Ucapanku memantul di udara, menghantam dinginnya ruangan.
Dominic terdiam sesaat, rahangnya mengeras, sorot matanya berubah sekilas. Antara marah dan… terluka?
“A-aku … bukan maksudku—” Aku sendiri tercekat dengan kata-kataku, tapi gengsi membuatku tak menariknya kembali.
Di sisi lain, ekspresi Dominic menjadi semakin dingin. Aku tidak pernah melihatnya menatapku dengan air muka yang begitu gelap.
Lalu, pria itu berujar, “Aku memang bukan siapa-siapa bagimu, tapi … di rumah ini, kalimatku dan Lucien adalah aturan. Jadi, kalau ingin tetap di sini, sebaiknya kau ikuti aturanku. Kalau tidak,” tatapannya menajam, membuat tubuhku menggigil, “maka kau akan kupulangkan ke Greenwood.”
**
Dua minggu berlalu dalam sekejap mata setelah pertengkaranku dengan Dominic. Selama dua minggu ini, aku berakhir benar-benar menuruti perintahnya, pulang sebelum jam delapan malam. Dan yang mengejutkan, dia selalu ada di rumah, seakan menunggu kepulanganku, baru kemudian berangkat bekerja.
Namun, bukannya membuat kami semakin dekat, kebersamaan itu justru berubah jadi siksaan. Dominic tidak sedikit pun ingin berbicara padaku. Dia diam ketika kusapa, hanya mengangguk dingin tanpa menoleh.
Pernah sekali aku mencoba bercakap saat makan malam, tapi dia meletakkan sendoknya lalu bangkit, meninggalkan meja tanpa sepatah kata. Bahkan ketika kami berpapasan di ruang tamu, dia akan pura-pura sibuk dengan ponselnya, lalu berjalan melewatiku tanpa suara. Seakan kehadiranku di rumah ini hanya membuatnya muak.
Sekarang, memikirkan kembali sikap pria itu selama dua minggu ini membuatku menghela napas berat selagi menutup wajah. ‘Ini jelas karena ucapanku yang kejam waktu itu,’ batinku pedih.
Membaringkan setengah tubuhku di meja kantor, aku bergumam, “Aku memang sudah keterlaluan. Tidak heran kalau dia membenciku sekarang.”
“Ella?”
Aku sontak menoleh. Ternyata Sienna, rekan satu timku, berdiri di samping dengan setumpuk berkas.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya dengan alis tertaut. “Aku memanggilmu dari tadi, tapi kau tidak menjawab.”
Gegas, aku menegapkan tubuh dan memaksakan senyum. “Ah, maaf, Sien. Aku hanya banyak pikiran.” Agar dia tidak banyak bertanya, aku langsung berkata, “Ada apa? Perlu bantuan?”
“Ah, ya … Pak Joshua memintamu menyimpan dokumen ini di ruang arsip,” ucapnya selagi menyerahkan setumpuk berkas kepadaku. “Selain itu, kau bisa sekalian cek rak bagian kontrak lama? Katanya ada dokumen yang salah taruh di baris B. Tolong benarkan saja.”
Aku mengangguk cepat. “Baik, aku urus sekarang.”
Begitu Sienna pergi, aku menarik napas panjang. ‘Ayo, Ella. Kau masih di kantor. Fokus. Jangan biarkan masalah di rumah merusak pekerjaanmu.’
Dengan berkas di tangan, aku pun melangkah menuju ruang arsip selagi berusaha keras mengalihkan pikiran mengenai Dominic dengan pekerjaan.
Namun, baru saja sampai di depan pintu, langkahku terhenti. Dari balik celah pintu yang tak tertutup rapat, terdengar suara lirih—
“Mmhh… jangan di sini…”
Aku membeku. Itu adalah suara desahan perempuan!
Keningku langsung berkerut, dan telapak tanganku berkeringat dingin. Tidak kusangka ada yang begitu gila untuk melakukan hal seperti ini di siang bolong, di kantor pula!
Tidak ingin mengundang drama, aku hendak mundur, cukup yakin ada pasangan yang sedang berbuat tak senonoh. Tapi, detik berikutnya sebuah suara lain membuat jantungku berdetak keras satu kali.
“Shhh… tenang saja. Tidak ada yang akan tahu,” bisik seorang pria, berat, familier.
Aku terperanjat. Suara itu… terlalu kukenal.
Dengan napas tercekat, aku mencondongkan tubuh, mengintip dari celah pintu yang terbuka.
Dan seketika, pemandangan di dalam ruangan membuatku membeku.
Dua tubuh saling menempel dengan pakaian berantakan, bibir berpadu rakus, tangan saling meraba tanpa kendali, seakan tak peduli ada kemungkinan seseorang memergoki.
Tanganku bergetar, dokumen yang kubawa terlepas begitu saja, jatuh berhamburan ke lantai dengan suara keras.
