Share

Presdir gila

Penulis: Lia Scorpio
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-14 23:12:03

Intan berjalan melewati beberapa karyawan yang berlalu lalang sibuk dengan urusan masing-masing. Setibanya Intan di ruang asisten bernama pak Agung. Dengan rasa percaya diri yang tinggi, tangannya terkepal dan terangkat mengetuk pintu ruangan.

"Masuk!" Suara bariton terdengar dari dalam ruangan, memerintahkan Indah.

Perlahan pintu ruangan terbuka. Intan yang mengira asisten presdir itu tua, hanya bisa melongo tak percaya. Tua? Bahkan wajahnya jauh dari kata itu. Seorang pria tampan dan penuh wibawa menatap Intan dengan tatapan datar. Intan sempat tertegun menatap sang asisten, sampai suara bariton itu mempersilahkan Intan duduk.

"Silahkan Nona Intan!"

Intan terkesiap malu. Wajahnya sedikit memerah, lalu duduk di kursi tepat di depan sang asisten.

"Saya akan menjelaskan tugas dan jabatan nona Intan. Berhubung sekretaris pak Presdir baru saja memundurkan diri. Pak Presdir tidak memiliki sekretaris sekarang ini. Saya akan menempatkan nona Intan di bagian itu. Anggap saja ini hanya sementara dan training. Selama tiga bulan ke depan, nona Intan akan selalu mendampingi pak Presdir, sampai sekretaris pak Presdir ada. Bagaimana nona? Apa sudah jelas?" tanya asisten Agung, penjelasannya terdengar tetas sekali.

Intan hanya mengangguk. Fokusnya bukan saat asisten Agung menjelaskan jabatannya. Intan malah sibuk memandangi wajah sang asisten.

"Baiklah, karena nona Intan sudah mengerti. Silahkan nona Intan ke ruangan sebelah. Di sana adalah ruangan nona Intan. Dan satu lagi, ini semua jadwal meeting dan kegiatan pak Presdir, silahkan dibaca dan dipelajari!" titah asisten Agung, memberikan satu map berisikan lembaran yang banyak kepada Intan.

Intan dengan cepat mengambil map itu. Sebenarnya Intan masih betah berlama-lama di ruangan itu. Tapi, takut akan diusir karena urusan sudah selesai. Intan akhirnya bergegas keluar, menuju ruangannya sendiri. Sedang asyik berjalan sambil membayangkan wajah tampan asisten Agung. Tanpa sengaja Intan menabrak seorang pria yang kelihatannya juga sedang tergesa-gesa.

"Hei, kalau jalan itu pakai mata! Kamu tidak lihat berkas-berkas itu berserakan?" sentak Intan, berjongkok merapikan semua lembaran yang kini terpecah berai di lantai keramik. "Kamu pasti terlambat kan? Di sini presdirnya galak, dia juga orang yang disiplin. Hati-hati kamu!" lanjut Intan, menakuti pria yang kini menatap Intan dengan tatapan bingung.

Tanpa mempedulikan pria itu, Intan langsung pergi meninggalkannya. Sedangkan sang pria mengerutkan keningnya, sebelum akhirnya memutuskan pergi ke sebuah ruangan.

"Hem, sepertinya jadi sekretaris tidak terlalu sulit juga. Baiklah, aku sudah mengerti sekarang. Lebih baik aku menemui pak Presdir saja," gumam Intan, beranjak dari kursinya.

Intan berjalan santai dengan membawa map yang baru saja dia dapatkan dari sang asisten Agung. Pintu ruangan presdir tertutup rapat. Tanpa mau menunggu lama lagi, Intan segera mengetuk pintu itu.

"Masuk!" perintah sang Presdir, dari dalam ruangannya.

Intan melangkah masuk. Awalnya semuanya terlihat baik-baik saja. Ekspresi yang Intan tampilkan juga biasa saja. Namun, saat sang presdir berbalik, ekspresi biasa dari Intan berubah seketika dengan ekspresi takut.

"Kamu?" seru Presdir, menunjuk ke arah Intan yang langsung menunduk takut.

"Kemari!" titah Presdir meminta Intan mendekatinya.

