LOGINJantungku berdetak begitu keras hingga terasa sakit di dada.
Apa aku tidak salah dengar ucapan Dominic?
Apa sahabat kakakku yang selalu menjaga sikap di hadapanku ini … baru saja mengatakan hal yang begitu vulgar padaku!?
Sebelum sempat aku berpikir, Dominic tiba-tiba mencengkeram pinggangku.
“Ahh!”
Aku tersentak, dan tak sengaja mendesah hebat saat merasakan sentuhannya pada tubuhku. Hal itu membuatku malu, dan langsung menutup mulutku. Mataku memancarkan ketakutan.
“Lihat dirimu…” suaranya rendah, nyaris seperti bisikan di telingaku. “Aku baru menyentuhmu sedikit, tapi kau sudah mengeluarkan suara seperti itu. Bagaimana kau masih berpikir bisa melindungi dirimu sendiri dari seorang pria kalau seperti ini?”
“M-Max bukan pria seperti it— hnnggh!”
Baru berniat membantah, tapi tiba-tiba lutut Dominic menekan di antara pangkal pahaku, membuat punggungku sedikit terangkat akibat segala hal yang tidak seharusnya kurasakan.
Aku tidak tahu apakah dia sengaja atau tidak, tapi … yang jelas tindakannya sudah berhasil membuatku kehilangan kendali atas tubuhku sendiri!
“Masih membelanya …” Dominic terdengar mendengus dingin—marah. “Kau kira kau begitu mengerti pikiran pria, Ella?” geramnya, sebelum kemudian samar kudengar dirinya bergumam, “Kau … bahkan tidak tahu hal-hal macam apa yang ingin kulakukan padamu saat ini ….”
Mendengar itu, aku tersentak. Kesadaranku dipaksa kembali.
Kualihkan pandanganku untuk menatapnya.
Dan di saat itu, aku mematung.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku baru pernah melihat Dominic menatapku dengan ekspresi seperti ini.
Sorot matanya yang biasa tidak terbaca malah menatapku tajam, terlihat liar dan diselimuti nafsu. Rahangnya mengeras, napasnya terdengar berat dan tersengal, seakan menahan diri dari melahapku hidup-hidup.
Hal itu membuatku menelan ludah, tubuhku bergetar, dan darahku berdesir, seolah mengerti … dan tanpa sadar menantikan apa yang akan pria itu lakukan padaku kalau dia benar-benar lepas kendali.
Tanpa sadar, bibirku pun terbuka. “K-Kak Dom ….”
DEG!
Di saat itu, aku seakan bisa mendengar satu detakan jantung keras dari sisi Dominic.
Kulihat tubuhnya menegang dan ekspresinya terkejut, seolah baru tersadar dari sebuah mimpi.
Dan yang paling kentara, adalah bagaimana pancaran matanya yang tadi begitu liar perlahan berubah diselimuti kengerian.
Dengan cepat Dominic segera menarik diri dariku. Tangannya yang tadi mencengkeram pinggangku terlepas begitu saja.
Kulihat dirinya menatapku dengan takut, sebelum kemudian matanya terpejam sejenak, kepalanya menunduk, lalu tangannya beralih mengusap wajahnya kasar. Sebuah gerakan yang tampak seperti menggantikan tamparan yang ingin dia layangkan kepada dirinya sendiri.
Lalu, saat dia membuka matanya lagi, sorot mata Dominic sudah berubah. Dingin dan tidak terbaca.
“Aku harap tindakanku kali ini membuatmu mengerti … betapa tidak berdayanya dirimu di hadapan seorang pria,” ucapnya, berusaha terdengar tenang selagi berbalik dan mulai melangkah ke arah kamarnya. “Jadi, berhenti berbuat onar dan turuti aturan yang baru saja kutetapkan. Kalau tidak…” langkah Dominic terhenti sesaat seiring dia menoleh dari balik pundaknya dan menegaskan dengan wajah menggelap, “...aku akan langsung memulangkanmu ke Greenwood, Ariella.”
**
Dua minggu berlalu dalam sekejap mata setelah pertengkaran besarku dengan Dominic. Selama dua minggu ini, aku berakhir benar-benar menuruti perintahnya, pulang sebelum jam delapan malam.
Aku sungguh tidak ingin terlibat masalah lagi, apalagi karena pria itu sudah mengancam untuk mengirimku kembali ke kota asal.
Hanya saja, selama jam malam ini berlaku, ada satu hal lagi yang mengejutkan, yakni Dominic selalu ada di rumah ketika aku pulang. Pria itu seakan menungguku, memastikan aku tidak lagi melanggar aturannya, sebelum kemudian berangkat bekerja.
