Share

Bab 4

Author: Lalapoo
last update Last Updated: 2025-09-29 12:01:32

Mobil hitam berhenti di depan gerbang besar yang menjulang, dengan lambang keluarga Santoso terukir angkuh di atas pintu besi. Hawa dingin malam seakan tersapu oleh aura bangunan itu. Risa terdiam di kursi penumpang, jemarinya menggenggam ujung jaket yang dipinjamkan Dante.

“Turunlah,” suara Dante berat, singkat.

Risa menelan ludah. Begitu kaki mungilnya menyentuh bebatuan halus halaman depan, lampu-lampu otomatis menyala. Rumah besar itu tampak megah dan asing sekaligus menakutkan baginya. Sudah lebih dari dua tahun ia tidak menginjakkan kaki di sini, dan kini kembali dengan status berbeda—sebagai perempuan yang gagal mempertahankan rumah tangganya.

Pintu terbuka. Seorang pelayan paruh baya menunduk hormat pada Dante, lalu menoleh ke arah Risa dengan mata melebar. Ada raut terkejut, seolah melihat hantu. “Nona Risa…” suaranya tercekat.

Risa buru-buru menunduk, dadanya sesak. Ia ingin membaur, ingin tak terlihat.

Dante hanya memberi tatapan tegas. “Siapkan kamar tamu utama. Dan jangan biarkan siapa pun ganggu Risa malam ini.”

“Baik, Tuan.” Pelayan itu segera berlalu.

Risa melangkah pelan di belakang Dante. Karpet mewah di bawah kakinya tidak mampu menenangkan hatinya yang berdebar. Udara rumah ini masih sama—wangi kayu tua bercampur aroma bunga segar yang selalu ditaruh di vas besar. Tapi bagi Risa, wangi itu membawa terlalu banyak kenangan.

Di tangga besar, langkah Dante terhenti. Ia menoleh sekilas. “Kenapa gemetar?”

“A… aku tidak gemetar,” jawab Risa buru-buru, meski jelas tangannya masih bergetar saat memegang pegangan tas kecilnya.

Tatapan mata Dante menusuk, seakan menembus semua kebohongan. Ia menghela napas pendek, lalu menuntunnya naik ke lantai dua.

Kamar tamu utama terbuka. Risa masuk perlahan. Ruangan itu luas, dengan ranjang putih besar, tirai tebal, dan balkon menghadap halaman. Terlalu mewah untuknya. Ia menelan perasaan rendah diri yang mendadak muncul.

“Beristirahatlah,” kata Dante, menurunkan nada suaranya. “Kau sudah cukup menderita hari ini.”

Risa menunduk. “Om… aku—aku tidak seharusnya kembali. Rumah ini… bukan untukku lagi.”

Sejenak ruangan hening. Dante melangkah mendekat. Bayangan tubuhnya menutupi cahaya lampu, membuat Risa merasa semakin kecil.

“Kau putri keluarga Santoso. Dan rumah ini selalu untukmu,” ucapnya perlahan, tapi tegas.

Risa mengangkat kepala. Tatapan Dante membuat dadanya berdebar aneh. Ada sesuatu di balik sorot matanya—bukan hanya kasih seorang ayah, tapi sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap, tak mampu ia definisikan.

Ia buru-buru berpaling, mencari pelarian. “Aku… mau mandi sebentar.”

Dante hanya mengangguk, lalu berbalik menuju pintu. “Baik. Ada pakaian bersih di lemari. Kalau kurang, katakan saja.”

Begitu pintu tertutup, Risa menghembuskan napas keras, punggungnya menempel di dinding. Jantungnya berdegup tak terkendali. Tatapan itu… tatapan yang membuatnya merasa dilindungi sekaligus terperangkap.

Air hangat mengalir dari pancuran, menyapu sisa dingin dan hujan. Risa menutup mata, membiarkan tubuhnya rileks. Namun, bayangan wajah Dante terus muncul—sorot matanya, suaranya yang berat, pelukannya yang hangat di rumah sakit tadi.

Ia menggigit bibir, kesal pada dirinya sendiri. Kenapa aku memikirkannya seperti ini? Dia ayah angkatku…

Ketika selesai mandi, ia melilitkan handuk, keluar perlahan. Udara kamar masih dingin. Ia berjalan ke lemari, mencari pakaian. Baru saja ia menarik sebuah gaun tidur putih tipis, pintu kamar berderit terbuka.

Risa tersentak.

Dante berdiri di ambang pintu. Pandangannya langsung tertumbuk pada sosok Risa dengan handuk yang menempel di tubuh, kulitnya masih basah berkilau karena sisa air. Seketika rahangnya mengeras, sorot matanya berubah rumit—antara terkejut, menahan sesuatu, dan marah pada dirinya sendiri.

“Om…!” Risa buru-buru menutupi dada dengan gaun di tangannya. Pipinya merona, tubuhnya kaku. “K… kenapa masuk tanpa mengetuk?”

Dante terdiam sejenak. Ia menoleh ke samping, berusaha menguasai diri. “Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Pakaian tambahan akan diantar sebentar lagi.”

