“Berbohong agar bisa bermalam di apartemen kekasihmu? Hebat sekali kau, Ella ….”
Aku duduk dengan kepala tertunduk, wajah pucat seperti seorang bocah yang baru saja ketahuan melakukan kesalahan fatal.
Dalam hati, aku sempat membatin, rasanya baru kemarin berada di posisi ini setelah memergoki Dominic dengan wanita pirang itu. Tapi sekarang, aku sudah kembali berada di posisi yang sama.
Tadi, setelah Dominic melontarkan ancaman padaku dan Lily, dengan pasrah kami menyatakan semua kebenarannya. Alhasil, usai pengakuan kami selesai, Dominic marah besar dan meminta Lily pulang.
Aku sempat memohon padanya untuk tidak mengirim Lily pulang lantaran baru sesaat sahabatku itu menghabiskan waktu denganku, tapi ….
“Ini hukuman untuk kalian agar belajar untuk tidak berbohong dan berbuat hal konyol,” tegasnya dengan pancaran dingin yang langsung membuat Lily dan aku ciut.
Hanya saja, tidak kuduga, saat mengantar Lily ke depan gerbang, sementara Dominic tetap duduk di sofa ruang tamu, sahabatku itu malah mengutarakan hal gila.
“Dengar, El. Aku tahu kau akan segera ditegur habis-habisan oleh Kak Dom setelah ini, tapi … ada hal penting yang perlu kukatakan sekarang.” Pancaran mata Lily sangat serius seiring dia berkata, “Dibandingkan bertahan dengan pria seperti Max yang tidak jelas ingin membawa hubungan kalian ke mana, kenapa kau tidak kejar Kak Dom lagi?”
Mendengar omongannya, aku sempat terperangah dan berniat langsung meninggalkannya. Akan tetapi, Lily bersikeras. Wajahnya mengenakan ekspresi paling serius yang baru pernah kulihat.
“Kau memang pernah bilang bahwa Kak Dom terus menolakmu dan mengatakan hanya bisa menganggapmu sebagai adik kecil, tapi—” Lily mencengkeram pundakku erat, melirik Dominic yang telah berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat selagi menatap kami dengan pandangan curiga, “—sikapnya saat ini membuatku yakin bahwa dia tidak hanya menganggapmu demikian.” Lalu, sebuah senyuman nakal terlukis di bibirnya. “Dan lagi, aku yakin dia juga berpengalaman tentang seks dan bisa membantumu untuk—”
“Lily!”
“Oke, oke!” Lily mengangkat tangan. “Aku hanya menyarankan saja. Pada akhirnya, semua keputusan di tanganmu,” ucap Lily sebelum akhirnya dia pergi dengan sopirnya untuk pulang.
Sekarang, duduk berhadapan dengan Dominic, ucapan Lily membuatku memerhatikan pria tersebut lebih dari biasanya. Tubuhnya yang tinggi dan kekar, garis otot di balik kaos tipisnya, rahangnya yang tegas, bibirnya yang menggoda, dan tatapan matanya yang menusuk membuat darahku berdesir aneh.
Setiap gerakan Dominic memancarkan pesona yang menjerat, menggoda sisi paling liar dalam diriku yang ingin tahu bagaimana rasanya dicumbu olehnya—
‘Ya ampun, Ella! Apa yang kau pikirkan!?’ pekikku dalam hati seraya memaki Lily.
Aku masih ada Max, aku harus setia!
Melihatku menunduk, Dominic memicingkan mata. “Jadi, kau tahu kesalahanmu?”
Sekejap, lamunanku langsung buyar dan aku mengangguk pelan. “Aku… berbohong pada Kak Dom dan Kak Lucien. Dan aku juga menyeret Lily untuk menutupi kebohonganku.”
Dominic memicingkan mata, wajahnya tetap dingin. “Hanya itu?”
Aku menelan ludah. “Dan … tidak seharusnya aku berencana menginap di apartemen Max.”
Dominic terdiam cukup lama selagi menatapku lurus. Hal itu membuat jantungku berdebar, sedikit takut karena tidak pernah sebelumnya pria itu semarah ini.
Selama tiga tahun aku tinggal di sini, Dominic hampir tidak pernah mengomeliku, Lucienlah yang biasanya cerewet soal banyak hal.
Ah, kalau diingat-ingat, memang ada satu kali kejadian di mana Dominic marah besar, tapi bukan padaku, melainkan pada Lucien. Hari itu, kelab mereka mengadakan sebuah acara, tapi Lucien meninggalkan sebuah barang dan memintaku mengantarnya. Namun, saat aku tiba di sana dan bertemu Dominic tanpa sengaja, pria itu berakhir menegur Lucien habis-habisan karena membiarkanku menginjakkan kaki ke tempat seperti itu.
Dan kini, menggunakan sorot mata yang sama—bahkan lebih dingin, Dominic menatapku penuh amarah. Seakan dia ingin menelanku hidup-hidup.
