh seorang pria, gumam Suci.
Wajah serius Rey mengalihkan perhatian Suci. Berada sedekat ini saja bisa membuat jantung Suci bertalu-talu tidak karuan. Dia khawatir Rey bisa mendengar detak jantungnya saat ini.
"Kamu sudah puas memandangiku?" Rey mendongak, menatap manik mata coklat tua Suci.
Tatapan mata mereka sempat bertemu selama beberapa detik, sebelum Suci mengalihkan pandangannya dari Rey.
Wanita itu tidak sanggup jika harus berlama-lama saling menatap seperti itu, apalagi dalam jarak yang sangat dekat dengan atasannya.
Rey tersenyum tipis melihat wajah Suci yang tampak memerah, hingga menjalar ke bagian telinganya.
"Pergilah temui Michael, kamu bisa menanyakan padanya apa pekerjaanmu disini!"
Suci tersadar dan refleks bangkit dari atas kursi sofa tamu ruangan Rey. "Ba-baik, Pak," jawabnya gugup.
Wanita berambut panjang itu melangkah cepat menuju pintu keluar ruangan atasannya. Jantungnya bisa-bisa meledak jika dia masih berdiam diri di dalam sana, pikir Suci.
"Tunggu." Rey menahan langkah kaki Suci.
Pria bertubuh tinggi itu ikut berdiri menatap Suci yang berbalik menghadapnya.
"I-iya, Pak?" Wanita itu masih gugup, tidak mau menatap Rey.
"Barang-barangmu jangan dibiarkan begitu saja, letakkan kardus itu di atas lemari!" perintah Rey dengan tangan berada di saku celana panjang hitamnya.
"Baik, Pak." Suci dengan sigap mengangkat kardus berisi barangnya dan meletakkannya di atas lemari.
Dia berusaha berhati-hati , tidak ingin teledor lagi seperti tadi. Rey masih memperhatikannya saat ini dari jauh.
"Aku permisi, Pak…," pamit Suci keluar dari ruangan atasannya.
Di balik pintu yang tertutup, Suci mengusap dadanya yang semakin gila berdetak di dalam sana. Entah kenapa di perhatikan seperti itu oleh pria setampan Rey, bisa membuat hatinya tidak tenang.
Baru beberapa jam mereka bersama, Suci sudah tidak bisa bernafas dengan baik. Entah apa jadinya jika setiap hari dia harus bertemu dan berdekatan seperti tadi dengan Rey.
"Tenang saja Suci, jangan bertindak bodoh apalagi memalukan di depannya!" Suci berusaha menguatkan dirinya sendiri, sambil terus berusaha menetralisir detak jantungnya.
Suci melangkah mendekati pintu ruangan sekretaris atasannya yang tepat bersebelahan dengan ruangan Rey."Permisi, Pak." ujarnya mendorong pintu, menyembulkan kepala. "Aku diminta, Pak Rey kesini untuk menanyakan apa pekerjaanku."Seorang pria yang tadi pagi menyapanya di lift dengan sangat ramah, mendongak menatap Suci yang berjalan masuk ke ruangannya."Jadi kamu yang akan bekerja disini?" tanya Michael bangkit berdiri dari kursi."Iya, Pak. Aku diminta kepala divisi keuangan kesini.""Baik. Silahkan duduk…," ujar Michael hangat.Suci mengangguk dan duduk berhadapan dengan pria yang tidak kalah tampannya dengan bos besar mereka di kantor.Pandangan mata Michael tidak sengaja melihat perban luka di tangan kanan Suci. "Jarimu kenapa?""Oh, tidak apa-apa, Pak. Aku hanya tergores sedikit tadi."
Wanita itu sontak menatap ke depan dan tidak mendapati atasannya bersama sosok asing yang menghalangi mobil mereka tadi. Kemana mereka? Bukannya tadi Rey baru saja berada di sana?"Lalu apa yang kamu katakan tadi … kamu bilang kamu tidak mengenaliku?" sambung Fourd lagi. "Apa perlu aku mengingatkan kamu bagaimana pertemuan kita sebelumnya?"Suci beralih menatap Fourd, bingung dengan maksud ucapan pria itu padanya."Turunlah, biar aku menunjukkannya padamu…," bujuk Fourd."Terima kasih Tuan, tapi aku akan tetap menunggu Pak Rey disini!" sahut Suci bersikukuh."Rey mungkin akan lama. Kamu bisa pulang semakin larut karenanya. Lagipula aku ini kakak atasanmu, dia pasti akan merasa lebih aman kalau kamu pulang bersamaku.""Tapi aku—""Kamu bicara dengan siapa Suci?" sela Rey baru masuk ke dalam mobilnya.