Risa menunduk, wajahnya panas. Ia tahu Dante sedang berusaha keras menjaga batas, tapi udara di antara mereka kini terlalu tebal, penuh ketegangan.

“Maaf…” suara Dante serak. Ia menarik napas panjang, lalu mundur setapak. “Aku seharusnya mengetuk.”

Risa masih terpaku di tempat. Nafasnya naik-turun, tubuhnya masih terasa panas meski dingin malam merayap masuk lewat celah balkon. Dengan cepat ia mengenakan gaun tidur tipis itu, lalu melangkah ke arah ranjang.

Namun langkahnya goyah. Kakinya licin terkena sisa air yang menetes dari rambut.

“A—ahh!” serunya lirih.

Tubuhnya hampir terhempas ke lantai, tapi sepasang tangan kuat lebih dulu menangkapnya.

Risa terperanjat. Tubuhnya mendarat di dada bidang Dante. Saat itu juga, handuk yang melilit lehernya terlepas sebagian, melorot hingga bahunya terekspos. Kulitnya yang masih basah bersentuhan langsung dengan kemeja Dante yang dingin karena udara malam.

Jantungnya melonjak, darah berdesir liar.

“Risa…” suara Dante berat, nyaris berbisik di atas kepalanya. Nafasnya hangat, turun mengenai pelipisnya. “Kau bisa terluka.”

Risa buru-buru menegakkan tubuhnya, meraih handuk untuk menutupi dada yang sedikit terbuka. Wajahnya merah padam, bibirnya bergetar. “A—aku… aku baik-baik aja.”

Tapi Dante tidak segera melepas. Jemarinya masih menahan pinggang Risa, terlalu erat untuk disebut kebetulan. Tatapannya jatuh pada wajah pucatnya, lalu turun sesaat ke leher yang masih basah. Sorot matanya menggelap.

Risa menelan ludah, tubuhnya kaku. Ia tahu ia seharusnya mundur, tapi lututnya masih lemas.

Akhirnya Dante menarik napas panjang, melepaskannya dengan gerakan cepat, seolah sadar dirinya hampir melewati batas. Ia mundur setapak, rahangnya mengeras. “Hati-hati. Jangan gegabah.”

Pintu menutup kembali.

Risa berdiri terpaku, jantungnya berdentum keras di dada. Tangan kecilnya meremas kain gaun tidur itu, tubuhnya masih bergetar. 

Ini… salah…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jerat Hasrat Ayah Angkat   Bab 147

    Risa menunduk, jemarinya menggulung ujung pakaiannya tanpa sadar. Dadanya naik turun pelan, mencoba mengatur napas.“Jadi Om Darma kakekku?” tanyanya nyaris berbisik.Darma yang duduk di hadapannya memejamkan mata sesaat, seperti butuh keberanian untuk mengaku pada cucu yang bahkan belum sempat ia lihat tumbuh. Ketika ia membuka mata, tatapannya penuh kerut luka.“Ya,” jawabnya pelan. “Aku kakekmu, Risa.”Risa mengangguk kecil, tapi jelas masih mencari pijakan. “Aku sudah dengar itu… tapi aku tidak tahu kau ayah dari siapa.”Darma mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, gerakan orang yang sudah lelah menyembunyikan luka.“Aku… ayah dari Ruby. Ibumu.” Suaranya pecah di akhir kalimat, seakan setiap huruf mengiris dadanya.Risa membeku. Nama itu, Ruby yang selalu menjadi misteri dan bayangan. Nama yang tidak pernah dibahas tanpa ketegangan. Nama yang selalu terasa seperti pintu gelap yang tak boleh dibuka.Ia mendongak perlahan. “Kalau begitu… kenapa kamu tidak pernah mengat

  • Jerat Hasrat Ayah Angkat   Bab 146

    Risa tengah duduk di depan cermin ketika Dante keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah, menetes perlahan di tengkuknya.“Ada sesuatu?” tanya Risa, melihat tatapan Dante yang terasa berbeda.Dante mendekat sambil mengembuskan napas pelan. “Aku memang mau ngomong sesuatu.” Ia mengulurkan tangan.Risa langsung meraih tangan itu dan Dante menariknya ke dalam pelukan tapi tentu saja Risa melompat manja hingga Dante menggendongnya. Sudah menjadi kebiasaan: kalau Dante bicara serius, Risa justru makin manja.“Kamu tahu Om Darma, kan?”Risa mengangguk kecil. “Dia bilang aku cucunya… beberapa waktu lalu.”Dante mencium pipinya sekilas. “Iya. Dia memang kakek kamu. Dan dia minta bicara sama kamu.”Risa mengerjap. “Dia ayahnya ayahku atau ibuku?”Dante menatapnya lembut. “Aku ingin kamu dengar langsung dari dia. Aku nggak mau jadi orang yang ngasih ceritanya setengah-setengah.”“Kenapa?” Risa memiringkan kepala, memeluk leher Dante lebih erat.“Karena kamu harus tahu yang sebenarnya. D

