Share

Bab 8 Ditemukan

Penulis: LuciferAter
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-30 14:01:04

Duniaku seakan berhenti berputar saat mendengar kalimat Amelia. 

Bertunangan minggu lalu?

Setelah menjalin hubungan denganku selama dua tahun, Max ternyata bertunangan dengan wanita lain minggu lalu!?

Aku menatap Max. Diriku ingin menjerit, melempar semua dokumen yang berhamburan di lantai ke wajahnya, lalu menghajarnya habis-habisan. Namun kenyataannya, aku hanya bisa berdiri terpaku.

Max berusaha meraihku, wajahnya panik. “Ella, dengar aku—”

“Jangan sentuh aku!” bentakku, suaraku pecah di udara.

Amelia mengerjap, jelas tidak mengerti. Dia hanya berdiri di sana dengan cincin yang berkilau di jarinya, seolah menertawakan kebodohanku selama dua tahun terakhir.

Ada dorongan kuat dalam hatiku untuk melampiaskan semuanya pada Amelia, untuk berteriak bahwa aku adalah pihak yang paling dikhianati di sini. Namun, melihat sorot matanya yang polos, wajah mudanya yang masih diliputi kebingungan, aku tahu dia juga tidak bersalah. Sama sepertiku, dia hanyalah korban dari seorang pria yang tidak bertanggung jawab.

Hanya saja, berbeda denganku … Amelia sudah bertunangan. Dan aku tidak tega merenggut kebahagiaannya dengan kebenaran yang menyakitkan.

Menarik napas panjang, aku paksa bibirku melengkung. “Pertama … selamat atas pertunangan kalian,” ucapku, suaraku bergetar, tapi terselubung senyum.

Amelia terbelalak kecil, jelas tidak menyangka respons itu keluar dariku. Sementara Max berdiri kaku, wajahnya pucat pasi.

Aku melanjutkan, kali ini nadaku lebih tegas. “Tapi ini kantor, kalian harus tahu tempat. Hari ini yang memergoki kalian adalah aku. Kalau orang lain? Atau, lebih buruk lagi, salah satu eksekutif?” Aku menatap tajam pada keduanya, terutama Max. “Itu bukan hanya akan menghancurkan kalian, tapi juga bisa menyeret nama pamanmu, Amelia.”

Wajah gadis itu memerah, kepalanya menunduk. “Maaf, Kak Ella … terima kasih sudah mengingatkan. Aku … aku mengerti.”

Aku menghela napas berat, mengangkat dokumen yang tadi terjatuh, lalu berdiri tegak. “Sekarang rapikan diri kalian dan pergi. Aku masih harus menyelesaikan sesuatu di ruangan ini.”

Amelia buru-buru meraih lengan Max, menariknya keluar dengan langkah gugup. Max sempat menoleh ke arahku, sorot matanya penuh rasa bersalah. Bibirnya terbuka, dan akhirnya ia berucap pelan, “Terima kasih, Ella … nanti aku akan bicara denganmu.”

Aku tidak menjawab, hanya menatapnya dingin.

Saat pintu arsip menutup perlahan, ekspresi tenang yang tadi kupaksakan hancur seketika. Bibirku bergetar, dan air mata akhirnya jatuh membasahi pipi.

“Bicara?” gumamku lirih, hampir seperti tawa getir. “Apa lagi yang perlu dibicarakan setelah semuanya begitu jelas?!” desisku selagi menutup wajah yang tidak mampu berhenti menangis.

Setelah lima menit bersikap seperti pecundang, aku buru-buru menyeka wajah dan melanjutkan tugas. Kalau aku hilang terlalu lama, pasti akan ada orang yang sadar dan mempertanyakan. Jadi, aku harus bisa bersikap setenang mungkin.

Usai menyelesaikan tugas dan menyempatkan diri ke toilet untuk memastikan mata tidak terlalu bengkak, aku pun kembali ke kantor.

Namun, baru saja melangkah masuk, aku terkejut mendapati begitu banyak rekan yang saling berbicara dengan wajah berbinar, seakan ada gosip segar.

Aku menghampiri salah seorang rekan kerja. “Ada apa ini? Kenapa semua orang bersemangat sekali?”

“Kau belum dengar? Seseorang memergoki Kak Max dan Amelia keluar dari ruang arsip, bergandengan tangan! Saat ditodong, Amelia sendiri yang bilang … mereka sudah bertunangan!”

Tubuhku membeku. 

“Gila … tidak heran Kak Max tidak pernah dekat dengan siapa pun di kantor,” lanjutnya, setengah terkekeh. “Ternyata dia sudah lama dijodohkan dengan Amelia oleh keluarga masing-masing!”

Aku mematung. “Apa?”