Dengan ragu Intan mendekati atasannya. Kepalanya masih setia menunduk. Pria yang tadi sempat Intan tabrak dan omeli, ternyata adalah presdirnya sendiri.

"Bukannya kamu yang tadi menabrak saya?" tanya Lingga-- sang presdir dari PT. LM.

"Saya tidak menabrak Bapak, Bapak sendiri yang jalan tidak hati-hati," jawab Intan, tidak berani mengangkat kepalanya.

"Saya? Apa tidak salah? Oh iya, kalau bicara dengan orang lain itu. Biasakan untuk mendongak dan menatap langsung lawan bicaranya," ejek Lingga, menyeringai.

Perlahan Intan mendongakkan kepalanya, keduanya saling menatap. Pertama kali bertemu dengan Intan dan mendengar Intan berani menggosipkan dirinya, hati Lingga sudah mulai tergetar. Rasa penasaran terhadap Intan mulai muncul, hingga dirinya tau, jika gadis yang tadi menabraknya adalah sekretaris barunya.

"Kamu karyawan baru di kantor ini?" tanya Lingga, nada suaranya seolah mengejek Intan.

"Iya Pak, saya baru," jawab Intan singkat.

"Oh baru... Kalau kamu masih baru, kenapa kamu bisa tau jika saya adalah tipe pemimpin yang disiplin? Siapa yang memberitahu kamu?" tanya Lingga, menatap tajam Intan.

"Emh itu Pak, saya mendengar dari karyawan lain," sahut Intan berbohong.

Lingga mengangguk. "Oke, baiklah. Senang bertemu dengan kamu, pertemuan pertama yang menyenangkan," sindir Lingga, mengulurkan tangannya ke arah Intan.

Intan tidak berani membalas uluran tangan itu. Matanya hanya menatap tangan sang presdir saja, kesalahan fatal yang dia buat di hari pertama dia bekerja. Benar-benar membuat Intan malu setengah mati. Wajahnya terlihat gugup, Intan merasa takut jika setelah ini dirinya akan diperlakukan tidak baik dalam bekerja.

"Kenapa diam? Apa kamu tidak mau berjabat tangan dengan saya? Saya presdir di kantor ini. Saya rasa, ada banyak sekali wanita di luar sana yang berharap berjabat tangan dengan saya secara langsung. Kenapa kamu tidak?" tanya Lingga, dengan sombongnya.

Mendengar kata-kata sang bos, Intan kesal bukan main. Baru kali ini dirinya bertemu dengan seorang pria yang sombongnya tidak tanggung-tanggung.

'Sabar Intan, dia bos kamu sekarang,' batin Intan, mencoba tetap tenang dan sabar.

"Senang bekerja dengan Pak Presdir, terimakasih atas posisinya sebagai sekretaris. Kalau tidak ada apa-apa lagi, saya ijin keluar, Pak," pamit Intan, merasa tidak betah jika harus berlama-lama di ruangan itu.

"Kenapa buru-buru sekali? Saya mau membahas tentang keberangkatan kita besok ke kota Lombok. Apa kamu sudah menyiapkan semua berkasnya?" tanya Lingga, menahan Intan dengan menanyakan kesiapan Intan.

"Hah? Lombok? Besok?" Intan terkejut mendengarnya.

"Santai saja! Jangan keras-keras menyebut 'hah'!Aromanya sampai tercium ke sini," ejek Lingga, mengibaskan tangannya ke depan hidung. "Kenapa terkejut seperti itu? Apa kamu belum mempelajari dan membaca jadwal saya yang diberikan Agung?" lanjut Lingga bertanya.

"Saya sudah mempelajarinya, Pak. Tapi, jadwal pergi ke lombok besok tidak tertulis," jawab Intan.

"Masa sih tidak ada? Kamu tunggu di sini! Saya panggil Agung dulu," ujar Lingga, mengangkat ganggang telepon kantor.

Tak seberapa lama, asisten Agung akhirnya datang. Melihat ada Intan di ruangan yang sama, Agung merasa ada sesuatu yang aneh dengan atasannya itu. Agung hanya menatap Intan sekilas, kemudian beralih menatap Lingga.

