"Perkenalkan saya adalah sopir pribadinya Tuan Barra, yang ditugaskan untuk mengantarkan Nyonya Kara dan Tuan Muda Arka!" jelas pria itu seraya kembali menunduk hormat.
"Tuan Muda?" Arka menyahut dengan alis yang menekuk dalam. Satu jari telunjuk mungilnya pun kini bertengger sempurna di atas pipi tembamnya."Iya betul, Tuan Muda Arka!" sahut pria tersebut seraya tersenyum, menahan gemas pada sosok mungil di hadapannya.Mendengar kata Tuan Muda Arka kembali, anak kecil itu pun kian mengerjap. Arka belum mengerti sama sekali dengan artinya, hingga langsung menoleh ke arah sang ibunda."Bunda! Bunda! Tuan Muda itu apa?" tanyanya penasaran.Dengan menoleh ke arah anaknya, Kara menghela napas tipis. Sesaat ia bingung hendak menjelaskan seperti apa, karena saat ini dirinya masih terkejut dengan keputusan Barra yang sudah bergerak selangkah lebih maju dari perkiraannya.Padahal jika diingat kembali kejadian tadi, Kara sama sekali belumGleghh!Baru saja Barra merasa senang karena ibunya sudah berhasil teralihkan dengan pembahasan lain, akan tetapi sekarang? Wanita yang selalu mendidiknya dengan keras itu malah kembali mengembalikan topik yang sempat sangat dihindarinya.Dengan kembali menegakkan posisi duduknya, Avaline pun menatap penuh menyelidik ke arah sang anak kandung. Ia mencoba mencari tahu alasan Barra yang sebenarnya, karena dirinya paling tidak suka dibohongi."Apa kau tidak takut kalau kebiasaan burukmu akan dicontoh oleh para karyawan kita, Barra? Mau jadi apa perusahaan ini kalau semuanya seperti kau, yang seenaknya saja keluar tanpa izin?!" lanjut Avaline menghardik.Dengan terdiam, Barra tak berani menatap kembali sang ibu. Ia sadar bahwa dirinya salah, akan tetapi Barra juga tak bisa janji untuk tak mengulanginya lagi.Bagi Barra, Kara dan Arka terlalu sayang untuk diabaikan. Barra sudah terlanjur nyaman pada mereka berdua, sehingga tak mau melepaskanny
Larangan Avaline, bukan berarti apa-apa untuk Barra. Larangan tersebut bagai angin lalu yang sama sekali tak dihiraukannya. Di mana hal itu langsung terbukti setelah Barra menyelesaikan setumpuk pekerjaannya di kantor. Meski waktu hampir menunjukkan tengah malam, Barra tetap memacu kendaraannya. Ia terlihat masih bersemangat, dengan mengabaikan rasa lelah yang sempat bergelayut. Hingga langsung tersenyum, kala mendapati dua sosok yang sempat sangat dirindukan tengah tertidur dengan pulas di atas ranjang."Hufftt! Aneh! Kenapa aku bisa merasa setenang ini saat melihat mereka berdua terlelap? Rasanya sudah lama sekali aku tidak merasakan perasaan ini!"Barra bertanya-tanya di dalam hati, sambil mengusap pelan rambut ikal Arka. Ia menyempatkan diri untuk memberikan sebuah kecupan singkat di sana, sambil kembali memperhatikan sosok yang entah kenapa mampu membuat hatinya merasa damai itu.Meski Barra belum tahu siapa sosok ayah kandung Arka yang sebenarnya, akan tetapi entah kenapa ia se
"Apa?! Model cilik?"Kara tak sadar memekik kencang, kala mendengar tawaran yang tak terduga dari mulut Barra. Ia benar-benar tak habis pikir dengan pria itu, karena bisa-bisanya Barra dengan yakin menjadikan anak lelakinya sebagai model cilik tanpa izin darinya.Bukankah seharusnya pria itu harus bertanya dan meminta izin lebih dulu padanya? Bukan dengan cara yang tiba-tiba menawarkan dirinya sebagai manajer pribadi untuk Arka seperti saat ini.Oh, astaga! Berbicara dengan Barra memang selalu berhasil membuat kepala Kara berdenyut pusing!"Iya, Kara! Aku yakin Arka pasti akan menyukainya kok," sahut Barra enteng, seolah tak menyadari raut kusut yang sudah tergambar jelas di wajah cantik Kara.Dengan memijat kepalanya pelan, Kara bersandar sesaat. Di dalam diamnya, Kara berusaha mencari kata-kata yang tepat agar Barra bisa kembali menimbang keputusan sepihaknya yang tiba-tiba ingin menjadikan Arka seorang model cilik.Menjadi seorang model, memanglah bukan hal yang negatif. Akan tetap
"Huwaa! Bunda! Arka mau mainan yang kemarin!"Pagi ini keributan mulai terjadi di saat Arka terbangun dan menangis ketika menyadari tempelan kulkas yang sempat dimainkannya semalam tak ada. Anak kecil itu terus saja tak berhenti meraung, sebelum melihat benda yang ia inginkan.Kara sudah berusaha mencarinya, karena barangkali mungkin benda itu terjatuh di kolong kasur atau sela-selanya. Namun sayang, hal itu belum juga membuahkan hasil. Entah ke mana benda kecil itu sekarang, sehingga saat ini Arka masih saja menangis dengan piyama tidur bergambar dinosaurus yang baru saja digantinya.Sementara penampilan Kara, tolong jangan ditanyakan lagi. Rambutnya masih kusut seperti layaknya orang yang baru bangun tidur, baju kaos kebesaran yang tengah digunakannya itu juga sudah basah berkat air mata Arka. Dan tak hanya itu saja, dua tangannya sibuk memegangi setumpuk seprai, selimut dan juga pakaian Arka karena semalam anak lelakinya tersebut mengompol lagi.