“Ya, katanya karena keluarga mereka dekat, mereka memang sudah dijodohkan sejak Amelia masih kuliah, tepat saat Kak Max baru mulai kerja di sini. Jadi kurang lebih empat tahun lalu. Perjodohannya sempat goyah dua tahun lalu, soalnya Amelia kabarnya dekat dengan pria lain. Tapi, akhirnya keluarga mereka tetap mendorong, dan sekarang mereka resmi bertunangan.”

Rekan itu tiba-tiba menatapku lebih saksama, alisnya berkerut saat menyadari satu hal. “Ella… matamu merah, kau habis menangis?”

Aku tersentak, buru-buru menunduk dan meraih tas. “Aku kurang enak badan, Jeff. Tugasku hari ini sudah selesai semua. Tolong sampaikan ke Pak Joshua, aku izin setengah hari, ya.”

“Ella, tunggu—”

Aku tak memberi kesempatan. Langkahku cepat meninggalkan ruangan, mengabaikan panggilannya. Begitu melewati pintu kantor, air mata yang kutahan akhirnya luruh deras.

Baru sekarang aku sadar kebenarannya. 

Selama ini, aku bukanlah kekasih Max, melainkan cadangan di balik pertunangan resminya dengan Amelia.

Si orang ketiga.

**

Dentuman musik menggema, getarannya terasa sampai ke dada. Dari tempatku duduk di area VIP kelab malam Night Owl, aku bisa melihat lautan manusia bergoyang di lantai bawah. Lampu berwarna-warni menari liar, namun semuanya terasa jauh dan hampa bagiku.

Aku meneguk habis segelas bir dalam sekali teguk, berharap panasnya bisa menenggelamkan resah di kepalaku.

BRAK!

Gelas kosong itu kubanting ke meja. “Pelayan, dua gelas lagi!” seruku sambil mengangkat tangan.

Seorang pelayan pria menghampiri. Tatapannya sempat meneliti wajahku yang memerah, jelas-jelas sudah meminum terlalu banyak minuman keras. Lalu, matanya melirik meja di depanku, pada tiga botol whiskey, satu botol vodka besar, dan gelas bir kosong yang baru saja kutaruh. Jumlah itu bahkan tidak wajar untuk pelanggan paling gila sekali pun.

“Nona, Anda sudah minum terlalu banyak malam ini, jadi—”

“Sekali lagi saja,” potongku cepat. Suaraku tenang, tapi getir. “Kumohon.” 

Aku sudah secara sengaja memilih kelab terpencil agar tidak terkekang oleh kuasa dan kenalan Lucien serta Dominic di dunia malam ibu kota. Tidak mungkin aku akan menyerah begitu saja ketika ditahan untuk minum.

Karena permohonanku, pelayan itu terdiam, ragu sejenak. Aku bisa melihat keraguannya dari caranya menimbang-nimbang botol di rak belakang. Tapi … entah karena wajahku yang memelas, atau karena tidak ada ruginya memberikan apa yang kumau, ia menyerah dan langsung mengisi gelasku hingga penuh.

Aku meraih gelas itu, berusaha meyakinkan diri bahwa seteguk lagi bisa membuatku lupa akan kegilaan yang hari ini kualami. Namun, sebelum bibirku menyentuh tepi gelas, sebuah suara asing terdengar di sampingku.

“Hai, perlu ditemani?”

Aku menoleh. Seorang pria telah duduk di kursi kosong yang berada tepat di sampingku. Dengan kemeja hitam yang terbuka di bagian dada, senyum memikatnya, dan aroma parfum yang menggoda, kentara pria ini adalah pemain wanita ulung.

“Tidak, terima kasih,” balasku singkat.

Namun dia tidak menyerah. “Sayang sekali … wajah secantik milikmu seharusnya tidak murung di tempat seperti ini.” Jemarinya mengetuk meja bar pelan, matanya menatapku penuh arti. “Aku bisa buat malam ini lebih baik, kalau kau mau,” ucapnya selagi menyentuh punggung tanganku.

Aku menatap tangannya yang dengan berani menyentuhku dengan ekspresi tenang. Tapi di dalam hati, pikiranku berkecamuk.

Pria ini tampan. Gerakannya percaya diri, sorot matanya penuh keyakinan, dan jelas dia tahu bagaimana memperlakukan seorang wanita. Mungkin, bersama dia, aku bisa melupakan rasa sakit ini—setidaknya untuk satu malam.

Tapi … apa benar begitu caranya? Apa aku harus membiarkan diriku jatuh ke pelukan pria asing hanya karena hatiku hancur?