“Kau harus bersyukur Max tidak menyentuhmu lebih jauh dan mencampakkanmu di hari berikutnya,” ucap Dominic datar, membuatku mendongak dan menatap dirinya lurus, terperangah. “Apa kau begitu penasaran sampai tidak sadar bahwa kau bisa dibuang setelah digunakan?”
Aku meremas pakaianku. Walau aku tahu dia benar, tapi kalimatnya terasa begitu menusuk di hati.
Sekitar lima belas menit, Dominic menceramahiku mengenai banyak hal, dan aku hanya bisa diam menerimanya. Tapi, saat kukira selesai sudah kemarahannya, Dominic mengutarakan hal yang membuatku terperangah.
“Mulai hari ini, kau tidak boleh pulang di atas jam delapan malam.”
“Apa?” ulangku, menatapnya yang kini berdiri dari sofa.
Dominic menatapku. “Kau mendengarku.”
Refleks aku berdiri penuh emosi. Tidak terima. “Kak Dom, aku sudah dua puluh tiga tahun! Sudah dewasa! Bagaimana bisa kau masih menetapkan jam malam untukku?!” protesku.
Kalau sampai teman-teman kantorku tahu, bukankah ini memalukan? Sulit bagiku diterima layaknya seorang dewasa di kantor karena usiaku yang jauh lebih muda. Tapi sekarang, dengan aturan ini, aku bahkan tidak dapat ikut serta ketika mereka berkumpul setelah jam kerja. Bukankah hal itu sama saja membuat mereka kembali memandangku sebagai anak kecil?
Dominic tetap tak bergeming. Tatapannya dingin ketika dia menjawab, “Dewasa? Kalau kau memang dewasa, kau tidak akan berbohong. Kau tidak akan menyeret sahabatmu untuk menutupi kebodohanmu, dan kau tidak akan pulang larut malam dengan wajah setengah mabuk karena diusir pria yang seharusnya menjagamu.”
“Aku bukan anak kecil lagi, Dominic! Aku tahu apa yang aku lakukan!” seruku, tapi dia hanya mendengus.
“Perintahku jelas, Ariella. Jangan melawan. Atau kau lebih ingin Lucien mendengar ini?”
Entah apa alasannya, tapi sikapnya yang terlewat dingin dan protektif membuat amarahku menggebu. Dia bahkan bukan ayahku, kakakku, maupun pacarku! Jadi, apa haknya mengaturku!?
“Berhenti mengancamku dengan Lucien! Kau hanya teman baiknya, tapi bukan siapa-siapa bagiku, jadi berhenti terus mengatur kehidupanku!”
BRAK!Suara pintu rumah yang terbanting keras bergema ketika Dominic mendorongku masuk.Dengan bibirnya yang masih melumat bibirku, tubuhku terjepit di antara pintu dan dadanya yang panas.“Mmphh….”Aku melenguh, tanganku melingkar di lehernya, berusaha menahan diri agar tidak terjatuh selagi dia terus mendorong tubuhku ke dalam ruangan.“Aah…” desahanku pecah di sela ciuman kala punggungku menghantam sofa ruang tamu. Dominic menekanku ke sana selagi ciumannya turun ke leher, menggigit pelan kulitku hingga aku menggeliat.“T-tidak di sini…” lirihku, panik bercampur dengan gairah yang tak terbendung. “Kalau Lucien pulang … dia bisa—”Tak sempat kuselesaikan kalimatku, Dominic sudah meraih kedua pahaku, membuat kedua kakiku melingkari tubuhnya kala dia menggendongku ke dalam kamar dengan mudah, seakan aku tidak berbobot sama sekali.“Dom…!” Aku memekik kecil, memeluk lehernya erat saat kurasakan keseimbanganku goyah. Tapi, dia hanya berkata, “Aku tidak akan menjatuhkanmu.”Dengan tubuh
“Lepaskan aku!” seruku, berusaha menarik lenganku dari genggaman Dominic yang terus menyeretku keluar dari kelab. Namun, sia-sia. Cengkeramannya bagaikan borgol baja.Langkah Dominic begitu lebar, sampai aku harus berlari kecil untuk mengimbanginya agar tidak terjatuh. Hal itu, ditambah dengan seruanku, membuat orang-orang yang tadinya sibuk berpesta kini menoleh memperhatikan.Bisik-bisik mulai terdengar.“Itu Dominic Black….”“Bukankah dia salah satu pemilik Nocturne, kelab malam besar di tengah kota itu? Kenapa dia menyeret seorang gadis keluar seperti itu?”Panas menjalari wajahku. Malu bercampur kesal karena sekarang diriku menjadi tontonan semua pengunjung kelab. Dari awal, sudah kuduga akan begini jadinya kalau ada di antara Dominic dan Lucien yang menemukanku. Lagi pula, keduanya sudah berkecimpung di bisnis malam ibu kota semenjak beberapa tahun dan menjadikan Nocturne—kelab mereka, salah satu kelab ternama tengah kota. Oleh karena itu, sengaja aku memilih untuk datang ke ke