Tepat pukul tujuh pagi, Suci tiba di depan pintu apartemen bosnya. Menekan tombol bel cukup lama, pria berkulit tubuh pucat itu akhirnya membukakan pintu untuknya.Rey hanya memakai celana boxer berwarna nude dengan tubuh bagian atas yang polos. Pemandangan itu berhasil mengalihkan perhatian Suci yang kaget melihat perut kotak-kotaknya."Lain kali kamu tidak perlu menekan bel lagi! Password apartemenku adalah ulang tahunmu!" Rey berjalan masuk meninggalkan Suci di depan pintu."A-apa, Pak? Ulang tahunku?" tanya Suci memastikan."Iya. Jangan menggangguku, aku mau tidur sebentar." Rey masuk ke dalam kamar dan membanting pintu cukup kuat.Kenapa lagi dengan pria itu? Suci mengernyit, melangkah masuk ke dalam apartemen mewah bosnya.Apa benar Pak Rey memakai tanggal ulang tahunku untuk password apartemennya? Suci bergumam sendiri, memperhatikan ruangan di depanny
"Bangun Suci…." Suara bariton terdengar di telinga wanita berwajah mulus tanpa noda itu.Manik mata cokelat tuanya terbuka perlahan, dan tertegun menatap wajah tampan di depannya."Ayo bangun, kita sudah sampai…," ujar suara itu lagi.Seakan tersadar, Suci melompat bangun dari tidurnya dan menyadari kalau dia tengah berada di dalam sebuah mobil."Aku di mana?"Rey berdecak menatap Suci tajam. "Tentu saja ada di bumi, kamu pikir kamu ada di bulan sekarang!"Suci menatap ke sekelilingnya, mendapati mobil yang sedang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah gedung mewah yang terlihat seperti hotel."Ayo turun!" ajak Rey lagi.Pria berkulit pucat itu keluar lebih dulu meninggalkan Suci yang masih kebingungan di kursi mobil.Wanita itu bergegas turun saat menyadari Rey s
"Kita akan menginap disini, Pak?" Rey mengangguk dan menjatuhkan dirinya ke sofa kamar hotel."Apa aku boleh pulang saja, Pak?" tanya Suci lagi."Kenapa memangnya? Apa kamar yang aku pesan ini tidak cukup bagus untukmu?"Suci mengangkat dua tangan ke atas dada dan mengayunkannya dengan cepat. "Bukan, bukan begitu, Pak. Aku hanya—""Tidurlah disini, kita akan pulang besok pagi!" potong Rey bangkit dari sofa."Tapi, Pak. Aku tidur di mana nanti?""Kamu bisa tidur di sofa kalau kamu mau," sahut Rey santai.Suci melongo, tidak menyangka atasannya akan berkata begitu padanya. Bagaimana mungkin pria berambut putih itu menyuruhnya tidur di sofa? Apa dia tidak bisa memesankan satu kamar lagi untuknya?Kesal, Suci menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. Dia ingin sekali protes, tapi Rey sudah lebi
"Dari mana saja kamu, hah?!" sentak Rey saat Suci baru saja masuk ke dalam kamar mereka."Kamu mengagetkan aku, Pak." sahut Suci mengusap dada."Aku tanya kamu dari mana?!" tanya Rey lagi."Aku dari bawah, Pak. Mencari makanan untuk kita, tapi aku tidak sempat memesan makanan karena bertemu dengan Tuan Heinze di sana," terang Suci berdiri di depan atasannya."Apa? Kenapa kamu berkeliaran sendirian di sini? Apa aku menyuruhmu ke bawah, hah?!"Rey kembali memarahinya untuk hal yang tidak penting menurut Suci. Apa pria ini memang hobi marah-marah pada orang lain sejak dulu?Dia masih kesal dengan perlakuan tuan Heinze padanya dan kini Rey malah menambah rasa kesalnya? Suci ingin sekali melempar sepatunya ke wajah Rey sekarang."Kenapa kamu diam?!" Rey masih membentak Suci."Lalu aku harus menjawab apa? Aku la
"Kamu mau ke mana Suci?" tanya Susi melihat anaknya sudah tampak cantik dan menawan."Aku akan menemani bosku ke sebuah pesta, Mom."Susi mengernyit. "Kamu mau pergi lagi dengan bosmu malam ini?" Suci mengangguk."Apa kalian sudah dekat sekarang, hm?" goda wanita paruh baya itu."Maksud Mommy apa? Kami hanya sebatas atasan dan bawahan, Mom … jangan berpikir yang tidak-tidak!" elak Susi dengan wajah yang memerah."Mommy hanya bertanya Suci, kamu yang terlalu berburuk sangka dengan mommy.""Terserah Mommy saja, aku pergi dulu. Dia sudah menungguku di luar.""Ya, buat dia terus terpesona denganmu…!" sahut Susi setengah berteriak sebelum pintu depan rumah mereka tertutup.Suci melangkah cepat masuk ke dalam mobil bosnya dengan perasaan bahagia. Entah karena ucapan ibunya, atau karena tahu d
"Ini laporan yang Pak Rey minta." Suci menyodorkan sebuah dokumen ke tangan atasannya."Kamu sudah memeriksanya dengan teliti?"Suci mengangguk. "Sudah, Pak.""Bagus, kalau begitu pesankan aku makan siang." Rey menaruh dokumen di tangannya begitu saja ke atas meja."Bapak tidak ingin memeriksanya lagi?" kaget Suci."Tidak perlu, aku yakin kamu pasti mampu menyelesaikan laporan itu dengan baik."Suci hanya bisa mengangguk, mengikuti apa yang dikatakan pria berkulit pucat itu. Dia kembali duduk di depan meja kerjanya dan menghubungi seseorang untuk memesan makanan untuk Rey."Bapak, ingin makan apa?" tanya Suci lupa bertanya tadi."Darah….""Apa?""Maksud aku daging … steak," sahut Rey merutuki mulutnya sendiri.Hampir saja di