Home / Romansa / Jerat Gairah Cinta Rahasia / Bab 7 Melanggar, Berarti Hukuman

Share

Bab 7 Melanggar, Berarti Hukuman

Author: LuciferAter
last update Last Updated: 2025-09-30 13:58:19

Duniaku seakan berhenti berputar saat mendengar kalimat Amelia. 

Bertunangan minggu lalu?

Setelah menjalin hubungan denganku selama dua tahun, pria itu ternyata bertunangan dengan wanita lain minggu lalu!?

Aku menatap Max. Diriku ingin menjerit, melempar semua dokumen yang berhamburan di lantai, dan menghajarnya habis-habisan. Namun kenyataannya … aku hanya berdiri terpaku.

Max berusaha meraihku, wajahnya panik. “Ella, dengar aku—”

“Jangan sentuh aku!” bentakku, suaraku pecah di udara.

Amelia mengerjap, jelas tidak mengerti. Dia hanya berdiri di sana dengan cincin yang berkilau di jarinya, seolah menertawakan kebodohanku selama dua tahun terakhir.

Ada dorongan kuat dalam hatiku untuk melampiaskan semuanya pada Amelia, untuk berteriak bahwa aku adalah pihak yang paling dikhianati di sini. Namun, melihat sorot matanya yang polos, wajah mudanya yang masih diliputi kebingungan, aku tahu dia juga tidak bersalah. Sama sepertiku, dia hanyalah korban dari seorang pria yang tidak bertanggung jawab.

Hanya saja, berbeda denganku … Amelia sudah bertunangan. Dan aku tidak tega merenggut kebahagiaannya dengan kebenaran yang menyakitkan.

Menarik napas panjang, aku paksa bibirku melengkung. “Pertama … selamat atas pertunangan kalian,” ucapku, suaraku bergetar tapi terselubung senyum.

Amelia terbelalak kecil, jelas tidak menyangka respons itu keluar dariku. Sementara Max berdiri kaku, wajahnya pucat pasi.

Aku melanjutkan, kali ini nadaku lebih tegas. “Tapi ini kantor, kalian harus tahu tempat. Hari ini yang memergoki kalian adalah aku. Kalau orang lain? Atau, lebih buruk lagi, salah satu eksekutif?” Aku menatap tajam pada keduanya, terutama Max. “Itu bukan hanya akan menghancurkan kalian, tapi juga bisa menyeret nama pamanmu, Amelia.”

Wajah gadis itu memerah, kepalanya menunduk. “Maaf, Kak Ella … terima kasih sudah mengingatkan. Aku … aku mengerti.”

Aku menghela napas berat, mengangkat dokumen yang tadi terjatuh, lalu berdiri tegak. “Sekarang rapikan diri kalian dan pergi. Aku masih harus menyelesaikan sesuatu di ruangan ini.”

Amelia buru-buru meraih lengan Max, menariknya keluar dengan langkah gugup. Max sempat menoleh ke arahku, sorot matanya penuh rasa bersalah. Bibirnya terbuka, dan akhirnya ia berucap pelan, “Terima kasih, Ella … nanti aku akan bicara denganmu.”

Aku tidak menjawab, hanya menatapnya dingin.

Saat pintu arsip menutup perlahan, ekspresi tenang yang tadi kupaksakan hancur seketika. Bibirku bergetar, dan air mata akhirnya jatuh membasahi pipi.

“Bicara?” gumamku lirih, hampir seperti tawa getir. “Apa lagi yang perlu dibicarakan setelah semuanya begitu jelas?!” desisku selagi menutup wajah yang tidak mampu berhenti menangis.

Setelah lima menit, aku buru-buru menyeka wajah dan melanjutkan tugas. Kalau aku hilang terlalu lama, pasti akan ada orang yang sadar dan mempertanyakan. Jadi, aku harus bisa bersikap setenang mungkin.

Usai menyelesaikan tugas dan menyempatkan diri ke toilet untuk memastikan mata tidak terlalu bengkak, aku pun kembali ke kantor.

Namun, baru saja melangkah masuk, aku terkejut mendapati begitu banyak rekan yang saling berbicara dengan wajah berbinar, seakan ada gosip segar.

Aku menghampiri salah seorang rekan kerja. “Ada apa ini? Kenapa semua orang bersemangat sekali?”

“Kau belum dengar? Seseorang memergoki Kak Max dan Amelia keluar dari ruang arsip, bergandengan tangan! Saat ditodong, Amelia sendiri yang bilang … mereka sudah bertunangan!”

Tubuhku membeku. 