Duniaku seakan berhenti berputar saat mendengar kalimat Amelia. Bertunangan minggu lalu?Setelah menjalin hubungan denganku selama dua tahun, pria itu ternyata bertunangan dengan wanita lain minggu lalu!?Aku menatap Max. Diriku ingin menjerit, melempar semua dokumen yang berhamburan di lantai, dan menghajarnya habis-habisan. Namun kenyataannya … aku hanya berdiri terpaku.Max berusaha meraihku, wajahnya panik. “Ella, dengar aku—”“Jangan sentuh aku!” bentakku, suaraku pecah di udara.Amelia mengerjap, jelas tidak mengerti. Dia hanya berdiri di sana dengan cincin yang berkilau di jarinya, seolah menertawakan kebodohanku selama dua tahun terakhir.Ada dorongan kuat dalam hatiku untuk melampiaskan semuanya pada Amelia, untuk berteriak bahwa aku adalah pihak yang paling dikhianati di sini. Namun, melihat sorot matanya yang polos, wajah mudanya yang masih diliputi kebingungan, aku tahu dia juga tidak bersalah. Sama sepertiku, dia hanyalah korban dari seorang pria yang tidak bertanggung j
Ucapanku memantul di udara, menghantam dinginnya ruangan. Dominic terdiam sesaat, rahangnya mengeras, sorot matanya berubah sekilas. Antara marah dan… terluka?“A-aku … bukan maksudku—” Aku sendiri tercekat dengan kata-kataku, tapi gengsi membuatku tak menariknya kembali.Di sisi lain, ekspresi Dominic menjadi semakin dingin. Aku tidak pernah melihatnya menatapku dengan air muka yang begitu gelap.Lalu, pria itu berujar, “Aku memang bukan siapa-siapa bagimu, tapi … di rumah ini, kalimatku dan Lucien adalah aturan. Jadi, kalau ingin tetap di sini, sebaiknya kau ikuti aturanku. Kalau tidak,” tatapannya menajam, membuat tubuhku menggigil, “maka kau akan kupulangkan ke Greenwood.”**Dua minggu berlalu dalam sekejap mata setelah pertengkaranku dengan Dominic. Selama dua minggu ini, aku berakhir benar-benar menuruti perintahnya, pulang sebelum jam delapan malam. Dan yang mengejutkan, dia selalu ada di rumah, seakan menunggu kepulanganku, baru kemudian berangkat bekerja.Namun, bukannya me
“Berbohong agar bisa bermalam di apartemen kekasihmu? Hebat sekali kau, Ella ….”Aku duduk dengan kepala tertunduk, wajah pucat seperti seorang bocah yang baru saja ketahuan melakukan kesalahan fatal.Dalam hati, aku sempat membatin, rasanya baru kemarin berada di posisi ini setelah memergoki Dominic dengan wanita pirang itu. Tapi sekarang, aku sudah kembali berada di posisi yang sama.Tadi, setelah Dominic melontarkan ancaman padaku dan Lily, dengan pasrah kami menyatakan semua kebenarannya. Alhasil, usai pengakuan kami selesai, Dominic marah besar dan meminta Lily pulang.Aku sempat memohon padanya untuk tidak mengirim Lily pulang lantaran baru sesaat sahabatku itu menghabiskan waktu denganku, tapi ….“Ini hukuman untuk kalian agar belajar untuk tidak berbohong dan berbuat hal konyol,” tegasnya dengan pancaran dingin yang langsung membuat Lily dan aku ciut.Hanya saja, tidak kuduga, saat mengantar Lily ke depan gerbang, sementara Dominic tetap duduk di sofa ruang tamu, sahabatku itu
“Aahh!”Dengan panik aku menjerit, menyambar handuk yang tergantung di dekatku dan menutup tubuh seadanya. Wajahku memanas, jantungku seperti mau copot.Dominic tidak segera pergi. Sorot matanya yang gelap menatapku. Rahangnya mengeras, jelas dia juga tidak menyangka akan melihatku seperti ini.Sepersekian detik yang terasa seperti selamanya berlalu, sampai akhirnya ia menarik napas kasar. “Kunci pintu lain kali,” katanya datar, suaranya berat namun tegas.Lalu pintu tertutup dengan suara keras, meninggalkanku berdiri terpaku dengan tubuh gemetar.Aku menatap pantulan diriku di kaca. Wajahku merah, mataku lebar, napasku masih kacau.Tak elak, aku membatin, ‘Bukannya dia pergi?! Kenapa bisa tiba-tiba muncul seperti tadi?!’Selesai mengenakan pakaianku lagi, aku memberanikan diri keluar dari kamar mandi.Di ruang tamu, Dominic duduk di sofa, satu lengan bertumpu pada sandaran, posturnya santai tapi sorot matanya langsung terarah padaku saat aku muncul.“Kau sudah selesai?” tanyanya sing