Share

Bab 4. Wanita Malam vs Wanita Cafe

"Untuk apa kita di sini? Membuang waktu saja," gerutu Astin.

Astin merasa Marlin telah membuang waktunya malam ini. Marlin memaksanya pergi ke cafe tanpa alasan yang jelas. Padahal kehidupan cafe bukanlah suasana yang disenangi. Sangat jarang Astin datang dan nongkrong di cafe, apalagi tidak ada tujuan yang jelas.

"Sesekali hibur dirimu!" ucap Marlin sembari menyodorkan cangkir berisi kopi pada Astin.

"Aku tidak butuh hiburan semacam ini, Marlin. Hanya mengotori mataku saja."

Marlin tersenyum mendengar jawaban Astin.

"Bagaimana kalau salah satu orang yang kamu cari ada di sini?" Tubuh Marlin condong mendekati Astin.

Mata Astin membulat tajam menatap Marlin.

Marlin sendiri tersenyum tipis melihat Asin tidak dapat berkata-kata lagi dan tidak lagi menyalahkan dirinya. Keduanya kembali menikmati minuman yang telah mereka pesan.

"Lihat!" ucap Marlin menunjuk ke arah kanan menggunakan sorot mata.

Astin langsung menoleh mengikuti arah pandang Marlin.

"Bukankah kamu ingin tau tentang wanita malam itu?" Akhirnya Marlin menunjukkan alasan membawa Astin ke cafe.

Mata Astin menatap lekat wanita yang ditunjukkan Marlin.

Ya, wanita itu sama persis dengan wanita yang dilihatnya malam itu. Meski malam itu wajahnya dalam kegelapan, namun mata elangnya dapat mengenali hanya dengan sekali pandang. Bedanya, malam ini wajah wanita itu terpoles dengan sangat cantik dan anggun, berbeda dengan wajah natural malam itu. Meski begitu, Astin yakin dia adalah wanita yang sama.

Wanita itu bernama Karely Adilene. Karely mengenakan dress di atas lutut yang menunjukkan kaki jenjangnya yang indah. Dia terlihat seperti wanita cantik pada umumnya. Rambut hitamnya dibiarkan tergerai dengan ujung curly. Tidak seperti malam itu, diikat ekor kuda dengan ujung lurus.

"Bukankah katamu mereka polisi?" Astin merasa penampilan Karely malam ini tidak menunjukkan identitasnya sebagai anggota polisi.

"Bagaimana kalau dia anggota khusus? Apa penampilannya masih meragukan informasi yang aku beri?"

Astin terdiam memikirkan perkataan Marlin, hingga beberapa saat setuju dengan pendapat itu.

"Apa semakin tertarik ingin mengenalnya?" goda Marlin.

"Jangan gila!" Astin memutar duduknya dan kembali menghadap meja, menenguk kopi beberapa kali. "Jangan berpikir macam-macam!"

Dalam hidupnya, Astin tidak pernah memiliki keinginan untuk mengenal wanita, apalagi sampai tertarik dan mendekati dengan tujuan cinta. Satu-satunya wanita yang dekat dengannya hanya Nancy karena dia dokter dalam Giustizia, juga Yoselin, wanita yang selama ini merawat dan membesarkannya.

Dengan kaki jenjang bak burung bangau yang indah dengan tepi dress menutupi setengah di atas lutut, Karely lebih terlihat anggun melintasi meja tempat Astin dan Marlin duduk. Wanita itu tampak berkelas.

"Wanita sempurna!" puji Marlin dengan suara lirih mengagumi kecantikan dan tubuh indah Karely.

Pujian ini diucapkan bukan tanpa alasan dan bukan hanya keluar dari bibirnya sendiri. Namun, pujian ini sengaja diucapkan untuk memancing reaksi Astin. Sayangnya, ketua Giustizia itu sama sekali tidak memberikan reaksi yang berarti. Astin malah sibuk mengisi gelasnya kembali.

Karely duduk sendirian menikmati matcha green tea latte. Tangannya rajin mengaduk, menggerakkan ujung sedotan dalam gelas. Sesaat bibirnya tersenyum tipis saat matanya melihat ke arah meja Astin dan Marlin.

"Dia tersenyum padamu," ucap Marlin kembali menggoda Astin.

"Kamu terlalu percaya diri," sahut Astin cuek, dingin. Bahkan mengalihkan pandangnya ke arah lain.

Sebenarnya, tanpa Marlin mengatakan pun, dia sudah bisa melihat bila Karely tersenyum padanya. Meski terkesan cuek dan masa bodoh, namun sebenarnya sejak kedatangan wanita itu, Astin diam-diam memperhatikannya.

"Tampan juga pria itu," ucap Karely menggumam sendiri.

Karely bangkit dari duduk hendak mendekati Astin dan Marlin, namun ....

"Oh, no!" serunya kaget.

Seketika langkahnya terhenti saat sebuah cairan dingin merasuk ke dalam pakaian bagian atas tubuhnya.