"Ada apa ya, Pak?" tanya Agung.

"Kenapa jadwal saya besok ke Lombok tidak ada di dalam catatan jadwal saya di sekretaris baru?" tanya Lingga.

"Maaf Pak, mungkin saya lupa mengetiknya. Saya akan memperbaikinya sekarang," sahut Agung, langsung pamit ke luar.

"Kamu dengar kan, besok saya ada jadwal ke Lombok. Karena kamu sekarang jadi sekretaris saya, kamu juga ikut saya. Kita akan pergi selama satu minggu. Siapkan diri kamu, besok pagi saya tunggu di bandara!" titah Lingga, membuat Intan hanya bisa mengangguk pasrah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jerat Gairah Lelaki Penguasa   Terkurung di kantor

    Agung masuk tanpa persetujuan Lingga. Asisten pribadi Lingga itu langsung menghampiri keduanya yang sudah tertangkap basah ingin berciuman. "Gila, ini kantor Bos," ledek Agung. Intan langsung mendorong Lingga menjauh. Wajahnya memerah menahan malu. Tanpa mengatakan atau membela diri, Intan bergegas keluar dari ruangan Lingga. "Kenapa kamu masuk tidak ketuk pintu dulu?" Lingga menatap tajam Agung yang terlihat santai "Aku sudah mengetuknya, kamu saja yang tidak dengar. Saking fokusnya ingin berciuman, kamu sampai tidak tau," sindir Agung, menyerahkan satu map berwarna coklat kepada Lingga. "Ini jadwal kamu besok sampai satu minggu ke depan, aku hanya mau menyerahkan ini saja," lanjut Agung, tersenyum mengejek. Lingga tidak menerima map itu, hanya matanya yang melirik sinis. "Kamu hanya memberikan ini saja? Cepat keluar sana! Lain kali, kalau mau masuk, ketuk pintu dulu!" usir Lingga, mendorong tubuh Agung, menuju pintu. Agung terkekeh mendapa

  • Jerat Gairah Lelaki Penguasa   Hampir berciuman

    Intan duduk termenung di kursinya. Kata-kata Agung membuatnya bingung. "Masa iya di kantor besar seperti ini ada kodok sih? Apa benar? Terus, dari mana Pak Agung tau, kalau tuh kodok berjenis betina?" "Aku seperti orang bodoh saja memikirkan ini. Apa jangan-jangan, pak Agung membohongi aku?" lanjut Intan bermonolog sendiri.Sibuk dengan pemikirannya. Telepon kantor di ruangannya berdering. Dengan tergesa-gesa Intan meraih gagang telepon di atas mejanya. "Hello selamat pagi, di sini Intan Sasmita, sekretaris dari perusahaan Lingga Mahendra," "Tidak perlu diberitahu! Cepat keruangan saya sekarang!" titah seorang pria, yang tidak lain adalah Lingga. Intan langsung meletakkan kembali gagang telepon ke tempat asalnya. "Huh, ternyata bos gila itu. Sudah bicara lembut, ternyata bukan orang penting yang menelepon," umpat Intan, dengan malas beranjak dari duduknya. Intan berjalan gontai menuju ruangan Lingga. Terlalu malas jika harus bertemu atasan yang selalu s

  • Jerat Gairah Lelaki Penguasa   Kodok betina

    Dengan sangat terpaksa Lingga hanya bisa menuruti kemauan Agung saja untuk tidak memotong gajinya. Ancaman dari asistennya itu, benar-benar membuat Lingga tak berdaya. "Sana keluar! Kerja yang benar, awas saja kalau ada yang salah!" "Kamu tenang saja Bos, semua kerjaan aman di tangan asisten handal seperti aku," sahut Agung, dengan penuh percaya diri. "Eh, tapi apa Bos yakin, tidak mau melihat sekretaris baru yang sesuai kriteria perusahaan?" tanya Agung, menggoda Lingga. "Keluar atau aku pecat kamu!" Lingga benar-benar dibuat kesal pagi ini. Agung langsung berlari keluar dari ruangan Lingga sambil terus tertawa. Mengerjai atasan itu, benar-benar ada kebahagiaan tersendiri, apalagi atasan yang seperti Lingga. Lingga melemparkan pena ke arah pintu yang baru saja Agung tutup, lalu memutarkan kursinya ke arah belakang. "Aduh!" Intan mengusap keningnya yang sakit. Mendengar suara yang familiar, Lingga langsung memutar kembali kursinya menghadap

