LOGINAku sontak menoleh. Ternyata Sienna, rekan satu timku, telah berdiri di samping dengan setumpuk berkas.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya dengan alis tertaut. “Aku memanggilmu dari tadi, tapi kau tidak menjawab.”
Gegas, aku menegapkan tubuh dan memaksakan senyum. “Ah, maaf, Sien. Aku hanya sedang banyak pikiran.” Agar dia tidak banyak bertanya, aku langsung berkata, “Ada apa? Perlu bantuan?”
“Ah, ya … Pak Joshua memintamu menyimpan dokumen ini di ruang arsip,” ucapnya selagi menyerahkan setumpuk berkas kepadaku. “Selain itu, bisa kau sekalian cek rak bagian kontrak lama? Katanya ada dokumen yang salah taruh di baris B. Tolong benarkan saja.”
Aku mengangguk cepat. “Baik, aku urus sekarang.”
Begitu Sienna pergi, aku menarik napas panjang. ‘Ayo, Ella. Kau masih di kantor. Fokus. Jangan biarkan masalah di rumah merusak pekerjaanmu.’
Dengan berkas di tangan, aku pun melangkah menuju ruang arsip selagi berusaha keras mengalihkan pikiran mengenai Dominic dengan pekerjaan.
Namun, baru saja sampai di depan pintu, langkahku terhenti. Dari balik celah pintu yang tak tertutup rapat, terdengar suara lirih—
“Mmhh… jangan di sini…”
Aku membeku. Itu adalah suara desahan perempuan!
Keningku langsung berkerut, dan telapak tanganku berkeringat dingin. Tidak kusangka ada yang begitu gila untuk melakukan hal seperti ini di siang bolong, di kantor pula!
Tidak ingin mengundang drama, aku hendak mundur, cukup yakin ada pasangan yang sedang berbuat tak senonoh. Tapi, detik berikutnya sebuah suara lain membuat jantungku berdetak keras satu kali.
“Shhh… tenang saja. Tidak ada yang akan tahu,” bisik seorang pria, berat, familier.
Aku terperanjat. Suara itu… terlalu kukenal.
Dengan napas tercekat, aku berbalik, lalu memberanikan diri untuk membuka sedikit pintu ruang arsip dengan hati-hati. Usai terbuka, kucoba untuk mengintip dari celah pintu.
Dan seketika, pemandangan di dalam ruangan membuatku membeku.
Dua tubuh saling menempel dengan pakaian berantakan, bibir berpadu rakus, tangan saling meraba tanpa kendali, seakan tak mendengar—atau peduli—bahwa ada seseorang yang sedang memergoki.
Tanganku bergetar, dokumen yang kubawa terlepas begitu saja, jatuh berhamburan ke lantai dengan suara keras.
Keduanya seketika menoleh. Dan di saat itulah mataku bertemu dengan wajah yang sangat kukenali.
“Max …?"
Wajah Max langsung pucat. “Ella!?” serunya, buru-buru menyingkirkan wanita di hadapan dan merapikan kemejanya yang berantakan.
Tubuhku gemetar, pandanganku kabur oleh air mata yang mulai menggenang.
Kenapa … kenapa kekasihku untuk dua tahun … berakhir mencumbu wanita lain di tempat ini!?
Di saat Max sedang sibuk menutup kancing, wanita di pelukannya ikut merapikan diri. Gadis berambut hitam lurus dengan rok pensil yang ketat melekat di tubuhnya itu mengangkat wajah, dan aku tercekat.
Ya Tuhan … dia Amelia. Intern baru di divisi kami, sekaligus keponakan manager keuangan!
Dengan rambut masih sedikit berantakan, Amelia menatapku dengan wajah merah, malu karena sisa gairah yang belum padam. Dia tersenyum kaku, seolah ingin menenangkan suasana.
“M-maaf, Kak Ella …” ucapnya polos. “Bisa Kakak jangan laporkan ini ke pamanku? A-aku dan Kak Max tidak akan mengulangi hal ini lagi di sini ….”
Aku ingin tertawa getir. Tidak mengulangi di sini? Jadi maksudnya mereka akan melakukannya lagi di tempat lain?!
“Diam, Lia!” Max mendesis panik, buru-buru meraih lengan gadis itu. “Jangan bicara apa-apa lagi!”
