"Sial! Malam ini aku gagal," ucap Astin dengan nada kecewa dan marah.
Mereka berhasil lolos setelah Marlin memaksa dan menyeretnya pergi karena melihat bayangan beberapa orang datang ke arah mereka."Maafkan aku." Marlin masih merasa kegagalan ini adalah ulah bodohnya.Astin menegakkan wajah menatap pria yang terlihat kacau dan lelah. Perlahan mendekat dan menepuk pundak Marlin dengan cukup keras, lalu tersenyum di antara napas terengah dan cepat."Ini pilihan yang tepat," ucapnya tidak menyalahkan Marlin."Tapi kita gagal. Kita tidak bisa mendapatkan informasi tentang ketua mereka. Kita juga tidak berhasil membawa salah satu dari mereka untuk kita siksa. Crico juga tidak mendapatkan makanan gratis hari ini." Marlin menatap mata Astin dengan rasa bersalah."No. Siapa bilang kita tidak mendapatkan apa-apa? Kita dapat ini." Astin mengangkat koper hitam yang berhasil dia bawa lari."Wow! Kau mendapatkannya?" Mata Marlin terbelalak senang."Ya, biarpun kita tidak mendatangkan mainan untuk kita siksa hari ini dan Crico tidak mendapatkan makanan gratis, tapi kita mendapatkan uang untuk menambah kekayaan kita." Astin tersenyum puas dengan apa yang dia dapat hari ini.Marlin tersenyum senang. Hanya saja senyum itu segera menghilang."Bagaimana dengan lukamu?"Astin segera menunduk melihat lapang perutnya. Sakit itu sudah pasti. Luka yang belum sepenuhnya sembuh, kembali berdarah karena tendangan kaki musuh yang cukup kuat. Hanya saja dia tidak ingin Marlin semakin mengkhawatirkannya. Bibirnya pun tersenyum."Tidak masalah. Aku akan minta Nancy menjahit dan memberiku obat setelah kita kembali ke markas," sahutnya menenangkan Marlin."Kalau begitu kita harus segara pergi dari sini. Jangan sampai mereka mengejar kita." Marlin bangkit berdiri dan mengulurkan tangan membantu Astin."Tunggu!" Astin menahan tangan Marlin.Astin menoleh ke arah kanan, di mana pertempuran mereka tadi berlangsung. Bukan tanpa sebab, saat hendak berdiri tidak sengaja ekor matanya menangkap bayangan seorang wanita dengan rambut diikat ekor kuda di antara beberapa pria lainnya."Siapa mereka?" tanyanya dengan sorot mata ingin tau.Astin dapat melihat jelas bayangan mereka dan bayangan wanita itu ketika wajah cantiknya tersorot oleh senter yang lain.Marlin segera mengarahkan pandangnya ke arah pandang Astin. Matanya tajam meneliti wanita yang dimkasud oleh Astin. Beberapa saat kemudian setelah memperhatikan wajah wanita itu dan juga rombongan lainnya, dia baru menyadari bila orang-orang yang datang sepertinya bukan komplotan dari para pria tadi."Dari pakaian dan cara mereka beroperasi, aku rasa mereka polisi," jawab Marlin setelah mengawasi dan mencermati gerak-gerik mereka."Apa komplotan ini juga sudah menjadi incaran polisi?"Marlin tertawa kecil."Mereka komplotan besar, sudah pasti polisi akan mengejar mereka.""Itu artinya mereka juga melakukan pengintaian. Apa mereka tau keberadaan kita?""Seharusnya tidak," jawab Marlin yakin bila keberadaan mereka tidak akan pernah diketahui polisi."Aku rasa juga begitu," sahut Astin setuju dengan pemikiran Marlin.Astin berdiri sendiri tanpa bantuan Marlin."Aah!" Astin mendesah kesakitan."Astin!"Marlin terkejut melihat Astin memegangi perutnya waktu berdiri. Lebih terkejut lagi saat melihat ada darah keluar dari luaknya."Lukamu terbuka lagi?""Aku rasa begitu," ucapnya di antara sakit yang hebat."Kita ke rumah sakit." Marlin memapah Astin."Jangan bodoh! Kita kembali ke markas saja!""Tapi lukamu parah, Astin?" Marlin semakin khawatir.Astin semakin terlihat kesakitan saat berjalan."Rumah sakit juga pasti akan bertanya tentang luka ini, lalu aku menjawab, terkena luka sabet saat aku bertempur?" Astin marah sembari menyeringai kesakitan"Tapi Astin?""Nancy dokter bedah. Dia mengobati lukaku."Dia memang tidak takut mati dan sakit. Saat beradu jotos pun, dia tidak takut dan tidak merasakan sakit terkena hantaman