Namun, setelah apa yang terjadi di saat-saat terakhir dia menegurku, Dominic tidak lagi bersikap seperti biasa. Dia menjaga jarak dan tidak ingin berinteraksi denganku!
Saat kucoba berbicara dengannya di waktu makan malam, dia meletakkan sendoknya lalu bangkit, meninggalkan meja tanpa sepatah kata.
Ketika kami berpapasan di ruang tamu, dia akan pura-pura sibuk dengan ponselnya, lalu berjalan melewatiku tanpa suara.
Bahkan ketika aku menyapanya singkat, Dominic akan mengabaikanku seakan aku tidak ada, seolah kehadiranku di rumah ini hanya membuatnya muak!
Hal itu membuatku mengepalkan tangan kesal. Bukankah seharusnya aku yang merasa marah setelah dia melecehkanku!? Kenapa jadi dia yang bersikap seperti itu!?
“Haah ….” Helaan napas frustrasi dan putus asa terlontar dari bibirku.
Sungguh, rasanya menyebalkan. Tapi … entah kenapa aku juga bersyukur dia melakukan itu. Karena … setelah apa yang dia lakukan padaku, aku malah tidak bisa berhenti memikirkannya.
Napas panasnya, suara rendahnya, dan … sentuhan hangatnya.
Sadar dengan apa yang berputar di benakku, aku mencubit diriku sendiri.
‘Ya ampun, Ariella Quinn! Apa kau begitu haus sentuhan sampai begitu lupa diri dan tergiur sentuhan sahabat baik kakakmu sendiri!?’ Aku menegur diriku sendiri, ingin sekali menampar diri ini kalau bukan karena teringat aku sedang berada di kantor.
Di saat itu, sebuah suara memanggilku, “Ella?”
Waduh ... Ella ... kamu masuknya microcheating gak sih?
Mendengar pernyataan Max, selama sesaat otakku seakan berhenti bekerja. Sebelum kemudian, ekspresiku berubah keruh selagi dua tanganku menepis tangannya kuat.“Lepaskan aku!” ucapku dengan suara tertahan, berusaha menahan emosi agar tidak menarik perhatian orang lain. “Kita sedang di kantor, kegilaan apa yang kau pikir sedang kau laku—”Namun, mata Max memancarkan amarah seiring dirinya kembali menekan pundakku ke pintu.“Jawab dulu!” bentaknya. “Siapa dia? Siapa laki-laki itu?!”Meringis karena tekanan yang dia berikan, aku pun menggertakkan gigi selagi membalas, “Bukan urusanmu.”“Jadi benar?! Kau sungguh sudah memiliki kekasih lain?!” tukasnya, terdengar sangat tidak terima. “Apa itu pria yang terakhir mengganggu percakapan kita?!”“Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa, Max,” jawabku tajam. “Jadi, pun aku memiliki hubungan dengan orang lain, itu adalah urusanku dan bukan lagi urusanmu!” Kutepis lagi dua tangannya selagi menambahkan, “Sadar dirilah bahwa kau memiliki seorang tunang
“Waw, Ella! Kau sudah menyelesaikan rancangan presentasi untuk proyek Escaban Digital?!”Suara Jeff menggema dari seberang bilik, membuatku mendongak dari layar laptop.“Kau sedang bersemangat sekali ya?!” katanya dengan wajah tak percaya, membuatku hanya bisa tersenyum tak berdaya sebagai balasan.Melihat ini, Jeff menggeleng-gelengkan kepala selagi menghela napas tak berdaya.“Haah … aku jadi merasa sia-sia sudah mengkhawatirkan kesehatanmu sejak sebelum libur.”Ucapan Jeff membuatku mengerjap bingung. “Hah? Maksudmu?”Jeff pun menaikkan alis kanannya. “Terakhir kau izin setengah hari karena tidak enak badan, ingat?” katanya, tampak sedikit bingung karena aku tidak mengerti maksudnya.Sontak aku mengerjap, sungguh lupa dengan kebohongan di hari itu. “O-ohh!! Ya, ya! Ha ha ha,” balasku selagi menggaruk kepala yang tidak gatal. “Jangan khawatir, aku sudah lebih baik sekarang.”Mendengar itu, Jeff menghela napas lega. “Ya, baguslah kalau memang begitu. Jadi, kau tidak perlu takut terke