Lia …? Sungguh panggilan yang sangat … intim ….
Namun, Amelia justru menoleh padanya dengan bingung. “Kenapa panik begitu, Kak?” tanyanya membuat Max sedikit tergagap. Lalu, dia menatapku dengan senyum canggung. “Kata orang-orang, Kak Ella juga punya pacar. J-jadi aku yakin Kak Ella pasti mengerti tentang … hal seperti ini. Ya, ‘kan?”
Mendengar pertanyaan itu, dadaku terasa sesak. Entah dapat keberanian dari mana, bibirku pun terbuka untuk bertanya, “K-kalian … pacaran?”
Untuk sesaat Amelia tampak kikuk. Pipi merahnya semakin jelas dan dia tersenyum malu-malu.
“Ah … lebih dari itu, Kak,” katanya lirih seiring mengangkat tangan kanannya, menunjukkan cincin perak yang melingkari jari manisnya. “Aku malu harus mengatakan ini dalam situasi seperti ini, tapi … kami sudah bertunangan minggu lalu.”
Alamak najisnya kau Max ...
Mendengar pernyataan Max, selama sesaat otakku seakan berhenti bekerja. Sebelum kemudian, ekspresiku berubah keruh selagi dua tanganku menepis tangannya kuat.“Lepaskan aku!” ucapku dengan suara tertahan, berusaha menahan emosi agar tidak menarik perhatian orang lain. “Kita sedang di kantor, kegilaan apa yang kau pikir sedang kau laku—”Namun, mata Max memancarkan amarah seiring dirinya kembali menekan pundakku ke pintu.“Jawab dulu!” bentaknya. “Siapa dia? Siapa laki-laki itu?!”Meringis karena tekanan yang dia berikan, aku pun menggertakkan gigi selagi membalas, “Bukan urusanmu.”“Jadi benar?! Kau sungguh sudah memiliki kekasih lain?!” tukasnya, terdengar sangat tidak terima. “Apa itu pria yang terakhir mengganggu percakapan kita?!”“Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa, Max,” jawabku tajam. “Jadi, pun aku memiliki hubungan dengan orang lain, itu adalah urusanku dan bukan lagi urusanmu!” Kutepis lagi dua tangannya selagi menambahkan, “Sadar dirilah bahwa kau memiliki seorang tunang
“Waw, Ella! Kau sudah menyelesaikan rancangan presentasi untuk proyek Escaban Digital?!”Suara Jeff menggema dari seberang bilik, membuatku mendongak dari layar laptop.“Kau sedang bersemangat sekali ya?!” katanya dengan wajah tak percaya, membuatku hanya bisa tersenyum tak berdaya sebagai balasan.Melihat ini, Jeff menggeleng-gelengkan kepala selagi menghela napas tak berdaya.“Haah … aku jadi merasa sia-sia sudah mengkhawatirkan kesehatanmu sejak sebelum libur.”Ucapan Jeff membuatku mengerjap bingung. “Hah? Maksudmu?”Jeff pun menaikkan alis kanannya. “Terakhir kau izin setengah hari karena tidak enak badan, ingat?” katanya, tampak sedikit bingung karena aku tidak mengerti maksudnya.Sontak aku mengerjap, sungguh lupa dengan kebohongan di hari itu. “O-ohh!! Ya, ya! Ha ha ha,” balasku selagi menggaruk kepala yang tidak gatal. “Jangan khawatir, aku sudah lebih baik sekarang.”Mendengar itu, Jeff menghela napas lega. “Ya, baguslah kalau memang begitu. Jadi, kau tidak perlu takut terke
Mencerna omongan Lucien, aku terdiam dan berpikir keras. Kalau mengingat kejadian tadi, tepat ketika Helena melukaiku dan Dominic berusaha menarikku ke dalam pelukannya, aku memang merasakan tubuhnya bergetar hebat saat menyadari adanya luka di wajahku. Tapi, itu hanya sesaat, karena setelahnya Dominic lepas kendali dan bersikap kasar pada Helena, melawan prinsipnya yang tidak pernah menyakiti wanita.Apa … aku begitu penting baginya sampai dia melakukan semua itu?‘Aku menginginkanmu, Ariella … sangat menginginkanmu ….’Mengingat kalimat Dominic tadi, jantungku berdebar kencang. Perasaan hangat spontan menyelimutiku, dan tak sadar sudut bibirku pun terangkat.Karena aku terdiam tanpa memberikan tanggapan berarti, Lucien melirikku cepat ketika lampu lalu lintas berubah merah. Ekspresinya pun berubah melihat senyuman di bibirku, seakan aku aneh dan kehilangan kewarasan. Lalu—PLAK!“Ah!” seruku merasakan tamparan ringan pada belakang kepalaku. Aku langsung menoleh pada Lucien. “Apa yan