musuh. Bahkan luka gores itu sudah biasa menyakiti tubuhnya. Untung dia sering memakai pakaian khusus untuk menahan sabetan senjata tajam. Kalau tidak, mungkin tubuhnya akan penuh dengan codet.Nancy adalah seorang dokter, dia selalu memberikan krim pada Astin agar luka sisa pertarungan tidak membekas pada kulitnya. Sebenarnya Astin sendiri tidak terlalu peduli dengan penampilannya, tapi Nancy, sangat peduli."Kalau tau begini, aku tidak akan membiarkanmu datang," gerutu Marlin sembari memapah Astin masuk ke dalam mobil.Luka itu dia dapat saat bertempur beberapa hari lalu saat merebut menggagalkan penyelundupan senjata api. Saat itu Astin lalai. Dia terlalu hanyut dalam tangisan seorang anak kecil. Konsentrasinya memudar. Dengan mudah musuh menusuk perutnya. Untung Marlin langsung menghabisi si penusuk dan langsung membawanya pergi dari tempat itu.Marlin membagi konsentrasinya pada jalan dan Astin. Dia juga terus menghubungi nomor Nancy menceritakan kondisi Astin saat ini sehingga saat mereka tiba di markas, Nancy langsung menyambut mereka, menyambut Astin."Astin!" Nancy tampak khawatir melihat kondisi Astin."Sepertinya kamu perlu menjahit kembali lukaku," ucap Astin sembari merebahkan tubuhnya dengan bantuan Marlin dan Nancy."Kenapa lukamu?"Dengan cekatan dan terampil Nancy mulai membuka pakaian Astin dan memeriksa lukanya, lalu membersihkan dan mengoleskan obat."Seharusnya pertanyaan itu tidak kamu tanyakan," sahut Astin sembari menyeringai kesakitan ketika Nancy sedikit menekan lukanya."Seharusnya kamu istirahat beberapa hari lagi dan membiarkan Marlin menangani semuanya."Nancy menunjukkan wajah kesal dan marah karena Astin tidak menuruti perintahnya untuk istirahat demi kesembuhan lukanya."Aku harus segera menemukan mereka?" ucap Astin sembari menarik tubuhnya untuk bersandar setelah Nancy selesai."Apa kamu pikir orang yang kamu cari ada di antara mereka?" Nancy semakin kesal. "Mereka itu hanya tikus kecil yang haus uang. Mana mungkin orang itu ada di antara mereka?"Astin terdiam. Meski yang dikatakan Nancy benar, namun tidak menuntut kemungkinan tikus-tikus kecil itu bisa saja berhubungan dengan orang yang dicarinya selama ini."Kenapa kamu membiarkan dia melakukannya?" Kali ini Nancy menumpahkan kekesalannya pada Marlin karena telah membawa Astin bertarung saat lukanya belum pulih"Maafkan aku. Aku pikir Marlo dan yang lain segera datang tepat waktu, tapi nyatanya tidak.""Sepertinya kedatangan Marlo telah diketahui musuh, makanya perjalan mereka dihadang sebelum sampai tempat.""Bodoh!" maki Marlin. "Sekarang di mana Marlo?""Belum kembali. Mungkin dia mencari kalian," jawab Nancy mengedarkan pandang antara Marlin dan Astin.Mendengar hal itu, Marlin segera mengambil ponsel dan menghubungi Marlo. Bagaimanapun Marlo dan rombongannya tidak boleh datang ke sana karena di tempat itu pasti masih banyak polisi."Bagaimana?" tanya Astin setelah Marlin kembali menemuinya."Mereka akan segera kembali.""Baguslah!"Astin bisa bernapas lega.Meski kehidupan mereka penuh dengan resiko dan bertaruh nyawa, tapi dia berharap tidak ada anggotanya yang gugur atau mati dalam pertempuran, terlebih Marlin, Marlo dan Nancy. Ketiga orang itu sudah seperti keluarga baginya."Marlin, kamu mengenal wanita tadi?" Rupanya Astin masih penasaran dengan wanita yang dilihatnya.Nancy ikut menatap mata Marlin, dia juga penasaran dengan wanita yang ditanyakan Astin."Dia ...." Marlin ragu menyebutkan namanya karena dia sendiri tidak yakin, namun pernah mendengar sedikit tentang wanita itu."Marlin?" Sekarang malah Nancy yang tidak sabar mendengar jawaban Marlin."Aku tidak yakin. Tapi kalau kamu mau, aku akan mencari tau tentang wanita itu," jawab Marlin tidak mau memberikan informasi yang belum sepenuhnya diketahui dengan jelas dan benar."Untuk apa kita di sini? Membuang waktu saja," gerutu Astin.Astin merasa Marlin telah membuang waktunya