Share

Bab 3. Terluka

"Sial! Malam ini aku gagal," ucap Astin dengan nada kecewa dan marah.

Mereka berhasil lolos setelah Marlin memaksa dan menyeretnya pergi karena melihat bayangan beberapa orang datang ke arah mereka.

"Maafkan aku." Marlin masih merasa kegagalan ini adalah ulah bodohnya.

Astin menegakkan wajah menatap pria yang terlihat kacau dan lelah. Perlahan mendekat dan menepuk pundak Marlin dengan cukup keras, lalu tersenyum di antara napas terengah dan cepat.

"Ini pilihan yang tepat," ucapnya tidak menyalahkan Marlin.

"Tapi kita gagal. Kita tidak bisa mendapatkan informasi tentang ketua mereka. Kita juga tidak berhasil membawa salah satu dari mereka untuk kita siksa. Crico juga tidak mendapatkan makanan gratis hari ini." Marlin menatap mata Astin dengan rasa bersalah.

"No. Siapa bilang kita tidak mendapatkan apa-apa? Kita dapat ini." Astin mengangkat koper hitam yang berhasil dia bawa lari.

"Wow! Kau mendapatkannya?" Mata Marlin terbelalak senang.

"Ya, biarpun kita tidak mendatangkan mainan untuk kita siksa hari ini dan Crico tidak mendapatkan makanan gratis, tapi kita mendapatkan uang untuk menambah kekayaan kita." Astin tersenyum puas dengan apa yang dia dapat hari ini.

Marlin tersenyum senang. Hanya saja senyum itu segera menghilang.

"Bagaimana dengan lukamu?"

Astin segera menunduk melihat lapang perutnya. Sakit itu sudah pasti. Luka yang belum sepenuhnya sembuh, kembali berdarah karena tendangan kaki musuh yang cukup kuat. Hanya saja dia tidak ingin Marlin semakin mengkhawatirkannya. Bibirnya pun tersenyum.

"Tidak masalah. Aku akan minta Nancy menjahit dan memberiku obat setelah kita kembali ke markas," sahutnya menenangkan Marlin.

"Kalau begitu kita harus segara pergi dari sini. Jangan sampai mereka mengejar kita." Marlin bangkit berdiri dan mengulurkan tangan membantu Astin.

"Tunggu!" Astin menahan tangan Marlin.

Astin menoleh ke arah kanan, di mana pertempuran mereka tadi berlangsung. Bukan tanpa sebab, saat hendak berdiri tidak sengaja ekor matanya menangkap bayangan seorang wanita dengan rambut diikat ekor kuda di antara beberapa pria lainnya.

"Siapa mereka?" tanyanya dengan sorot mata ingin tau.

Astin dapat melihat jelas bayangan mereka dan bayangan wanita itu ketika wajah cantiknya tersorot oleh senter yang lain.

Marlin segera mengarahkan pandangnya ke arah pandang Astin. Matanya tajam meneliti wanita yang dimkasud oleh Astin. Beberapa saat kemudian setelah memperhatikan wajah wanita itu dan juga rombongan lainnya, dia baru menyadari bila orang-orang yang datang sepertinya bukan komplotan dari para pria tadi.

"Dari pakaian dan cara mereka beroperasi, aku rasa mereka polisi," jawab Marlin setelah mengawasi dan mencermati gerak-gerik mereka.

"Apa komplotan ini juga sudah menjadi incaran polisi?"

Marlin tertawa kecil.

"Mereka komplotan besar, sudah pasti polisi akan mengejar mereka."

"Itu artinya mereka juga melakukan pengintaian. Apa mereka tau keberadaan kita?"

"Seharusnya tidak," jawab Marlin yakin bila keberadaan mereka tidak akan pernah diketahui polisi.

"Aku rasa juga begitu," sahut Astin setuju dengan pemikiran Marlin.

Astin berdiri sendiri tanpa bantuan Marlin.

"Aah!" Astin mendesah kesakitan.

"Astin!"

Marlin terkejut melihat Astin memegangi perutnya waktu berdiri. Lebih terkejut lagi saat melihat ada darah keluar dari luaknya.

"Lukamu terbuka lagi?"

"Aku rasa begitu," ucapnya di antara sakit yang hebat.

"Kita ke rumah sakit." Marlin memapah Astin.

"Jangan bodoh! Kita kembali ke markas saja!"

"Tapi lukamu parah, Astin?" Marlin semakin khawatir.

Astin semakin terlihat kesakitan saat berjalan.

"Rumah sakit juga pasti akan bertanya tentang luka ini, lalu aku menjawab, terkena luka sabet saat aku bertempur?" Astin marah sembari menyeringai kesakitan

"Tapi Astin?"

"Nancy dokter bedah. Dia mengobati lukaku."