Mencerna omongan Lucien, aku terdiam dan berpikir keras. Kalau mengingat kejadian tadi, tepat ketika Helena melukaiku dan Dominic berusaha menarikku ke dalam pelukannya, aku memang merasakan tubuhnya bergetar hebat saat menyadari adanya luka di wajahku. Tapi, itu hanya sesaat, karena setelahnya Dominic lepas kendali dan bersikap kasar pada Helena, melawan prinsipnya yang tidak pernah menyakiti wanita.Apa … aku begitu penting baginya sampai dia melakukan semua itu?‘Aku menginginkanmu, Ariella … sangat menginginkanmu ….’Mengingat kalimat Dominic tadi, jantungku berdebar kencang. Perasaan hangat spontan menyelimutiku, dan tak sadar sudut bibirku pun terangkat.Karena aku terdiam tanpa memberikan tanggapan berarti, Lucien melirikku cepat ketika lampu lalu lintas berubah merah. Ekspresinya pun berubah melihat senyuman di bibirku, seakan aku aneh dan kehilangan kewarasan. Lalu—PLAK!“Ah!” seruku merasakan tamparan ringan pada belakang kepalaku. Aku langsung menoleh pada Lucien. “Apa yan
Saat pertanyaan itu melambung, aku langsung mematung. “H-hah?”Pandangan Lucien masih mengarah ke bibirku. “Ini, Ella. Bibirmu bengkak juga! Apa tadi—”“Kak Lu!” seruku seraya menurunkan tangan Lucien dari wajahku. “Tenangkan sedikit dirimu!”Dibentak seperti itu, Lucien agak terkejut. “H-hah? Oh … ya,” balasnya, ling-lung. Tapi beberapa detik kemudian, rasa penasarannya kembali menyala. “Hei! Tapi tidak, aku serius! Bibirmu itu bengkak! Apa jangan-jangan kau makan nanas dan kena alergi? Kalau ya, cepat makan obatmu!” celotehnya dengan lantang, membuatku merona merah lantaran ada begitu banyak tamu berlalu-lalang yang berakhir memerhatikan perdebatan konyol kami.Cepat kutarik tangan Lucien agar dia membungkuk dan mendengar bisikanku. “Berhenti berteriak dan kecilkan suaramu! Atau paling tidak, kalau kau masih waras dan ingin menjaga reputasi adikmu, ayo kita pulang dulu baru bicarakan hal ini, bisa!?” desisku sembari mencengkeram tangannya dengan gemas.Ucapanku refleks membuat Lucie
Walau kesal karena mendapatkan info tersebut, aku berusaha bersikap tenang agar Maya tidak curiga. “Oke,” ucapku sembari memaksakan senyuman, “aku akan segera turun. Tolong minta Kak Lucien tunggu sebentar.”Maya mengangguk pelan. Setelah itu, ia pamit dan melangkah pergi menjauh dari ruangan Dominic dan turun ke lantai bawah.Usai kepergian Maya, aku pun menutup pintu, dan keheningan langsung kembali mengisi udara. Menarik napas saat menatap pintu itu beberapa detik, aku perlahan berbalik pada Dominic.Dengan ekspresi menyayangkan, aku pun berkata, “Sepertinya, percakapan kita harus ditunda.”Dominic terdiam sesaat, meraih tanganku dan mengikatkan jarinya di sana. “Kau bisa tinggal,” ucap pria itu tiba-tiba. Dia mencium punggung tanganku dan melanjutkan, “Aku bisa memintanya untuk pulang.”Jantungku berdebar keras satu kali saat mendengarnya mengatakan itu. Tidak menyangka seorang Dominic, yang lebih sering menyuruhku pulang, akan memintaku untuk tetap tinggal.Namun, terlepas betapa
Dominic menautkan alis, tampak bingung dengan pernyataanku. “Apa maksudmu?” tanyanya pelan. “Bukankah tadi pagi kau yang berkata ingin melupakan semuanya?”Pertanyaan itu membuat dadaku seketika menegang. Aku menggigit bibir, mencoba menahan debar yang tiba-tiba datang.“Itu tadi… sebelum aku berpikir jernih,” ucapku pelan, membuat kerutan di dahinya semakin dalam. “Sekarang, setelah kupikirkan baik-baik, aku merasa… itu tidak adil.”“Tidak adil?” ulang Dominic, nada suaranya datar tapi tajam.Aku mengangguk, menatapnya dengan keberanian yang hampir goyah. “Tadi pagi aku bilang ingin kita melupakannya. Tapi sebenarnya… itu hanya karena aku tidak ingin Kak Lucien tahu.”Aku menelan ludah, menatap Dominic lurus. “Kalau dia tahu, bukan cuma aku yang akan kena akibatnya, tapi juga Kak Dom… Nocturne… dan semua orang di dalamnya.”Cepat aku menunduk, jemariku meremas erat pakaianku selagi otakku berusaha merangkai kata berikutnya dengan hati-hati.“Tapi, di sisi lain… aku tidak bisa berpura-