Keduanya sontak menoleh. Dan di saat itulah mataku bertemu dengan wajah yang sangat kukenali.
“Max …?"
Wajah Max langsung pucat. “Ella!?” serunya, buru-buru menyingkirkan Amelia dan merapikan kemejanya.
Tubuhku gemetar, pandanganku kabur oleh air mata yang mulai menggenang. Rasanya seperti dunia runtuh menimpa kepalaku.
Di saat Max sedang sibuk menutup kancing, wanita di pelukannya ikut merapikan diri. Gadis berambut hitam lurus dengan rok pensil yang ketat melekat di tubuhnya itu mengangkat wajah, dan aku tercekat. Ya Tuhan … dia Amelia. Intern baru di divisi kami, sekaligus keponakan manager keuangan!
Dengan rambut masih sedikit berantakan, Amelia menatapku dengan wajah merah, malu karena sisa gairah yang belum padam. Dia tersenyum kaku, seolah ingin menenangkan suasana.
“M-maaf, Kak Ella …” ucapnya polos. “Bisa Kakak jangan laporkan ini ke pamanku? A-aku dan Kak Max tidak akan mengulangi hal ini lagi di sini ….”
Aku ingin tertawa getir. Tidak mengulangi di sini? Jadi maksudnya mereka akan melakukannya lagi di tempat lain?
“Diam, Lia!” Max mendesis panik, buru-buru meraih lengan gadis itu. “Jangan bicara apa-apa lagi!”
Lia …? Sungguh panggilan yang sangat … intim ….
Namun, Amelia justru menoleh padanya dengan bingung. “Kenapa panik begitu, Kak?” tanyanya membuat Max sedikit tergagap. Lalu, dia menatapku dengan senyum canggung. “Kata orang-orang, Kak Ella juga punya pacar. J-jadi aku yakin Kak Ella pasti mengerti tentang … hal seperti ini. Ya, ‘kan?”
Mendengar pertanyaan itu, dadaku terasa sesak. Entah dapat keberanian dari mana, bibirku pun terbuka untuk bertanya, “K-kalian … pacaran?”
Untuk sesaat Amelia tampak kikuk. Pipi merahnya semakin jelas dan dia tersenyum malu-malu. “Ah … lebih dari itu, Kak,” katanya lirih seiring mengangkat tangan kanannya, menunjukkan cincin perak yang melingkari jari manisnya. “Kami sudah … bertunangan minggu lalu.”
BRAK!Suara pintu rumah yang terbanting keras bergema ketika Dominic mendorongku masuk.Dengan bibirnya yang masih melumat bibirku, tubuhku terjepit di antara pintu dan dadanya yang panas.“Mmphh….”Aku melenguh, tanganku melingkar di lehernya, berusaha menahan diri agar tidak terjatuh selagi dia terus mendorong tubuhku ke dalam ruangan.“Aah…” desahanku pecah di sela ciuman kala punggungku menghantam sofa ruang tamu. Dominic menekanku ke sana selagi ciumannya turun ke leher, menggigit pelan kulitku hingga aku menggeliat.“T-tidak di sini…” lirihku, panik bercampur dengan gairah yang tak terbendung. “Kalau Lucien pulang … dia bisa—”Tak sempat kuselesaikan kalimatku, Dominic sudah meraih kedua pahaku, membuat kedua kakiku melingkari tubuhnya kala dia menggendongku ke dalam kamar dengan mudah, seakan aku tidak berbobot sama sekali.“Dom…!” Aku memekik kecil, memeluk lehernya erat saat kurasakan keseimbanganku goyah. Tapi, dia hanya berkata, “Aku tidak akan menjatuhkanmu.”Dengan tubuh
“Lepaskan aku!” seruku, berusaha menarik lenganku dari genggaman Dominic yang terus menyeretku keluar dari kelab. Namun, sia-sia. Cengkeramannya bagaikan borgol baja.Langkah Dominic begitu lebar, sampai aku harus berlari kecil untuk mengimbanginya agar tidak terjatuh. Hal itu, ditambah dengan seruanku, membuat orang-orang yang tadinya sibuk berpesta kini menoleh memperhatikan.Bisik-bisik mulai terdengar.“Itu Dominic Black….”“Bukankah dia salah satu pemilik Nocturne, kelab malam besar di tengah kota itu? Kenapa dia menyeret seorang gadis keluar seperti itu?”Panas menjalari wajahku. Malu bercampur kesal karena sekarang diriku menjadi tontonan semua pengunjung kelab. Dari awal, sudah kuduga akan begini jadinya kalau ada di antara Dominic dan Lucien yang menemukanku. Lagi pula, keduanya sudah berkecimpung di bisnis malam ibu kota semenjak beberapa tahun dan menjadikan Nocturne—kelab mereka, salah satu kelab ternama tengah kota. Oleh karena itu, sengaja aku memilih untuk datang ke ke