Saat pertanyaan itu melambung, aku langsung mematung. “H-hah?”Pandangan Lucien masih mengarah ke bibirku. “Ini, Ella. Bibirmu bengkak juga! Apa tadi—”“Kak Lu!” seruku seraya menurunkan tangan Lucien dari wajahku. “Tenangkan sedikit dirimu!”Dibentak seperti itu, Lucien agak terkejut. “H-hah? Oh … ya,” balasnya, ling-lung. Tapi beberapa detik kemudian, rasa penasarannya kembali menyala. “Hei! Tapi tidak, aku serius! Bibirmu itu bengkak! Apa jangan-jangan kau makan nanas dan kena alergi? Kalau ya, cepat makan obatmu!” celotehnya dengan lantang, membuatku merona merah lantaran ada begitu banyak tamu berlalu-lalang yang berakhir memerhatikan perdebatan konyol kami.Cepat kutarik tangan Lucien agar dia membungkuk dan mendengar bisikanku. “Berhenti berteriak dan kecilkan suaramu! Atau paling tidak, kalau kau masih waras dan ingin menjaga reputasi adikmu, ayo kita pulang dulu baru bicarakan hal ini, bisa!?” desisku sembari mencengkeram tangannya dengan gemas.Ucapanku refleks membuat Lucie
Walau kesal karena mendapatkan info tersebut, aku berusaha bersikap tenang agar Maya tidak curiga. “Oke,” ucapku sembari memaksakan senyuman, “aku akan segera turun. Tolong minta Kak Lucien tunggu sebentar.”Maya mengangguk pelan. Setelah itu, ia pamit dan melangkah pergi menjauh dari ruangan Dominic dan turun ke lantai bawah.Usai kepergian Maya, aku pun menutup pintu, dan keheningan langsung kembali mengisi udara. Menarik napas saat menatap pintu itu beberapa detik, aku perlahan berbalik pada Dominic.Dengan ekspresi menyayangkan, aku pun berkata, “Sepertinya, percakapan kita harus ditunda.”Dominic terdiam sesaat, meraih tanganku dan mengikatkan jarinya di sana. “Kau bisa tinggal,” ucap pria itu tiba-tiba. Dia mencium punggung tanganku dan melanjutkan, “Aku bisa memintanya untuk pulang.”Jantungku berdebar keras satu kali saat mendengarnya mengatakan itu. Tidak menyangka seorang Dominic, yang lebih sering menyuruhku pulang, akan memintaku untuk tetap tinggal.Namun, terlepas betapa
Dominic menautkan alis, tampak bingung dengan pernyataanku. “Apa maksudmu?” tanyanya pelan. “Bukankah tadi pagi kau yang berkata ingin melupakan semuanya?”Pertanyaan itu membuat dadaku seketika menegang. Aku menggigit bibir, mencoba menahan debar yang tiba-tiba datang.“Itu tadi… sebelum aku berpikir jernih,” ucapku pelan, membuat kerutan di dahinya semakin dalam. “Sekarang, setelah kupikirkan baik-baik, aku merasa… itu tidak adil.”“Tidak adil?” ulang Dominic, nada suaranya datar tapi tajam.Aku mengangguk, menatapnya dengan keberanian yang hampir goyah. “Tadi pagi aku bilang ingin kita melupakannya. Tapi sebenarnya… itu hanya karena aku tidak ingin Kak Lucien tahu.”Aku menelan ludah, menatap Dominic lurus. “Kalau dia tahu, bukan cuma aku yang akan kena akibatnya, tapi juga Kak Dom… Nocturne… dan semua orang di dalamnya.”Cepat aku menunduk, jemariku meremas erat pakaianku selagi otakku berusaha merangkai kata berikutnya dengan hati-hati.“Tapi, di sisi lain… aku tidak bisa berpura-