Dia memang tidak takut mati dan sakit. Saat beradu jotos pun, dia tidak takut dan tidak merasakan sakit terkena hantaman musuh. Bahkan luka gores itu sudah biasa menyakiti tubuhnya. Untung dia sering memakai pakaian khusus untuk menahan sabetan senjata tajam. Kalau tidak, mungkin tubuhnya akan penuh dengan codet.

Nancy adalah seorang dokter, dia selalu memberikan krim pada Astin agar luka sisa pertarungan tidak membekas pada kulitnya. Sebenarnya Astin sendiri tidak terlalu peduli dengan penampilannya, tapi Nancy, sangat peduli.

"Kalau tau begini, aku tidak akan membiarkanmu datang," gerutu Marlin sembari memapah Astin masuk ke dalam mobil.

Luka itu dia dapat saat bertempur beberapa hari lalu saat merebut menggagalkan penyelundupan senjata api. Saat itu Astin lalai. Dia terlalu hanyut dalam tangisan seorang anak kecil. Konsentrasinya memudar. Dengan mudah musuh menusuk perutnya. Untung Marlin langsung menghabisi si penusuk dan langsung membawanya pergi dari tempat itu.

Marlin membagi konsentrasinya pada jalan dan Astin. Dia juga terus menghubungi nomor Nancy menceritakan kondisi Astin saat ini sehingga saat mereka tiba di markas, Nancy langsung menyambut mereka, menyambut Astin.

"Astin!" Nancy tampak khawatir melihat kondisi Astin.

"Sepertinya kamu perlu menjahit kembali lukaku," ucap Astin sembari merebahkan tubuhnya dengan bantuan Marlin dan Nancy.

"Kenapa lukamu?"

Dengan cekatan dan terampil Nancy mulai membuka pakaian Astin dan memeriksa lukanya, lalu membersihkan dan mengoleskan obat.

"Seharusnya pertanyaan itu tidak kamu tanyakan," sahut Astin sembari menyeringai kesakitan ketika Nancy sedikit menekan lukanya.

"Seharusnya kamu istirahat beberapa hari lagi dan membiarkan Marlin menangani semuanya."

Nancy menunjukkan wajah kesal dan marah karena Astin tidak menuruti perintahnya untuk istirahat demi kesembuhan lukanya.

"Aku harus segera menemukan mereka?" ucap Astin sembari menarik tubuhnya untuk bersandar setelah Nancy selesai.

"Apa kamu pikir orang yang kamu cari ada di antara mereka?" Nancy semakin kesal. "Mereka itu hanya tikus kecil yang haus uang. Mana mungkin orang itu ada di antara mereka?"

Astin terdiam. Meski yang dikatakan Nancy benar, namun tidak menuntut kemungkinan tikus-tikus kecil itu bisa saja berhubungan dengan orang yang dicarinya selama ini.

"Kenapa kamu membiarkan dia melakukannya?" Kali ini Nancy menumpahkan kekesalannya pada Marlin karena telah membawa Astin bertarung saat lukanya belum pulih

"Maafkan aku. Aku pikir Marlo dan yang lain segera datang tepat waktu, tapi nyatanya tidak."

"Sepertinya kedatangan Marlo telah diketahui musuh, makanya perjalan mereka dihadang sebelum sampai tempat."

"Bodoh!" maki Marlin. "Sekarang di mana Marlo?"

"Belum kembali. Mungkin dia mencari kalian," jawab Nancy mengedarkan pandang antara Marlin dan Astin.

Mendengar hal itu, Marlin segera mengambil ponsel dan menghubungi Marlo. Bagaimanapun Marlo dan rombongannya tidak boleh datang ke sana karena di tempat itu pasti masih banyak polisi.

"Bagaimana?" tanya Astin setelah Marlin kembali menemuinya.

"Mereka akan segera kembali."

"Baguslah!"

Astin bisa bernapas lega.

Meski kehidupan mereka penuh dengan resiko dan bertaruh nyawa, tapi dia berharap tidak ada anggotanya yang gugur atau mati dalam pertempuran, terlebih Marlin, Marlo dan Nancy. Ketiga orang itu sudah seperti keluarga baginya.

"Marlin, kamu mengenal wanita tadi?" Rupanya Astin masih penasaran dengan wanita yang dilihatnya.

Nancy ikut menatap mata Marlin, dia juga penasaran dengan wanita yang ditanyakan Astin.

"Dia ...." Marlin ragu menyebutkan namanya karena dia sendiri tidak yakin, namun pernah mendengar sedikit tentang wanita itu.

"Marlin?" Sekarang malah Nancy yang tidak sabar mendengar jawaban Marlin.

"Aku tidak yakin. Tapi kalau kamu mau, aku akan mencari tau tentang wanita itu," jawab Marlin tidak mau memberikan informasi yang belum sepenuhnya diketahui dengan jelas dan benar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status