"Huh, kenapa semuanya bisa sangat pas seperti ini?"Selepas membersihkan diri, Kara terpaku menatap dirinya sendiri dari balik pantulan kaca cermin. Ia terdiam cukup lama di sana, sambil mengamati sebuah dress cantik berlengan panjang bewarna coklat yang mempunyai sebuah tali pita yang melilit pinggang rampingnya.Pakaian yang dikenakan Kara saat ini adalah pakaian yang tadi sempat Barra maksud. Pria itu seolah bercanda dengan permintaan maafnya, karena pada kenyataan semua yang diberikannya sangat pas dan cocok di tubuhnya.Mulai dari pakaian cantik yang telah dikenakan Kara, sampai ke dalamannya sekali pun. Kara sampai sempat meringis malu, karena ternyata Barra sangat mengetahui ukuran dari segala macam pakaiannya.Tokk! Tokk! Tokkk!"Bunda! Kenapa Bunda lama sekali mandinya? Ayo, Bunda! Kita sarapan bersama! Arka sudah membuatkan roti selai coklat untuk Bunda!" teriak Arka dari kejauhan, hingga langsung membuat Kara tersadar.Dengan cepat wanita itu segera bergegas dari kamar mand
Kara sedikit mengerenyit, karena tak begitu mengerti dengan ucapan Barra. Sementara Barra, pria itu langsung beranjak pergi begitu saja setelahnya. Nampaknya Barra tak mau membuang-buang waktunya lagi, karena tidak mau kembali menerima amarah dari Avaline sang ibu kandung."Baik, kalau begitu berarti tinggal kita persiapkan semuanya saja! Dan untuk masalah izin, ayah saya sudah menyetujui semuanya. Beliau sama sekali tidak merasa keberatan, meski belum bisa datang ke kantor ini langsung karena alasan kesehatannya," jelas Barra pada sekretarisnya dengan serius.Setelah menjelaskan semua kelanjutan tentang rapat via teleponnya kemarin bersama sang ayah pada sekretaris, Barra langsung melanjutkan rencananya yang lain. Ia segera pergi keluar untuk mencoba menghubungi mommy-nya untuk membahas urusan model, hingga setelah telepon itu tersambung salah satu telinganya mendengar suara sayup-sayup telepon dari arah lain."Akhh, sial! Kenapa jadi seperti in
"Hey, Anak Manis! Siapa namamu?"Kini Avaline mulai menyapa sesosok anak kecil yang telah lebih dulu berada di ruangan Barra, setelah berhasil memberikan ruang untuk anak lelakinya itu berkenalan dengan seorang wanita pilihannya. Ia sedikit menunduk menatap anak kecil itu dengan saksama, dan mengusap rambutnya dengan gemas karena tiba-tiba saja teringat dengan seseorang."Halo, Ne—""Oma! Panggil saja Oma Avaline!" potong ibu kandungnya Barra itu membenarkan, seraya tersenyum sesaat.Selama beberapa detik Avaline semakin dibuat terkagum-kagum dengan sosok mungil yang telah dibawa anaknya. Tatapan matanya, benar-benar hampir terlihat sama dengan anak lelakinya. Bahkan ia sampai merasa persis tengah berhadapan dengan Barra kecil saat ini."Oma Av... Avlin?" ucap Arka yang terlihat sangat kesulitan menyebut nama itu.Avaline sampai tertawa mendengarnya. "Ya, kalau terlalu sulit panggil oma saja! Oma mommy-nya Om Barra! Kau kenal 'kan?""Mommy? Mommy-nya Om Baik?" tanya Arka dengan dua ma
"Mommy suka anak itu, Barra! Anak itu cukup menarik perhatian, dan membuat siapa saja orang yang melihatnya menjadi merasa gemas! Tapi yang jadi pertanyaan mommy, ke mana orang tuanya? Arka tadi juga terlihat sangat kebingungan ketika mommy tanya di mana ayah atau ibunya. Apa mereka tidak benar-benar serius ingin bekerja sama dengan kita?"Barra yang tadinya tersenyum, seketika jadi gugup dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia meringis di dalam hati, tepat setelah mendengar ucapan terakhir sang ibu padanya."Heumm, Mom. Aku rasa bukan karena mereka tidak serius. Tadi memang ada suatu alasan yang cukup penting dan mendesak, sehingga bundanya Arka terpaksa meninggalkan Arka di sini bersama denganku. Kalau Mommy mau bertemu dengannya mungkin Mommy bisa menunggu?""Menunggu?" Avaline langsung menekuk dahinya. "Tidak! Tidak bisa, Barra! Sehabis ini Mommy mau pergi bersama Clarissa. Dia sudah mengajak mommy ke suatu tempat!""Hufftt!" Barra menghela napas dalam hati.Barra sedikit me