“Gila … tidak heran Kak Max tidak pernah dekat dengan siapa pun di kantor,” lanjutnya, setengah terkekeh. “Ternyata dia sudah lama dijodohkan dengan Amelia oleh keluarga masing-masing!”

Aku mematung. “Apa?”

“Ya, katanya karena keluarga mereka dekat, mereka memang sudah dijodohkan sejak Amelia masih kuliah, tepat saat Kak Max baru mulai kerja di sini. Jadi kurang lebih empat tahun lalu. Perjodohannya sempat goyah dua tahun lalu, soalnya Amelia kabarnya dekat dengan pria lain. Tapi, akhirnya keluarga mereka tetap mendorong, dan sekarang mereka resmi bertunangan.”

Rekan itu tiba-tiba menatapku lebih saksama, alisnya berkerut saat menyadari satu hal. “Ella… matamu merah, kau habis menangis?”

Aku tersentak, buru-buru menunduk dan meraih tas. “Aku kurang enak badan, Jeff. Tugasku hari ini sudah selesai semua. Tolong sampaikan ke Pak Joshua, aku izin setengah hari, ya.”

“Ella, tunggu—”

Aku tak memberi kesempatan. Langkahku cepat meninggalkan ruangan, mengabaikan panggilannya. Begitu melewati pintu kantor, air mata yang kutahan akhirnya luruh deras.

Baru sekarang aku sadar kebenarannya. 

Selama ini, aku bukanlah kekasih Max, melainkan cadangan di balik pertunangan resminya dengan Amelia.

Si orang ketiga.

**

Dentuman musik bisa terdengar, dan lautan manusia yang bergoyang di lantai bawah menjadi pemandangan khas area VIP kelab malam Night Owl.

Ariella, yang terduduk di salah satu sofa kelab, sedang sibuk menghabiskan segelas bir dalam sekali teguk.

BRAK!

Ariella membanting gelas birnya yang kosong, lalu mengangkat tangan ke arah seorang pelayan yang lewat, “Pelayan, dua gelas lagi!” 

Pelayan pria yang menerima pesanan Ariella melihat wajah wanita itu begitu merah, kentara mabuk berat. Lalu, dia melirik ke atas meja. 

Di sana, setidaknya sudah ada tiga botol whiskey, satu botol vodka besar, dan segelas bir yang sudah kosong—jumlah yang tidak wajar bahkan untuk pelanggan paling gila sekali pun!

“Nona, Anda sudah minum terlalu banyak malam ini, jadi—”

“Sekali lagi saja,” kataku, nada suaraku tenang tapi getir. “Kumohon.” 

Bartender itu masih terdiam sejenak, seakan menimbang apakah akan menuruti permintaanku. Sampai akhirnya, dia menuruti dan mengisi gelasku lagi. 

Selagi menunggu pesanan, tiba-tiba sebuah suara asing terdengar di sampingku, “Hai, perlu ditemani?”

Aku menoleh. Seorang pria telah duduk di kursi kosong yang berada tepat di sampingku. Dengan kemeja hitam yang terbuka di bagian dada, senyum memikatnya, dan aroma parfum yang menggoda, kentara pria ini adalah pemain wanita ulung.

“Tidak, terima kasih,” balasku singkat.

Namun dia tidak menyerah. “Sayang sekali … wajah secantikmu seharusnya tidak murung sendirian di tempat seperti ini.” Jemarinya mengetuk meja bar pelan, matanya menatapku penuh arti. “Aku bisa buat malam ini lebih baik, kalau kau mau,” ucapnya selagi menyentuh punggung tanganku.

Aku menatap tangannya yang dengan berani menyentuhku dengan ekspresi tenang. Tapi di dalam hati, pikiranku berkecamuk.

Pria ini tampan. Gerakannya percaya diri, sorot matanya penuh keyakinan, dan jelas dia tahu bagaimana memperlakukan seorang wanita. Mungkin, bersama dia, aku bisa melupakan rasa sakit ini—setidaknya untuk satu malam.

Tapi … apa benar begitu caranya? Apa aku harus membiarkan diriku jatuh ke pelukan pria asing hanya karena hatiku hancur?

Setelah berpikir beberapa saat, aku melirik ke arahnya, bibir tersenyum. “Aku—”

Sebelum aku sempat menyelesaikan kata-kataku, sebuah tangan kuat meraih kerah pria itu dan menariknya menjauh dariku. Kursi pria itu terguling, dan tubuhnya terbanting ke lantai dengan cukup keras.

