Di ruang makan, sesekali terdengar suara sendok yang beradu dengan piring. Kinanti makan sambil terus menunduk. Malu sekali dia mengingat kejadian pagi tadi, beruntung ponsel Angga berdering tak sabaran hingga akhirnya, Kinanti lagi-lagi bisa lolos dari terkaman Angga. Sepertinya Kinanti harus berterima kasih pada ponsel Angga karna beberapa kali telah menyelamatkannya.Wajah Angga terlihat datar, Kinanti tau Angga pasti merasa uring-uringan, sebab hormon kelelakiannya, sudah berkali-kali gagal menjamah Kinanti.“Ki, ambil sayurnya lagi."Gadis ini lekas mengambilkan apa yang Angga mau. “Lauknya mau juga nggak, Pak?”“Buat kamu aja, katanya kalau mau anak lelaki harus banyak makan protein. Aku mau anak lelaki, Ki.”Pipi Kinanti berubah merona, dia kembali duduk melanjutkan makan, “Lelaki dan perempuan sama saja, Pak.”“Aku sudah punya anak perempuan, nanti setelah punya anak lelaki kita bikin lagi anak perempuan. Aku mau punya an
Isi kepala Kinanti semakin bingung, di rumah ini tak ada yang berani berbicara masalah pribadi Angga. Ningsih pelayan pribadinya pun tak mau mengucurkan informasi. Kinanti mengacak rambutnya, bingung kemana mencari tau informasi valid tentang Celina. Malam semakin larut, Kinanti sudah berada di dalam bedcover, Ningsih meminta Kinanti menggunakan pakaian kurang bahan sesuai keinginan Angga. “Sialan banget kamu, Ngga. Kalo bukan karna hutang, gue nggak bakalan mau pake baju kaya saringan begini.” Kinanti membuka bedcover, netranya menatap tubuh yang begitu menggoda. Keringat dingin bermunculan di dahi, sebab dada yang berdebar tak beraturan menanti Angga yang tak kunjung muncul, walau ac sudah disetel paling dingin tetap terasa panas di dalam kamar ini. Bunyi detak jam bersahutan dengan detak jantung Kinanti. Yang membuat Kinanti merutuki kebodohannya, dia tak bisa mendapatkan obat tidur untuk menjalankan rencananya. “Ya udah lah, pasrah aja, Ki
Bibir Angga berkedut melihat Kinanti kelimpungan saat di dekati, rasanya puas sekali melihat ekspresi tak berdaya dari Kinanti. Angga tau jika saat ini Kinanti sangat tertekan, memikirkan dirinya sendiri, yang kini berperan sebagai perebut suami orang. Angga duduk sambil mengotak atik gawai menunggu Kinanti kembali dari bawah. Beberapa pesan masuk dari Celina juga dari Anwar. Lelaki ini hanya membaca pesan Celin, tak berniat untuk membalasnya. Lama menunggu gadis ini tak kunjung datang. Angga pun akhirnya membersihkan tubuh. “Masih banyak waktu mengerjai dia, Ngga.” Lelaki ini bergumam, bangun dari duduk menuju kamar mandi. Setelah mandi dia lekas mengambil pakaian yang sudah tersusun rapih di samping pakaian Kinanti. Bibirnya terus mengulas senyum menawan, sesungguhnya jantungnya juga berdetak tak teratur saat berdekatan dengan Kinanti, tetapi Angga berusaha mengontrol dengan baik, agar tak terlihat oleh gadis yang entah mengapa dia begitu mendambanya.
“Nyatanya iya, ‘kan? Kamu mau nikah sama saya karna uang.” Perasaan Kinan semakin tak karuan mendengar perkataan Angga. Lelaki ini tersenyum sinis sambil melangkah keluar dari lift. Mata Kinan lagi-lagi berembun, dadanya berdenyut nyeri mendengar jawaban Angga, jari-jari tangannya meremat tali tas yang dia pegang. "Jahat banget mulutnya Anggara Wijaya Kusuma," gumam Kinanti. Gadis ini terus mengikuti langkah lelaki angkuh yang kini sudah menjadi suaminya. Lalu masuk ke dalam mobil yang sama, yang sudah menunggu di depan lobi. Kinan sangat menyadari banyak pasang mata yang menatap penuh tanya. Kinan hanya bisa menunduk, duduk di sebelah Angga, berusaha tak peduli pada tatapan bertanya dari orang lain. sepanjang perjalanan pulang gadis ini enggan membuka obrolan, karna di setiap obrolan pasti akan ada kata-kata yang bisa membuatnya sakit. Pandangannya kosong menatap jalan raya yang selalu padat merayap. Angga pun tak ingin mengatakan apapun. Pikirannya dipenuhi kekesalan. Hari ini i
“Ki. Lo kenapa?” Nindia menarik kursi di sebrang meja Kinan, lalu duduk di sebelah gadis yang sedang tergugu menenggelamkan kepala di atas meja. “Udah makan belum?” tanya Nindia lagi karna Kinan tak menjawab pertanyaannya. Kinan masih tak menjawab, Nindia hanya bisa mendesah mengelus punggung Kinan. “Sabar aja Ki. Pasti Allah bakal nolong, elo.” “Dosa gue banyak banget kali ya, Nin. Gue ngerasa Allah nggak adil banget, gue ditinggal orang tua masih kecil, berjuang hidup sendiri sampe lulus sarjana. Sekarang gue harus nanggung hutang orang lain dengan mengadaikan harga diri, parahnya lagi gue jadi istri simpanan, Nin. Ancur banget harga diri gue. Ancur hidup gue, kalo Pak Angga udah puas dan buang gue, selesai hidup gue, Nin.” Kinanti berbicara sambil terbata-taba mengeluarkan Isak tangis. “Ki, inget masih ada Allah, sebaik-baik penolong adalah Allah, lo jangan putus asa, berdoa terus semoga Pak Angga di beri hati yang luas, bisa memperlakukan lo dengan baik.” Nindia memberikan ti
Kinanti bangun dari tidur. Dilihatnya Angga sudah tak ada di sampingnya, di raih pakaian yang tergantung di dekat jendela lalu memakainya. Gadis ini kembali duduk di pinggir ranjang, menatap arah nakas. Ada makanan di sana dan selembar kertas berisikan tulisan, agar Kinanti memakan makan siang yang sudah terlewatkan.Bibir gadis ini tersenyum, hatinya kembali berdesir. Biarpun Angga terkesan jahat, tetapi nyatanya dia tak melukai Kinanti secara fisik, semarah apapun dia pada Kinanti. Namum kata-kata yang keluar dari bibir Angga masih sering membuat Kinanti sakit hati.“Aku yakin kamu masih mencintaiku, Ngga. Sampai kapan kamu marah padaku?” Kinanti meraup wajahnya dengan kedua telapak tangan, setelah detak jantungnya tenang dia mengambil nampan, memakan makanan perlahan sambil masih terus memikirkan nasib ke depan.“Ya Allah. Apa yang harus aku lakukan?” Selama makan, gadis cantik ini terus berpikir.Setelah menghabiskan makan, Kinanti merapikan penampilan, menatap lama dirinya di cer