  • Jerat Hasrat Ayah Angkat   144

    “Cilok? Apa itu?” Dante mengerutkan dahi, benar-benar bingung.“Hah?” Risa spontan memandangnya seolah baru mendengar hal paling mengejutkan di dunia.Dante menatapnya dengan wajah polos yang membuat Risa ingin menepuk dahinya sendiri.“Kamu nggak tahu cilok?” tanya Risa memastikan.Dante menggeleng perlahan.Astaga.Risa hampir tidak bisa menutup mulutnya. Bagaimana mungkin Dante Santoso, manusia yang bisa membedakan puluhan jenis anggur dari aromanya, tidak tahu cilok? Oh iya… tentu saja. Lahir dengan sendok emas, makanan yang pernah dia makan mungkin hanya yang diolah koki pribadi atau yang dia masak sendiri. Sementara Risa mengenal jajanan itu dari nongkrong bareng teman-temannya.Dengan sedikit frustrasi, Risa mengambil ponselnya dan mengetikkan “cilok” di pencarian. Puluhan gambar muncul.Dante menunduk melihat layar. “Ini bakso,” ucapnya pelan.Risa langsung nyengir kuda. Ternyata sang pewaris Santoso hanya mengenal yang versi “mahal”-nya.“Bakso sama cilok beda,” jelas Risa. “

  • Jerat Hasrat Ayah Angkat   Bab 144

    Dante baru saja melangkah keluar mobil ketika ia melihat seseorang berdiri tepat di tengah jalan menuju gerbang rumah besar itu. Darma. Wajahnya tegang, seolah sejak tadi menunggu hanya untuk menghadang Dante.“Apa?” tanya Dante datar, terlalu lelah untuk pura-pura sopan.“Tuan Besar memintaku menjelaskan siapa aku pada Risa.” Suara Darma mantap, namun sorot matanya ragu.Dante menghela napas panjang. Kepalanya masih penuh dengan urusan Enggar dan X, dan kini ia harus menghadapi masalah yang bahkan lebih dekat dengan rumah.“Aku akan bicara dengannya dulu. Setelah itu barulah kau bisa bicara.”Ia berjalan melewati Darma tanpa memperlambat langkah, namun suara Darma menghentikannya.“Aku akan melindunginya mulai sekarang.”Dante berhenti. Perlahan, ia menoleh, menatap Darma dengan sorot mata yang sulit ditebak.“Apa ada sesuatu yang kau ketahui?”Darma menelan ludah, lalu menghela napas. “Sebelum kejadian itu… Ruby meneleponku. Dia memintaku menjemput Risa.”Dante tidak bereaksi. Matan

  • Jerat Hasrat Ayah Angkat   Bab 143

    Dante memejamkan mata sebentar. Kata-kata itu menggantung, menyentuh benang yang paling sensitif di pikirannya.Vivian mencondongkan tubuh, suaranya lebih lembut. “Dante… apa kau masih menyangkal apa yang sebenarnya kau rasakan untuk Risa?”Dante diam. Diam yang terlalu jelas untuk disebut tidak ada jawaban.Vivian menghembuskan napas pelan. “Kau tahu, kan? Semua orang bisa melihatnya. Perasaanmu pada gadis itu… bukan hal yang lahir dari masa lalu, bukan karena ibunya. Kau mencintai Risa karena Risa sendiri.”Dante menatapnya, mata hitamnya dingin tapi tidak membantah.Vivian melanjutkan, “Lalu… kau datang ke sini karena apa? Merasa bersalah? Atau karena dunia menolak pilihanmu?”Dante menunduk sebentar, lalu berkata pelan tanpa ekspresi berlebihan tapi jujur.“Aku datang ke sini,” katanya, “karena kalau pulang terlalu cepat… aku akan langsung kembali ke Risa. Dan bagian diriku bagian yang… tidak seharusnya ingin itu terlalu cepat.”Vivian membeku.Itu pengakuan yang tidak pernah ia d

  • Jerat Hasrat Ayah Angkat   Bab 142

    Ruangan mendadak hening. Hanya suara lembaran kertas dibalik yang terdengar. Dante membaca cepat, sesekali menggigit bagian dalam pipinya. Diana membaca perlahan, memastikan setiap kata tidak luput.Setelah beberapa menit, Dante menutup berkasnya lebih dulu.“Aku sudah selesai,” katanya pelan.Diana tidak menjawab. Ia menandatangani dokumen di hadapannya, lalu mendorongnya ke tengah meja.Dante menatap pena itu sejenak, bagian kecil yang terasa seperti garis yang memisahkan masa lalu dan masa depan. Lalu ia menandatangani perjanjiannya sendiri, tanpa komentar, tanpa protes.Tuan Marcell mengambil kedua dokumen itu dengan rapi.“Baik. Dengan ini perjanjian resmi berlaku.”Diana berdiri, merapikan mantel tipisnya.“Terima kasih, Tuan Marcell. Kami selesai.”Dante bangkit menyusul, namun ia tidak menatap istrinya. Mereka keluar ruangan tanpa saling berbicara,dua orang yang terikat, tapi sudah lama berhenti berjalan ke arah yang sama.Begitu pintu ruang rapat tertutup, suasana berubah. Ko

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status