"Oh, Nona. Maafkan aku," ucap pria yang dengan sengaja menumpahkan minuman pada area dada Karely.

Tangan nakal pria itu meraih beberapa tisu dari meja di sebelah mereka berdiri. Tanpa melihat mata melotot Karely, tangan pria itu langsung menyentuh bagian tubuh terlarangnya dengan berpura-pura mengeringkan dengan tisu.

Satu ... dua ....

Karely mulai menghitung sembari mengatur napas marahnya. Matanya masih fokus pada wajah laki-laki buaya yang dengan santai menikmati kulit mulusnya.

"Apa sudah cukup puas, Tuan?" ucapnya penuh penekanan menahan rasa marah yang telah membuat darahnya mendidih.

"Kulitmu sangat mulus, Nona. Kau cantik," bisik pria genit itu mendekatkan wajah pada wajah mulus Karely.

Aliran darah Karely berdesir di setiap pembuluh arteri dan vena dalam tubuhnya menuju ubun-ubun dan siap untuk menyembur. Sesaat Karely memejamkan mata menahan semburan amarah yang hampir tak terbendung.

"Siapa nama Anda, Tuan? Katakan padaku agar aku lebih bisa mengingatnya!" tanyanya setelah membuka mata dan memberi sedikit senyum penuh arti.

Karely bukan tidak tau siapa pria itu. Dia hanya pura-pura tidak mengetahui saja.

"Alard."

Ya, Alard. Salah satu pria yang menjadi target operasinya selama ini. Saat ini Karely diam-diam sedang menyelidiki dan mengumpulkan informasi tentang pria itu karena diduga pria itu adalah salah satu penyuplai senjata rakitan yang dijual bebas.

"Tuan Alard, tolong singkirkan tangan Anda dari tubuhku!" Sebenarnya Karely tidak ingin membuat masalah dengan pria itu sebelum dugaannya terbukti.

"Bagaimana kalau kamu temani aku minum malam ini, Nona?"

Alard tidak menghiraukan mimik wajah Karely yang memberinya peringatan. Sebaliknya, pria itu malah semakin nakal dan menggoda. Bahkan telah berani mencubit ujung dagu Karely.

"Maaf, Tuan Alard yang terhormat. Sebaiknya singkirkan tangan Anda dari tubuhku!" Karely kembali memberi peringatan. Kali ini masih dengan suara lirih dibuat sesabar mungkin.

Bukan karena dia takut pada pria itu. Karely hanya tidak mau identitas dan penyamarannya malam ini terbongkar bila dia membuat keributan. Bisa saja di antara pengunjung cafe ada yang mengenalinya.

Bukannya pergi atau minta maaf, Alard malah semakin kurang ajar. Tangan pria itu semakin berani menyentuh kulit pundak Karely yang mulus.

Plak!

Kesabaran Karely menghilang sehingga melayangkan tamparan keras pada wajah Alard. Niat awal untuk berdamai sirna sudah. Karely melupakan tujuannya karena merasa harga dirinya sebagai wanita telah diinjak-injak.

"Jangan pernah melecehkan wanita, Tuan Alard!" serunya marah.

"Oh ... kamu berani menamparku? Dasar wanita jalang!" balas Alard tidak terima mendapat tamparan keras Karely. Pria itu mencengkeram dagu Karely.

Karena Alard semakin mendesak, Karely tidak bisa hanya diam saja. Bermodal ketangkasan yang dimiliki, dengan cepat dapat melepaskan tangan pria itu, lalu mendorongnya kuat hingga tubuh Alard terhempas beberapa langkah ke belakang.

"Nyalimu besar juga, Nona. Sepertinya akan lebih menyenangkan bila kamu lakukan di atas ranjang bersamaku, Nona cantik." Rupanya Alard tidak menyerah. Pria itu dengan cepat berdiri tegak dan kembali melangkah mendekati Karely.

Mendengar perkataan Alard, darah Karely semakin mendidih. Pria itu telah menghina dan merendahkan harga dirinya.

Baru juga ingin memberi pelajaran, tiba-tiba Alard mengangkat tangan memberi kode. Mata Karely membulat sempurna melihat beberapa pria berdiri dan mulai berjalan ke arahnya dengan tatapan bengis.

"Masih mau jual mahal dan sok galak, Gadis cantik?" Alard menyeringai menang.

"Kamu!" Karely mundur beberapa langkah. Bukan takut, dia hanya butuh ruang untuk bersiap.

Sayangnya, tanpa diduga saat kakinya melangkah mundur, ternyata di belakang pun ada dua pria yang sudah berdiri dan langsung mengunci kedua lengannya.

"Lepaskan aku!"

Karely berusaha memberontak melepaskan diri. Sayang, cengkeraman tangan kedua pria itu terlalu kuat sehingga sulit baginya untuk melepaskan diri.

"Aku sudah memberimu tawaran baik-baik, Nona. Sayang kamu menolak dan memilih cara ini," ucap Alard

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status