Duniaku seakan berhenti berputar saat mendengar kalimat Amelia. Bertunangan minggu lalu?Setelah menjalin hubungan denganku selama dua tahun, pria itu ternyata bertunangan dengan wanita lain minggu lalu!?Aku menatap Max. Diriku ingin menjerit, melempar semua dokumen yang berhamburan di lantai, dan menghajarnya habis-habisan. Namun kenyataannya … aku hanya berdiri terpaku.Max berusaha meraihku, wajahnya panik. “Ella, dengar aku—”“Jangan sentuh aku!” bentakku, suaraku pecah di udara.Amelia mengerjap, jelas tidak mengerti. Dia hanya berdiri di sana dengan cincin yang berkilau di jarinya, seolah menertawakan kebodohanku selama dua tahun terakhir.Ada dorongan kuat dalam hatiku untuk melampiaskan semuanya pada Amelia, untuk berteriak bahwa aku adalah pihak yang paling dikhianati di sini. Namun, melihat sorot matanya yang polos, wajah mudanya yang masih diliputi kebingungan, aku tahu dia juga tidak bersalah. Sama sepertiku, dia hanyalah korban dari seorang pria yang tidak bertanggung j
Ucapanku memantul di udara, menghantam dinginnya ruangan. Dominic terdiam sesaat, rahangnya mengeras, sorot matanya berubah sekilas. Antara marah dan… terluka?“A-aku … bukan maksudku—” Aku sendiri tercekat dengan kata-kataku, tapi gengsi membuatku tak menariknya kembali.Di sisi lain, ekspresi Dominic menjadi semakin dingin. Aku tidak pernah melihatnya menatapku dengan air muka yang begitu gelap.Lalu, pria itu berujar, “Aku memang bukan siapa-siapa bagimu, tapi … di rumah ini, kalimatku dan Lucien adalah aturan. Jadi, kalau ingin tetap di sini, sebaiknya kau ikuti aturanku. Kalau tidak,” tatapannya menajam, membuat tubuhku menggigil, “maka kau akan kupulangkan ke Greenwood.”**Dua minggu berlalu dalam sekejap mata setelah pertengkaranku dengan Dominic. Selama dua minggu ini, aku berakhir benar-benar menuruti perintahnya, pulang sebelum jam delapan malam. Dan yang mengejutkan, dia selalu ada di rumah, seakan menunggu kepulanganku, baru kemudian berangkat bekerja.Namun, bukannya me
“Berbohong agar bisa bermalam di apartemen kekasihmu? Hebat sekali kau, Ella ….”Aku duduk dengan kepala tertunduk, wajah pucat seperti seorang bocah yang baru saja ketahuan melakukan kesalahan fatal.Dalam hati, aku sempat membatin, rasanya baru kemarin berada di posisi ini setelah memergoki Dominic dengan wanita pirang itu. Tapi sekarang, aku sudah kembali berada di posisi yang sama.Tadi, setelah Dominic melontarkan ancaman padaku dan Lily, dengan pasrah kami menyatakan semua kebenarannya. Alhasil, usai pengakuan kami selesai, Dominic marah besar dan meminta Lily pulang.Aku sempat memohon padanya untuk tidak mengirim Lily pulang lantaran baru sesaat sahabatku itu menghabiskan waktu denganku, tapi ….“Ini hukuman untuk kalian agar belajar untuk tidak berbohong dan berbuat hal konyol,” tegasnya dengan pancaran dingin yang langsung membuat Lily dan aku ciut.Hanya saja, tidak kuduga, saat mengantar Lily ke depan gerbang, sementara Dominic tetap duduk di sofa ruang tamu, sahabatku itu
“Aahh!”Dengan panik aku menjerit, menyambar handuk yang tergantung di dekatku dan menutup tubuh seadanya. Wajahku memanas, jantungku seperti mau copot.Dominic tidak segera pergi. Sorot matanya yang gelap menatapku. Rahangnya mengeras, jelas dia juga tidak menyangka akan melihatku seperti ini.Sepersekian detik yang terasa seperti selamanya berlalu, sampai akhirnya ia menarik napas kasar. “Kunci pintu lain kali,” katanya datar, suaranya berat namun tegas.Lalu pintu tertutup dengan suara keras, meninggalkanku berdiri terpaku dengan tubuh gemetar.Aku menatap pantulan diriku di kaca. Wajahku merah, mataku lebar, napasku masih kacau.Tak elak, aku membatin, ‘Bukannya dia pergi?! Kenapa bisa tiba-tiba muncul seperti tadi?!’Selesai mengenakan pakaianku lagi, aku memberanikan diri keluar dari kamar mandi.Di ruang tamu, Dominic duduk di sofa, satu lengan bertumpu pada sandaran, posturnya santai tapi sorot matanya langsung terarah padaku saat aku muncul.“Kau sudah selesai?” tanyanya sing