Setelah berpikir beberapa saat, aku melirik ke arahnya, bibir tersenyum. “Aku—”

Sebelum aku sempat menyelesaikan kata-kataku, sebuah tangan kuat meraih kerah pria itu dan menariknya menjauh dariku. Kursi pria itu terguling, dan tubuhnya terbanting ke lantai dengan cukup keras.

Kesal, dia pun marah, “Sialan, siapa yang—”

Namun, kata-kata pria itu terhenti ketika pandangannya tertumbuk pada sosok tinggi yang berdiri di belakangnya dengan tatapan tajam.

Itu Dominic ….

“Pergi, sebelum aku patahkan tanganmu yang sudah menyentuhnya.”

Pria itu tergugu, menelan ludah. Dalam hitungan detik dia bangkit, menatap kami dengan mata penuh kebencian, lalu melangkah pergi dengan cepat sambil memaki pelan.

Setelah pria itu pergi, tatapan Dominic beralih padaku. Tajam, dingin, dan mengintimidasi.

“Sudah kubilang, pulang sebelum jam delapan,” suaranya berat, rendah, tapi setiap kata menggema seperti palu godam. “Apa kau anggap perintahku main-main, Ariella?”

Jantungku berdebar, keterkejutan menyelimuti diriku. 

Bagaimana pria ini bisa menemukanku!?

LuciferAter

Duh, kena marah babang Dom deh ...

| Sukai
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jerat Gairah Cinta Rahasia   Bab 28 Dia Kekasihku

    Mendengar pernyataan Max, selama sesaat otakku seakan berhenti bekerja. Sebelum kemudian, ekspresiku berubah keruh selagi dua tanganku menepis tangannya kuat.“Lepaskan aku!” ucapku dengan suara tertahan, berusaha menahan emosi agar tidak menarik perhatian orang lain. “Kita sedang di kantor, kegilaan apa yang kau pikir sedang kau laku—”Namun, mata Max memancarkan amarah seiring dirinya kembali menekan pundakku ke pintu.“Jawab dulu!” bentaknya. “Siapa dia? Siapa laki-laki itu?!”Meringis karena tekanan yang dia berikan, aku pun menggertakkan gigi selagi membalas, “Bukan urusanmu.”“Jadi benar?! Kau sungguh sudah memiliki kekasih lain?!” tukasnya, terdengar sangat tidak terima. “Apa itu pria yang terakhir mengganggu percakapan kita?!”“Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa, Max,” jawabku tajam. “Jadi, pun aku memiliki hubungan dengan orang lain, itu adalah urusanku dan bukan lagi urusanmu!” Kutepis lagi dua tangannya selagi menambahkan, “Sadar dirilah bahwa kau memiliki seorang tunang

  • Jerat Gairah Cinta Rahasia   Bab 27 Beraninya kau!

    “Waw, Ella! Kau sudah menyelesaikan rancangan presentasi untuk proyek Escaban Digital?!”Suara Jeff menggema dari seberang bilik, membuatku mendongak dari layar laptop.“Kau sedang bersemangat sekali ya?!” katanya dengan wajah tak percaya, membuatku hanya bisa tersenyum tak berdaya sebagai balasan.Melihat ini, Jeff menggeleng-gelengkan kepala selagi menghela napas tak berdaya.“Haah … aku jadi merasa sia-sia sudah mengkhawatirkan kesehatanmu sejak sebelum libur.”Ucapan Jeff membuatku mengerjap bingung. “Hah? Maksudmu?”Jeff pun menaikkan alis kanannya. “Terakhir kau izin setengah hari karena tidak enak badan, ingat?” katanya, tampak sedikit bingung karena aku tidak mengerti maksudnya.Sontak aku mengerjap, sungguh lupa dengan kebohongan di hari itu. “O-ohh!! Ya, ya! Ha ha ha,” balasku selagi menggaruk kepala yang tidak gatal. “Jangan khawatir, aku sudah lebih baik sekarang.”Mendengar itu, Jeff menghela napas lega. “Ya, baguslah kalau memang begitu. Jadi, kau tidak perlu takut terke

  • Jerat Gairah Cinta Rahasia   Bab 26 Apa Aku Benar Cinta?

