Malam harinya,Arya dan Jason duduk di ruang tamu apartemen, suasana terasa serius namun tetap tenang. Secangkir kopi di meja depan mereka mengepul tipis, mengiringi pembicaraan yang tengah berlangsung.“Aku butuh bantuanmu, Jason!! Aku ingin kamu mencarikan beberapa pengawal yang bisa berjaga di lantai apartemen ini.” Ungkapnya serius.“Berapa banyak orang yang kamu butuhkan?”“Beberapa cukup, tapi mereka harus handal dan terpercaya! Aku juga berencana untuk menyewa beberapa kamar kosong di lantai yang sama, jadi mereka bisa istirahat di dekat sini. Selain itu, aku mau seluruh lantai ini dipasangi CCTV dan alat pendeteksi!” Jelas Arya lagi.“Kamu ingin memastikan keamanan Maudy dan Tante Widya ya?” Tanya Jason.Arya mengangguk, “Aku gak mau ambil risiko. Dengan situasi yang nggak menentu belakangan ini, aku harus pastikan semuanya aman!”Jason tersenyum tipis, menyadari betapa dalamnya perhatian Arya terhadap keluarga, “Jangan khawatir, aku akan atur semuanya. Pengawal yang terbaik,
Setelah memastikan semuanya sudah siap, Dokter Amri berdiri tegak. “Baik, kita berangkat sekarang!! Tim medis kita sudah siap di helipad, kita akan membawa Bu Widya ke tempat yang aman!” Tegasnya.Maudy segera bangkit dari posisi berlututnya, lalu ikut mendorong kursi roda keluar dari kamar menuju lift.Langkah mereka cepat, dokter Amri berjalan di depan, memimpin perjalanan. Lorong rumah sakit yang sebelumnya sunyi kini terasa penuh tekanan, setiap langkah mereka diiringi oleh ketegangan.Mendekati lift, mereka berpapasan dengan beberapa staf yang sudah siap siaga di dekat pintu lift, mengamati sekitar dengan seksama. Ketika pintu lift terbuka, Dokter Amri memberi isyarat agar Widya didorong masuk terlebih dahulu. Maudy terus berada di samping Ibu mertuanya, tidak pernah melepaskan genggaman tangan Widya.Pintu lift tertutup perlahan, dan seketika suasana menjadi senyap. Lift bergerak naik ke arah atap, membawa mereka semakin dekat ke helipad dan semakin jauh dari bahaya yang menan
“Papamu mana, Arya?? Apa kamu belum kasih tau kondisi Mama?” Tanya Widya, raut wajahnya sedih. Ada kekhawatiran yang muncul, membuat suasana yang tadinya hangat menjadi sedikit tegang.Arya dan Maudy saling berpandangan sejenak. Keduanya terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Mereka memang belum memberi tahu Widya tentang kondisi sebenarnya.Arya merasa tidak mungkin menceritakan bahwa Rayendra saat ini berada di penjara dan telah menikah lagi dengan wanita lain. Hati Ibunya sudah cukup lelah, ia tak ingin menambah beban pikiran Widya lagi.Widya yang merasa keheningan itu, menghela napas dalam-dalam, seakan mulai memahami sesuatu. “Papamu... Udah nikah lagi, ya?” Tanyanya dengan suara yang bergetar. Matanya mulai berkaca-kaca, kesedihan yang selama ini ia tahan perlahan memuncak.Arya tercekat, tak mampu berkata apa-apa. Lidahnya terasa kelu, hatinya sakit melihat ibunya yang rapuh menangis. Ini adalah kelemahannya melihat orang yang ia cintai bersedih dan tidak mampu melakukan apa-ap
Pukul 15.30 wib,Arya pulang dari kantor dengan perasaan yang tidak menentu. Sebelum kembali ke rumah sakit, ia memutuskan untuk mengunjungi makam Jasmine.Langkahnya terasa berat ketika ia mendekati makam Jasmine. Di tangannya tergenggam setangkai bunga yang ia letakkan perlahan di atas nisan yang sudah mulai tertutup debu. Setelah itu, Arya duduk di hadapan makam itu dan mulai membaca tahlil, bibirnya bergerak perlahan mengiringi doa yang ia panjatkan untuk Almarhum istrinya.Setelah berdoa, Arya menatap nisan itu, seakan melihat bayangan Jasmine di depan matanya. Wajah almarhum istrinya yang dulu begitu dicintai kini hanya tersisa dalam ingatan.“Sebenarnya apa yang kamu sembunyikan dariku, Jasmine?” Gumamnya lirih. Matanya tak lepas dari nisan Jasmine, “Jika dari awal kamu tau keadaan Mama, kenapa kamu diam saja? Kenapa kamu lakukan ini padaku, Jasmine?”Arya menunduk, dan isak kecil mulai terdengar dari mulutnya. Rasa sakit yang tertahan selama ini pecah dalam tangis. Kembali ter
Setelah selesai dari ruangan dokter Amri, Maudy kembali ke ruangan Widya. Saat membuka pintu, ia melihat pemandangan yang membuat hatinya menghangat. Suaminya sedang duduk di tepi ranjang Widya sambil mengelap kaki dan tangan Ibunya menggunakan kain basah.“Mas...” panggil Maudy pelan, suaranya lirih agar tidak membangunkan Widya yang tertidur lelap.Arya menoleh, menatap Maudy dengan senyum tipis, “Udah selesai? Gimana kata dokter?” Tanyanya penasaran.“Nanti aku jelaskan, Mas... Oh ya, Bukannya Mas harus ke kantor ya? Kalau mau, pergilah, biar aku yang jagain Mama, Mas...” Ucap Maudy.Arya tersenyum kecil, dengan perlahan ia meletakkan kain yang tadi dipakainya untuk mengelap tubuh Widya di atas meja samping ranjang. Kemudian, ia meraih tisu basah, mengusap tangannya hingga bersih sebelum bangkit dari kursi. Tanpa ragu, ia berjalan mendekat dan memeluk istrinya erat.“Makasih ya, sayang... Mas gak tau apa yang terjadi kalau kamu gak ada di sisi Mas...” Ungkap Arya bersyukur.Maudy m
Setelah beberapa lama mengalami koma, Widya akhirnya sadar juga.“Mas...” Panggil Maudy.“Iya, sayang?”“Cuman mau ngingetin, jangan bahas masalah siapa yang culik atau apa yang Mama alami selama ini, aku cuman takut otak Mama belum siap untuk mengingat kejadian buruk itu.” Ucap Maudy mengingatkan.Arya mengangguk, “Iya, sayang... InsyaAllah Mas akan tahan semua yang ingin Mas tanyakan.” Jawabnya.Maudy dan Arya berjalan cepat menyusuri lorong menuju ruang VVIP di mana Widya dipindahkan. Rasa gugup dan cemas menyelimuti mereka berdua.Saat tiba di depan pintu, Arya menarik napas dalam-dalam sebelum perlahan membukanya.Di dalam, tampak Widya yang masih terbaring di atas bed pasien, matanya sudah terbuka, menatap langit-langit dengan tatapan lemah.Arya terdiam sejenak, dadanya terasa sesak melihat Ibunya yang dulu begitu kuat kini tampak rapuh. la kemudian berjalan mendekat, sementara Maudy tetap di belakangnya, memberikan ruang bagi Arya untuk lebih dulu mendekati Ibunya yang sudah l