LOGINPagi itu udara masih segar, kabut tipis menggantung di pekarangan rumah Santoso. Burung gereja ribut di pohon mangga, menyambut datangnya hari baru. Risa turun lebih dulu, rambutnya masih acak, wajahnya polos setelah semalaman gelisah.
Ruang makan sudah penuh. Nyonya Santoso tersenyum hangat, bahkan Kakek Santoso yang jarang bicara mengangguk kecil. “Risa… kau pulang juga akhirnya,” suaranya berat tapi teduh. “Rumah ini selalu untukmu.”
Dadanya hangat. Risa menunduk, menahan air mata yang hampir pecah. Ia tak menyangka akan diterima dengan begitu mudah. “Terima kasih, Kek…”
Obrolan sarapan mengalir ringan. Tentang kuliah, kabar desa, juga rencana keluarga. Risa mencoba menjawab, meski kadang suaranya bergetar. Ia merasa seolah kembali jadi bagian dari keluarga—setidaknya di hadapan mereka.
Namun, di ujung meja, Dante hanya diam. Tangan besarnya menggenggam cangkir kopi, tapi matanya tak pernah lepas dari setiap detail tubuh Risa. Sejak tadi ia memperhatikan gerak kecil gadis itu—cara ia menunduk terlalu lama, cara senyumnya lebih mirip tameng daripada bahagia.
Dan sesuatu di dadanya terus mengusik.
Ketika sarapan selesai, semua beranjak. Kakek Santoso menepuk pundak Risa, penuh kasih. “Anggap saja kemarin tak pernah terjadi. Kau tetap cucu kami.”
Risa mengangguk, senyumnya tipis tapi tulus. Ia merasa diterima, tapi di balik itu tetap ada bayangan gelap yang tak ia bagi pada siapa pun.
Mereka keluar ke teras. Cahaya matahari menerobos, jatuh di wajah Risa. Saat ia mengangkat rambut ke belakang telinga, Dante terhenti. Pandangannya memaku pada kulit pucat di lengan—lebam samar kebiruan. Dan bukan hanya itu. Ketika Risa bergerak, kerah bajunya sedikit bergeser, memperlihatkan semburat ungu tipis di bawah tulang selangka, merambat ke leher.
Darah Dante mendidih. Rahangnya mengeras, napasnya berat. Itu bukan jatuh biasa. Itu jelas bekas tekanan.
“Siapa yang melakukan itu?” suaranya rendah, hampir seperti geraman.
Risa tersentak. Senyumnya buyar, berganti gugup. Ia buru-buru merapatkan kerah baju, menunduk. “Aku… gapapa, Om.”
Dante melangkah, jaraknya makin sempit. Tubuh Risa terdesak ke dinding kayu teras. Tangannya bergetar memegang ujung baju, matanya berusaha menghindar.
“Jangan bohong.” Nafasnya hangat di dekat wajah gadis itu, membuat bulu kuduk Risa berdiri.
“A-aku..” suaranya tercekat.
Tangannya terangkat, singgah sejenak di pipinya, menyingkirkan helaian rambut yang menempel. Sentuhan itu kecil, tapi cukup membuat udara di antara mereka berat, pekat.
Mata mereka bertemu. Dante bisa mendengar detak jantungnya sendiri, keras, liar. Hidung mereka nyaris bersentuhan. Sekejap saja lagi, bibirnya bisa jatuh di atas bibir mungil itu.
Risa menahan napas, wajahnya memerah. Ia tak bergerak, tak menolak, tapi juga tak menerima. Hanya mata lebarnya yang bergetar, campuran takut dan sesuatu yang lebih dalam.
Dante hampir hilang kendali. Hanya tinggal satu tarikan nafas lagi.
Tapi suara engsel berderit memecah tegang. Pintu ruang makan terbuka.
Seperti tersengat, gadis itu buru-buru menunduk dan menjauh, wajahnya merah padam. Ia berlari kecil masuk kembali, menyisakan udara yang masih pekat.
Dante tetap berdiri di teras, rahangnya mengeras, dadanya naik-turun. Matanya gelap, masih menatap pintu tempat Risa menghilang.
Sialan. Kenapa ini jadi begini?