    Mencerna omongan Lucien, aku terdiam dan berpikir keras. Kalau mengingat kejadian tadi, tepat ketika Helena melukaiku dan Dominic berusaha menarikku ke dalam pelukannya, aku memang merasakan tubuhnya bergetar hebat saat menyadari adanya luka di wajahku. Tapi, itu hanya sesaat, karena setelahnya Dominic lepas kendali dan bersikap kasar pada Helena, melawan prinsipnya yang tidak pernah menyakiti wanita.Apa … aku begitu penting baginya sampai dia melakukan semua itu?‘Aku menginginkanmu, Ariella … sangat menginginkanmu ….’Mengingat kalimat Dominic tadi, jantungku berdebar kencang. Perasaan hangat spontan menyelimutiku, dan tak sadar sudut bibirku pun terangkat.Karena aku terdiam tanpa memberikan tanggapan berarti, Lucien melirikku cepat ketika lampu lalu lintas berubah merah. Ekspresinya pun berubah melihat senyuman di bibirku, seakan aku aneh dan kehilangan kewarasan. Lalu—PLAK!“Ah!” seruku merasakan tamparan ringan pada belakang kepalaku. Aku langsung menoleh pada Lucien. “Apa yan

  • Jerat Gairah Cinta Rahasia   Bab 25 Seorang Dominic, Takut?

    Saat pertanyaan itu melambung, aku langsung mematung. “H-hah?”Pandangan Lucien masih mengarah ke bibirku. “Ini, Ella. Bibirmu bengkak juga! Apa tadi—”“Kak Lu!” seruku seraya menurunkan tangan Lucien dari wajahku. “Tenangkan sedikit dirimu!”Dibentak seperti itu, Lucien agak terkejut. “H-hah? Oh … ya,” balasnya, ling-lung. Tapi beberapa detik kemudian, rasa penasarannya kembali menyala. “Hei! Tapi tidak, aku serius! Bibirmu itu bengkak! Apa jangan-jangan kau makan nanas dan kena alergi? Kalau ya, cepat makan obatmu!” celotehnya dengan lantang, membuatku merona merah lantaran ada begitu banyak tamu berlalu-lalang yang berakhir memerhatikan perdebatan konyol kami.Cepat kutarik tangan Lucien agar dia membungkuk dan mendengar bisikanku. “Berhenti berteriak dan kecilkan suaramu! Atau paling tidak, kalau kau masih waras dan ingin menjaga reputasi adikmu, ayo kita pulang dulu baru bicarakan hal ini, bisa!?” desisku sembari mencengkeram tangannya dengan gemas.Ucapanku refleks membuat Lucie

  • Jerat Gairah Cinta Rahasia   Bab 24 Tunggu Aku

    Walau kesal karena mendapatkan info tersebut, aku berusaha bersikap tenang agar Maya tidak curiga. “Oke,” ucapku sembari memaksakan senyuman, “aku akan segera turun. Tolong minta Kak Lucien tunggu sebentar.”Maya mengangguk pelan. Setelah itu, ia pamit dan melangkah pergi menjauh dari ruangan Dominic dan turun ke lantai bawah.Usai kepergian Maya, aku pun menutup pintu, dan keheningan langsung kembali mengisi udara. Menarik napas saat menatap pintu itu beberapa detik, aku perlahan berbalik pada Dominic.Dengan ekspresi menyayangkan, aku pun berkata, “Sepertinya, percakapan kita harus ditunda.”Dominic terdiam sesaat, meraih tanganku dan mengikatkan jarinya di sana. “Kau bisa tinggal,” ucap pria itu tiba-tiba. Dia mencium punggung tanganku dan melanjutkan, “Aku bisa memintanya untuk pulang.”Jantungku berdebar keras satu kali saat mendengarnya mengatakan itu. Tidak menyangka seorang Dominic, yang lebih sering menyuruhku pulang, akan memintaku untuk tetap tinggal.Namun, terlepas betapa

  • Jerat Gairah Cinta Rahasia   Bab 23 Kenapa Sekarang?

    Dominic menautkan alis, tampak bingung dengan pernyataanku. “Apa maksudmu?” tanyanya pelan. “Bukankah tadi pagi kau yang berkata ingin melupakan semuanya?”Pertanyaan itu membuat dadaku seketika menegang. Aku menggigit bibir, mencoba menahan debar yang tiba-tiba datang.“Itu tadi… sebelum aku berpikir jernih,” ucapku pelan, membuat kerutan di dahinya semakin dalam. “Sekarang, setelah kupikirkan baik-baik, aku merasa… itu tidak adil.”“Tidak adil?” ulang Dominic, nada suaranya datar tapi tajam.Aku mengangguk, menatapnya dengan keberanian yang hampir goyah. “Tadi pagi aku bilang ingin kita melupakannya. Tapi sebenarnya… itu hanya karena aku tidak ingin Kak Lucien tahu.”Aku menelan ludah, menatap Dominic lurus. “Kalau dia tahu, bukan cuma aku yang akan kena akibatnya, tapi juga Kak Dom… Nocturne… dan semua orang di dalamnya.”Cepat aku menunduk, jemariku meremas erat pakaianku selagi otakku berusaha merangkai kata berikutnya dengan hati-hati.“Tapi, di sisi lain… aku tidak bisa berpura-

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status