  • Jerat Gairah Lelaki Penguasa   Mencari Intan

    Tak jauh berbeda dengan Intan. Lingga hanya bisa berbohong untuk saat ini. Tidak mungkin dirinya menceritakan kejadian saat di kamar mandi, saat dirinya tidak sengaja memegang satu diantara gunung kembar milik Intan karena lampu padam. "Bukannya tidak mencari kamar lain Ma, tapi saat itu memang semua kamar sedang penuh. Mama dan Papa kan tau sendiri kota itu bagaimana? Kota itu tempat wisata, pasti banyak yang datang," jelas Lingga, memberi alasan yang masuk akal. "Banyak alasan kamu Ga. Memangnya di kota itu cuma ada satu hotel saja? Masih banyak hotel lainnya, belum lagi penginapan, tidak mungkin semuanya penuh. Kalau mau memberi alasan, yang masuk akal sedikit. Memangnya kamu pikir, Mama dan papa ini bodoh?" omel sang mama. "Sudahlah Ma, semuanya juga sudah terlanjur. Tapi, kamu benar-benar tidak melakukan apa-apa kan, Ga? Jangan macam-macam kamu Ga! Reputasi kamu bisa hancur kalau sampai punya skandal dengan sekretaris. Itu juga akan ber

  • Jerat Gairah Lelaki Penguasa   Alasan Lingga

    Cukup lama Intan terdiam, gadis bermanik hitam itu akhirnya mendongakkan kepalanya. "Tidak Yah, Intan memang sempat masuk ke kamar pak Lingga waktu itu. Tapi bukan karena tidur satu kamar. Ada berkas yang Intan ambil untuk persiapan meeting," ujar Intan berbohong. Sang ayah menghela nafas lega. "Syukurlah kalau begitu. Kalau sampai kalian tidur satu kamar, Ayah pastikan kalian menikah saat itu juga," sahut ayah Intan. Intan menelan air liurnya kasar. "Ah, Ayah, tidak mungkin Intan satu kamar," "Hem, iya. Besok kamu mulai masuk kerja lagi? Apa kamu betah kerja di sana?" tanya ayahnya. "Betah kok Yah, besok Intan kerja lagi. Memangnya kenapa Yah?" "Baguslah kalau kamu betah. Kalau tidak betah, kamu kerja di perusahaan Ayah saja. Tidak kenapa-kenapa sih, Ayah cuma khawatir saja. Apa kamu tidak mendengar berita di kantor itu, bagaimana Lingga memimpin. Ada banyak karyawan dan sekretaris yang dia pecat, karena ti

  • Jerat Gairah Lelaki Penguasa   Intan diinterogasi ayahnya

    Tak terasa, pekerjaan luar kota Lingga dan Intan akhirnya selesai. Setelah kejadian pegang memegang beberapa hari lalu, Intan seolah menjaga jarak, walaupun Lingga beberapa kali meledeknya. "Kamu kenapa sekarang pendiam sekali? Apa kamu masih marah karena kejadian itu?" tanya Lingga, merasa tidak nyaman diabaikan. Intan menggeleng sambil membenahi kopernya. "Saya sudah melupakan kejadian itu. Jadi, saya mohon jangan diungkit lagi! Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa!" Kopernya sudah siap, Intan berdiri memegang kopernya. "Saya sudah siap," ujar Intan, sudah tidak sabar ingin segera pulang. Lingga tidak melanjutkan percakapannya lagi. Tanpa mengatakan apa-apa, Lingga langsung berjalan menyeret koper besar miliknya keluar dari kamar hotel. Perjalanan pulang kali ini tidak terlalu lama seperti saat mereka datang. Keduanya sudah sampai di bandara, menunggu pesawat yang membawa mereka sebentar lagi berangkat. "Apa kita makan dulu?" tanya Lingga,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status