Kesal, dia pun marah, “Sialan, siapa yang—”

Namun, kata-kata pria itu terhenti ketika pandangannya tertumbuk pada sosok tinggi yang berdiri di belakangnya dengan tatapan tajam.

Itu Dominic ….

“Pergi, sebelum aku patahkan tanganmu yang sudah menyentuhnya.”

Pria itu tergugu, menelan ludah. Dalam hitungan detik dia bangkit, menatap kami dengan mata penuh kebencian, lalu melangkah pergi dengan cepat sambil memaki pelan.

Setelah pria itu pergi, tatapan Dominic beralih padaku. Tajam, dingin, dan mengintimidasi.

“Sudah kubilang, pulang sebelum jam delapan,” suaranya berat, rendah, tapi setiap kata menggema seperti palu godam. “Apa kau anggap perintahku main-main, Ariella?”

Aku tercekat, jemariku menggenggam gelas erat. “A-aku…”

Dominic mendekat selangkah, sorot matanya tak bergeming dariku selagi tangannya mencengkeram daguku, memaksaku menatap lurus dirinya. “Melanggar ucapanku, berarti kau siap menerima hukumannya, bukan begitu?”

Jantungku berdebar keras satu kali. 

H-hukuman apa yang dia maksud?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jerat Gairah Cinta Rahasia   Bab 9 Melewati Batas (18+)

    BRAK!Suara pintu rumah yang terbanting keras bergema ketika Dominic mendorongku masuk.Dengan bibirnya yang masih melumat bibirku, tubuhku terjepit di antara pintu dan dadanya yang panas.“Mmphh….”Aku melenguh, tanganku melingkar di lehernya, berusaha menahan diri agar tidak terjatuh selagi dia terus mendorong tubuhku ke dalam ruangan.“Aah…” desahanku pecah di sela ciuman kala punggungku menghantam sofa ruang tamu. Dominic menekanku ke sana selagi ciumannya turun ke leher, menggigit pelan kulitku hingga aku menggeliat.“T-tidak di sini…” lirihku, panik bercampur dengan gairah yang tak terbendung. “Kalau Lucien pulang … dia bisa—”Tak sempat kuselesaikan kalimatku, Dominic sudah meraih kedua pahaku, membuat kedua kakiku melingkari tubuhnya kala dia menggendongku ke dalam kamar dengan mudah, seakan aku tidak berbobot sama sekali.“Dom…!” Aku memekik kecil, memeluk lehernya erat saat kurasakan keseimbanganku goyah. Tapi, dia hanya berkata, “Aku tidak akan menjatuhkanmu.”Dengan tubuh

  • Jerat Gairah Cinta Rahasia   Bab 8 Aku Menginginkanmu

    “Lepaskan aku!” seruku, berusaha menarik lenganku dari genggaman Dominic yang terus menyeretku keluar dari kelab. Namun, sia-sia. Cengkeramannya bagaikan borgol baja.Langkah Dominic begitu lebar, sampai aku harus berlari kecil untuk mengimbanginya agar tidak terjatuh. Hal itu, ditambah dengan seruanku, membuat orang-orang yang tadinya sibuk berpesta kini menoleh memperhatikan.Bisik-bisik mulai terdengar.“Itu Dominic Black….”“Bukankah dia salah satu pemilik Nocturne, kelab malam besar di tengah kota itu? Kenapa dia menyeret seorang gadis keluar seperti itu?”Panas menjalari wajahku. Malu bercampur kesal karena sekarang diriku menjadi tontonan semua pengunjung kelab. Dari awal, sudah kuduga akan begini jadinya kalau ada di antara Dominic dan Lucien yang menemukanku. Lagi pula, keduanya sudah berkecimpung di bisnis malam ibu kota semenjak beberapa tahun dan menjadikan Nocturne—kelab mereka, salah satu kelab ternama tengah kota. Oleh karena itu, sengaja aku memilih untuk datang ke ke

  • Jerat Gairah Cinta Rahasia   Bab 7 Melanggar, Berarti Hukuman

    Duniaku seakan berhenti berputar saat mendengar kalimat Amelia. Bertunangan minggu lalu?Setelah menjalin hubungan denganku selama dua tahun, pria itu ternyata bertunangan dengan wanita lain minggu lalu!?Aku menatap Max. Diriku ingin menjerit, melempar semua dokumen yang berhamburan di lantai, dan menghajarnya habis-habisan. Namun kenyataannya … aku hanya berdiri terpaku.Max berusaha meraihku, wajahnya panik. “Ella, dengar aku—”“Jangan sentuh aku!” bentakku, suaraku pecah di udara.Amelia mengerjap, jelas tidak mengerti. Dia hanya berdiri di sana dengan cincin yang berkilau di jarinya, seolah menertawakan kebodohanku selama dua tahun terakhir.Ada dorongan kuat dalam hatiku untuk melampiaskan semuanya pada Amelia, untuk berteriak bahwa aku adalah pihak yang paling dikhianati di sini. Namun, melihat sorot matanya yang polos, wajah mudanya yang masih diliputi kebingungan, aku tahu dia juga tidak bersalah. Sama sepertiku, dia hanyalah korban dari seorang pria yang tidak bertanggung j

