Aku diam. Merenung. Mencari pelarian dari kedalaman sorot matanya.
Bunda telah siap mendengarkan. Aku pun tak pelak mempersiapkan diri mengatakan jawaban padanya.
“Sebenarnya, aku ..., aku kangen Riga,” akhirnya aku memilih bohong.
Gila saja kalau aku bilang menangis karena mantan brengsek yang sudah menghilangkan keperawananku, dulu.
Segalau apa pun, otakku tetap jalan. Menceritakan Galanta pada Bunda tentu saja kabar terparah yang didengar. Lebih parah dari kabar pernikahan pura-pura kami.
“Ya Tuhan, sampai nangis-nangis di jalan begitu karena kangen Riga?” Bunda geleng-geleng tapi wajahnya nampak puas. “Riga tugas keluar kota, ya? Cup-cup-cup! Besok Riga pulang, kok!”
Bunda merentangkan kedua tangan. Kepalaku mendarat di dadanya. Merasakan debar jantung yang lembut juga kehangatan khas seorang ibu.
Sudah berapa lama ya, aku tidak merasakan kehangatan sosok ibu. Aku tumbuh besar bersama K
Nara menghantam pintu di belakangku. Sangat keras sampai membuatku bergidik ketakutan. Aku menangis. Tapi Nara tidak berbelas kasihan malah makin mendesakku ke belakang.“Lakukan denganku. Lebih banyak dari yang pernah kamu lakukan dengannya.”Aku terkesiap. Tidak menyangka. Nara yang kukenal, bukan pria macam itu. Dia menghormatiku sebagai wanita. Dia tahu batasan mana yang boleh, mana yang tidak boleh.Setahun berpacaran dengannya bisa kuhitung jumlah kami berciuman. Tiga kali. Itu pun aku duluan yang memulai.“Nara—“ aku bermaksud menyadarkannya.“Kamu sudah tahu caranya bukan?”...Cukup. Aku tidak suka Nara yang begini. Nara yang dilahap emosi.Aku menamparnya. Keras sekali sampai bunyi keplakannya membuat kami sama-sama kaget. Telapak tanganku panas. Juga pipi mulus Nara berubah warna jadi merah.Aku tidak mengatakan apa-apa. Cukup tamparanku saja yang mewakili. Nara mengge
“Kumohon ... aku mau lihat Nara.”Aku mengucapkannya sambil menangis. Bukan air mata palsu. Sungguhan. Rinduku sudah sampai puncak. Sempat senang karena akhirnya bisa dihubungi, tapi Riga yang bercanda membuatku menangis.Riga yang melihat itu langsung duduk di kasurnya. Panik.“Loh, jangan nangis, woy. Ah, elah. Iya, iya, aku ke kamar Nara sekarang.”Terlihat layar handphone bergerak tak karuan. Bukti Riga beringsut seperti katanya.“Udah dong jangan nangis. Nih, aku jalan ke kamar Nara di sebelah. Kalau Nara lihat, dia kira kamu nangis karena aku.”“Memang karena kamu, bodoh!”“Awas kalau kamu ngadu.”Di layar bisa kuperhatikan Riga sedang mengetuk pintu yang katanya kamar Nara.“Nara~ ini, Viana telepon,” nadanya seperti anak-anak mengajak bermain layangan.Tak butuh berapa lama, Nara keluar. Wajahnya bengkak seperti habis
Lalu ...Sepasang tangan melingkar di belakangku. Sesuatu yang panas lagi-lagi menyerangku. Kali ini ke leher. Orang di belakangku ini menciumi leherku.Aku berontak, menyikutnya dengan segenap kekuatan. Dan terbelalak ketika sadar orang yang melakukan itu.“GALANTA?!” suaraku meninggi.Dia belum pulang. Sialan.“Lehermu harum sekali,” katanya mesum.“Brengsek! Menjauh dariku atau aku teriak.”Galanta bukannya takut. Dia malah tertawa dengan seringai yang menyebalkan.“Teriak saja, Viana. Enggak ada orang di sini. Semuanya sudah pulang.”Galanta mencoba mendekatiku lagi. Aku mundur dengan sigap. Membuat kuda-kuda kalau dia berani berbuat macam-macam.“Ada Ketua di luar.”“Dia sudah di parkiran. Di sini cuma kita berdua.”“Mundur kataku! Aku bersumpah, sekali saja kamu menyentuhku, aku akan menjebloskanmu ke penjara.”