Risaa berlari masuk ke kamarnya, menutup pintu, lalu bersandar lemah. Jantungnya berdetak kencang, sulit ia kendalikan. Tadi, ia hampir saja melakukan kesalahan besar.
Rasa lama yang sempat terkubur kembali muncul, melahap dirinya. Lelaki itu… bayangannya begitu jelas di pikirannya.
Risaa mendongak, menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Namun kenangan masa lalu terus datang, mengingatkan sesuatu yang tak pernah bisa ia hapus.
Dia… cinta pertamanya.
Bagi banyak orang, cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya. Namun Dante hanya ayah angkatnya, dan cinta Risaa tidak semurni itu. Cintanya lebih dalam dan gelap. Apa yang barusan terjadi membuat bara di dalam dirinya semakin menyala.
Batinnya berperang, antara boleh atau tidak. Napasnya memburu, langkahnya terhuyung saat ia berlari ke arah jendela. Dari sana, ia masih bisa melihat Dante berdiri di teras, seolah menunggu.
“Apa dia tahu perasaanku?”
Risa menunduk, jemarinya menggulung ujung pakaiannya tanpa sadar. Dadanya naik turun pelan, mencoba mengatur napas.“Jadi Om Darma kakekku?” tanyanya nyaris berbisik.Darma yang duduk di hadapannya memejamkan mata sesaat, seperti butuh keberanian untuk mengaku pada cucu yang bahkan belum sempat ia lihat tumbuh. Ketika ia membuka mata, tatapannya penuh kerut luka.“Ya,” jawabnya pelan. “Aku kakekmu, Risa.”Risa mengangguk kecil, tapi jelas masih mencari pijakan. “Aku sudah dengar itu… tapi aku tidak tahu kau ayah dari siapa.”Darma mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, gerakan orang yang sudah lelah menyembunyikan luka.“Aku… ayah dari Ruby. Ibumu.” Suaranya pecah di akhir kalimat, seakan setiap huruf mengiris dadanya.Risa membeku. Nama itu, Ruby yang selalu menjadi misteri dan bayangan. Nama yang tidak pernah dibahas tanpa ketegangan. Nama yang selalu terasa seperti pintu gelap yang tak boleh dibuka.Ia mendongak perlahan. “Kalau begitu… kenapa kamu tidak pernah mengat
Risa tengah duduk di depan cermin ketika Dante keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah, menetes perlahan di tengkuknya.“Ada sesuatu?” tanya Risa, melihat tatapan Dante yang terasa berbeda.Dante mendekat sambil mengembuskan napas pelan. “Aku memang mau ngomong sesuatu.” Ia mengulurkan tangan.Risa langsung meraih tangan itu dan Dante menariknya ke dalam pelukan tapi tentu saja Risa melompat manja hingga Dante menggendongnya. Sudah menjadi kebiasaan: kalau Dante bicara serius, Risa justru makin manja.“Kamu tahu Om Darma, kan?”Risa mengangguk kecil. “Dia bilang aku cucunya… beberapa waktu lalu.”Dante mencium pipinya sekilas. “Iya. Dia memang kakek kamu. Dan dia minta bicara sama kamu.”Risa mengerjap. “Dia ayahnya ayahku atau ibuku?”Dante menatapnya lembut. “Aku ingin kamu dengar langsung dari dia. Aku nggak mau jadi orang yang ngasih ceritanya setengah-setengah.”“Kenapa?” Risa memiringkan kepala, memeluk leher Dante lebih erat.“Karena kamu harus tahu yang sebenarnya. D
“Cilok? Apa itu?” Dante mengerutkan dahi, benar-benar bingung.“Hah?” Risa spontan memandangnya seolah baru mendengar hal paling mengejutkan di dunia.Dante menatapnya dengan wajah polos yang membuat Risa ingin menepuk dahinya sendiri.“Kamu nggak tahu cilok?” tanya Risa memastikan.Dante menggeleng perlahan.Astaga.Risa hampir tidak bisa menutup mulutnya. Bagaimana mungkin Dante Santoso, manusia yang bisa membedakan puluhan jenis anggur dari aromanya, tidak tahu cilok? Oh iya… tentu saja. Lahir dengan sendok emas, makanan yang pernah dia makan mungkin hanya yang diolah koki pribadi atau yang dia masak sendiri. Sementara Risa mengenal jajanan itu dari nongkrong bareng teman-temannya.Dengan sedikit frustrasi, Risa mengambil ponselnya dan mengetikkan “cilok” di pencarian. Puluhan gambar muncul.Dante menunduk melihat layar. “Ini bakso,” ucapnya pelan.Risa langsung nyengir kuda. Ternyata sang pewaris Santoso hanya mengenal yang versi “mahal”-nya.“Bakso sama cilok beda,” jelas Risa. “