  • Jerat Gairah Cinta Rahasia   Bab 6 Kenyataan Pahit

    Ucapanku memantul di udara, menghantam dinginnya ruangan. Dominic terdiam sesaat, rahangnya mengeras, sorot matanya berubah sekilas. Antara marah dan… terluka?“A-aku … bukan maksudku—” Aku sendiri tercekat dengan kata-kataku, tapi gengsi membuatku tak menariknya kembali.Di sisi lain, ekspresi Dominic menjadi semakin dingin. Aku tidak pernah melihatnya menatapku dengan air muka yang begitu gelap.Lalu, pria itu berujar, “Aku memang bukan siapa-siapa bagimu, tapi … di rumah ini, kalimatku dan Lucien adalah aturan. Jadi, kalau ingin tetap di sini, sebaiknya kau ikuti aturanku. Kalau tidak,” tatapannya menajam, membuat tubuhku menggigil, “maka kau akan kupulangkan ke Greenwood.”**Dua minggu berlalu dalam sekejap mata setelah pertengkaranku dengan Dominic. Selama dua minggu ini, aku berakhir benar-benar menuruti perintahnya, pulang sebelum jam delapan malam. Dan yang mengejutkan, dia selalu ada di rumah, seakan menunggu kepulanganku, baru kemudian berangkat bekerja.Namun, bukannya me

  • Jerat Gairah Cinta Rahasia   Bab 5 Kau Bukan Apa Pun Bagiku

    “Berbohong agar bisa bermalam di apartemen kekasihmu? Hebat sekali kau, Ella ….”Aku duduk dengan kepala tertunduk, wajah pucat seperti seorang bocah yang baru saja ketahuan melakukan kesalahan fatal.Dalam hati, aku sempat membatin, rasanya baru kemarin berada di posisi ini setelah memergoki Dominic dengan wanita pirang itu. Tapi sekarang, aku sudah kembali berada di posisi yang sama.Tadi, setelah Dominic melontarkan ancaman padaku dan Lily, dengan pasrah kami menyatakan semua kebenarannya. Alhasil, usai pengakuan kami selesai, Dominic marah besar dan meminta Lily pulang.Aku sempat memohon padanya untuk tidak mengirim Lily pulang lantaran baru sesaat sahabatku itu menghabiskan waktu denganku, tapi ….“Ini hukuman untuk kalian agar belajar untuk tidak berbohong dan berbuat hal konyol,” tegasnya dengan pancaran dingin yang langsung membuat Lily dan aku ciut.Hanya saja, tidak kuduga, saat mengantar Lily ke depan gerbang, sementara Dominic tetap duduk di sofa ruang tamu, sahabatku itu

  • Jerat Gairah Cinta Rahasia   Bab 4 Tidak Ada yang Terjadi

    “Aahh!”Dengan panik aku menjerit, menyambar handuk yang tergantung di dekatku dan menutup tubuh seadanya. Wajahku memanas, jantungku seperti mau copot.Dominic tidak segera pergi. Sorot matanya yang gelap menatapku. Rahangnya mengeras, jelas dia juga tidak menyangka akan melihatku seperti ini.Sepersekian detik yang terasa seperti selamanya berlalu, sampai akhirnya ia menarik napas kasar. “Kunci pintu lain kali,” katanya datar, suaranya berat namun tegas.Lalu pintu tertutup dengan suara keras, meninggalkanku berdiri terpaku dengan tubuh gemetar.Aku menatap pantulan diriku di kaca. Wajahku merah, mataku lebar, napasku masih kacau.Tak elak, aku membatin, ‘Bukannya dia pergi?! Kenapa bisa tiba-tiba muncul seperti tadi?!’Selesai mengenakan pakaianku lagi, aku memberanikan diri keluar dari kamar mandi.Di ruang tamu, Dominic duduk di sofa, satu lengan bertumpu pada sandaran, posturnya santai tapi sorot matanya langsung terarah padaku saat aku muncul.“Kau sudah selesai?” tanyanya sing

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status