malam ini. Marlin memaksanya pergi ke cafe tanpa alasan yang jelas. Padahal kehidupan cafe bukanlah suasana yang disenangi. Sangat jarang Astin datang dan nongkrong di cafe, apalagi tidak ada tujuan yang jelas."Sesekali hibur dirimu!" ucap Marlin sembari menyodorkan cangkir berisi kopi pada Astin."Aku tidak butuh hiburan semacam ini, Marlin. Hanya mengotori mataku saja."Marlin tersenyum mendengar jawaban Astin."Bagaimana kalau salah satu orang yang kamu cari ada di sini?" Tubuh Marlin condong mendekati Astin.Mata Astin membulat tajam menatap Marlin.Marlin sendiri tersenyum tipis melihat Asin tidak dapat berkata-kata lagi dan tidak lagi menyalahkan dirinya. Keduanya kembali menikmati minuman yang telah mereka pesan."Lihat!" ucap Marlin menunjuk ke arah kanan menggunakan sorot mata.Astin langsung menoleh mengikuti arah pandang Marlin."Bukankah kamu ingin tau tentang wanita m
"Lepaskan wanita itu, Tuan!"Bukan hanya perhatian Alard yang berpindah dan kaget mendengar perintah itu, Karely yang sedang berusaha melepaskan diri pun ikut mengarahkan mata pada pemilik suara. Dia tidak menyangka ada pengunjung cafe yang berani ikut campur dan beurusan dengan Alard, makanya Karely terkejut.Alard menyeringai sombong dan angkuh."Mau jadi pahlawan untuk wanita ini?" Alard meremehkan.Astin tertawa kecil. Meski Alard memasang wajah galak, bengis dan bossy, juga beberapa pria siap dengan tinju mengepal, Asin tetap berdiri dengan tenang. Sedangkan Marlin tetap duduk dengan tenang memperhatikan. Meski begitu, dia juga telah siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi bila keselamatan Astin terancam."Bukan pahlawan, Tuan. Mana berani aku melawan Anda?" Astin berlagak bodoh dan polos berjalan mendekati Alard."Tuan, orang seperti Anda memperlakukan wanita dengan kasar, rasanya hanya akan merusak reputasi Anda saja," ucap Astin menepuk pundak Alard, tapi ekor matany
"Bagaimana pria itu? Apa sudah kamu bereskan?""Sesuai dengan perintahmu," jawab Marlin menyambut kedatangan Astin di markas mereka.Setelah semalam terjadi keributan di cafe dan Astin membiarkan Karely pergi begitu saja, baru siang ini dia datang mengunjungi markas. Bahkan dalam kepalanya tidak ada lagi nama Karely. Dia tidak lagi memikirkan untuk mengenal wanita itu."Tuan."Semua orang membungkuk saat Astin berjalan memasuki rumah besar dikelilingi tembok tinggi setelah seseorang membuka pintu mobil dan berjalan keluar. Pintu pagarnya pun terbuat dari bahan yang tangguh dan tertutup rapat dengan penjagaan ketat. "Apa dia sudah buka mulut?" tanyanya sembari terus berjalan."Sepertinya pria ini memilih mati.""Kita lihat, setelah bertemu denganku, apakah dia masih tutup mulut," ucapnya dengan seringai kejam"Sepertinya orang ini hanya tikus kecil saja," ucap Marlin terus berjalan beriringan dengan Astin.Astin menghentikan langkah, lalu membagi pandang pada beberapa pria di belakang
"Ada apa ke sini?" "Apa aku tidak boleh datang menemuimu?" Nancy menanggapi dengan santai, lalu merebahkan diri di atas sofa.Respon Astin dingin saat Nancy datang ke rumah menemuinya tanpa dia undang. Padahal rencananya hari ini dia ingin istirahat. Bukan hanya istirahat dari pengejar tikus-tikus pengganggu saja, melainkan istirahat juga dari aktifitas pekerjaan kantornya.Astin hanya melihatnya menggunakan ekor mata. Dia masih tetap duduk malas bergeming."Aku sedang turun jaga, makanya aku ke sini," jawab Nancy melakukan hal yang sama, menjawab dengan malas dan santai."Kenapa tidak istirahat? Bukankah pekerjaan sebagai dokter bedah cukup melelahkan?" Kali ini mata dan pandangan Astin penuh ke arah Nancy.Terdengar tawa kecil dari bibir mungil Nancy. Wanita cantik itu berprofesi sebagai dokter bedah di sebuah rumah sakit yang cukup besar di kota. Saat waktu senggang atau setelah selesai dengan tugasnya, Nancy akan lebih banyak menghabiskan waktu di marka