Dante baru saja melangkah keluar mobil ketika ia melihat seseorang berdiri tepat di tengah jalan menuju gerbang rumah besar itu. Darma. Wajahnya tegang, seolah sejak tadi menunggu hanya untuk menghadang Dante.“Apa?” tanya Dante datar, terlalu lelah untuk pura-pura sopan.“Tuan Besar memintaku menjelaskan siapa aku pada Risa.” Suara Darma mantap, namun sorot matanya ragu.Dante menghela napas panjang. Kepalanya masih penuh dengan urusan Enggar dan X, dan kini ia harus menghadapi masalah yang bahkan lebih dekat dengan rumah.“Aku akan bicara dengannya dulu. Setelah itu barulah kau bisa bicara.”Ia berjalan melewati Darma tanpa memperlambat langkah, namun suara Darma menghentikannya.“Aku akan melindunginya mulai sekarang.”Dante berhenti. Perlahan, ia menoleh, menatap Darma dengan sorot mata yang sulit ditebak.“Apa ada sesuatu yang kau ketahui?”Darma menelan ludah, lalu menghela napas. “Sebelum kejadian itu… Ruby meneleponku. Dia memintaku menjemput Risa.”Dante tidak bereaksi. Matan
Dante memejamkan mata sebentar. Kata-kata itu menggantung, menyentuh benang yang paling sensitif di pikirannya.Vivian mencondongkan tubuh, suaranya lebih lembut. “Dante… apa kau masih menyangkal apa yang sebenarnya kau rasakan untuk Risa?”Dante diam. Diam yang terlalu jelas untuk disebut tidak ada jawaban.Vivian menghembuskan napas pelan. “Kau tahu, kan? Semua orang bisa melihatnya. Perasaanmu pada gadis itu… bukan hal yang lahir dari masa lalu, bukan karena ibunya. Kau mencintai Risa karena Risa sendiri.”Dante menatapnya, mata hitamnya dingin tapi tidak membantah.Vivian melanjutkan, “Lalu… kau datang ke sini karena apa? Merasa bersalah? Atau karena dunia menolak pilihanmu?”Dante menunduk sebentar, lalu berkata pelan tanpa ekspresi berlebihan tapi jujur.“Aku datang ke sini,” katanya, “karena kalau pulang terlalu cepat… aku akan langsung kembali ke Risa. Dan bagian diriku bagian yang… tidak seharusnya ingin itu terlalu cepat.”Vivian membeku.Itu pengakuan yang tidak pernah ia d
Ruangan mendadak hening. Hanya suara lembaran kertas dibalik yang terdengar. Dante membaca cepat, sesekali menggigit bagian dalam pipinya. Diana membaca perlahan, memastikan setiap kata tidak luput.Setelah beberapa menit, Dante menutup berkasnya lebih dulu.“Aku sudah selesai,” katanya pelan.Diana tidak menjawab. Ia menandatangani dokumen di hadapannya, lalu mendorongnya ke tengah meja.Dante menatap pena itu sejenak, bagian kecil yang terasa seperti garis yang memisahkan masa lalu dan masa depan. Lalu ia menandatangani perjanjiannya sendiri, tanpa komentar, tanpa protes.Tuan Marcell mengambil kedua dokumen itu dengan rapi.“Baik. Dengan ini perjanjian resmi berlaku.”Diana berdiri, merapikan mantel tipisnya.“Terima kasih, Tuan Marcell. Kami selesai.”Dante bangkit menyusul, namun ia tidak menatap istrinya. Mereka keluar ruangan tanpa saling berbicara,dua orang yang terikat, tapi sudah lama berhenti berjalan ke arah yang sama.Begitu pintu ruang rapat tertutup, suasana berubah. Ko