Hanya tinggal masalah waktu saja Bunda tahu kejadian ini. Ia mendatangi kami di vila setelah berita menggembar-gemborkan masalah penyerangan Galanta. Nama Riga disebut. Juga aku dan Nara.Bunda memarahi dan mengatai kami gerombolan preman. Setelah mengorek penjelasan, akhirnya Bunda tahu apa yang terjadi. Lagi-lagi Riga yang berperan menjelaskan. Dengan catatan tanpa menceritakan dendamku pada Galanta. Kami sepakat tadi malam. Aib itu tidak perlu Bunda tahu.Bunda paling marah pada Nara. Kecerewetannya berkali-kali lipat sampai membuat Nara tidak punya pilihan lain selain menunduk.Harusnya aku tegang, tapi melihat posisi ini membuatku ingin tertawa. Bunda yang duduk melipat kaki di kursi. Dan kami bertiga bertekuk lutut di lantai, berjejer seperti murid-murid nakal yang dimarahi gurunya.“Kalian sudah bukan anak-anak lagi. Harusnya bisa berpikir lebih cepat daripada tangan,” oceh Bunda tidak bisa direm.Kami bertiga tahu, menyela ucapa
Media infotainment ramai membicarakan Galanta dan kelakuan bejatnya. Benar, tanpa perlu Riga mengeluarkan bukti rekamannya, sifat busuk Galanta naik ke permukaan. Seperti karma.Hanya butuh satu laporan untuk memulai, lalu berurutan wanita yang menjadi korbannya berani unjuk gigi. Galanta sudah kalah. Telak.Ia mencari pelarian ke agensi. Tapi sayang sekali, sebelum ia merajuk, Riga sudah memberi lampu hijau pada kepala agensi. Galanta diberhentikan. Dituding melakukan wanprestasi. Itu mengharuskan Galanta mengganti biaya kontrak beserta denda.Galanta turun pamor, jatuh ke jurang, dan bangkrut. Itu balasan setimpal untuknya.Meskipun masalah Galanta dianggap selesai. Bunda masih mewanti-wanti agar aku tidak masuk sanggar dulu. Masih ada satu dua wartawan yang mencium kasus pelecehan Galanta. Seperti ingin menabur garam pada luka Galanta. Ingin menjerumuskan makin dalam.Ah sudahlah. Riga benar. Dengan itu saja Galanta sudah mati. Tidak perlu lagi
“Maafkan aku yang dulu. Aku benar-benar merasa bersalah sudah menyalahkanmu, padahal Galanta-lah yang salah.” “Enggak apa, kita pernah bodoh karena percaya kata manisnya. Dan syukurlah pasanganmu sepertinya peduli padamu.” “Iya!” Paris tersenyum. Kuanggap sebagai senyum kemenangan. Kami bisa saja berbincang lebih lama, tapi berhubung antrian di bawah podium semakin mengular. Kuputuskan pergi menyusul Milan dan Havana yang sudah turun dari tadi. “Lain kali, aku boleh berbincang denganmu, kan?” Paris menitipkan pesan di sela kepergianku. “Tentu!” balasku seraya mengambil langkah kaki, pergi menuju Milan dan Havana. Pesta berlangsung meriah. Hiasannya, gedung, makanan, juga melodi mengalun di tengah standing party. Semua amat elegan. Sebelas dua belas dengan pestaku dan Riga dulu. Milan dan Havana berburu makanan. Mengantri di stand-stand pencuci mulut. Aku cukup kenyang setelah dua potong cordon bleu. Tidak ikut berburu dengan Milan dan Havana. Aku berdiri di tempat yang bisa me
Aku menunduk. Takut. Riga yang seperti terlihat lain. Mengintimidasi. Tanpa bisa kukontrol, air mataku menitik di pipi. Aku menyekanya takut Riga lihat. Terlambat. Dia sudah melihatnya. Dan sekarang ia menatapku dengan tatapan ambigu. Riga cepat sekali mengontrol emosi. Dalam sekejap, ia kembali jadi Riga yang kukenal. “Jangan nangis,” katanya pelan. Mauku juga tidak menangis seperti katanya. Tapi air mataku tidak mau berkompromi. Meleleh begitu saja setelah disentak seperti tadi. Aku sedang sensitif. “Viana ... jangan nangis.” Riga memintanya sekali lagi. Kali ini ia mencari daguku, mendongakkan kepalaku agar mata kami bertemu. Baru kutahu iris mata Riga berwarna cokelat muda. Terasa amat memikat nan dalam. Kedalamannya tidak bisa kujangkau. Terlalu memesona. “Aku paling bingung kalau wanita menangis. Sudah ya, maafkan aku. Aku terlalu keras, padamu.” Riga bantu menyeka air mataku yang merusak perona pipi. Melakukannya pelan s
Pagi itu, aku terbangun berkat kecup basah Nara di belakang telingaku. Ia membisikkan sesuatu, samar dan erotis. Nara menginginkanku atau sesuatu semacam itu. Aku membalikkan wajah padanya. Nara sambut dengan ciuman bertubi-tubi di wajahku. Kunikmati romantisme pagi ini juga kecupan Nara yang kunamai morning kiss. “Memangnya Nara gak kerja?” kataku saat bibir Nara menelusur ke leher. Nara membetulkan posisiku hingga kami berhadapan. Nara di atas tubuhku yang belum terkumpul nyawa seratus persen. “Riga gak akan kemana-mana, jadi aku libur.” Nara melanjutkan aksinya setelah memberi penjelasan singkat. Nara sangat ahli dalam urusan memberi sentuhan. Setiap jemarinya menelusur di kulitku yang terbuka, setiap itu pula aku melenguh. Menikmati. Beberapa hari ini kami memang jarang melakukannya di pagi hari karena Nara sibuk. Dan hari ini kuizinkan Nara bermain-main dengan bagian atas tubuhku. Aku melenguh. Bergelinjan