"Marlin, kamu yakin mereka akan melakukan transaksi di tempat seramai ini?" Astin mengedarkan pandang ke sekitar.Dia merasa tidak yakin ada transaksi gelap dalam keramaian, di sekitar pasar swalayan. Terlebih saat itu adalah siang hari, di mana banyak orang melakukan aktifitas.Mendengar pertanyaan Astin dan juga melihat keramaian tempat itu, tiba-tiba Marlin pun merasa tidak yakin. Hanya saja info yang dia dapat tidak akan salah."Aku rasa ada tempat rahasia yang mereka gunakan untuk melakukan transaksi itu. Mungkin juga mereka memilih tempat ramai untuk meminimalisir kecurigaan polisi," ucap Marlin sembari terus mengedarkan pandang juga."Tapi sejak tadi kita berada di sini, aku tidak melihat ada gerak-gerik mencurigakan di antara pengunjung pasar."Sudah hampir satu jam mereka menunggu sembari menikmati secangkir kopi di sebuah kedai. Keduanya terus waspada. Mata mereka terus mengawasi, tidak pernah berhenti mencari pergerakan mencurigakan di sekitar.Bar
"Tuan, awas!" Karely berteriak pada Astin ketika melihat salah satu dari dua pria itu menghunus pisau ke arah Astin hendak menikam perutnya. Karena teriakan inilah, Astin yang sedang bertarung dengan pria satunya kaget dan langsung menghindar. Namun naas, gerakannya kurang gesit sehingga pisau itu berhasil menggores lengannya."Tuan!" Marlin terkejut dan khawatir melihat lengan Astin terluka.Marlin yang sejak tadi was-was memperhatikan Astin melakukan perlawanan terhadap dua perampok demi menyelamatkan Karely dan ibunya, akhirnya angkat suara. Sebenarnya sejak tadi dia ingin membantu, tapi Astin telah melarang dan menyuruhnya diam tanpa ikut campur.Langkah Marlin kembali terhenti saat Astin memberinya tatapan penuh arti untuk tetap diam."Polisi!" teriak Marlin. Meski Astin melarangnya membantu, Marlin tidak bisa membiarkannya terluka.Teriakan ini bukan omong kosong saja. Teriakan Marlin disusul suara sirine mobil polisi dan beberapa polisi berlari ke ara
"Tante, aku bisa tidur di sofa," ucap Astin merasa tidak enak hati melihat wajah tidak rela Karely."Apa yang kamu katakan?" Teresa menunjukkan wajah marah atas perkataan Astin.Perbincangan keduanya membuat Karely menghentikan langkah dan membagi pandang ke arah mereka secara bergantian. "Karely!"Karely menghela napas mendalam dan menghempaskan panjang, lalu melanjutkan langkahnya. Ada rasa tidak ikhlas membiarkan Astin menempati kamar yang selama ini dijaga dan tidak dibiarkan orang lain masuk.Karely membuka pintu dengan rasa enggan. Berdiri di ambang pintu dengan mata beredar memperhatikan setiap ruang dan sudut. Lagi-lagi dadanya terasa sesak, napasnya melambat dan berat."Maaf, aku harus membiarkan orang lain masuk dan tinggal di sini beberapa hari," ucapnya sembari melangkah masuk.Karena kamar itu akan digunakan oleh orang lain, dia harus membereskan barang-barang yang seharusnya tidak boleh dilihat orang lain, termasuk Astin."Untuk sementa
"Pakaian ini?" Astin mengangkat salah satu kaos yang diberikan Karely padanya, membentangkan untuk memperhatikan. Ukuran, model dan kualitas bukanlah merupakan kaos yang biasa atau murah. Bisa dikatakan kaos bermerek yang memiliki harga tinggi. Astin bukan tidak tau pakaian bermerek karena dia pun menggunakan pakaian bermerek juga.Sedangkan Karely, dia masih terdiam dengan tatapan menunggu apa yang akan dikatakan Astin tentang pakaian itu. Sungguh, dalam hati ada rasa tidak ikhlas memberikan pakaian itu pada pria lain, termasuk Astin. Rasanya sebuah luka kembali mengangga dalam hati. Sebuah kenangan kembali terkuak dan melintas dalam kepalanya."Bila kamu keberatan, aku tidak akan memakainya," ucap Astin kembali melipat pakaian yang tadi dia bentangkan, lalu membalas tatapan Karely. "Ini terlalu mahal untukku," sambungnya.Salah satu sudut bibir Karely berkedut dan tertarik."Harganya tidak bisa dibandingkan dengan pakaianmu," sahut Karely mencebik.Dia bukan wanita bodoh yang tidak